dengan interview, penilaian skala rating scale, dan kuosioner Branner Feist, 2007.
2.7.3 Perilaku nyeri pain behavior Fordyce 1974 dalam Branner Feist, 2007 melaporkan pasien-
pasien yang mengalami nyeri biasaya merintih, meringis, menggosok area nyeri, menarik napas panjang, lemah, istirahat bekerja, istirahat di tempat
tidur atau perilaku-perilaku lainya yang berkaitan dengan nyeri yang dapat diobservasi seperti meminta dan menggunakan obat pereda nyeri, gerakan
tubuh dan ekspresi wajah. Observasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi
pengkajian nyeri yang standard Keefe Smith, 2002 dalam Branner Feist, 2007. Observasi perilaku nyeri khususnya berguna dalam mengkaji
nyeri pada pasien yang sulit mendeskripsikan nyerinya misalnya anak- anak dan lansia Branner Feist, 2007.
3. Perilaku Nyeri
3.1 Konsep Perilaku nyeri Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan
nyeri. Selain perilaku nyeri, respon yang muncul adalah respon fisiologis Erfandi, 2009. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara
pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat Fordyce, 1974 dalam Brannon Feist, 2007. Menurut Turk, Wack, dan Kerns 1985 dalam
Dimatteo, 1991 perilaku nyeri yang dapat diobservasi yaitu: 1Pernyataan
Universitas Sumatera Utara
Verbal: mengaduh, menangis, sesak nafas dan mendengkur, 2Ekspresi Wajah: meringis, menggeletukkan gigi, dan menggigit bibir 3Gerakan Tubuh: gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan 4Kontak dengan orang laininteraksi social: menghindari percakapan, menghindari
kontak social, penurunan rentamg perhatian, dan fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis, merintih, tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal atau menarik diri Brunner Suddarth,
2001. Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda. Pada pasien dengan nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang
dialami membuat pasien letih untuk menangis atau merintih sehingga pasien dapat tidur dengan nyeri yang sangat hebat Melzack Wall, 1982 dalam
Dimatteo, 1991. Perilaku nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu, perilaku responden dan
perilaku operant Harahap, 2006. Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku reflex sebagai respon terhadap stimulus yang muncul kapanpun.
Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi. Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan ketika stimulus muncul dengan
adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon perilaku kemungkinan akan terjadi. Perilaku nyeri operant adalah perilaku nyeri yang bersifat volunter. Pada
perilaku operant penghargaan dan hukuman merupakan konsep kunci. Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan yaitu sesuatu
Universitas Sumatera Utara
yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti perhatian dari pasangan hidup Niven, 1994.
Menurut embree 2009 perbedaan perilaku responden dan perilaku operant, yaitu;
3.1.1 Perilaku responden bersifat refleks otomatis automatically elicited; perilaku operant bersifat volunteer spontaneously emitted.
3.1.2 Pada kondisi responden, stimulus yang pertama sekali muncul kemudian akan muncul respon terhadap stimulus; pada kondisi operant,
respon pertama sekali muncul kemudian mucul konsekuensi dari respon tersebut.
3.1.3 Tujuan kondisi responden untuk mengubah intensitas dan kekuatan atau besarnya respon; tujuan kondisi operant yaitu mengubah frekwensi
dan kemungkinan respon. 3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri
3.2.1 Pengalaman masa lalu Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri Potter Perry,
2005. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan
datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka
ansietas atau rasa takut dapat muncul Brunner Suddarth, 2001. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama
berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil
Universitas Sumatera Utara
dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri akibatnya ia akan lebih siap untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Jadi pengalaman masa lalu akan keberhasilan penanganan nyeri pada
seseorang akan memberi pengaruh yang sangat besar dalam cara berespons orang tersebut terhadap nyeri yang dialaminya di kemudian hari.
Apabila seseorang tidak pernah mengalami nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri pada orang
tersebut Potter Perry, 2005. Misalnya, setelah bedah abdomen adalah hal umum bagi klien untuk mengalami nyeri insisi yang berat selama
beberapa hari. Apabila klien tidak menyadari hal ini, ia akan memandang awitan nyeri sebagai komplikasi yang serius sehingga klien tersebut
kemudian berbaring di tempat tidur dan bernapas dengan dangkal karena ia merasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak baik, padahal sebenarnya
klien dapat berpartisipasi aktif dalam latihan pernapasan pascaoperasi. 3.2.2 Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang
ditemukan di anatara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri Potter Perry, 2005
Pada anak-anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan
Universitas Sumatera Utara
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan Branner Feist, 2007. Pada lansia, persepsi nyeri mungkin berkurang sebagai
akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit mis, diabetes, tetapi pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak
berubah. Meskipun banyak lansia yang mencari perawatan kesehatan karena nyeri, tetapi ada juga lansia yang enggan untuk mencari bantuan
bahkan ketika mengalami nyeri hebat karena mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Diperkirakan lebih dari 85 dewasa
tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri Brunner Suddarth, 2001.
3.2.3 Jenis kelamin Gill 1990 mengemukakan bahwa secara umum pria dan wanita
tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri, yang lebih mempengaruhi adalah budaya. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi
jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh
menangis dalam situasi yang sama Potter Perry, 2005. Robinson dan koleganya 2003, dalam Brannon Feist, 2007 mengatakan bahwa ada
perbedaan persepsi nyeri antara pria dan wanita yaitu bahwa wanita lebih sensitif terhadap nyeri daripada pria.
