Zen Buddhisme di Jepang

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

2.2 Zen Buddhisme di Jepang

Banyak orang berfikir bahwa Zen merupakan suatu yang sulit. Padahal huruf Cina yang digunakan untuk kata Zen berarti “menunjukkan kesederhanaan”. Seperti yang tercermin dalam huruf atau karakter tersebut, Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan singkat Harada, 2003:15. Zen memiliki setidaknya tiga arti yang berbeda, namun saling berkaitan. Seperti yang diungkapkan oleh Chrismas Humpreys dalam Kiew Kit 2004:3 bahwa: Pertama, Zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang untuk mengungkapkan “Chan” dalam bahasa Cina, yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sansekerta Dhyana. Dalam Bahasa Pali disebut. Ini adalah arti yang paling umum dari istlah tersebut Jhana Kedua, dalam arti khusus, Zen adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas tinggi, yang tidak dapat disebut dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti agak khusus adalah bahwa pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba-tiba dan di luar batasan. Kesadaran seseorang yang darinya dunia yang kita kenal ini berasal. Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau Wu dalam Bahasa Cina dan Satori atau Kensho dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti Zen tersebut berkaitan satu sama lain. Meditasi, secara umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi. Selain proses meditasi untuk mencapai realitas tertinggi, si pelaksana mungkin akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi yang penuh dengan inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Zen Buddhisme merupakan salah satu aliran utama dalam Buddhisme Mahayana. Sedangkan agama Budha sendiri memiliki tiga aliran utama, yaitu: Mahayana, Hinayana, dan Vajrana. Mahayana sendiri memiliki dua pandangan mengenai bagaimana mencapai keselamatan, yaitu Jiriki upaya sendiri dan Tariki upaya dari yang lain. Zen menganut pandangan pertama, yaitu Jiriki, bahwa keselamatan hanyalah dapat diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri. Zen Buddhisme yang berkembang di Jepang tidak terjadi begitu saja, tetapi mempunyai hubungan yang erat denagn Zen yang ada di Cina. Orang yang paling berjasa memperkenalkan ajaran Zen di Cina adalah Bodhidharma 440- 528, seorang biarawan India yang nantinya disebut Patriaki Pertama dalam penyebaran ajaran Zen di Cina. Disebutkan bahwa ketika Bodhidharma tiba di Cina, saat itulah lahir aliran Zen. Bodhidharma tiba di Cina tahun 520 kemudian diundang kaisar yang berkuasa di Cina saat itu, mereka terlibat dialog tentang ajaran Zen. Pengajaran Bodhidharma tetntang Zen adalah bahwa perbuatan baik saja tiaklah cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral, suatu syarat mutlak bagi pencerahan. Pada tingkatan pencerahan tertinggi, tidak ada pemikiran dualistis Wong Kiew Kit, 2004:103-104. Kaisar Liang Wu Di tidak siap menerima ajaran Bodhidharma karena itu dia melewatkan kesempatan untuk memperoleh pencerahan atau kesadaran. Bodhidharma pergi ke kuil Shaolin dan tiba pada tahun 527 untuk mengajarkan Zen. Di kuil tersebut Bodhidharma mengajarkan kepada para rahib tentang pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi dan mental untuk pengembangan spiritual. Oleh karena itu, dia mengajarkan dua bentuk latihan, yaitu Delapan Belas Tangan Lohan dan Metamorfosis Otot, yang akhirnya Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. berkembang menjadi Kungfu Shaolin dan Chi Kung Shaolin. Bodhidharma menemukan penggantinya sebagai Patriarki Kedua di kuil tersebut. Orang tersebut bernama Ji Guang 487-583. Bodhidharma mengajarkan kepadanya tentang pentingnya arti meditasi. Ia sendiri pernah menjalani meditasi selama sembilan tahun di sebuah gua yang disebut Gua Bodhidharma. Ajaran Zen tidak bergantung pada kitab-kitab dokumen-dokumen ataupun teori-teori keagamaan dalam penyebarannya, tetapi disampaikan dari hati ke hati. Demikian juga yang dilakukan Ji Guang untuk mencari penerusnya sebagai Patriarki Ketiga. Sen can yang diangkat sebagai penerusnya juga berasal dari kuil Shaolin dan mendapat pencerahan setaelah berdialog dengannya. Seng Can kemudian membimbing muridnya Dao Xin 580-651 di kuil Shaolin selama sembilan tahun, dan kemudian menggantikannya senagai Patriarki Keempat. Dao Xin kemudian digantikan oleh muridnya Hong Jen sebagai Patriarki Kelima. Namun dalam mencari Ptriarki Keenam, tejadi perpecahan anatara murid Dao Xin. Seorang muridnya yang buta huruf, Hui Neng, dianggap lebih layak menggantikannya, tetapi murid seniornya tidak mengakuinya. Sejak saat itu, pengajaran Zen di Cina terpecah menjadi dua, yaitu aliran Utara Shen Xiu dan aliran Selatan Hui Neng. Dalam perkembanganya, aliran Utara tidak dapat bertahan lama dan akhirnya lenyap.

