Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Berdasarkan estetika wabi-sabi, terdapat beberapa nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik Jepang. Nilai-nilai tersebut
adalah nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan dan nilai kedalaman rasa. Nilai-nilai tersebutlah yang membangun keramik Jepang menjadi
satu kesatuan karya seni yang memiliki estetika yang khas dan menarik untuk diteliti.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka penulis membuat permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan keramik tradisional
Jepang? 2.
Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang? 3.
Bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika keramik tradisional Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai dengan judul skripsi, yaitu “Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme pada Estetika Keramik Tradisional Jepang” maka penulis akan membahas lebih lanjut
mengenai keramik tradisional Jepang beserta nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetikanya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang
hubungan tersebut, penulis akan membahas sejarah dan perkembangan keramik tradisional Jepang serta ajaran Zen Buddhisme di Jepang. Penulis juga akan
mengarahkan pembahasan kepada nilai estetika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang secara umum. Kemudian, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada
nilai-nilai estetika berdasarkan ajaranZen Buddhisme yaitu estetika wabi-sabi.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Bedasarkan nilai-nilai estetika tersebut, penulis akan mengarahkan pembahasan kepada nilai ketidaksimetrisan, nilai kealamian, nilai kesederhanaan, dan nilai
kedalaman rasa yang tecermin dalam keramik tradisional Jepang. Penulis tidak membahas mengenai keramik modern karena penulis tidak melihat adanya
pengaruh ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam nilai estetika keramik modern Jepang.
Berdasarkan fakta-fakta tersebutlah nantinya akan ditinjau bagaimana nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang terkandung dalam estetika keramik
tradisional Jepang dengan cara menunjukkan nilai-nilai estetika wabi-sabi tentang keindahan, kesederhanaan, ketidaksimetrisan, dan kedalaman rasa yang tercermin
dalam keramik tradisional Jepang.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1. Tinjauan Pustaka
Keramik merupakan salah satu dari karya seni. Setiap karya seni pastilah mempunyai nilai estetika tersendiri sesuai dengan masyarakatnya. Disini penulis
telah mengutip pandangan dari beberapa tokoh tentang seni dan nilai estetika yang berguna untuk mempermudah dalam memahami nilai estetika yang terkandung
pada keramik Jepang. Menurut Baumgarten dalam Simbolon 1996:5 seni adalah keindahan.
Seni merupakan wujud bahkan tujuan seni. Oleh karena itu, segala manifestasi yang sempat dilahirkan sebagai hasil-hasil pengolahannya haruslah menjadikan
orang lain senang. Sedangkan menurut Tolstoy dalam Simbolon 1996:6 seni menimbulkan perasaan yang pernah dialami. Dengan kata lain, seni haruslah
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
mengungkapkan keindahan baik dengan perantaraan bentuk, garis dan warna sehingga orang lain dapat merasakan dan menikmati keindahan tersebut.
Menurut Hegel dalam Wiryomartono 2001:39 seni adalah manifestasi dari manusia untuk membawa keindahan alam raya ke dalam ranah budaya. Seni
bukanlah produk alam. Seni adalah buah karya yang diciptakan secara mendasar untuk manusia kurang atau lebih melalui medium indrawi dan dialatkan pada
tangkapan indrawinya. Seni senantiasa mengandung tujuan yang mengikatnya dengan manusia.
Hagel juga mengatakan bahwa karya seni adalah untuk membawa kejelasan mana yang alami dan mana yang kultural. Sejauh prinsip-prinsip alami
dipenuhi oleh sebuah karya seni, sejauh itu pula yang harus dikenali oleh manusia sebagai artisnya, sebagai penggugah rasa dan perasaan. Karya seni secara hakiki
akan membuat manusia baik sebagai seniman maupun sebagai pengamatnya merasa kerasan. Karya seni disajikan untuk pemahan indrawi yang melibatkan
rasa dan perasaan manusia. Menurut Sedyawati 2006:364 istilah “estetika” pada dasarnya mengacu
pada wacana yang otonom mengenai “baik” dan “indah” dalam kesenian. Uraian- uraian mengenai hal tersebut dapat dilihat pada operasi karya-karya seni itu
sendiri, baik ketika diciptakan maupun ketika diserap dan dinikmati. Menurut Agustinus dalam Sutrisno 1993:32 keindahan adalah
pandangan-pandangan tentang keselarasan, keseimbangan, keteraturan, dan lain- lain, sebagai ciri-ciri khas keindahan.
Menurut Clive Bell dalam Sutrisno 1993:82 keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
mengenali wujud bermakna dalam suatu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan.
