Latar Belakang Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
2
Menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
“Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki- laki”.
3
Definisi yang dikutip oleh Zakiah Darajat: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
seksual dengan lafadzh nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”. Perkawinan adalah suatu yang diperintahkan oleh Allah yang disunnahkan.
4
Dan Rasul menjelaskannya dalam hadist yang diriwayatkan Abdullah bin Mas‟ud muttafaq alaih yang maksudnya:
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari segi „al-ba‟ah‟ hendaklah kawin, karena perkawinan itu lebih menutup
mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu
baginya pengekang hawa nafsu”. Sementara menurut Hazairin, menyatakan bahwa inti dari sebuah
perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah perkawinan bila tidak ada hubungan seksual.
5
Indonesia termasuk masyarakat yang majemuk, terdiri dari ratusan suku-suku. Oleh karena itu lahirlah banyak pengertian nikah dalam suku-suku
tersebut. Dan karena dalam Islam dijelaskan tatacara dan hukum menikah,
3
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subulu-salam, Bandung: Dahlan, t.t, Jilid 2, h. 109
4
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid 2, h. 37
5
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1961, h. 61
3
maka dalam masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi ratusan suku ada pula tatacaranya, inilah yang sering disebut dengat adat istiadat, karena lahir dari
kebiasaan. Kebiasaan inilah yang akhirnya menjadi hukum sendiri dikalangan mereka. Dan hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari sudut tertentu,
sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi dan lain sebagainya.
6
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda. Di era modern seperti sekarang ini pernikahan dini masih
banyak terjadi di berbagai daerah. Misalnya, fenomena yang terjadi di desa Cikurutug Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi. Dimana di desa
tersebut banyak terjadi pernikahan di bawah umur. Banyak sekali fenomena-fenomena pernikahan di bawah umur di
berbagai daerah di Indonesia. Berbagai macam dampak negatif juga muncul akibat pernikahan di bawah umur tersebut. Di antara dampak-dampak
pernikahan di bawah umur selain beberapa hal di atas ialah menurunnya kualitas sumber daya manusia, kekerasan terhadap anak, kemiskinan
meningkat, eksploitasi dan seks komersial anak, dan sebagaianya. Di dalam sebuah jurnal juga dikatakan bahwa maraknya trafiking di antaranya dipicu
oleh terjadinya pernikahan di bawah umur.
7
Terjadinya pernikahan di bawah umur selain menimbulkan dampak- dampak sebagaimana tersebut di atas, juga menimbulkan ketidak patuhan
terhadap hukum Negara. Khoirul Hidayah menulis tentang pernikahan dini.
6
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 1
7
Syafruddin, Human Trafficking Perbudakan Modern dan Aspek Hukum dalam penanggulangannya, Al Adalah, Jurnal Kajian Vol. 7, No. 2, Desember 2008.
4
Di dalamnya ia menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri. Hal itu terjadi karena terdapat dualisme
hukum di tengah masyarakat, yaitu antara hukum Islam dan hukum positif. Menurut mereka, melaksanakan hukum Islam lebih mudah dari pada hukum
positif yang penuh pertimbangan prosedurial dan administratif.
8
Menurut Hilman Hadikusuma, usia perkawinan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pernikahan anak yang masih asyik dengan
dunia bermain. Jadi, supaya dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki-laki dan perempuan harus benar-benar
telah siap jiwa dan raganya, serta mampu berfikir dan bersikap dewasa. Selain itu, batasan usia nikah ini juga untuk menghindari terjadinya perceraian dini,
supaya melahirkan keturunan yang baik dan sehat, dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.
9
Rafidah dkk menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah, baik orang tua maupun anak, serta perekonomian yang lemah menjadi sebab
banyaknya kasus pernikahan di bawah umur.
10
Pada tahun 2012 ini pernikahan dini terjadi lagi di desa Cikurutug Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi, yang melangsungkan
pernikahan pada bulan Oktober 2012. Meskipun pada kenyataannya pasangan
8
Khoirul Hidayah, Dualisme Hukum Perkawinan di Indonesia Analisa Sosiologi Hukum Terhadap Praktek Nikah Sirri, Jurnal Hukum , Vol. 8, No.1, Mei 2008.
9
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju;2007, h. 48.
10
Rafidah dkk, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.25, No. 2, Juni
2009.
5
tersebut belum siap untuk menikah dan menjalani bahtera rumah tangga pada umur yang dibilang masih terlalu muda, pernikahan tetap dilangsungkan.
Terjadinya pernikahan dini di Desa cikurutug ini mempunyai dampak yang tidak baik bagi mereka yang telah melangsungkan pernikahan dini.
Dampak dari pernikahan dini akan menimbulkan persoalan dalam rumah tangga, seperti petengkaran, percecokkan, dan bentrokan antara suami dan
istri. Emosi yang belum stabil memungkinkan banyaknya pertengkaran dalam berumah tangga. Di dalam rumah tangga pertengkaran atau bentrokan itu hal
biasa, namun apabila berkelanjutan bisa mengakibatkan perceraian. Masalah perceraian umumnya disebabkan masing-masing sudah tidak
lagi memegang amanah sebagai istri atau suami, istri sudah tudak menghargai suami sebagai kepala rumah tangga atau suami yang tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Apabila mereka mempertahankan ego masing-masing akibatnya adalah perceraian. Namun tidak mungkin
dipungkiri bahwa tidak sedikit dari mereka yang telah melangsungkan pernikahan di usia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan
keluarga sesuai dengan tujuan dari pernikahan itu sendiri.
11
Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak
ditentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan
bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami istri dan sah secara hukum.
11
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam Hukum Perkawinan dan Hukum Perdata, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981, h. 23-24.
6
Batas usia dalam melangsungkan pernikahan adalah sangat penting. Hal ini karena pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan
yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan
berumah tangga. Dari penjelasan pernikahan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedewasaan ibu baik secara fisik maupun mental sangat penting, karena hal itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak kelak dikemudian hari. Oleh
sebab itulah maka sangat penting untuk memperhatikan umur pada anak yang akan menikah. Meskipun batas umur pernikahan telah ditetapkan dalam pasal
7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, yaitu pernikahan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun.
12
Namun dalam praktiknya masih banyak di jumpai pernikahan pada usia muda atau dibawah umur. Padahal pernikahan yang sukses membutuhkan
kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga.
Dari latar belakang tersebut penulis berkeinginan meneliti kasus pernikahan dini di Desa Sawarna, yang penulis beri judul
“PANDANGAN MASYARAKAT DALAM PERNIKAHAN USIA DINI STUDI KASUS
DI DESA CIKURUTUG KECAMATAN CIREUNGHAS KABUPATEN SUKABUMI
”.
12
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1999, h. 20.
7