2.2.1 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang

Aliran Zen telah memasuki Jepang dari Cina sebelum zaman Kamakura. Pendeta Jepang telah pergi ke Cina untuk mempelajari Zen Buddhisme di tahun 654, demikian juga biarawan Cina pergi ke Jepang untuk mengajarkan Zen, Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. tepatnya di daerah Nara. Beberapa guru Zen dari Cina tersebut telah mamasuki Jepang dan menyebarkan ajaran Zen, tetapi Zen baru benar-benar mengakar dalam masyarakat Jepang setelah ajarannya disebarkan dua orang guru asli Jepang yaitu, Eisai 1141-1215 yang mendirikan sekte Rinzai dan Dogen yang mendirikan sekte Soto. Eisai pertama kali mengajarkan Zen di Kamakura. Ia didukung oleh Shogun dan membuat Zen sangat popular diantara para samurai. Ia juga membangun banyak kuil Zen di Jepang yang disebut sistem Gozan. Diantaranya adalah Kuil Rinjai di Shofukuji Hakata pada tahun 1195 sekarang prefektur Fukuoka, kemudian ia menjadi kepala biara pertama di Kuil Jufukuji Kamakura, kemudian di Kuil Kenninji Kyoto. Para pendeta Zen dari sistem Gozan tersebut sering kali bertindak sebagai penasehat politik Keshogunan Muromachi. Peran para pendeta Zen tersebut bukan hanya dalam bidang politik, urusan luar negri dan perdagangan saja, tetapi juga memainkan peran utama di bidang seni dan ilmu pengetahuan juga kesusastraan. Dogen sebagai pendiri sekte Soto berbeda sama sekali dengan Eisai. Dogen berasal dari keluarga bangsawan, belajar Zen ke Cina tahun 1223 dan kemudian mendirikan sekte Soto di Jepang. Dogen tidak seperti Eisai yang sangat dekat dengan penguasa militer, sebaliknya ia berusaha menghindari pengaruh penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Karena itu ia memilih tinggal di propinsi Echizen tempat ia membangun kuil Eiheiji daripada tinggal di Kyoto. Dogen hanya ingin mengajarkan Zen secara murni, meninggalkan nafsu duniawi dan menjalankan meditasi. Menurut Wong Kiew Kit 2004:197 perbedaan yang paling penting antara ajaran Dogen dan Eisai mengenai Zen adalah pendekatan Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. mereka mengenai pencerahan. Ajaran Eisai, yang berkarakteristik Rinzai Zen, menekankan penggunaan Koan cerita sementara ajaran Dogan yang berkarakteristik Soto Zen, menekankan pada Zazen atau meditasi duduk. Meskipun demikian ajaran Soto tidak menolak Koan dalam pencapaian pencerahan, demikian juga sebaliknya. Pengaruh Zen mencapai level tertinggi terjadi selama periode Muromachi 1333-1568. Pada masa itu Zen memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa dan menyebarluas terutama di kalangan Bushi yang merupakan penguasa Jepang pada saat itu. Ajaran Zen turut memberikan sumbangan bagi pengembangan kebudayaan perajurit menjadi dasar moral dan filosofi utama bagi banyak prajurit Jepang hingga masuk zaman modern. Bahkan sebelum berperang, banyak anggota militer memasuki kuil Zen untuk mendisiplinkan diri untuk menghadapi musuh. Mikiso Hane 1991:80 mengatakan “Tendai untuk keluarga kerajaan, Shingon untuk bangsawan, Zen untuk kelas prajurit dan Jodo untuk masyarakat”. Sepanjang periode Muromachi, Zen menggunakan pengaruhnya yang berkembang pada lukisan tinta, drama No, upacara minum teh, merangkai bunga, seni pertamanan, dan seni lukisan dan sebagainya. Jadi ajaran Zen bukan hanya sekedar teori keagamaan saja, tetapi juga turut mengembangkan seni dan budaya Jepang hingga sekarang. Periode Edo 1600-1868 menghasilkan perdamaian dan mendukung berkembangnya ajaran Zen. Para biarawan yang terkenal pada zaman Edo adalah Takuan Soho 1573-1745, Bankei Yotaku 1622-1693, dan Hakuin 1686-1769 meraka berasal dari Rinzai Zen, Takuan mengajar afinitas antara Zen dan manusia pedang, ia juga dikenal sebagai guru spiritual Miyamoto Musashi seorang Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. pemain pedang legendaries Jepang. Bankei bertanggung jawab untuk membuat Zen dapat diperoleh kedalam bentuk tidak tertulis yang paling sederhana. Memasuki zaman Meiji 1868, pemerintah lebih mendukung Shinto dari pada agama Buddha. Meskipun demikian Zen tetap berkembang .