Dalam seni keramik di Jepang terdapat nilai estetika yang khas yaitu berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Menurut Sutrisno 1993:130-132 pada
dasarnya Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami manusia,
mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam karya seni, yaitu gaya
sudut-tunggal, wabi-sabi, serta ketidaksimetrisan bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau seimbang.
Wabi-sabi sebagai sistem estetika yang komprehensif, telah mempunyai jangkauan ruang lingkup yang luas antara lain ; ajaran moral, spiritual, metaphisik,
ekspresi dan kualitas benda. Prinsip-prinsip ajaran Zen telah digunakan sebagai acuan dalam menentukan kaidah-kaidah estetis termasuk unsur-unsur dan prinsip
seni Jepang. Karakteristik estetika Jepang tersebut adalah fukinsei asimetris atau ketidakteraturan, kanso kesederhanaan yang rapi dan segar, koko esensi,
shizen kewajaran atau kealamian, yugen bermakna atau rasa yang mendalam, datsuzoku kebebasan yang tidak terikat, shibui kesederhanaan dan keindahan
seadanya, wabi kekayaan dalam kesederhanaan, sabi kesendirian dan ketidakberaturan, dan seijaku hening atau tenang.
Wabi secara harfiah berarti kesederhaan. Wabi adalah kekayaan rohaniah bathin dalam kemelaratan fisik. Dalam pemakaian sehari-hari , kata ini berarti
hidup di dalam pondok kecil, kekurangan biaya hidup, bagaikan tanaman hampir layu, ketiadaan air. Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen tentang wabi adalah gabungan prinsip Konfucius, Tao, Budha dan Shinto yang berfokus pada
pandangan petapa dan mengapa petapa mengejar hidup terang dalam kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan
penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan menyelaraskan hidup dengan alam.
Sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan
secara umum. Penulis sendiri berpendapat bahwa suatu karya seni haruslah memiliki
nilai estetika. Nilai estetika tersebut haruslah memiliki unsur keindahan yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur yang harmonis serta dapat memberikan
arti bagi setiap penikmatnya. Dalam estetika keramik tradisional Jepang nilai-nilai ajaran Zen sangat berpengaruh besar. Estetika wabi-sabi dan nilai-nilai ajaran Zen
di dalamnya membangun nilai estetika keramik tradisioanal Jepang.
2. Kerangka Teori
Penulis menggunakan konsep religi yang bertujuan untuk menganalisa dengan lebih baik terhadap keterkaitan ajaran Zen Buddhisme terhadap seni
keramik Jepang. Konsep religi menurut Koentjaraningrat dalam Barus 2008:9, yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang
mendiami alam gaib.
Konsep historis atau sejarah juga digunakan penulis dalam penelitian ini, karena penulis menjelaskan latar belakang sejarah keramik dan masuknya ajaran
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Zen Buddhisme di Jepang. Menurut Kaelan 2005:61, sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sedangkan menurut
Nevin dalam Kaelan 2005:61, sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi pada masa
lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.
Pengaruh terbesar dari seluruh aliran Buddhis dalam sejarah Jepang adalah Zen, yang masuk melalui daratan Korea dan Cina, dari asalnya India. Selanjutnya
Zen masuk ke Jepang pada masa Kamakura 1185-1236 yang berpengaruh secara mendalam pada kehidupan militer dan karya seni bahkan dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Jepang. Pada bidang kesenian, Zen memiliki pengaruh yang amat besar bagi
masyarakat Jepang dalam berkarya cipta dan dalam cara mereka memandang estetika. Estetika seni keramik Jepang juga mendapat pengaruh yang besar dari
ajaran Zen. Karena itulah dalam pembahasan ini penulis akan melakukan pendekatan terhadap nilai estetika menurut ajaran Zen.
Zen, pada dasarnya adalah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha. Zen mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan
alami manusia, mencegah kelesuan dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Pengaruh spiritual Zen juga mampu mewarnai ciri umum dalam
karya seni, yaitu gaya sudut-tunggal ditemukan pada seni lukis, wabi dan sabi, serta ketidaksimetrisan bagian yang satu dengan yang lainnya tidak sama atau
seimbang Sutrisno,1993:130-132.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Pendekatan Zen terhadap realitas yang juga mempengaruhi ekspresi seni mereka dapat dirunut lewat pendekatannya yang berlawanan dengan pendekatan
ilmiah. Zen masuk ke dalam obyek itu sendiri, ke inti realitas. Maka pengamatan terhadap realitas selalu didahului dengan pemerenungan dalam keheningan untuk
melihat apakah semuanya itu memang ada sebagaimana adanya. Tidak justru keluar, mengambil jarak agar bisa menalari obyek secara logis sebagaimana
terjadi dalam pemikiran barat Sutrisno, 1993:129. Menurut Sen no Rikyu, wabi adalah suatu bentuk kekayaan dalam
kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan, sedangkan sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan dan ketidakberaturan. Penggunaan nilai wabi
dan sabi terdapat dalam seni keramik di Jepang yang menonjolkan ciri kealamian dan sederhananya Hulu, 2007: 54.
Menurut penulis secara pribadi, estetika keramik tradisional Jepang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen tersebut
terdapat dalam konsep estetika wabi-sabi. Nilai-nilai tersebut membangun nilai estetika yang khas pada keramik tradidional Jepang.
Selain itu, dalam pembahasan skripsi ini, penulis juga melakukan pendekatan dengan teori semiotika, karena teori semiotika dapat digunakan
sebagai metode dalam memaparkan nilai-nilai estetika dan sesuatu yang bersifat tekstual Marx Bense dalam Sachari, 2002:61.
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna 2004:97 semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeionseme yang berarti tandapenafsir tanda.
Semiotika adalah studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya serta apa manfaatnya terhadap kehidupan.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan persyaratannya dipenuhi, yaitu ada arti yang
diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi van Zoest dalam Christomy, 2004:79.
Menurut Pradopo 2002:271 semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosialmasyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Tanda mempunyai dua sapek, yaitu penanda signifier dan petanda signified. Petanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu, yaitu artinya. Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro 1995:40 tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pengalaman, perasaan, pikiran atau gagasan dan lain-lain. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan
sempurna. Namun yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini misalnya warna, baju,
bendera, karya seni dan sebagainya. Jadi, pada dasarnya analisis semiotika menganalisis atau meneliti suatu
tanda yang terdapat dalam kajian yang diteliti. Dalam hal ini, proses pembuatan dan keramik tradisional Jepang itu sendiri akan dijadikan tanda yang akan
menunjukkan adanya nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang tercermin dalam estetika keramik tradisional Jepang.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1 Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan keramik di Jepang.
2 Untuk mengetahui nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme di Jepang.
3 Untuk mengetahui nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika
keramik trdisional Jepang
2. Manfaat Penelitian
Dengan dibahasnya pengaruh Zen Buddhisme pada nilai estetika keramik di Jepang, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a Penulis sendiri yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan
penulis tentang keramik Jepang terutama nilai ajaran Zen Buddhisme pada estetika keramik tradisional Jepang.
b Peningakatan ilmu pendidikan khususnya di bidang pranata
masyarakat dan kebudayaan Jepang.
1.6 Metode Penelitian
Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat 1976:30, penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan
gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
kelompok tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
Nazir,1988:63.
Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan library research, dengan mengambil sumber acuan dari
berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan keramik di Jepang, seni dan nilai estetika serta buku-buku lainnya sebagai literatur tambahan.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG
DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG
2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang
Seni keramik adalah seni yang paling sederhana dan sekaligus paling rumit dalam proses pembuatannya, karena dalam proses tersebut sangat bergantung
pada alam. Seni keramik dipandang dari segi bentuk merupakan seni murni, atinya seni yang terbebas dari segala macam peniruan dan mempunyai esensi
paling abstrak. Selain itu, seni keramik merupakan hasil kebudayaan manusia yang
terwujud dalam bentuk keramik serta memiliki fungsi dan nilai-nilai tertentu. Keramik diproses melalui beberapa tahapan dan dari berbagai komponen bahan
baku yang diperoleh dari lingkungan alam. Ditinjau dari bahan dasarnya, keramik mempunyai arti suatu barang atau benda yang berasal dari bahan alam, tanah dan
batu-batuan silikat, anorganis, non logam, yang pembuatannya melalui proses pembakaran suhu tinggi.
Selain itu, dikatakan pula bahwa yang termasuk keramik bukan hanya produk-produk yang berupa guci, melainkan termasuk bahan bangunan semen,
batu bata, kapur tohor, genteng dan lain-lain, bahan refrektori bata tahan api dan semen tahan api dan sebagainya, bahan email, bahan gelas, dan porselen Astuti,
1997:6. Selanjutnya keramik juga diklarifikasikan berdasar struktur bahan dan temperatur suhu bakarnya, yaitu: gerabah earthen ware , tembikar stone ware,
dan porselen.