Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Berkaitan dengan masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar masa di mana individu duduk di bangku sekolah menengah AliAsrori, 2004. Monks 1999 membagi masa remaja awal dalam rentang 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan dalam rentang 15 – 18 tahun dan masa remaja akhir dalam rentang 18 – 21 tahun. Umumnya di Indonesia usia 12-15 tahun merupakan usia bagi pelajar Sekolah Menengah Pertama. Monks 1999 menyatakan bahwa masa awal perkembangan remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi dan peralihan. Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih pada sebuah peralihan dari tahap perkembangan sebelumnya ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, dan pada masa ini individu mengalami perubahan-perubahan jasmani, kepribadian, intelektual, dan peranan di dalam keluarga maupun di lingkungan. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan sebagai konsekuensi dari masa peralihan atau masa transisi ini Gunarsa, 2003. Dengan kata lain, terjadi gejolak dalam diri remaja. Universitas Sumatera Utara 2 Perubahan-perubahan selama masa awal masa remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Hurlock 1999 menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode badai dan tekanan storm and stress yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga dikarenakan para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan keluarga, orangtua dan guru. Selain itu, remaja juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pengendalian perilaku sosialnya sendiri, sesuai dengan harapan sosial Hurlock, 1999. Jadi, dengan kata lain dapat dikatakan bahawa dalam berperilaku remaja dipengaruhi oleh emosi dan lingkungan sekitarnya. Perkembangan emosi pada remaja awal menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa ataupun situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental Yusuf, 2001. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang Universitas Sumatera Utara 3 dijalani di sekolah pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, seperti tawuran dan lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya Mu’tadin, 2002. Menurut Feldman Elliot 1990, pada saat remaja berhubungan dengan lingkungannya, remaja banyak dihadapkan pada hal-hal yang penuh resiko dan godaan. Hal tersebut lebih banyak terjadi dan lebih kompleks pada remaja dewasa ini daripada sebelumnya. Terdapat sebagian remaja yang dapat bertahan dengan lingkungan yang penuh bahaya dan godaan. Walaupun demikian, terdapat remaja yang tidak dapat bertahan dari godaan-godaan tersebut sehingga mereka putus sekolah, hamil di luar nikah, dan terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang Santrock, 1998. Keadaan- keadaan seperti ini sering dianggap oleh orang dewasa sebagai kenakalan remaja atau delinkuensi. Kenakalan remaja yang dalam bahasa ilmiah diistilahkan sebagai delinkuensi remaja, menurut Mulyono merupakan persoalan masyarakat luas dan telah menjadi masalah banyak pihak seperti orangtua, pendidik dan petugas negara. Kenakalan remaja bahkan telah menjadi masalah nasional karena remaja adalah tiang negara dan generasi penerus Kurniawan, 1998. Bynum Thompson 1996, mengartikan perilaku delinkuen sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran yang berat, perilaku pelanggaran tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan deviant yang sangat serius. Perilaku menyimpang Universitas Sumatera Utara 4 tersebut diartikan sebagai perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak dan harapan tersebut telah dilegitimasi oleh masyarakat luas. Perilaku delinkuen menurut Bynum dan Thompson 1996 dapat dibatasi dalam beberapa kategori yaitu, bolos sekolah, membeli atau mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan, bergaul dengan orang-orang yang suka melanggar peraturan, lari dari rumah, melawan aturan orang tua dan melanggar jam malam. Menurut Santrock 1998 kenakalan remaja merupakan masalah perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial acting out in school, status offenses running away, sampai pada perbuatan kriminal pencurian. Menurut Kartono 2006, delinkuen lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil. Maka dari itu kenakalan-kenakalan seperti itu sering dilakukan oleh para remaja. Saat masyarakat dunia semakin maju dengan meningkatnya kesejahteraan, kejahatan yang dilakukan remaja juga semakin marak. Telah tercatat di Indonesia, pada tahun 1970-an kenakalan remaja sudah menjurus pada kejahatan seperti tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan di siang hari, perbuatan seksual dalam perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan bahan narkotik. Kenakalan dan kejahatan remaja itu tidak hanya melibatkan anak-anak remaja putus sekolah saja, akan tetapi juga berjangkit di kalangan anak-anak remaja yang Universitas Sumatera Utara 5 masih aktif belajar di sekolah-sekolah lanjutan, akademi, dan perguruan tinggi Kartono, 2006. Sekitar tahun 1980-an ke atas gejala kenakalan remaja semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatannya. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peredaran dan penggunaan ganja serta bahan-bahan psikotropika di tengah masyarakat yang juga memasuki kampus dan ruang sekolah, dan semakin meningkatnya jumlah remaja yang terbiasa meminum minuman keras, penjambretan dan keberandalan di jalan, tindakan kekerasan oleh kelompok remaja, penganiayaan berat, perkosaan, pembunuhan, pemerasan atau pengkompasan di sekolah-sekolah terhadap murid yang lemah, juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma susila lewat praktek seks bebas, gadis yang melacurkan diri tanpa imbalan uang, serta perkelahian massal antar kelompok dan antar sekolah. Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja ini merupakan wujud dari perilaku delinkuen atau delinkuensi Kartono, 2006. Survei yang dilakukan Federasi Kesehatan Mental Indonesia Fekmi menemukan bahwa para remaja telah mengenal tempat maksiat, perilaku minum minuman keras, merokok, dan narkoba dan sudah muncul pada remaja awal. Hasil survei pada tahun 2003 yang diadakan di 10 kota besar Indonesia, yaitu di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Ujung Pandang menunjukkan bahwa 54 persen remaja mengaku pernah berkelahi, 87 persen berbohong, 8,9 pernah mencoba narkoba, 28 persen merasa kekerasan sebagai hal yang biasa, dan 24 persen pernah membaca buku porno. Terdapat juga keluhan dari seorang guru sebuah SLTP di Jakarta yang Universitas Sumatera Utara 6 mengeluh tentang kecemasan yang dirasakan. Dua tahun belakangan guru tersebut melihat peningkatan pelajar yang tidak betah di rumah. Mereka betah di sekolah, tetapi tidak untuk belajar. Pelajar-pelajar seperti ini biasa ditemui di depan sekolah atau di kios rokok dekat sekolah dalam Indonesian Nutrition Network, 2007. Para guru dan kepala sekolah menganggap remaja berperilaku buruk bila remaja tersebut mengganggu pelajaran di kelas, melanggar aturan sekolah, mengancam keamanan sekolah dan para siswa, seperti merusak dan mencuri Kelly et al., 1997. Perilaku delinkuen pada remaja dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor penyebabnya yaitu identitas diri negatif, pengendalian diri yang rendah, usia, jenis kelamin laki-laki, harapan terhadap pendidikan rendah dan sedikit komitmen, tingkat sekolah prestasi yang rendah di tingkat awal, pengaruh teman sebaya, status sosial ekonomi rendah, peran orangtua, dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal Santrock, 1998. Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah Bynum Thompson, 1996. Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono 2006, mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50:1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al., Universitas Sumatera Utara 7 1997 yang menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak dalam Gracia, et al., 2000. Perilaku delinkuen pada remaja dapat terjadi karena gagalnya mengembangkan pengendalian diri. Remaja tersebut gagal untuk memilih perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, atau mereka gagal untuk membuat kontrol yang tepat dalam perbuatan mereka. Perilaku delinkuen juga berkembang dari standard perilaku yang tidak tepat. Menurut Feldman Weinberger 1994, pengendalian diri self-control memainkan peranan yang penting dalam perilaku delinkuen. Berkaitan dengan hal tersebut, pengasuhan orangtua yang efektif diasosiakan dengan kemahiran dalam kemampuan pengaturan diri self-regulatory. Terdapatnya kemampuan pengaturan diri yang merupakan sifat internal berhubungan dengan rendahnya perilaku delinkuen yang dilakukan oleh remaja Santrock, 1998. Selain itu, perilaku delinkuen juga merupakan hasil dari pergolakan emosi yang sangat labil Kartono, 2006. Munculnya bentuk perilaku seperti yang telah disebutkan diatas menurut Goleman 2001 merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan meningginya ketidakseimbangan emosi. Menurut Goleman 1995, emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu AliAsrori, 2004. Emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas individu, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian untuk bertindak Goleman, 2001. Bila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, Universitas Sumatera Utara 8 individu yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri Goleman, 2001. Sehingga diperlukan adanya suatu kemampuan dalam manajemen emosi. Hal inilah yang dikenal dengan emotional intelligence selanjutnya dalam penelitian ini hanya digunakan istilah kecerdasan emosional. Berkaitan dengan kecerdasan emosional ini, Bar-On menggunakan istilah pengendalian impuls yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak dalam Goleman, 2000. Sehingga dengan adanya kecerdasan emosional, individu lebih mudah mengendalikan diri dan dorongan-dorongan dalam diri individu tersebut dalam melakukan suatu tindakan. Pengendalian diri merupakan bagian dari pengaturan diri, yaitu kemampuan mengelola emosi dan impuls merusak dengan efektif. Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Bar-On yang telah dijelaskan sebelumnya. Bar-On dalam Goleman, 2000 mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Goleman 2001 menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, Universitas Sumatera Utara 9 untuk membaca perasaan terdalam orang lain empati dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang terpenting dari kecerdasan emosional adalah pengaturan diri yang di dalamnya terdapat pengendalian diri ataupun pengendalian impuls. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku delinkuen yang dilakukan oleh remaja. Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman DeClaire 1998 bahwa remaja yang cerdas emosinya akan menerima perasaan-perasaan mereka sendiri, mampu memecahkan masalahnya sendiri, lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang juga tindak kriminal dalam Sari, 2005. Cooper dan Sawaf menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu fenomena manusiawi yang secara mendasar ada dalam diri manusia. Seseorang dapat mencapai keberhasilan hidup semaksimal mungkin melalui kecerdasan emosional, oleh karena itu kecerdasan emosional sangat diperlukan terutama pada remaja yang sangat rentan dengan segala tindakan negatif dalam Djuwarijah, 2002. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengetahui besarnya pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki- laki. Universitas Sumatera Utara 10

B. Rumusan Masalah