2.2.2 Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Masyarakat Jepang

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati, tidak bergantung pada buku-buku, dokumen-dokumen ataupun teori-teori. Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah pada pengalaman langsung, bukan melalui belajar dari buku Wong Kiew Kit, 2004:262. Pengajaran Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya jika diungkapkan melalui kata atau bahasa, tetapi Zen harus dialami secara pribadi. Meskipun demikian, belajar melalui buku tidak dapat disalahkan, karena melalui buku seseorang dapat dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan. Sasaran Zen seperti yang diungkapkan Suzuki 2004:212, Zen pada dasarnya adalah seni melihat hakekat kebenaran seseorang dan menunjukkan jalan dari perbudakan ke kebebasan. Zen dapat membebaskan semua energi yang tersimpan secara alamiah untuk beraktivitas. Berarti Zen adalah seni untuk melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri manusia tersebut. Ajaran Zen tidak hanya terfokus pada kerohanian saja, melainkan juga mencakup penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para rahib Zen dikatakan selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lainnya, dan tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Kalaupun pernah, hanya berupa penyesalan atas Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. perbuatannya dan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarka tentang kasih sayang dan kebijaksanaan, tetapi juga menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesahajaan serta kerandahan hati. Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, saling mengasihi dan saling membantu sesama manusia, tetapi juga harus bekerja keras untuk hidup tidak bergantung pada belaskasihan orang lain seperti yang sering dilakukan oleh par pendeta Buddha. Dalam Sutrisno 2002:51 disebutkan bahwa Shidarta Gautama yang telah menjadi Budha orang yang diterangi menunda masuk nirvana kehidupan tanpa batas guna membantu sesama untuk mencapai penerangan, sebuah usaha untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Para pengikut Zen juga diwajibkan untuk berbuat demikian menolong sesama untuk menjadi Budha. Jadi dapat disimpulkan bahwa Zen mengajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri saja, melainkan juga peduli terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia. Agar dapat memahami ajaran Zen beserta nilai-nilai yang tercermin di dalamnya, penulis akan membaginya ke dalam beberapa poin, yaitu: pencerahan satori, koan dan mondo, meditasi dan diri. 1. Pencerahan Satori Satori atau pencerahan adalah esensi Zen. Tanpa satori, seseorang tidak akan tahu sepenuhnya apa yang dimaksud dengan Zen. Satori adalah pengalaman utama dalam Zen sebagai seni melihat inti atau kodrat diri sehingga menjadi Budha. Suzuki dalam Sutrisno 2002:56 mengatakan: Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. “Satori adalah melihat inti kodrat diri seseorang. Kodrat ini bukan suatu entitas kenyataan yang dimiliki seseorang sebagaimana dibedakan dari yang lain; dan dalam melihat inti diri itu sesungguhnya tidak istilah penonton. Satori berarti ‘mengatasi akal’, ‘satu pikiran mutlak’, ‘kekinian mutlak’, ‘kemurnian yang benar-benar’, ‘kekosongan’, ‘apa adanya’, dan banyak lain lagi”. Pengertian di atas merupakan pengalaman pribadi Suzuki dalam hal satori. Bagaimanapun juga, rumusan