Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

(1)

ABSTRACT

SUDIYAH ISTICHOMAH. E14104020. The Change of Local Community -Forest Interaction Pattern in Cipeuteuy Village, Kabandungan Sub-district, Sukabumi District, West Java Province. Under supervision of DIDIK SUHARJITO.

Community and nature interaction are form of socio-ecomic activities of local communitiy to meet their need of life. The change of local communitiy and forest interaction go in dynamical way according to the factors which affected it. The forest land size cultivated by villagers is one indicator of dependence of local communitiy where socio-economic factors often give huge influence. The objectives of the research are to describe the change of local communities-forest interaction patterns, to describe driving factors for those change, and the influence of socio-economic factors to the forest land size cultivated by villagers.

This research took place in Cisarua and Pandan Arum sub-village Cipeuteuy village in Kabandungan sub-district Sukabumi district West Java province. The research was done from 27 May until 27 June 2011. Data was collected by interviews in 84 head of households. Selection of respondents was done by random sampling.

Pattern of local community and forest interaction is divided into three patterns: using land pattern, taking forest product pattern, and no interaction pattern. The changes of interaction patterns are change from one pattern to anothers. The changes of interaction patterns in Pandan Arum and Cisarua sub-village are change from no interaction to using land (39,3%), change from using land to no interaction (35,7%), change from taking forest product to using land (11,9%), change from taking forest product to no interaction (3,6%), change from using land to taking forest product (2,4%), and the remaining are those who did not change (7,1%). The driving factors for those change are internal factors (physical condition of the forest land and natural disturbance, land size of agriculture field out of the forest, age factor, income, house distance from the forest, the change of life style) and external factors (taking over plantation land by villagers, the change of forest management, monitoring and controlling by national park officials. The influence of socio-economic factors to the forest land size cultivated by villagers are 30,1%, and the remaining affected by another factors.

Keywords: interaction, interaction patterns, the change of interaction pattern, land use, socio-economic factors.


(2)

ABSTRAK

SUDIYAH ISTICHOMAH. E14104020. Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO

Interaksi masyarakat dengan lingkungan alam berupa hutan merupakan wujud dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan interaksi antara masyarakat dengan hutan berjalan dinamis sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Interaksi dapat bersifat negatif atau positif terhadap salah satu pihak. Luas lahan garapan di dalam kawasan hutan merupakan salah satu indikator ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan faktor sosial ekonomi seringkali memberikan pengaruh besar. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan, menjelaskan faktor pendorong perubahan tersebut dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terhadap luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat.

Penelitian ini dilakukan di Dusun Cisarua dan Pandan Arum Desa Cipeuteuy yang terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung dari 27 Mei sampai dengan 27 Juni 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap 84 responden dan pengambilan responden dilakukan dengan metode random sampling.

Pola interaksi antara masyarakat dengan hutan terbagi menjadi tiga pola, yaitu: pola penggunaan lahan, pola pemanfaatan hasil hutan, dan pola tanpa interaksi. Perubahan pola interaksi adalah perubahan dari satu pola ke pola lainnya. Perubahan pola interaksi masyarakat di lokasi penelitian adalah perubahan dari tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan (39,3%), perubahan dari penggunaan lahan hutan menjadi tanpa interaksi (35,7%), perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan (11,9%), perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi (3,6%), perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan (2,4%), dan sisanya adalah tidak berubah interaksinya (7,1%). Faktor-faktor pendorong perubahan adalah faktor internal, yaitu: kondisi fisik lahan hutan dan gangguan alami, luas lahan pertanian di luar hutan, usia, pendapatan, kebutuhan hidup, perubahan gaya hidup dan faktor eksternal, yaitu: adanya pengambil-alihan lahan perkebunan di dalam desa, perubahan pengelola hutan, pengawasan dan penertiban oleh aparat pengelola. Faktor sosial ekonomi berpengaruh nyata sebesar 30,1% terhadap luas pengunaan lahan hutan oleh masyarakat dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

Kata kunci: interaksi, pola interaksi, perubahan pola interaksi, penggunaan lahan, faktor sosial ekonomi


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interaksi masyarakat dengan lingkungan alam berupa hutan merupakan wujud dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya memerlukan keberadaan hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti, antara lain: mengumpulkan hasil hutan berupa bahan pangan, kayu bakar, pakan ternak, umbi-umbian serta hasil dari jenis jasa hutan lainnya (Widianto 2008 dan Ardiansyah 2009). Penelitian-penelitian tentang interaksi dan hubungan antara masyarakat dengan hutan telah banyak dilakukan oleh para peneliti, antara lain: penelitian yang dilakukan oleh Baharudin (2006) yang mengkaji tentang interaksi masyarakat desa sekitar dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan Ginting (2010) yang mengkaji interaksi masyarakat di sekitar Taman Nasional Leuser (TNL). Interaksi masyarakat di sekitar TNGR adalah pemanfaatan lahan untuk pertanian intensif baik secara musiman maupun menahun, sedangkan masyarakat di sekitar TNL memanfaatkan kawasan ekowisata di TNL dan memungut hasil hutan.

Perubahan sosial budaya adalah sesuatu yang normal dan berkelanjutan (Lauer 1989). Dalam kaitannya dengan interaksi masyarakat dengan hutan hal ini juga berlaku. Perubahan interaksi yang terjadi merupakan proses adaptif. Interaksi dapat menuju ke arah positif ataupun negatif. Interaksi yang menuju ke arah positif adalah jika interaksi yang terjalin saling menguntungkan baik bagi masyarakat maupun bagi hutan. Interaksi yang negatif adalah jika interaksi yang terjalin justru merugikan bagi salah satu pihak baik bagi masyarakat maupun terhadap kelestarian kelestarian hutan, ataupun bagi keduanya. Penelitian yang dilakukan oleh Yatap (2008) tentang pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan tutupan lahan di TNGHS.


(4)

Perubahan interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorongnya harus diketahui. Hal ini penting untuk menghindari perubahan interaksi yang negatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perubahan interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorong perubahan tersebut. Penelitian ini akan dilakukan di Desa Cipeuteuy yang terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Desa Cipeuteuy adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa ini termasuk salah satu desa dari 1.517 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan negara (Dinas Kehutanan Jawa Barat 2008). Desa Cipeuteuy merupakan salah satu dari dua desa yang berada di koridor yang menghubungkan ekosistem Gunung Halimun dan Gunung Salak yang merupakan kawasan penting di TNGHS. Sebelum menjadi kawasan TNGHS pada tahun 2006, kawasan hutan di sekitar desa adalah lahan tumpang sari masyarakat sekitar yang dikelola bersama dengan Perhutani (Cantika 2008). Terdapat tiga dusun di Desa Cipeuteuy yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS, yaitu: Dusun Pandan Arum, Dusun Cisarua, dan Dusun Leuwiwaluh. Dari ketiga dusun tersebut Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua yang paling banyak terdapat masyarakat yang memanfaatkan lahan hutan untuk pertanian. Di Desa Cipeuteuy ini dipelajari tentang perubahan pola interaksi yang terjadi pada masyarakat dengan hutan dan apa yang menyebabkan perubahan tersebut.

1.2 Perumusan masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perubahan interaksi masyarakat terhadap hutan di sekitarnya dan faktor apakah yang mendorong perubahan tersebut. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap hutan akan menyebabkan masyarakat sulit untuk meninggalkan hutan, atau dengan kata lain masyarakat akan sulit untuk mengubah interaksinya dengan hutan dalam hal meninggalkan hutan. Luas lahan garapan di dalam kawasan hutan merupakan salah satu indikator ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap hutan. Faktor sosial ekonomi seringkali merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Penelitian ini lebih lanjut akan membahas hal-hal sebagai berikut:


(5)

1. Bagaimana bentuk-bentuk perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan?

2. Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan masyarakat di dalam hutan?

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan. 2. Menjelaskan faktor yang mendorong perubahan pola interaksi masyarakat

dengan hutan.

3. Menjelaskan hubungan antara variabel sosial-ekonomi terhadap luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan kepada pengelola hutan untuk mengambil kebijakan terkait masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan. 2. Sebagai bahan acuan untuk penelitian terkait.


(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi (Moen 1997). Interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya merupakan proses adaptif. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia menggunakan unsur-unsur lingkungan, berupa tanah, air, tumbuhan dan hewan. Lingkungan bagi manusia bukan hanya sebagai ruang hidup, tetapi berfungsi pula sebagai sumberdaya (Soemarwoto 1994

dalam Mulyadih 1998).

Herimanto (2008) menjelaskan bahwa lingkungan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, demikian pula kehidupan manusia akan mempengaruhi lingkungan tempat hidupnya. Faktor lingkungan (tanah, iklim, topografi, sumber daya alam) dapat menjadi prakondisi bagi sifat dan perilaku manusia. Lingkungan menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi kehidupan manusia. Manusia mempengaruhi lingkungan demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya.

Dalam masyarakat tradisional, pengelolaan lingkungan alam lebih ditujukan untuk mencukupi hidup sehari-hari (subsisten), sehingga pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hanya sebatas kebutuhan. Eksploitasi alam dalam arti ekonomi produksi hampir tidak terjadi. Namun pemeliharaan hubungan harmonis dengan alam merupakan prinsip yang paling diutamakan (Wiratno 2004).

