Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
3.2 Nilai Kealamian
Yang dimaksud dengan kealamian adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, secara wajar dan tidak dibuat-buat, tanpa diawali dengan pemikiran
atau tujuan tertentu. Di sisi lain, kealamian berkaitan dengan situasi alam. Zen Buddhisme dalam hal ini, lebih menitikberatkan dalam suasana tenang, tidak
tegang seperti suasana yang diekspresikan dalam upacara minum teh cha no yu. Demikian pengertian kealamian yang dimaksud dalam ajaran Zen Buddhisme,
yaitu menekankan pada sesuatu yang terjadi secara alami akan menghasilkan bentuk-bentuk unik dan tiada duanya.
Nilai kealamian dalam seni keramik tradisional Jepang dapat dilihat dari proses pembuatan keramik tersebut, yaitu:
1. Pengolahan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan merupakan tanah liat alami. Maksudnya adalah bahwa tanah liat tersebut diambil langsung dari alam daerah perbukitan.
Bukan menggunakan bahan sintesis atai bahan buatn yang diolah dari campuran bahan-bahan kimia.
2. Pembentukan Keramik
Permukaan keramik kasar, sesuai dengan hakikat tekstur tanah liat secara alami yang tidak licin atau halus.
3. Dekorasi dan Pewarnaan
a. Keramik menggunakan larutan tanah yang diperoleh secara alami
dari alam, berwarna krem, cokelat atau cokelat tua. Setelah tanah liat dibentuk, kemudian di olesi atau dicelupkan ke dalam larutan
tersebut sehingga keramik menjadi berwarna lebih muda dan cerah.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai penutup permukaan keramik, sehingga pada saat pengglasiran, tekstur tanah liatnya
tidak rusak. b.
Sebagai glasir transparan, masyarakat Jepang menggunakan garam dapur untuk melapisi permukaan keramik. Selain itu, sebagai glasir
juga digunakan abu kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar dalam tungku pembakaran.
c. Warna keramik menjadi kusam karena glasir yang tidak rata atau
sama sekali tidak dilakukan proses glasir. 4.
Pembakaran a.
Pembakaran dilakukan di dalam lubang-lubang tanah yang kemudian ditutup dengan dahan-dahan kering ataupun jerami yang
sekaligus berfungsi sebagai bahan bakar. Tidak menggunakan listrik atau gas, sehingga pembakaran lebih alami.
b. Masyarakat Jepang juga menggunakan teknik pengasapan
pembakaran reduksi, yaitu dengan memasukkan daun cemara yang basah ke dalam perapian atau tunggku pembakaran. Asap
tersebut kemudian mengakibatkan keramik dalam tungku menjadi berwarna hitam.
c. Dalam tungku pembakaran, akibat api perapian yang tidak stabil,
mengakibatkan loncatan glasir abu kayu bakar yang menjadi dekorasi atau hiasan yang khas pada permukaan keramik.
d. Retak pada permukaan keramik yang diakibatkan proses pembakan
juga menunjukkan nilai kealamiannya.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
e. Bentuk asimetris atau tidak beraturan juga diperoleh secara alami
ketika proses pembakaran terjadi. f.
Secara alami, api dalam suhu pembakaran yang tinggi mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk, warna dan tekstur
keramik. Menurut Zen Buddhisme, bentuk seperti ini tidak dapat ditandingi oleh bentu-bentuk yang sengaja dibuat secara
konseptual. Untuk lebih memahami penjelasan di atas, berikut ini penulis menyertakan
beberapa gambar keramik beserta penjelasan yang berhubungan dengan nilai kealamian pada keramik.
. a.
b.
Gambar 2. Cangkir Sake Bizen Guinomi BZ-121, 2009. Pengrajin: Mimura Kimiko, Okayama, Jepang. Diameter: 2.5” 6.4cm. Tinggi: 2” 5.3cm. Harga: US52.00
Keterangan gambar 2: -
Kealamian tampak pada warna cangkir yang kusam a. karena tidak mengalami proses pengglasiran.
- Warna kehitaman pada cangkir b. diakibatkan oleh teknik
pembakaran reduksi yang alami dengan menggunakan daun cemara
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
yang basah. Asap dari pembakaran daun cemara yang basah tersebut kemudian memberikan warna kehitaman pada cangkir. Warna
kehitaman ini dimanfaatkan sebagai dekorasi keramik yang menunjukkan adanya nilai kealamian pada keramik ini.
- Permukaan cangkir kasar, sesuai dengan hakikat tekstur tanah liat yang
tidak licin dan tidak halus. Hal ini juga membuktikan bahwasanya dalam keramik ini terdapat nilai kealamian.
ketidaksimetrisan dekorasi biji wijen tanda hangus
tanda retak
a. b.
Gambar 3. Gambar a. Sake Set Sangiri Bizen-128. Pengrajin: Seno-o Yusei Kiln, Okayama, Jepang. Tinggi botol: 5.1” 13.2cm.
Tinggi cangkir: 2.1” 5.5cm. Harga: US278.00 Gambar b. Furisode, Shino Tea Bowl abad ke-16. Seto, Jepang
Keterangan gambar 3: -
Pada gambar a terdapat tanda hangus. Tanda hangus yang terdapat pada keramik ini secara tidak langsung merupakan dekorasi yang
alami. Tanda hangus ini dihasilkan pada proses pembakaran keramik.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
- Keramin Bizen pada gambar a menggunakan dekorasi biji wijen.
Dekorasi pada keramik Bizen ini dihasilkan secara alami saat proses pembakaran. Dekorasi biji wijen ini kemudian menjadi ciri khas
keramik Bizen yang menunjukkan nilai kealamiannya. -
Dekorasi biji wijen ini dihasilkan pada saat proses pembakaran keramik. Hal ini disebabkan oleh api dalam tungku pembakaran yang
tidak stabil mengakibatkan loncatan abu kayu bakar menempel pada permukaan keramik sehingga secara alami menghasilkan bentuk
seperti biji wijen pada permukaan keramik dan disebut sebagai dekorasi biji wijen.
- Pada gambar b terdapat tanda retak pada permukaan keramik. Tanda
retak ini menunjukkan kealamian pada keramik. Tanda retak tersebut dihasilkan secara alami pada proses pembakaran keramik.
- Pada gambar b terdapat ketidaksempurnaan keramik berupa tanda
retak. Selain tanda retak, pada gambar b juga terdapat tanda hangus yang juga merupakan ketidaksempurnaan yang dihasilkan pada proses
pembakaran. Keduanya dimanfaatkan sebagai dekorasi yang alami pada keramik.
- Ketidaksimetrisan atau ketidaksempurnaan bentuk maupun tekstur
serta dekorasi keramik pada gambar a dan b menunjukkan nilai kealamiannya. Hal ini diperoleh secara alami pada proses pembakaran.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa keramik tradisional Jepang mengandung nilai ajaran Zen Buddisme mengenai kealamian, yaitu shizen.
Karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa shizen menekankan pada
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
kealamian yang mengikutu garis alam, spontan, melibatkan keseluruhan unsur tanpa paksaan, dan tidak mengakui adanya unsur buatan.
3.3 Nilai Kesederhanaan