tentang satori tersebut sangat terbatas jika diungkapkan dengan kata-kata. Seseorang harus mengalami satori itu sendiri secara langsung untuk memahaminya dengan utuh. Bedasarkan pernyataan Suzuki di atas, ajaran Zen menolak pemisahan dan pembagian antara subjek dan objek. Seluruh alam semesta merupakan satu kesatuan dan tidak ada perbedaan di dalamnya. Jalam Zen ialah menerima hidup ini sebagaimana hidup tersebut dijalani, tidak berusaha memotong-motongnya lalu memulihkan kehidupan tersebut dengan pengintelekan, Zen melestarikan kehidupan sebagai kehidupan. Satori berarti membangun kesadaran baru yang membuang dan membinasakan kerangka berpikir lama dan memandang segala sesuatunya dengan pandangan baru. Kerangka berpikir lama berarti konsep intelektual atau berpikir secara rasional. Sedangkan Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan cara berpikir rasional, karena cara berpikir tersebut sering kali tidak berhasil memecahkan masalah pribadi seseorang. Hal ini bernicara mengenai kekosongan mutlak. Kekosongan di sini bukan berarti tidak terdapat sesuatu apapun, melainkan suatu kepenuhan mutlak dan bebas dari segala konsep-konsep intelektual dan rasional. Dalam Sutrisno 1993: 141 dikatakn, prinsip pertama Buddhisme adalah kekosongan yang berarti situasi kepenuhan tanpa halangan dari semua yang ada dalam kehidupan. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Sedangkan menurut Takuan dalam Suzuki 2004: 40-41 yang terutama adalah menjaga agar pikiran agar pikiran selalu dalam keadaan “mengalir”. Jika pikiran terhenti, maka akan terjadi gangguan yang melukai kesejahteraan pikiran. Hal ini berarti pemikiran sebaiknya tidak dihalangi oleh apapun, tidak dipusatkan atau ditfokuskan hanya pada satu tempat. Jika hal tersebut terjadi, maka pertumbuhannya akan terhenti. Maksudnya adalah bahwa pikiran seseorang itu haruslah dibiarkan mengalir dan bergerak bebas. Jadi, tujuan pokok dari Zen Buddhisme bukanlah untuk masuk dalam surga, tetapi mencapai pencerahan yang meliputi kebenaran seseorang dan memahami alam kenyataan. 2. Koan dan Mondo Salah satu metode untuk mencapai satori pencerahan adalah dengan cara Koan dan Mondo selain dengan cara meditasi. Namun, pada umumnya kedua metode tersebut dilakukan bersama-sama untuk mencapai pencerahan. Koan atau kung-an dalam bahasa Cina, merupakan tema meditasi, yaitu berupa persoalan yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk dipecahkan. Sedangkan mondo adalah suatu dialog, tanya jawab, yang langsung diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengalaman satori Sutrisno, 2002:59-60. Koan dirancang dengan tujuan untuk mengacaukan pikiran seseorang yang rasional, hubungan logika, dan memaksanya untuk memperoleh pengertian tiba- tiba dan intuisi kedalaman kenyataan. Persoalan dalam koan yang dierikan guru kepada muridnya tidak dapat dipecahkan secara logis atau rasional. Antara pertanyaan dengan jawaban koan kelihatannya tidak ada hubungannya. Berikut adalah beberapa contoh koan-mondo: Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. a. Seorang biksu bertanya pada chao-chao seorang master Zen Cina: “Adakah kodrat Budha dalam diri seekor anjing?”. Jawaban sang guru hanyalah “wu”. b. “Apakah Tao itu?” Jawabannya, “Pikiranmu setiap hari itulah tao”. c. Koan kegemaran hakuin adalah “Apakah suara yang timbul dengan bertepuk sebelah tangan?”. Para murid Zen yang diberikan soal koan tersebut, harus mampu mempertahankan koan itu dalam pikirannya sehari-hari. Dengan kata lain, murid tersebut harus bersatu dengan koan tersebut, tidak lagi memandang koan tersebut sebagai objek yang akan diteliti. Hal ini sesuai dengan prinsip Zen Buddhisme, yaitu segala sesuatunya adalah satu kesatuan dan tidak ada cara berfikir dualisme. 