Seorang ahli filsafat dan etika dari Australia yaitu Warwick Fox dalam

Widianto (2008) memilah interaksi manusia dengan lingkungannya dalam beberapa pola. Pola interaksi pertama manusia mengeksploitasi lingkungan semaksimal mungkin. Pola kedua manusia memanfaatkan lingkungannya dengan prinsip konservasi untuk produksi. Pola ketiga manusia memanfaatkan lingkungannya dengan prinsip protektif untuk menjaga keautentikan dari sebuah sumberdaya alam. Fox juga mengajukan beberapa alasan yang menjelaskan pola interaksi manusia dengan lingkungan yang juga menyisakan sebidang tanah dalam pemanfaatan lahan menjadi ladang, sebagai berikut:


(7)

1. Ruang sebagai sistem penunjang kehidupan (life support system), yang melihat bahwa bidang tanah yang masih disisakan sebagai hutan yang menjadi sistem penunjang kehidupan dalam ekosistem.

2. Sebagai sistem peringatan dini (early warning system) atas berbagai gejala alam dan potensi bencana. Ada anggapan jika akan terjadi suatu gangguan (bencana) maka hewan (burung-burung) penghuni habitat di dekat ladang akan berlarian pergi dan terbang.

3. Sebagai gudang (silo), lingkungan disini dapat dilihat sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan bahan (makanan, obat, bahan untuk alat-alat). 4. Sebagai lahan (ruang) yang disisakan karena dianggap memiliki makna spiritual – keagamaan (cathedral), contohnya Leuweng Kolot dan Leuweng Titipan sebagai hutan keramat di daerah Gunung Halimun.

Suatu kawasan hutan pada umumnya berbatasan dengan pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, perikanan, kegiatan perindustrian atau kerajinan masyarakat, serta sektor kegiatan lainnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya interaksi antara potensi sumber daya alam yang terdapat di dalamnya dengan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Alikodra 1983). Bentuk-bentuk interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti mengumpulkan hasil hutan, antara lain bahan pangan, kayu bakar, pakan ternak, umbi-umbian serta hasil dari jenis jasa hutan lainnya (Ardiansyah 2009).

Menurut Birgantoro et al. (2007) secara umum interaksi masyarakat dengan hutan, tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan membentuk dua pola kegiatan, yaitu: legal (kegiatan positif) dan illegal (kegiatan negatif). Interaksi yang negatif jika interaksi tersebut merugikan di salah satu pihak baik bagi kelestarian hutan ataupun masyarakat itu sendiri. Kegiatan illegal terdiri dari pencurian kayu, penggarapan liar (bibrikan), pengembalaan liar dan pendudukan atau penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan.


(8)

2.2 Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat hutan adalah penduduk yang tinggal di dalam atau sekitar hutan yang mata pencaharian dan lingkungan hidupnya sebagian besar tergantung pada eksistensi hutan dan kegiatan perhutanan (Arif 2001).

Santoso (2004) mengungkapkan bahwa istilah desa hutan mengacu pada daerah yang berada di sekitar maupun dalam kawasan hutan. Istilah ini meletakkan desa sebagai bagian dari wilayah kehutanan dan keberadaan masyarakatnya dianggap kalangan tertentu (pemegang HPH dan pemerintah) sebagai ancaman terhadap keamanan hutan. Kondisi ini memunculkan persepsi negatif tentang masyarakat desa hutan, dimana semakin hutan dekat dari masyarakat semakin tidak aman. Sebaliknya jika semakin hutan tersebut jauh dari desa maka semakin aman.

Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai akses langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan serta memanfaatkan sumberdaya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan. Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh faktor teknis semata namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat 2005).

Menurut Kartasubrata (1986) dalam Giyanto (2006), tekanan dan gangguan dari masyarakat desa sekitar hutan disebabkan sifat ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap produk hasil hutan yang sangat tinggi. Tuntutan masyarakat terhadap hutan tidak hanya sekedar memberikan ruang atau lahan tani, tetapi hutan dapat memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat terutama sumber perolehan pendapatan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, masyarakat sekitar hutan tetap mengharapkan kegiatan dari sumberdaya hutan dapat menjadi salah satu bentuk ekonomi utama.

Masyarakat sekitar kawasan hutan pada umumnya bekerja sebagai petani. Untuk dapat hidup layak, diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha dan biasanya


(9)

mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh dan lada (Rudianto 2009).

Dewasa ini banyak kawasan hutan berubah status pengelolaannya misalnya dari kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi dan sebagainya. Perubahan status pengelolaan tersebut dapat mempengaruhi interaksi yang telah dijalankan oleh masyarakat sekitar hutan. Dalam penjelasan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka. Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.

Namun demikian, menurut Setyadi et al. (2006) perambahan kawasan, umumnya hampir terjadi di hampir setiap kawasan taman nasional sebagai akibat kebutuhan lahan usaha pertanian/perkebunan yang dipicu oleh laju pertambahan penduduk yang bersifat agraris yang sangat tinggi, sementara itu terdapat pula lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara intensif pada daerah penyangga akibat belum berkembangnya keterpaduan pembangunan daerah penyangga dengan kawasan taman nasional. Bahkan Rudianto (2009) menyatakan bahwa pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan permukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan.

Sebagai contoh interaksi adalah pemanfaatan Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani oleh masyarakat sekitarnya untuk lahan pertanian terbuka dan perladangan. Masyarakat sekitar Kawasan Gunung Rinjani merupakan suatu


(10)

komunitas sosial dengan interaksi yang tinggi terhadap kawasan taman nasional. Tingginya interaksi ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat pengambilan kayu, perladangan liar, dan okupasi kawasan untuk berbagai kepentingan yang kesemuanya itu merupakan fenomena sosial yang menjadi tekanan bagi kelestarian kawasan rinjani (Baharudin 2006).

Kondisi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) juga tidak jauh berbeda. Studi yang dilakukan oleh Pasha (2009) menunjukkan bahwa di beberapa desa yang terdapat di Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, sebagian besar masyarakatnya hidup dan tinggal di dalam kawasan TNBBS. Masyarakat tersebut merambah dan memanfaatkan kawasan hutan TNBBS untuk dijadikan permukiman, perladangan dan pertanian. Sedangkan di Taman Nasional Alas Purwo, studi yang dilakukan Beckman (2004) menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat sekitar kawasan pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Bentuk interaksi yang paling sering dilakukan termasuk perburuan satwa liar, pengambilan tumbuhan, dan pengambilan hasil laut.

Meskipun demikian tidak semua kasus perambahan hutan bersumber dari okupasi masyarakat terhadap kawasan konservasi. Studi yang dilakukan oleh Rudianto (2009) di kawasan TNBBS menemukan bahwa keberadaan areal permukiman dan pertanian di dalam kawasan tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, 2) Terjadinya perubahan rezim pengelolaan kawasan, dan 3) Penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan.

Menurut Mangandar (2000) interaksi masyarakat dengan kawasan yang dilindungi dapat diarahkan pada suatu tingkat integrasi dimana keperluan masyarakat akan sumberdaya alam dapat dipenuhi tanpa mengganggu atau merusak potensi kawasan. Salah satu cara yaitu membentuk daerah penyangga sosial, yaitu daerah yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga mereka tidak merugikan hutan tersebut. Sedangkan menurut Rudianto (2009) memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan konservasi merupakan titik temu yang ideal antara


(11)

kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.


(12)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak

3.1.1 Letak dan Luas

Taman Nasional Gunung Halimun Salak 38 , 3 37 LS, b Daya Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan administrasi pemerintahan, TNGHS terletak di dalam tiga Kabupaten, yaitu: Bogor, Sukabumi dan Lebak. Luas keseluruhan TNGHS adalah 113.357 hektar (Departemen Kehutanan 2007). Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, terdiri dari: 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak.

3.1.2 Bentang Alam

Secara umum TNGHS memiliki bentang alam bervariasi dari dataran ke pegunungan, yang sebagian besar berbukit dan bergunung. Ketinggian bervariasi dari 500 mdpl sampai dengan 2.211 mdpl. Sebagian besar kawasan (75,7 %) terletak pada ketinggian di bawah 1.400 mdpl dengan kelerengan di atas 45%. 3.1.3 Tanah

Terdapat 12 tipe tanah di kawasan TNGHS yang digolongkan menjadi dua kelompok yaitu andosol dan latosol. Pada umumnya tanahnya subur karena secara geologis, kawasan Gunung Halimum terbentuk akibat adanya gerakan tektonik yang mendorong ke atas. Untuk kawasan pada bagian Gunung Salak merupakan gunung berapi tipe Strato, dimana tercatat terakhir meletus tahun 1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan lebih dikenal dengan nama Kawah Ratu.

3.1.4 Iklim

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, TNGHS termasuk ke dalam tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 4.000-6.000 mm/tahun. Musim


(13)

hujan terjadi pada bulan Oktober-April, musim kemarau berlangsung pada bulan Mei-September (Departemen Kehutanan 2007).

3.1.5 Hidrologi

Pegunungan Halimun merupakan daerah tangkapan air yang penting dan merupakan sumber dari beberapa sungai yang mengalir di daerah pertanian dan perkotaan di Jawa Barat, baik ke arah selatan maupun utara. Terdapat lebih dari 50 sungai dan anak sungai mengalir dari TNGHS ke Laut Jawa maupun ke Samudra Hindia. Terdapat 11 anak sungai utama yang mengalir dari TNGHS yang selalu berair meskipun pada musim kering. Sungai-sungai tersebut antara lain Ciberang-Ciujung, Cidurian, Cisadane, Cimandur, Citarik dan Citatih (Departemen Kehutanan 2007).

3.1.6 Tutupan Lahan

Tutupan lahan di kawasan TNGHS terdiri dari hutan alam, hutan tanaman, dan lahan garapan masyarakat. Hutan alam di kawasan TNGHS terbagi menjadi tipe hutan hujan dataran rendah (100-1000 mdpl) yang sebagian besar merupakan Zona Collin (500 - 1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1.000 - 1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500 - 2.000 m dpl). Khusus di Gunung Salak juga ditemukan ekosistem alpin (lebih dari 2.000 mdpl) dan ekosistem kawah yang memiliki vegetasi spesifik. Hutan tanaman di dalam kawasan TNGHS terdapat di areal yang sebelumnya berstatus sebagai kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, diantaranya: hutan tanaman Rasamala (Altingia excelsa), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis sp.), dan Puspa (Schima wallichii). Selain hutan tanaman, terdapat areal yang telah menjadi lahan garapan masyarakat dengan berbagai jenis tanaman budidaya (BTNGHS 2007). 3.1.7 Sosial Ekonomi

Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam dan atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survei


(14)

kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS (BTNGHS 2007).

Masyarakat yang tinggal di kawasan ekosistem Halimun terdiri dari masyarakat adat (Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul) terutama di bagian Barat dan Selatan kawasan, dan masyarakat Sunda Lokal. Masyarakat yang mendiami kawasan TNGHS sudah ada sejak abad ke-19, yakni pada zaman kerajaan Pajajaran. Masyarakat lokal tersebut tidak terpengaruh oleh adanya ekonomi pasar, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten (Harada et al. 2001). Berdasarkan fakta sejarah keberadaan masyarakat Sunda Lokal ini adalah masyarakat pendatang dari beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon, Indramayu, Garut, Subang, dan Kuningan yang pada masa penjajahan Belanda merupakan buruh perkebunan yang akhirnya menetap dan menjadi salah satu komunitas masyarakat yang mendiami kawasan ekosistem Halimun. Masyarakat pendatang ini terutama mendiami pada daerah yang dulunya merupakan areal perkebunan, antara lain: Cisalimar, Nirmala, Cisarua, Nanggung, dan Warung Kiara (Hanafi et al. 2004).

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak mayoritas adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sebagian yang lain adalah masyarakat perkebunan yang bermatapencaharian sebagai pegawai dan buruh perkebunan.

3.1.8 Sejarah Kawasan

Kawasan ekosistem Halimun Salak memiliki sejarah panjang, yang melintasi berbagai generasi dan penguasa. Pemanfaatan lahan telah dimulai sejak Pemerintahan Hindia Belanda yang juga mulai melindungi kawasan ini. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan TNGHS sudah mengalami perubahan pengelolaan sejak zaman penjajahan Belanda. Menurut Galudra et al. (2005), sejarah penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dibagi menjadi empat periode tahun, dimulai dari zaman penjajahan sampai dengan setelah kemerdekaan Republik Indonesia (Tabel 1).


(15)

Tabel 1 Sejarah pengelolaan kawasan TNGHS Periode Tahun Pemerintahan Penggunaan dan

penunjukan kawasan TNGHS

Keterangan

1700 – 1865 Hindia Belanda Kawasan perkebunan

Kopi, indigo, teh, kayu manis, kapas, karet, kina, coklat, kapuk, kelapa, lada 1865 – 1942 Hindia Belanda Kawasan kehutanan Hutan rimba

(>1.570 mdpl), dan hutan cadangan 1942 – 1945 Jepang Kawasan pertanian Sawah dan kebun 1945-sekarang Republik

Indonesia

Kawasan kehutanan Kelompok hutan dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional Sumber: Galudra et al. (2005)

Dari awal abad ke-18 sampai dengan tahun 1865 kawasan TNGHS merupakan kawasan perkebunan di bawah pengelolaan pemerintah Hindia Belanda dengan komoditi kopi, indigo, teh, kayu manis, kapas, karet, kina, coklat, kapuk, kelapa, dan lada. Banyak masyarakat dari daerah-daerah sekitar didatangkan sebagai tenaga kerja perkebunan. Selain tenaga kerja yang didatangkan, banyak pula warga masyarakat yang sengaja datang karena mendengar adanya lapangan pekerjaan (Simarmata 2009). Masyarakat tersebut sampai saat ini masih banyak mendiami wilayah di sekitar perkebunan dan membentuk desa perkebunan.

Pada tahun 1865 pemerintah Hindia Belanda menunjuk kawasan TNGHS menjadi kawasan kehutanan. Kawasan yang ditetapkan adalah hutan rimba dengan ketinggian lebih dari 1.570 mdpl, dan hutan cadangan. Kedatangan Jepang di Indonesia merubah sistem pengelolaan kawasan ini pada tahun 1942-1945. Kawasan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan kehutanan beralih menjadi kawasan pertanian. Kawasan pertanian ini digunakan sebagai sumber bahan makanan untuk mendukung perang yang dilakukan Jepang pada waktu itu.

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pengelolaan kawasan beralih ke pemerintah Indonesia. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan kehutanan kembali. Tahun 1978 pemerintah memberikan kewenangan kepada PT Perhutani


(16)

Unit III Jawa Barat-Banten untuk mengelola kawasan hutan sebagai hutan produksi. Pada tahun 1992 sebagian kawasan hutan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan tahun 2003 ditunjuk areal perluasan TNGH seluas ±40.000 hektar menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang mencakup kawasan Hutan Lindung Gunung Salak dan kawasan hutan produksi Perhutani.

Taman Nasional Gunung Halimun ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992 atas perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Halimun. Pada tahun 2003 taman nasional ini diperluas menjadi ± 113.357 hektar dari hasil perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi Terbatas pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan kelompok Hutan Gunung Salak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Kawasan tersebut saat ini disebut dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Departemen Kehutanan 2007).

Gambar 1 Peta zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. (Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007).

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi. Di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007-2026, disebutkan bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-masing (Gambar 1.), sebagai berikut:


(17)

1. Zona Inti dan Zona Rimba (=ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda) 2. Zona Rehabilitasi (=Zre, warna biru muda)

3. Penetapan Zona Pemanfaatan (=ZP, warna hijau)

4. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah (=Zona Khusus, ZKh, warna abu-abu tua)

5. Zona untuk Tujuan Sosial Budaya (=Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua)

6. Zona Lainnya (=ZL, warna putih)

3.1.9 Interaksi Masyarakat dengan Kawasan TNGHS

Interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan yang saat ini merupakan kawasan TNGHS telah terjalin sejak lama. Masyarakat yang mendiami wilayah di dalam maupun di sekitar hutan TNGHS dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: masyarakat adat dan masyarakat Sunda lokal. Masyarakat adat sudah menempati wilayah TNGHS sejak lama. Masyarakat yang mendiami kawasan TNGHS sudah ada sejak abad ke-19, yakni pada zaman kerajaan Pajajaran. Masyarakat lokal tersebut tidak terpengaruh oleh adanya ekonomi pasar, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten (Harada et al. 2001). Sedangkan masyarakat Sunda lokal adalah mereka yang pada awalnya mendatangi dan mendiami wilayahnya saat ini karena bekerja sebagai tenaga kerja perkebunan atau alasan lain.

Masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS memanfaatkan kawasan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Hampir seluruh masyarakat tersebut merupakan masyarakat petani, meskipun beberapa di antaranya termasuk dalam masyarakat perkebunan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, masyarakat melakukan kegiatan perladangan berpindah. Pada saat itu luas lahan yang masih luas dan jumlah penduduk yang masih sedikit memungkinkan masyarakat melakukan perladangan berpindah. Untuk mendapatkan lahan garapan, pada awalnya mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan garapan padi .

Penunjukan kawasan TNGHS telah menimbulkan beberapa permasalahan mendasar, antara lain: konflik mengenai kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Permasalahan ini erat hubungannya dengan pemenuhan


(18)

kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dengan sumber mata pencaharian utama dari pertanian. Selain itu Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada di dalam kawasan TNGHS, telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di dalam dan di sekitarnya. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra (2005), didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.

Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada di sekitar kawasan TNGHS telah menyebabkan perubahan sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan pada perlindungan terhadap tanah dan tata air, tetapi juga ditingkatkan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam. Penyelesaian proses peralihan fungsi kelompok hutan yang berada di sekitar kawasan taman nasional menjadi kawasan TNGHS, membutuhkan waktu yang cukup lama. Terdapat jeda waktu sebelum dilakukan serah terima pengelolaan dari pihak Perum Perhutani kepada pihak taman nasional. Sampai akhir tahun 2003 pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh taman nasional masih pada kawasan yang lama seluas ±40.000 hektar (BTNGH 2004).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Setiawan (2006), diperkirakan bahwa pada periode tahun 1989 – 2004 telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (sekitar 25%). Deforestasi diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang, dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktifitas sosial ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNGHS berupa kegiatan pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian dan pembangunan perumahan . Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS terbanyak terjadi pada periode tahun 2001-2003, seluas 4.367,79 hektar. Gambar 2 adalah grafik degradasi luas hutan alam kawasan ekosistem halimun dalam periode 1989-2004 berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo et al. (2008).


(19)

Gambar 2 Perubahan luas hutan alam dan penanaman. (Sumber: Prasetyo et al. 2008).

Selama periode 1989-2004, hutan alam terdegradasi, sedangkan aksi penanaman relatif stabil. Hutan yang terdegradasi diiringi dengan bertambah luasnya tutupan lahan yang lain seperti lahan pertanian, pemukiman dan semak belukar. Hal ini wajar terjadi karena lahan hutan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha pertanian dan sebagian lain menggunakan sebagai wilayah pemukiman. Banyaknya pemukiman menjadi implikasi adanya pertambahan jumlah penduduk. Gambar 3 menunjukkan perbandingan antara perubahan luas hutan dan luas lahan untuk penggunaan lain, yaitu: pemukiman, lahan pertanian, dan semak belukar.

Gambar 3 Perubahan luas hutan dan penggunaan lain: pemukiman, lahan pertanian, semak belukar. (Sumber: Prasetyo et al.2008).

Faktor ekonomi seringkali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan Taman Nasional. Hal ini


(20)

erat hubungannya dengan upaya masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Terdapat indikasi bahwa luas kepemilikan lahan garapan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS belum dapat memberikan hasil untuk memenuhi tingkat kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Yatap (2008) kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga (RT) miskin.

Luas kepemilikan lahan garapan sebagian besar anggota masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNGHS tergolong sempit (<0,25 hektar) (Gunawan 1999; Mudofar 1999; dan Harada 2005 dalam Yatap 2008). Kehidupan masyarakat masih tergantung pada kegiatan pertanian (Gunawan 1999; Budiman & Adhikerana dalam Yatap 2008). Hal ini mendorong masyarakat melakukan kegiatan ilegal dalam pemenuhan kebutuhannya, seperti: perambahan hutan, penambangan emas tanpa ijin, dan perburuan satwa (Widada 2004).

Pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS telah memberikan dampak terhadap aktivitas kehidupan masyarakat. Terdapat berbagai bentuk pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan di kawasan TNGHS antara lain: pengambilan kayu untuk bangunan dan peralatan rumah tangga, kayu bakar, rotan, tanaman hias, tumbuhan makanan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang diperlukan untuk perlengkapan upacara adat.

Terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa semakin sempit penguasaan lahan masyarakat dan semakin dekat jarak tempat tinggal masyarakat dari hutan, maka perilaku masyarakat terhadap tingkat pelestarian sumberdaya hutan akan semakin rendah (Gunawan 1999).

Sebelum penunjukan areal konservasi TNGHS, masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal. Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Studi yang dilakukan oleh Nurhaeni (2009) di Desa Cirompang, salah satu desa di sekitar kawasan TNGHS, menunjukkan bahwa hutan di desa tersebut sampai pada masa Perhutani dibiarkan tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Setelah penunjukan areal konservasi masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan. Masyarakat tidak memiliki akses terhadap hutan.


(21)

3.2 Desa Cipeuteuy

3.2.1 Letak dan Luas

Secara administratif, Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa Cipeuteuy berbatasan dengan Desa Cihamerang di sebelah selatan, Desa Kabandungan di sebelah Timur yang masih dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Sedangkan batas sebelah Utara dan sebelah Barat adalah Desa Malasari dan Desa Purwabakti yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bogor. Desa Cipeuteuy terletak sekitar 56 kilometer dari Ibukota Kabupaten Sukabumi dan 3 kilometer dari Kota Kecamatan Kabandungan. Sedangkan jarak dari ibu kota provinsi adalah 135 kilometer dan dari ibu kota negara adalah 106 kilometer.

Desa Cipeteuy adalah desa pemekaran dari Desa Kabandungan yang mengalami pemekaran pada tahun 1980 menjadi Desa Kabandungan dan Desa Cipeuteuy. Desa Cipeuteuy terdiri dari 5 dusun dimana masing-masing dusun terdiri dari beberapa kampung. Dusun-dusun tersebut adalah Dusun Arendah yang terdiri dari Kampung Arendah, Babakan dan Parigi 1; Dusun Cipeuteuy yang hanya terdiri Kampung Cipeuteuy; Dusun Cisarua terdiri dari Kampung Babakan dan Cisarua; Dusun Leuwiwaluh terdiri dari Kampung Leuwiwaluh, Kampung Sawah, Kebon Genep, Dramaga dan Cilodor; serta Dusun Pandan Arum yang terdiri Kampung Sukagalih, Pasir Majlis, Pasir Badak, Cisalimar1, Cisalimar2, Pandan Arum dan Pasir Masigit.

3.2.2 Kondisi fisik

Topografi wilayah Desa Cipeuteuy berupa dataran tinggi berbukit dengan ketinggian 750-850 meter di atas permukaan air laut (mdpl) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.600 mm/tahun. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April, musim kemarau berlangsung bulan Mei-September. Suhu rata-rata harian adalah 3 Celcius.

3.2.3 Penggunaan lahan

Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah 3.746,6 ha dengan pemanfaatan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.


(22)

Tabel 2 Luas wilayah Desa Cipeuteuy menurut penggunaannya tahun 2011

Penggunaan Lahan Luas (ha) Persen

Hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 2.115,0 56, 45

Perkebunan (eks HGU PT. Intan Hepta) 583,0 15,56

Sawah Irigasi 545,0 14,55

Kebun Campuran 496,2 13,24

Pemukiman 4,6 0,13

Sawah Tadah Hujan 2,8 0,07

Total 3.746,6 100,00

Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2011

Sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 2.115 ha atau sekitar 56,45% dari total luas wilayah desa. Luas lahan kedua adalah kawasan perkebunan (eks HGU Perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta) yang mencakup 583 ha atau sekitar 15,56% dari total wilayah desa. Selanjutnya penggunaan lahan mencakup areal sawah irigasi, kebun campuran, pemukiman dan persawahan tadah hujan. Baik lahan hutan TNGHS dan Eks perkebunan Intan Hepta adalah lahan milik negara. Jika dijumlahkan maka luas lahan milik negara di Desa Cipeuteuy mencakup 2.698 ha atau sekitar 72,01% dan lahan milik hanya sekitar 27,99%. Lahan pertanian yang merupakan tanah milik masyarakat yang berupa sawah irigasi, kebun campuran dan sawah tadah hujan hanya sekitar 1043,95 ha atau sekitar 27,86% total wilayah desa. Luas lahan milik berdasarkan sertifikat, akta jual beli, girik, dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) adalah seluas 650 ha atau sekitar 17,35% dari total luas lahan.

Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada awalnya merupakan wilayah Perhutani yang dialihkan berdasarkan Surat Keputusan No.175 tahun 2003 yang berisi penetapan kawasan Perhutani sekitar 73.000 hektar sepanjang Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak untuk dialihkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Wacana pengalih-kelolaan hutan tersebut sesungguhnya sudah dimulai dari tahun 2003, namun baru terealisasikan pada tahun 2006. Gambar 4 menunjukkan lokasi wilayah Desa Cipeuteuy dan TNGHS.


(23)

(24)

Cantika (2008) menyebutkan bahwa meskipun telah ada penetapan zona lindung dan zona pemanfaatan, tetapi selama ini tidak ada nota kesepakatan yang jelas mengenai batas desa dengan Taman Nasional, sehingga belum ada batasan wilayah yang jelas antara wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan Desa Cipeuteuy. Saat penetapan tersebut sebagian besar kondisi kawasan berupa garapan tumpang sari petani masyarakat sekitar pada masa pengelolaan oleh Perhutani. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan, sebagian kawasan yang ditetapkan tersebut masih berupa lahan garapan pertanian masyarakat sekitar baik berupa sawah maupun pertanian lahan kering.

3.2.4 Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy pada tahun 2011 tercatat sebanyak 6.842 jiwa yang terdiri dari 3.503 jiwa (51%) laki-laki dan 3.339 jiwa (49%) perempuan. Jumlah tersebut berasal dari 1.777 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata sebanyak 4-5 orang jumlah anggota keluarga pada tiap KK-nya.

Menurut data potensi desa, penduduk yang termasuk ke dalam usia kerja berkisar dari umur 15 hingga 55 tahun, meskipun di lapangan banyak ditemukan penduduk yang menurut desa masuk dalam usia lanjut, namun masih dapat melakukan kegiatan usaha pertanian. Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk menurut kelas umurnya. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sejumlah 69% penduduk di Desa Cipeuteuy berusia diatas 15 tahun atau bisa dikatakan sebagai usia produktif. Sedangkan sisanya sebesar 31% adalah penduduk usia non produktif muda yaitu berusia dibawah 15 tahun.

Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut kelas umur tahun 2011

Umur Jumlah Persen

0 – 5 575 8,4

6 – 12 1136 16,6

13 – 15 438 6,4

16 – 18 506 7,4

> 18 4187 61,2

Total 6842 100,00


(25)

Berdasarkan Data Potensi Desa Cipeuteuy Tahun 2011, terdapat sekitar 1.256 penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani atau sekitar 31,4% dari total penduduk di desa yang bekerja. Sedangkan sejumlah 1.256 penduduk atau sekitar 31,4% bermata pencaharian sebagai buruh tani. Hal ini berarti bahwa mayoritas penduduk desa atau sejumlah 62,8% penduduk tergantung dari bidang pertanian. Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut jenis pekerjaannya.

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut jenis pekerjaan tahun 2011

Jenis pekerjaan Jumlah Persen

Petani 1256 31,4

Buruh tani 1256 31,4

Pedagang/Pengusaha/Wiraswasta 628 15,7

Karyawan swasta 419 10,5

Tukang 209 5,2

Jasa 209 5,2

PNS 12 0,3

Pensiunan 7 0,2

Total 3996 100

Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2011

Tidak semua petani di Desa Cipeuteuy menggarap lahan milik sendiri atau lahan yang memiliki sertifikat tanah. Dari keterangan aparat desa, banyak warga desa yang menggarap lahan eks HGU Perkebunan Intan Hepta. Lahan status quo tersebut mulai digarap oleh masyarakat sejak sekitar tahun 1996 – 1997 sebelum masa HGU (Hak Guna Usaha) habis pada tahun 2002. Saat ini, hampir seluruh lahan eks HGU PT Intan Hepta telah menjadi lahan garapan masyarakat.

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy tergolong masih rendah yaitu mayoritas adalah sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Hal ini terkait dengan jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai di desa ini. Tabel 5 berikut menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya dan Tabel 6 menunjukkan tingkat pendidikan Kepala Keluarga di Desa Cipeuteuy.


(26)

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

Tidak sekolah 2315 33,83

Pra sekolah (PAUD, TK) 35 0,51

SD 3078 44,99

SMP, MTs 769 11,24

SMA, SMK, MA 613 8,96

Perguruan Tinggi 32 0,47

Total 6842 100

Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2011

Tabel 6 Jumlah Kepala keluarga Desa Cipeuteuy berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

Tidak tamat SD 179 10,07

SD 870 48,96

SMP 523 29,43

SMA 175 9,85

Perguruan Tinggi 30 1,69

Total 1777 100

Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2011

Dari total jumlah kepala keluarga di desa, sejumlah 48,96% adalah lulusan Sekolah Dasar, 29,43% lulusan Sekolah Menengah Pertama, dan sejumlah 9,85% adalah lulusan Sekolah Menengah Atas. Jumlah Kepala Keluarga yang tamatan Perguruan Tinggi hanya berjumlah 30 orang atau sekitar 1,69% saja dari jumlah total kepala keluarga. Sisanya sebesar 10,07% adalah kepala keluarga yang tidak tamat SD atau tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali.

3.2.5 Aksesibilitas

Desa ini dapat dicapai melalui dua jalur, yaitu: jalur yang melewati Jalan Raya Sukabumi dan jalan alternatif melalui Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Jalur Sukabumi dapat ditempuh dengan menggunakan mobil colt jurusan Sukabumi atau bus jurusan Sukabumi-Bogor hingga terminal Parung Kuda.


(27)

Setelahnya hanya terdapat angkutan khusus menuju Desa Cipeuteuy yang akan mengantarkan hingga terminal Desa Cipeuteuy. Kondisi jalan dari terminal Parung Kuda menuju desa ini adalah jalan aspal yang sudah mengalami beberapa kerusakan, namun masih cukup baik untuk jalur transportasi.

Sedangkan jalur dari Leuwiliang hanya dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi karena jalur ini tidak dilewati kendaraan umum. Jalur Leuwiliang ini melewati kawasan TNGHS dan PT Perkebunan Nusantara VIII Cianten. Kondisi jalan ini kurang baik dan berbatu-batu, sehingga jika menggunakan kendaraan harus kendaraan yang kuat. Jalur ini cukup sering digunakan sebagai jalur transportasi alternatif karena jalur utama Sukabumi – Bogor sering mengalami kemacetan. Jalur ini merupakan jalur utama distribusi hasil pertanian dari desa ke daerah Bogor.

Antar dusun di Desa Cipeuteuy dihubungkan dengan jalan aspal yang pada beberapa tempat sudah mulai rusak, kecuali pada jalan utama menuju Dusun Pandan Arum yang memiliki jalan yang cukup baik. Jalan tersebut baru dibangun beberapa tahun lalu dengan didanai oleh bantuan pemerintah. Selain jalan aspal utama yang menghubungkan dusun-dusun, banyak pula jalan-jalan kecil yang menghubungkan antara kampung-kampung yang merupakan permukiman yang sebagian besar letaknya menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil. Jalan penghubung permukiman tersebut sebagian besar merupakan jalan tanah atau jalan berbatu yang cukup sulit dilalui kendaraan. Gambar 5 menunjukkan kondisi jalan Desa Cipeuteuy.

Gambar 5 Kondisi Jalan Desa Cipeuteuy. Ket: (A) Jalan utama penghubung antar dusun yang sudah rusak; (B) Jalan penghubung permukiman-permukiman di satu dusun.


(28)

Di desa ini dijangkau oleh sinyal telepon seluler dari berbagai operator, namun jika di kampung-kampung yang terletak di dekat hutan, hanya sinyal-sinyal operator tertentu saja yang dapat menjangkaunya. Di pusat desa terdapat sebuah warnet (warung internet) yang biasa digunakan oleh warga desa yang umumnya kaum muda.

3.2.6 Sejarah desa

Desa Cipeuteuy adalah desa Sunda Lokal di sekitar TNHGS. Pada awalnya masyarakat desa Cipeteuy adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya. Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum pada jaman penjajahan Belanda.

Cantika 2008 menyebutkan bahwa Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta, dan masuknya program-program kemasyarakatan.

Pada masa Belanda, semua orang yang ada di desa adalah pekerja perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan untuk pertanian, terlebih membuka hutan. Mereka tinggal pada bedeng-bedeng yang telah disediakan dan kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh perkebunan. Pihak perkebunan telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu, dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kapak.

Pada masa pendudukan Jepang selama periode tahun 1942-1945, masyarakat mengalami perubahan kehidupan. Perkebunan teh dibakar dan dirusak dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian dengan hasil yang harus diserahkan kepada Jepang. Pada saat itulah banyak kampung-kampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai banyak dibangun, sawah-sawah dan pemukiman mulai muncul.

Pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan bekas perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Sampai pada tahun 1975 lahan bekas perkebunan kembali digunakan untuk kawasan perkebunan dengan dimulainya Hak Guna Usaha (HGU) PT Intan Hepta yang


(29)

bergerak dalam bidang perkebunan cengkeh. Pada masa ini, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja. Tidak semua masyarakat bekerja di perkebunan, sebagian yang lain bekerja di bidang pertanian atau bekerja dikota, sehingga masyarakat tidak sepenuhnya lagi tergantung dengan perkebunan.

Pada sekitar awal tahun 1990, perkebunan PT Intan Hepta mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan sebelum HGU habis pada tahun 2002. Pada tahun-tahun itu pula mulai banyak lahan-lahan perkebunan yang terlantar. Sekitar tahun 1996-1997 masyarakat desa mulai menggarap lahan perkebunan yang terlantar dan masih berlangsung sampai saat ini.


(30)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Kerangka Pemikiran

Hubungan interaksi masyarakat dengan hutan selalu berjalan dinamis yaitu perubahan merupakan suatu hal yang wajar. Hal ini sejalan dengan perubahan sosial budaya yang menurut Lauer (1989) merupakan sesuatu yang normal dan berkelanjutan. Perubahan terjadi sebagai tanggapan atas kekuatan eksternal yang menimpa suatu masyarakat dan perubahan tersebut diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan (Lauer 1989).

Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan hutan merupakan wujud dari aktivitas sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Alikodra (1987) interaksi masyarakat desa dengan hutan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: adat-istiadat dan budaya masyarakat, jenis mata pencaharian, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan tingkat pertumbuhan penduduk. Perubahan pada faktor-faktor tersebut dapat mendorong terjadinya perubahan interaksi.

Masyarakat Desa Cipeuteuy merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan TNGHS dan memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan hutan di sekitarnya. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat dan kawasan hutan telah mendorong terjadinya perubahan interaksi antara masyarakat dengan hutan.

Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan hutan membentuk pola-pola interaksi yang khas. Pola yang digunakan dalam penelitian di Desa Cipeutuey adalah berdasarkan penggunaan lahan, sehingga ada tiga pola interaksi, yaitu: pola dengan penggunaan lahan, pola tanpa penggunaan lahan, pola tanpa interaksi. Pola tanpa penggunaan lahan dapat disebut sebagai pola pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan karena masyarakat berinteraksi dengan hutan hanya melalui pemanfaatan hasil hutan tanpa menduduki lahan yang bersangkutan. Perubahan pola interaksi yang terjadi dapat berarti bahwa interaksi yang dilakukan berubah dari satu pola ke pola yang lain.


(31)

Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan hutan sangat berpengaruh terhadap kelestarian suatu kawasan hutan. Perubahan interaksi yang terjadi di Desa Cipeuteuy penting untuk diketahui untuk menghindari interaksi yang bersifat negatif karena dapat mengancam kelestarian hutan. Gambar 6 menunjukkan kerangka pemikiran penelitian ini.

Gambar 6. Bagan alir kerangka pemikiran

4.2 Definisi Operasional

1. Pola Interaksi adalah pola yang terbentuk dari interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan yang di dalam penelitian ini didasarkan pada penggunaan lahan hutan oleh masyarakat. Terdapat tiga pola yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Pola penggunaan lahan: adalah penggunaan lahan oleh masyarakat untuk keperluan tertentu yang permanen/menahun. Contoh dari pola ini adalah penggunaan lahan hutan untuk pertanian menetap dan pemukiman.

Masyarakat

Kawasan TNGHS

Interaksi, 3 pola: 1. Penggunaan lahan 2. Pemanfaatan hasil hutan 3. Tanpa interaksi

Faktor pendorong perubahan (perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan pengelolaan kawasan)

Perubahan pola interaksi: dari pola satu ke pola lain


(32)

b. Pola pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan: adalah pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat tanpa menggunakan/menduduki lahan hutan yang bersangkutan. Contoh dari pola ini adalah pengambilan hasil hutan kayu atau non kayu.

c. Pola tanpa interaksi: yaitu masyarakat tidak menggunakan lahan hutan dan tidak mengambil hasil hutan sama sekali.

2. Perubahan pola interaksi adalah perubahan yang terjadi pada pola interaksi. Perubahan pola interaksi dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan/pemungutan hasil hutan, atau tanpa interaksi.

b. Perubahan dari pola pemanfaatan/pemungutan hasil hutan menjadi penggunaan lahan atau tanpa interaksi.

c. Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi penggunaan lahan atau pemanfaatan/pemungutan hasil hutan

3. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang tinggal di dalam satu rumah dan makan dari satu dapur. Klasifikasi jumlah anggota keluarga, sebagai berikut:

a. Rendah : jika jumlah anggota keluarga 2 – 4 orang b. Sedang : jika jumlah anggota keluarga 4 – 7 orang c. Tinggi : jika jumlah anggota keluarga > 7 orang

4. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan resmi yang dilakukan. Klasifikasi tingkat pendidikan, sebagai berikut:

a. Rendah : tidak sekolah, tidak tamat SD, atau lulus SD b. Sedang : lulus SMP, atau SMA

c. Tinggi : lulus akademi, atau perguruan tinggi

5. Tingkat pendapatan adalah besarnya pendapatan keluarga dalam satu bulan dengan klasifikasi, sebagai berikut:

a. Rendah : pendapatan kurang dari Rp. 500.000,00

b. Sedang : pendapatan antara Rp.500.000, 00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00

c. Tinggi : pendapatan lebih dari Rp. 1.000.000,00 6. Tingkat umur adalah usia responden pada saat penelitian


(33)

a. Rendah : usia non produktif muda < 15 tahun b. Sedang : usia produktif 15 – 65 tahun

c. Tinggi : usia non produktif tua > 65 tahun

7. Lama bermukim adalah lamanya seseorang tinggal di desa yang diukur dalam satuan tahun sejak dia tinggal di desa sampai pada saat penelitian dilakukan.

8. Lama penggunaan lahan hutan adalah lamanya seseorang menggunakan lahan hutan untuk aktivitas pertanian maupun permukiman yang diukur dalam satuan tahun sejak dia menggunakan lahan hutan sampai pada saat penelitian dilakukan.

9. Luas lahan hutan yang digunakan adalah luas lahan dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian maupun permukiman dengan klasifikasi, sebagai berikut:

a. Sempit : luas lahan < 0,25 ha b. Sedang : luas lahan 0,25 ha – 0,5 ha c. Luas : luas lahan > 0,5 ha

10.Luas penguasaan lahan non hutan adalah luas lahan yang digunakan oleh masyarakat yang berada di luar kawasan hutan dengan klasifikasi, sebagai berikut:

a. Sempit : luas lahan < 0,25 ha b. Sedang : luas lahan 0,25 ha – 0,5 ha c. Luas : luas lahan > 0,5 ha

4.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua dusun, yaitu: Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua yang keduanya terletak di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilakukan selama satu bulan terhitung dari 27 Mei sampai 27 Juni 2011.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan dua hal, sebagai berikut:

1. Dusun Pandan Arum dan Cisarua adalah dusun di Desa Cipeuteuy yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional Halimun


(34)

Salak dan merupakan salah satu desa dengan interaksi masyarakatnya yang cukup tinggi dengan hutan.

2. Masyarakat di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua diketahui telah melakukan perubahan pola interaksi dengan hutan sekitarnya.

4.4 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Wawancara dilakukan terhadap kepala rumah tangga masyarakat yang tinggal di desa penelitian dengan pengambilan contoh (sampel).

4.5 Data dan Informasi yang Dikumpulkan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga yang tinggal di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua, Desa Cipeuteuy. Penetapan responden Kepala Keluarga (KK) didasarkan pertimbangan bahwa KK dapat mewakili karena mengetahui seluk-beluk kehidupan keluarganya dan lingkungan tempat ia tinggal dan bekerja.

Data primer didapatkan dari responden melalui wawancara untuk mendapatkan informasi, sebagai berikut:

1. Data umum responden : nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan kepemilikan lahan pertanian.

2. Karakteristik sosial ekonomi responden : umur, lama bermukim di desa, luas lahan pertanian di dalam hutan, luas lahan pertanian di luar hutan, lama menggarap di hutan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan rata-rata perbulan.

3. Interaksi yang dilakukan dengan hutan dan bentuk-bentuk perubahan pola interaksinya, melalui pemanfaatan hasil hutan, penggunaan wilayah hutan dan kegiatan lain.

4. Faktor-faktor yang mendorong perubahan interaksi tersebut.

Data sekunder dikumpulkan dan diperoleh dari berbagai sumber antara lain petani, instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder mencakup keadaan lingkungan baik fisik maupun sosial ekonomi masyarakat


(35)

yang telah tersedia baik di tingkat desa, kecamatan maupun instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

1. Kondisi umum lokasi penelitian meliputi: letak dan keadaan fisik lingkungan.

2. Data umum penduduk meliputi: monografi desa, jumlah penduduk, struktur umur, tingkat pendidikan masyarakat, dan mata pencaharian. 3. Berbagai literatur yang terkait tema penelitian.

Secara lengkap Tabel 7 berikut memuat data yang diambil untuk penelitian ini.

Tabel 7 Jenis data yang diambil dalam penelitian

Jenis Data Sumber Data Metode

Pengumpulan Data

Alat dan Bahan A. Data Primer

1. Tingkat umur responden* 2. Jumlah anggota keluarga* 3. Tingkat pendidikan 4. Mata pencaharian 5. Tingkat pendapatan* 6. Luas penguasaan lahan

pertanian non hutan*

7. Jenis interaksi dengan hutan 8. Jenis/bentuk penggunaan

kawasan di dalam kawasan hutan

9. Perubahan interaksi dengan hutan

10.Alasan perubahan interaksi 11.Tahun dan lama bermukim* 12.Pendapatan/pengeluaran 13.Riwayat desa/kampung 14.Lokasi penggunaan lahan

Responden Wawancara, pengisian kuisioner serta observasi lapangan Kamera, kuisioner


(36)

15.Lama menggarap lahan* 16.Jumlah lahan yang dikuasai

B. Data Sekunder 1. Peta wilayah desa

2. Monografi Desa Cipeuteuy 3. Kondisi umum desa dan

TNGHS

Instansi pemerintah desa dan Pengelola TNGHS

Studi pustaka

(*) variabel sosial-eekonomi yang dianalisis dengan regresi

4.6 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, sebagai berikut: 1. Wawancara

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan responden. Wawancara dilakukan secara terstruktur maupun wawancara bebas. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner yang telah dipersiapkan yaitu pertanyaan secara langsung disampaikan oleh peneliti. Sedangkan wawancara bebas dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang masih berkaitan dengan penelitian. Wawancara juga dilaksanakan dengan mencoba mengingatkan kembali (recalling) responden terhadap keadaan mereka di masa yang lalu. 2. Observasi

Data dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.

3. Teknik pencatatan

Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian dilakukan dengan pencatatan data dari desa, kecamatan, dinas terkait dan instansi lainnya. 4.7 Metode Pengambilan Contoh

Pemilihan responden sebagai unit contoh dilakukan dengan metode random sampling yaitu penentuan contoh dilakukan secara acak. Populasi adalah masyarakat yang berinteraksi atau pernah berinteraksi dengan kawasan TNGHS di dua dusun penelitian. Jumlah populasi dalam penelitian ini tidak diketahui secara pasti karena tidak tersedia data penunjang. Jumlah responden dalam


(37)

penelitian ini adalah sebanyak 84 responden yang berasal dari dua dusun yaitu 44 responden di Dusun Cisarua dan 40 responden di Dusun Pandan Arum.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda, dengan keterangan sebagai berikut:

1. Analisis tabulasi dan deskriptif : berupa tabel dan gambar dari data-data hasil kuisioner, untuk mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan.

2. Analisis regresi linier berganda: untuk menduga besarnya pengaruh variabel-variabel sosial ekonomi terhadap luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat.

4.8.1 Analisis Tabulasi dan Deskriptif

Data-data perubahan pola interaksi yang didapatkan dari hasil wawancara dan kuisioner dianalisis secara tabulasi dan deskriptif. Tampilan data berupa tabel, yang menunjukkan bentuk-bentuk perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan di lokasi penelitian. Pengolahan data dan analisis data tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Pemeriksaan (editing) data yang terkumpul untuk memastikan kesempurnaan dan pengisian dari setiap instrumen pengumpulan data meliputi lengkapnya pengisian kuisioner, keterbacaan tulisan, kejelasan makna jawaban, kesesuaian jawaban, relevansi jawaban dan keseragaman satuan data.

2. Pemberian kode (coding) pada data yang terkumpul di setiap instrumen. Pemberian kode yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut macamnya.

3. Membuat kategori untuk mengklasifikasikan jawaban yaitu menggolongkan jawaban-jawaban ke dalam kategori tertentu.

4. Tabulasi data dan menghitung frekuensi pada masing-masing kategori jawaban.


(38)

4.8.2 Analisis Regresi Linier Berganda

Untuk menduga besarnya pengaruh variabel-variabel sosial ekonomi yang mempengaruhi luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakaat dilakukan dengan analisis regresi linier berganda. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan

software SPSS 17.0. Analisis regresi linier berganda dilakukan apabila terdapat dua atau lebih variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Variabel terikat (Y) adalah luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat. Variabel bebas (X) adalah variabel sosial ekonomi masyarakat.

Persamaan yang digunakan yaitu sebagai berikut :

Y = β0+ β1X1i + β2X2i + ……. + βjXji

Keterangan :

Y = luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat β0 = intersep

β1,β2,....,βn = kemiringan/slope

X1i, X2i,... Xji = variabel sosial ekonomi masyarakat

X1 = umur

X2 = lama bermukim di desa

X3 = luas lahan pertanian di luar hutan

X4 = lama menggarap di hutan

X5 = jumlah anggota keluarga

X6 = pendapaatan per bulan

Kriteria keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut :

H0 : Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani tidak berpengaruh nyata

terhadap luas penggunaan lahan

H1 : Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani berpengaruh nyata


(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan

5.1.1 Karakteristik Responden

Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih dalam kepemilikan dan penguasaan lahan serta benda-benda berharga. Heterogenitas status sosial dalam rumah tangga diduga mempengaruhi interaksinya terhadap hutan. Karakteristik responden baik secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh sebab itu pemahaman tentang karakteristik responden sebagai pengelola sumberdaya alam sangat penting artinya dalam upaya mempelajari interaksinya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data mencakup karakteristik responden seperti umur, latar belakang pendidikan, jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tingkat pendapatan dan luas lahan pertanian yang digarap. Deskripsi karakteristik responden bertujuan untuk memperjelas informasi yang didapat oleh penulis (Lampiran 1).

1. Umur

Dari 44 responden di Dusun Pandan Arum yang diwawancarai dalam penelitian ini, sebanyak 39 orang atau 88,6 % merupakan kategori usia produktif berumur diantara 15 – 65 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 5 orang atau 11,4% adalah penduduk dengan usia non produktif tua atau berumur lebih dari 65 tahun. Sedangkan untuk responden di Dusun Cisarua terdapat 39 orang atau 97,5 % responden yang termasuk dalam kategori usia produktif dan sisanya 1 orang atau 2,5 % merupakan kategori usia non produktif tua.

Meskipun tidak semua responden berada dalam usia produktif, dalam kenyataannya semua responden sampai saat ini masih aktif dalam kegiatan pertanian dan pengelolaan lahan di lapangan. Hanya saja intensitas dan frekuensinya lebih sedikit daripada mereka yang berada dalam usia produktif. Meskipun usia beberapa responden tersebut sudah memasuki usia non produktif


(40)

tua atau sudah berusia di atas 65 tahun, mereka masih tetap harus menanggung beban keluarga masing-masing meskipun tidak terlalu banyak dibanding responden yang masih dalam usia produktif.

Responden dengan usia non produktif muda tidak ada karena tidak ditemui kepala keluarga yang berumur dibawah 15 tahun. Hal ini dikarenakan saat ini sangat jarang ditemui pernikahan untuk laki-laki yang masih berusia di bawah 15 tahun di Desa Cipeuteuy. Rata-rata usia menikah laki-laki yang akan menjadi kepala keluarga baru adalah 20 tahun.

2. Pendidikan

Dari keseluruhan responden di Dusun Pandan Arum terdapat 42 kepala keluarga atau 95,4% yang berpendidikan tergolong rendah yaitu mereka yang tidak pernah bersekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Sedangkan di Dusun Cisarua terdapat 36 responden atau 90% responden berpendidikan rendah. Responden dengan pendidikan sedang yaitu lulus SMP dan SMA di Dusun Pandan Arum terdapat 2 orang (4,6%) dan di Dusun Cisarua sebanyak 4 orang (10%). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu yang lulus perguruan tinggi. Dari data monografi desa tercatat jumlah lulusan Perguruan Tinggi di Desa Cipeuteuy hanya berjumlah 32 orang atau sekitar 0,47%. Hampir semua lulusan perguruan tinggi di desa, tidak menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama, sehingga dalam penelitian ini tidak ditemui responden dengan tingkat pendidikan tinggi.

3. Jumlah anggota keluarga

Secara umum jumlah anggota keluarga rumah tangga responden di Dusun Pandan Arum adalah rendah yaitu rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4-5 orang. Sebanyak 65,9% atau 29 responden di Dusun Pandan Arum termasuk dalam kategori jumlah anggota keluarga rendah. Sedangkan jumlah anggota keluarga sedang berjumlah 5 sampai dengan 7 orang sebanyak 14 kepala keluarga atau sekitar 31,8%. Sisanya sebanyak 2,3% adalah rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga tinggi yaitu jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang.

Sedangkan responden di Dusun Cisarua lebih banyak termasuk dalam kategori jumlah anggota keluarga sedang dengan jumlah anggota 5 sampai 7


(41)

orang. Jumlah responden kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang adalah 52,5%, kemudian untuk kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil sebanyak 45%, dan sisanya 2,5% adalah responden dengan jumlah anggota keluarga besar.

4. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan responden di kedua Dusun Penelitian berkisar antara Rp.300.000 sampai dengan Rp.1.500.000 tiap bulannya. Berdasarkan kisaran tersebut maka responden dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: responden dengan pendapatan < Rp.500.000 , Rp.500.000 – Rp.1.000.000, dan >Rp.1.000.000.

Sebanyak 54,6% responden di Dusun Pandan Arum memiliki rata-rata pendapatan perbulan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000. Responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 20,4% dan responden dengan pendapatan lebih besar dari satu juta adalah 25%. Sedangkan rata-rata pendapatan tiap bulan responden di Dusun Pandan Arum sebesar Rp.710.227,30.

Sebanyak 57,5% responden di Dusun Cisarua memiliki rata-rata pendapatan perbulan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000. Responden dengan pendapatan lebih besar dari satu juta adalah 35% dan responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 7,5%. Rata-rata pendapatan responden di Dusun Cisarua adalah Rp.858.750 tiap bulan.

5. Luas Lahan Garapan

Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 22 orang (50%) memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha (2500m2). Responden dengan luas lahan sedang (antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha) sebanyak 6 orang (13,6%). Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 16 orang (36,4%).

Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 13 orang (32,50%) memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha (2500m2). Responden dengan luas lahan sedang (antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha) sebanyak 12 orang (30%). Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 15 orang (37,50%).


(42)

Secara umum responden di Dusun Pandan Arum menggarap lahan yang lebih sempit dibanding di Dusun Cisarua. Rata-rata luas lahan garapan responden di Dusun Pandan Arum adalah 4.850 m2 (0,485 ha) dan luas lahan garapan responden di Dusun Cisarua adalah 6.575 m2 (0,6575 ha). Sebanyak separuh responden di Dusun Pandan Arum adalah petani dengan lahan garapan seluas kurang dari 0,25 ha.

5.1.2 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Sejak dulu hingga saat ini masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada produksi dan jasa hutan. Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai sumberdaya di satu sisi dan masyarakat sekitar hutan di sisi lain yang mempunyai jalinan ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan (Sutaryono 2008).

Masyarakat sekitar hutan semakin hari semakin terpinggirkan dan taraf kehidupannya memprihatinkan. Terbatasnya akses pada sumberdaya hutan, terbatasnya kesuburan dan luas lahan yang dimiliki, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang relatif rendah yang diikuti dengan jumlah pendapatan yang rendah merupakan faktor-faktor yang menyebabkannya (Sutaryono 2008). Kondisi demikian cenderung menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian sebuah kawasan hutan.

Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan dalam penelitian ini adalah berdasarkan perubahan penggunaan lahan hutan oleh masyarakat di Dusun Cisarua dan Pandan Arum. Terdapat tiga pola interaksi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Pola dengan penggunaan lahan: adalah penggunaan lahan oleh masyarakat untuk keperluan tertentu yang permanen/menahun. Contoh dari pola ini adalah penggunaan lahan hutan untuk pertanian menetap dan pemukiman. 2. Pola pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan: adalah pemanfaatan lahan

hutan oleh masyarakat tanpa menggunakan/menduduki lahan hutan yang bersangkutan. Contoh dari pola ini adalah pengambilan hasil hutan kayu atau non kayu.

3. Pola tanpa interaksi: yaitu masyarakat tidak menggunakan lahan hutan dan tidak mengambil hasil hutan sama sekali.


(43)

Perubahan pola interaksi yang dilakukan oleh responden adalah perubahan dari satu pola ke pola lainnya. Dalam penelitian ini, perubahan pola interaksi dibatasi hanya pada satu tahap perubahan saja, yaitu perubahan pola interaksi sebelum saat ini menjadi pola interaksi yang dilakukan saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan pola interaksi yang mungkin terjadi adalah 6 (enam) pola perubahan.

Tidak semua masyarakat mengubah interaksinya dengan lingkungan sekitar. Pada beberapa masyarakat ditemui adanya hubungan yang relatif konstan dengan hutan. Dalam konteks penelitian ini, ditemui beberapa responden yang tidak mengalami perubahan pola interaksi. Tabel 8 berikut menyatakan besarnya responden beserta perubahan interaksi yang dilakukannya.

Tabel 8 Perubahan pola interaksi responden di kedua dusun penelitian

Pola perubahan Cisarua Pandan Arum

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Pola 1 2 4,5 0 0

Pola 2 14 31,8 16 40,0

Pola 3 6 13,7 4 10,0

Pola 4 0 0 3 7,5

Pola 5 20 45,5 13 32,5

Pola 6 0 0 0 0

Tidak berubah 2 4,5 4 10,0

Total 44 100,00 40 100,00

Keterangan : Pola perubahan interaksi adalah sebagai berikut:

1. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan. 2. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi.

3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan. 4. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi. 5. Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi penggunaan lahan.

6. Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi pemanfaatan hasil hutan.

Perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua tidak jauh berbeda. Terdapat dua pola perubahan yang paling banyak dilakukan oleh responden, yaitu: pola 2 dan pola 5. Pola 2 adalah perubahan dari interaksi dengan penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Sedangkan pola 5 adalah perubahan dari tanpa interaksi menjadi penggunaan


(44)

lahan. Kedua pola tersebut saling berlawanan dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat di kedua dusun tersebut.

Di Dusun Pandan Arum terdapat 20 responden (45,5%) dengan perubahan interaksi pola 5 dan 14 responden (31,8%) dengan perubahan interaksi pola 2. Sisanya adalah responden dengan perubahan pola 3 sebanyak 6 (13,7%), perubahan pola 1 sebanyak 2 responden (4,5%) dan 2 responden yang tidak melakukan perubahan interaksi.

Di Dusun Cisarua terdapat 16 responden (40%) dengan perubahan interaksi pola 2 dan sebanyak 13 responden (32,5%) yang melakukan perubahan interaksi pola 5. Sisanya adalah 4 responden (10%) dengan perubahan interaksi pola 3 dan 3 responden (7,5%) yang melakukan perubahan pola 4. Responden yang tidak melakukan perubahan interaksi sebanyak 4 orang atau 10% dari total responden di Dusun Cisarua.

Secara keseluruhan responden di kedua dusun paling banyak melakukan perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi pola penggunaan lahan yaitu pola 5. Perubahan kedua paling banyak dilakukan oleh masyarakat dikedua dusun adalah perubahan pola 2 yakni dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Tabel 9 berikut ini menyajikan persentase jumlah responden di kedua dusun yang melakukan perubahan pola interaksi.

Tabel 9 Perubahan pola interaksi responden keseluruhan

Pola perubahan Jumlah Persentase (%)

Pola 1 2 2,4

Pola 2 30 35,7

Pola 3 10 11,9

Pola 4 3 3,6

Pola 5 33 39,3

Pola 6 0 0

Tidak berubah 6 7,1

Total 84 100

Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan merupakan respon masyarakat terhadap suatu perubahan yang terjadi. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Cisarua dan Pandan Arum serta Desa Cipeuteuy umumnya merupakan respon terhadap perubahan yang terjadi pada berbagai hal


(45)

yang mempengaruhinya. Adanya perubahan pengelolaan hutan, perubahan kondisi lingkungan, dan perubahan kondisi di dalam masyarakat merupakan beberapa hal yang mempengaruhinya.

Masyarakat di Desa Cipeuteuy adalah masyarakat yang berada di lingkungan sekitar hutan dan perkebunan. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada pertanian dan perkebunan. Perkebunan yang berada di desa ini adalah perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta yang sudah bangkrut sejak sekitar tahun 1993. Pada waktu perkebunan cengkeh masih beroperasi, banyak warga desa yang menjadi tenaga kerja di perkebunan tersebut. Selain itu Desa Cipeuteuy juga terletak tidak terlalu jauh dengan perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten. Beberapa warga desa bekerja di perkebunan teh sampai saat ini meskipun tidak terlalu banyak. Sebagian besar masyarakat yang lain bermata pencaharian di bidang pertanian yaitu sebagai petani pemilik lahan maupun sebagai buruh tani.

Tidak semua masyarakat yang bermata pencaharian petani memiliki lahan yang cukup luas atau bahkan tidak memiliki lahan pertanian sama sekali atau tuna kisma. Sebagian besar dari petani berlahan sempit tersebut memanfaatkan lahan kawasan hutan sebagai lahan pertanian tambahan atau lahan pertanian utama bagi petani tuna kisma. Meskipun lahan hutan tidak terlalu bagus untuk lahan pertanian, namun masyarakat petani merasa tidak mempunyai pilihan lain selain menggarap lahan di kawasan hutan.

Interaksi masyarakat dengan hutan di Desa Cipeuteuy dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penggunaan lahannya. Interaksi yang pertama adalah interaksi yang dilakukan tanpa menggunakan lahan hutan secara langsung. Kelompok yang termasuk dalam interaksi ini adalah pemungutan hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Sedangkan interaksi yang kedua adalah interaksi yang dilakukan dengan pemanfaatan lahan secara langsung, yaitu untuk lahan pertanian.


(1)

(2)

Lampiran 1 Karakteristik responden penelitian Karakteristik sosial

ekonomi

Kategori Dsn Pandan Arum Dsn Cisarua Seluruh responden

∑ % ∑ % ∑ %

Umur (tahun) 1. non produktif muda <15 0 0 0 0 0 0

2. produktif 15-65 39 88,6 39 97,5 78 92,9

3. non produktif tua >65 5 11,4 1 2,5 6 7,1

Total 44 100,0 40 100,0 84 100,0

Pendidikan 1. Rendah (< SD) 42 95,4 36 90,0 78 92,9

2. Sedang (SMP, SMA) 2 4,6 4 10,0 6 7,1

3. Tinggi (Perguruan Tinggi) 0 0 0 0 0 0

Total 44 100,0 40 100,0 84 100,0

Jumlah Anggota Keluarga

1. Rendah, < 5 orang 29 65,9 18 45,0 47 55,9

2. Sedang, 5 – 7 orang 14 31,8 21 52,5 35 41,7

3. Tinggi, > 7 orang 1 2,3 1 2,5 2 2,4

Total 44 100,0 40 100,0 84 100,0

Tingkat pendapatan (Rp)

1. rendah <500.000 9 20,4 3 7,5 12 14,3

2. sedang 500.000 – 1.000.000 24 54,6 23 57,5 47 55,9

3. tinggi >1.000.000 11 25,0 14 35,0 25 29,8

Total 44 100,0 40 100,0 84 100,0

Luas lahan (ha) 1. Sempit < 0,25 ha 22 50,0 13 32,5 35 41,7

2. Sedang 0,25 ha – 0,5 ha 6 13,6 12 30,0 18 21,4

3. Luas > 0,5 ha 16 36,4 15 37,5 31 36,9


(3)

Lampiran 2 Luas lahan garapan di dalam hutan dan karakteristik sosial ekonomi responden di Dusun Pandan Arum dan Cisarua

No. responden Lahan garapan di hutan (m2) Umur (tahun) Lama bermukim (tahun) Lahan garapan di luar (m2) Lama garapan di hutan (tahun) Jumlah anggota keluarga Rata-rata pendapatan per bulan (Rp)

19p 300 27 9 2000 3 3 300000

20p 10000 82 82 2000 8 5 600000

21p 2500 42 42 2500 8 5 500000

22p 2000 45 45 1000 11 3 500000

23p 6000 63 63 12000 44 3 1000000

24p 1200 48 48 4000 10 4 500000

25p 1000 20 20 1000 10 3 500000

26p 800 29 29 1200 11 5 400000

27p 1200 40 40 8100 10 5 600000

28p 2500 23 23 12500 10 3 500000

29p 5000 28 28 2000 14 5 600000

30p 4000 51 51 4000 30 5 500000

31p 800 60 60 4000 37 3 600000

32p 1200 82 48 1200 38 3 500000

33p 1000 57 57 200 15 5 600000

34p 1200 35 35 2800 3 4 900000

35p 1600 33 33 0 6 1 300000

36p 1000 40 40 0 15 4 500000

37p 2000 37 3 0 3 4 1250000

38p 2000 27 3 0 3 3 400000

39p 1200 27 27 0 3 3 500000

40p 800 20 20 0 3 1 300000

41p 1200 50 50 0 15 3 900000

42p 1200 30 30 0 5 5 1000000

43p 1200 40 40 0 11 5 1500000

44p 1200 62 62 0 35 6 900000

20c 1200 39 18 800 3 7 500000

21c 200 51 14 1200 9 7 700000

22c 1000 80 11 1200 6 4 300000

23c 800 45 45 1600 2 5 500000

24c 1200 45 45 2000 8 3 450000

25c 4000 61 61 2000 16 6 1500000

26c 2000 52 52 10000 16 5 1000000

27c 800 43 43 1500 36 6 1500000

28c 6000 55 41 20000 7 5 1500000

29c 1200 46 46 2000 1 7 900000

30c 2000 45 45 1200 1 6 600000

31c 2000 35 35 2500 1 5 500000

32c 1600 45 45 2500 2 6 550000


(4)

Lampiran 2 (Lanjutan) No.

responden

Lahan garapan

di hutan

(m2)

Umur (tahun)

Lama bermukim

(tahun)

Lahan garapan

di luar (m2)

Lama garapan

di hutan (tahun)

Jumlah anggota keluarga

Rata-rata pendapatan

per bulan (Rp)

34c 2000 57 57 1200 1 5 1000000

35c 2400 34 34 0 1 4 500000

36c 1200 37 37 0 16 5 900000

37c 2400 48 6 0 6 3 900000

38c 1200 55 55 0 16 4 1000000

39c 2000 40 16 0 16 6 1500000

40c 6000 48 48 0 16 6 1500000

Ket : Nomor responden 2c berarti responden kedua dari Dusun Cisarua, dan 2p berarti responden ke 2 dari Dusun Pandan Arum, begitu seterusnya.


(5)

Lampiran 3 Perubahan pola interaksi masyarakat di Dusun Pandan Arum dan Cisarua

Dusun Pandan Arum Dusun Cisarua

No. responden Perubahan pola No. responden Perubahan pola

1p 0 1c 2

2p 2 2c 2

3p 2 3c 2

4p 2 4c 2

5p 2 5c 2

6p 2 6c 2

7p 2 7c 2

8p 2 8c 2

9p 2 9c 2

10p 2 10c 2

11p 1 11c 2

12p 2 12c 2

13p 2 13c 0

14p 1 14c 0

15p 2 15c 2

16p 0 16c 2

17p 2 17c 4

18p 2 18c 2

19p 5 19c 4

20p 5 20c 5

21p 5 21c 5

22p 5 22c 5

23p 5 23c 5

24p 5 24c 5

25p 5 25c 3

26p 5 26c 3

27p 5 27c 3

28p 5 28c 3

29p 3 29c 5

30p 3 30c 5

31p 3 31c 5

32p 5 32c 0

33p 5 33c 0

34p 5 34c 4

35p 5 35c 5

36p 3 36c 5

37p 5 37c 5

38p 5 38c 5

39p 5 39c 5

40p 5 40c 2

41p 3

42p 5

43p 3


(6)

Dokumen yang terkait

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 57 72

Eksistensi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia (PAI) Pinang Lombang Di Desa Sei Raja Labuhan Batu 1974-2000

1 35 107

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 32 72

Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat

1 12 70

Relasi Geder dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

0 16 375

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

0 48 410

Industrialisasi di pedesaan dan perubahan struktur masyarakat petani di desa Pasawahan, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

0 7 169

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

0 8 50

Analisis Risiko Produksi Tomat dan Cabai Merah di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

1 7 259

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

2 29 200