3.2.4 Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain itu, latarbelakang budaya
Universitas Sumatera Utara
dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan nyeri Gureje, Von Korff, Simon, Gater, 1996 dalam Brannon Feist, 2007.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Zborowski 1969 dalam Niven, 1994
melaporkan bahwa ekspresi perilaku nyeri berbeda antara satu kelompok etnik pasien dengan kelompok lain di satu lingkungan rumah sakit.
Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik.
Sejak tahun 1950, mulai banyak dilakukan studi untuk melihat perbedaan ekspresi nyeri atau cara menyatakan nyeri dari berbagai
latarbelakang budaya Streltzer, 1997, Ondeck, 2003 dalam Brannon feist, 2007. Beberapa studi menunjukkan ada pengaruh stereotip tetapi
ada juga yang tidak tetapi tetap perlu kritis melihat pengaruh stereotip. sebagai contoh generasi ketiga di Amerika cenderung untuk memberi
respons terhadap nyeri dengan cara biasa-biasa saja. Orang Italia merasa bahwa nyeri adalah sesuatu yang harus dihindarkan dengan cara apapun
dan ekspresi mereka ditujukan untuk menghilangkan nyeri sehingga orang italia meminta obat nyeri lebih bayak dibandingkan orang amerika Niven,
1994. 3.2.5 Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri
Dimatteo, 1991. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar
Universitas Sumatera Utara
belakang budaya individu tersebut. Setiap individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda Potter Perry, 2005.
3.2.6 Perhatian Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill 1990, dalam Potter Perry, 2005 perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
3.2.7 Ansietas Ansietas atau cemas menyebabkan rasa nyeri yang semakin
meningkat sedangkan peningkatan rasa nyeri akan menyebabkan individu tersebut semakin cemas lagi sehingga kedua hal ini saling mempengaruhi
seperti lingkaran yang terus berputar Niven, 1994. Menurut McWiliialms, Goodwin, Cox 2004, dalam Brannen Feist, 2007
Pasien dengan nyeri kronis yang hebat memiliki potensi yang besar mengalami cemas atau depresi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh nyeri
yang tidak kunjung reda. 3.2.8 Pola koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka
dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri Gill, 1990 dalam Potter Perry, 2005. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,
mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti
Universitas Sumatera Utara
perawat, sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap suatu hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan
mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal Schulteis, 1987, dalam Potter Perry, 2005.
3.2.9 Dukungan keluarga dan sosial Pasien kanker ketika pertama sekali mengetahui dirinya mengidap
kanker respon yang biasanya terjadi ,yaitu penolakan terhadap diagnosa, kecemasan dan depresi Taylor, 1988 dalam Lubis Hasnida, 2009.
Pasien kanker umumnya mengalami banyak kecemasan, terutama kecemasan dalam menghadapi pengobatan yang dilakukan seperti
pembedahan, kemoterapi dan radiasi Shea, 2008. Hubungan antara nyeri dengan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
sering sekali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas Potter Perry, 2005. Nyeri yang
dialami pasien kanker membuat pasien takut akan terjadi keadaan yang semakin buruk dan tidak terkontrol Dimatteo, 1991.
Pasien kanker sering mengalami masalah psikologi seperti pasien sering merasa tidak berharaga dan ingin mengakhiri hidup jadi dukungan
orang-orang di sekitarnya sangat diperlukan misalnya teman, anak-anak maupun pasangan hidup dalam memberikan motivasi kepada klien Wall
Mervyn, 1991. Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana perlakuan mereka terhadap klien mempengaruhi respon nyeri klien.
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan Potter dan Perry, 2005.
3.3 Pengukuran Perilaku nyeri Nyeri merupakan respon subjektif sehingga sulit untuk mengukurnya. Ada
beberapa tehnik dalam pengukuran nyeri seperti pengukuran fisiologi, observasi perilaku nyeri dan laporan nyeri yang langsung diterima dari pasien
Dimatteo,1991. Observasi perilaku nyeri merupakan pengukuran nyeri yang paling akurat succesful Fordyce, 1974 dalam Branner Feist, 2007.
Fordyce mengembangkan self observation untuk mengukur perilaku nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta
untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu duduk, berdiri atau berjalan, dan
berbaring. Pasien saat juga diminta untuk mendokumentasikan pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode self observation ini
mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri Keefe, 2002 dalam Harahap 2007. Bagaimanapun juga
validasi dari self observation perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat Turk Flor, 1987 dalam Harahap 2007 karena kebanyakan pasien
tidak selalu mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan
wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyerinya. Metode ini juga
Universitas Sumatera Utara
dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik Harahap, 2007.
Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa
perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan keterampilan
pengobservasi sedangkan metode tidak langsung biasanya berdasarkan sebuah video tape recording. Setiap metode ini memiliki keuntungan dan kerugian
Harahap, 2007. Menurut Simmond 1999 dalam Moores Watson, dalam Harahap 2007
metode pengukuran nyeri yang berguna tinggi adalah yang berguna, realibel, dapat diterima pasien, efektif biaya dan menyediakan umpan balik instan.
Penelitian ini menggunakan laporan observasi perilaku nyeri protocol observation pain behavior yang didisain oleh Keefe dan Block tahun1982. PBOP
ini terdiri dari lima bagian perilaku nyeri yang dinilai dalam tiga point skala 0= tidak ada, 1= sering, 2= selalu.
4. Pasangan Hidup