3. Meditasi Zazen Meditasi juga merupakan cara untuk mencapai satori pencerahan. Kata zazen dalam bahasa Jepang berasal dari kata “za” yang berarti duduk bersila dan “zen” berarti meditasi Sutrisno, 2002:63. Dengan kata lain zazen berarti meditasi duduk. Zazen sebenarnya berasal dari tradisi India yaitu yoga. Tetapi zazen bukan seperti yoga yang berpikir dan berkonsentrasi pada sesuatu, melainkan tidak berpikir. Para pelaksana zazen duduk dengan kaki disilang dan menariknya ke dalam, dan punggung harus benar-benar tegak lurus atau disebut juga denagn sikap badan teratai. Sikap badan seperti ini adalah tanda luar dari pencerahan. Dalam meditasi, dengan menutup seluruh pengaruh perasaan dan kesadaran berpikir, para pelaksana Zen mencoba untuk memcapai situasi konsentrasi mental setinggi mungkin. Zazen juga berbicara mewakili keadaan Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. pemikiran itu sendiri yang mengalami pencerahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikiso Hane 1991: 80: “Zazen memerlukan posisi tubuh yang telah ditentukan, peraturan pernafasan, konsentrasi khusus untuk menetapkan pikiran agar mengontrol emosi dan memperkuat kehendak. Kemudian seseorang melihat kedalam ‘hati dan pikiran’ untuk menemukan alam kehidupan senebarnya”. Akhirnya, dengan zazen meditasi tidak hanya satori kesadaran, tetapi juga perkembangan spiritual dan moral serta sifat baik dari manusia akan timbul pada diri pelaksananya. 4. Diri Zen, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya adalah melihat kodrat diri manusia sebagaimana adanya. Suzuki 2004:49 mengatakan: “Mereka takut sekali menjadi ‘sujektif’. Tetapi kita haruslah ingat bahwa selama kita berada di luar, maka kita adalah orang luar, bahwa justru karena itu kita tidak pernah mampu memahami benda tersebut atau diri kita sendiri, bahwa yang bisa kita ketahui adalah Cuma tentang benda atau diri kita sendiri yang berarti bahwa kita tiada pernah bisa memahami apakah diri-sejati kita”. Hal ini berarti bahwa diri harus mengenal dirinya tanpa keluar dari dirinya sendiri. Dalam Zen, akan sia-sia belaka jika seseorang melakukan pendekatan logis untuk menerangkan apa arti “diri” the self dalam sistem filsafat ataupun sisitem berpikir lainnya. Menurut Suzuki 2004:50, diri dapat dibandingkan dengan sebuah lingkaran tak bertepi tidak ada garis lingkarannya, denagn kata lain adalah kekosongan. Diri tersebutlah yang menjadi pusat semesta, asal dari segala sesuatu dan tempat bernaung bagi semua termasuk manusia. Zen juga berpengaruh dalam konsep estetika keindahan. Konsep estetika tersebut, yaitu: furyu, wabi-sabi, iki dan sui, mono no oware, mujo, dan shizenkan. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Konsep yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah wabi-sabi. Wabi artinya mencari kesempurnaan dalam kemiskinan dan kecantikan dalam kesederhanaan dan juga menikmati hidup bebas yang tenang. Wabi juga merupakan konsep keindahan dalam upacara minum teh. Sedangkan sabi adalah kesepian, pasrah, ketenangan, namun masih bersemangat. Konsep sabi ini juga digunakan dalam upacara minum teh yang kemudian mempengaruhi perkembangan keramik tradisional di Jepang. Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei asimetris atau ketidakteraturan, kanso kesederhanaan yang rapi dan segar, koko esensi, shizen kewajaran atau kealamian, yugen bermakna atau rasa yang mendalam, datsuzoku kebebasan yang tidak terikat, shibui kesederhanaan dan keindahan seadanya, wabi kekayaan dalam kesederhanaan, sabi kesendirian dan ketidakberaturan, dan seijaku hening atau tenang. Nilai-nilai tersebutlah yang nantinya akan ditunjukkan dalam estetika keramik tradisional Jepang.

2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang