Dasar-dasar Estetika Jepang TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG

Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Konsep yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah wabi-sabi. Wabi artinya mencari kesempurnaan dalam kemiskinan dan kecantikan dalam kesederhanaan dan juga menikmati hidup bebas yang tenang. Wabi juga merupakan konsep keindahan dalam upacara minum teh. Sedangkan sabi adalah kesepian, pasrah, ketenangan, namun masih bersemangat. Konsep sabi ini juga digunakan dalam upacara minum teh yang kemudian mempengaruhi perkembangan keramik tradisional di Jepang. Estetika wabi-sabi tersebut mengekspresikan beberapa nilai ajaran Zen yang tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami. Diantaranya adalah fukinsei asimetris atau ketidakteraturan, kanso kesederhanaan yang rapi dan segar, koko esensi, shizen kewajaran atau kealamian, yugen bermakna atau rasa yang mendalam, datsuzoku kebebasan yang tidak terikat, shibui kesederhanaan dan keindahan seadanya, wabi kekayaan dalam kesederhanaan, sabi kesendirian dan ketidakberaturan, dan seijaku hening atau tenang. Nilai-nilai tersebutlah yang nantinya akan ditunjukkan dalam estetika keramik tradisional Jepang.

2.3 Dasar-dasar Estetika Jepang

Estetika merupakan suatu bidang studi yang membahas keindahan dalam suatu karya seni. Estetika bagi masyarakat Jepang dikenal dengan istilah bigaku. Istilah ini ditemukan oleh Nakae Chomin pada tahun 1883. Walaupun istilah estetika baru ditemukan pada tahun 1883, namun pemahaman masyarakat akan estetika itu sendiri, sudah sejak zaman Heian. Ini terbukti dari jumlah karangan yang memuat sifat-sifat alami dari seni musik, seni tari, seni taman, seni puisi dan seni drama. Karangan –karangan tersebut, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. pemikiran estetika China, khususnya estetika Confucian klasiknya. Hal ini disebabkan karena konsep-konsep dan istilah-istilah estetika yang muncul dan berkembang pertama kali di Jepang berasal dari China.

2.3.1 Nilai Estetika Jepang Secara Umum

Melihat pengaruh pemikiran estetika China di Jepang, pengarang- pengarang Jepang, seperti Ki No Tsurayuki, Fujiwara No Kinto dan pengarang- pengarang lainnya, semakin berusaha menciptakan karya sastra khas buatan Jepang asli. Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil yang baik, dengan munculnya karangan dalam bidang puisi dan drama yang dinyatakan bebas dari pengaruh China. Keberhasilan mereka diikuti oleh pengarang-pengarang wanita, seperti Murasaki Shikubu dan Sei Shonagon. Mereka juga menciptakan esei, catatan harian dan prosa fiksi dengan konsep estetika mereka sendiri dan dinyatakan bebas dari pengaruh China. Pada zaman Kamakura dan Muromachi, konsep estetika cenderung dipengaruhi oleh ajaran agama Budha. Hal ini dapat dilihat pada tulisan Fujiwara No Toshinari dalam puisi, Koma Chikazane dalam musik, Prince Shonen dalam kaligrafi, Zeami dan Zenchiku dalam drama, Murata Juko dalam upacara minum teh, dan Ikenobo Seno dalam merangkai bunga. Semua karya seni mereka tersebut dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang menekankan pentingnya pelatihan spiritual. Pelatihan spiritual ini dilakukan agar makna estetika dalam karya-karya seni mereka itu dapat lebih dipahami dengan jelas. Pada tahap berikutnya di zaman Edo, variasi konsep estetika Jepang menjadi lebih beragam, lebih humanis, dan lebih menekankan peran emosional Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. dari pengarang dan apresiasi dari penontonnya. Hal ini terbukti dari tulisan Yagyu Muenori dalam seni berperang. Tosa Mitsuoki dalam seni lukis, dan Basho dalam Haiku. Dalam seni tersebut dimuat sejumlah ide-ide tradisional Jepang yang tetap dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Bukti yang lain dapat dilihat dari munculnya beberapa pemahaman estetika di Jepang. Pemahaman yang pertama kali muncul di zaman Edo adalah pemahaman Confusianis dengan teori seninya yang lebih pragmatis. Kemunculan teori seni ini, ditolak oleh beberapa seniman di Jepang, seperti Motoori Norinaga dan Hirata Atsutane. Penolakan mereka ditandai dengan munculnya teori seni baru yang berasal dari paham Shinto klasik. Akibat perkembangan kedua teori seni tersebut banyak muncul tulisankarangan seni, terutama tentang Joruri dan Kabuki, yang menggunakan paham Buddha, Confusian dan Shinto. Pemahaman yang kedua mengatakan bahwa nilai estetika seni yang utama terdapat antara alam dan manusia. Agar dapat menikmati estetika seni tersebut, seorang seniman harus bersatu dengan subjek seninya dan merasakan kehidupan subjeknya itu dari dalam. Pemahaman yang ketiga mengatakan bahwa estetika seni hanya terdapat pada seni yang halus, mewah dan indah, sedangkan pada seni yang kelihatannya kasar, sederhana dan buruk, estetika seni sulit didapatkan. Estetika seni ini hanya dapat diperoleh melalui proses penyeleksian unsur-unsur keindaham seni, karena di dalam proses tersebutlah unsur-unsur kekasaran, kesederhanaan, dan keburukan tadi akan dikurangi. Walaupun banyak muncul konsep-konsep estetika pada zaman Edo, tetapi ada konsep yang paling digemari pada masa itu, yaitu konsep keagungan. Konsep Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. keagungan ini memiliki makna konotasi yang sama dengan Furyu, Yugen, Iki, dan Sui. Konsep estetika lain yang juga cukup digemari adalah konsep sementara, konsep kehalusan, dan konsep kerapuhankebinasaan. Konsep ini kemudian digabung dengan faham Buddha yang akhirnya menghasilkan suatu nilai estetika ideal seperti momo no oware, yugen, wabi, dan sabi yang sangat dihargai oleh para seniman Jepang selama berabad-abad. Selain itu, konsep kesederhanaan juga sangat dihargai di Jepang. Konsep ini menekankan pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan misteri alam Misteri alam di Jepang tidak oernah dideskripsikan dalam bentuk uraian tetapi dalam bentuk simbol-simbol dan menolak pemakaian ornamenthiasan yang berlebihan. Intinya, konsep ini menganjurkan sifat yang sewajarnya atau sealamiah mungkin dan menghindari banyaknya campur tangan manusia. Memasuki zaman Meiji, estetika Barat mulai diperkenalkan di Jepang oleh Nishi Amame, Nori Ogai dan seniman lainnya. Seiring dengan itu, didirikanlah sebuah pusat pelatihan estetika oleh Universitas Tokyo, dengan mempekerjakan pengajar dari Barat untuk pertama kalinya. Akibatnya, orang-orang yang pertama kali ahli dalam estetika Jepang adalah orang Barat. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama, konsep estetika di zaman Meiji mulai mengalami perubahan ketika Kuki Shizo dan Omishi Yoshinori, kembali merintis studi filsafat estetika yang sebelumnya pernah berkembang di zaman Edo. Tindakan perintisan studi filsafat estetika ini, akhirnya memunculkan konsep-konsep estetika yang terus berkembang sampai sekarang di Jepang. Penjelasan mengenai nilai-nilai estetika tresebut dapat dilihat dalam uraian berikut: Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. 1. Iki 牀鴪 Iki berarti “semangat” atau “hati”. Suatu bentuk semangat yang tinggi dan hati yang bersih. Iki menunjukkan orang yang bersemangat tinggi dalam berbicara, bertingkah laku, dan berpakaian. Orang yang memiliki konsep Iki biasanya bersifat ceria, tenang, dan berpikiran terbuka. Iki juga menunjukkan keindahan yang penuh warna, tidak sempurna, artistik, sederhana, romantis, dan asli. Iki tidak ditemukan dalam alam tetapi dalam diri manusia itu sendiri yang menghargai keindahan alam. Penggunaan iki terdapat dalam kepribadiankelakuan manusia, arsitektur, desain pakaian dan lain-lain. 2. Sui Sui berarti “inti yang murni”. Sui menunjukkan orang yang mengerti dengan baik akan hidup dan penderitaan orang lain. Penggunaan sui terdapat dalam roman Koshoku Ichidai Otoko karangan Ihara Saikaku. Karangan tersebut menggambarkan kemajuan seorang manusia yang pada awalnya sama sekali tidak mengenal pengetahuan, tapi akhirnya mengenal bahkan menguasai pengetahuan tersebut dengan bantuan teman-temannya. 3. Mujou 炒 Mujou berarti suatu ketidakkekalan. Mujou menunjukkan bahwa setiap manusia pasti mati tidak ada yang kekal dan semua keadaan pasti berubah. Penggunaan mujou terdapat dalam karya-karya sastra abad pertengahan seperti Haiku dan esei. Contohnya dalam dongeng “Heike” digambarkan kejatuhan Heike, seorang samurai kelas atas yang pada awalnya memiliki kemakmuran dan kekuatan besar, namun akhirya kemakmuran dan kekuatannya itu berakhir menjadi keruntuhan. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. 4. Mono no Oware Mono no Oware berarti kedalaman perasaan manusia dalam kehidupan alam dan manusia. Mono no Oware berhubungan dengan kesedihan di bawah keadaan tertentu yang diikuti penghargaan dan kegembiraan. Jadi dapat dikatakan bahwa mono no oware menunjukkan perasaan manusia yang berhubungan dengan ketidakkekalan. Penggunaan mono no oware terdapat dalam Heike Monogatari, Genji Monogatari dan kritik-kritik sastra lainnya. 5. Ma Ma berarti interval dalam waktu dan tempat, namun bukan berarti kosong sama sekali. Ma berhubungan dengan ritme dan pernafasan. Penggunaan Ma terdapat dalam musik, tarian, cerita, lukisan, Kabuki, dan Noh. 6. Furyuu ╂ Furyuu berarti terpelihara dalam tingkah laku. Furyuu menunjukkan rasa kagum untuk orang yang bekerja dalam seni. Penggunaan furyuu terdapat dalam : seni sastra dan seni visual. Contohnya, cerpen “furyubutsu” karangan Koda Rohan, yang menceritakan penyatuan cinta, seni, agama, dan lukisan Yosa Buson. Nilai-nilai esteika di atas terus mengalami perkembangan hingga saat ini, sehingga bentuknya sangat beragam dan jumlahnya sangat banyak. Namun, walaupun bentuknya beragam dan jumlahnya sangat banyak, semuanya tetap memusatkan konsep utamanya pada alam karena alam tidak bias dipisahkan dari kehidupan seni di Jepang, dimana alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang. Alam jugalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh makna dalam hidupnya, dan alam pulalah yang saling memperdalam antara regiolitas dan semangat hidup orang Jepang. Itulah mengapa orang Jepang Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. mendefenisikan estetika sebagai keindahan yang alami, murni, dan sesedikit mungkin dipengaruhi oleh rekayasa tangan manusia.

2.3.2 Nilai Estetika Jepang Berdasarkan Ajaran Zen Buddhisme

Pengaruh estetika Jepang tentulah tidak hanya ditemukan dalam wujud- wujud alami saja, tetapi juga dalam wujud religiolitas dalam keagamaannya. Berikut akan kita lihat bagaimana sebenarnya estetika Jepang dalam kehidupan religiolitasnya, khususnya religiolitas yang dipengaruhi oleh ajaran Zen, karena ajaran Zenlah yang sebagian besar mempengaruhi konsep estetika seni keramik Jepang. Istilah Zen sebenarnya berasal dari bahasa China “C’han” yang secara harfiah bebarti “meditasi”. Istilah ini mulai masuk dalam kebudayaan Jepang sejak abad 13. Secara lebih luas, istilah Zen sering juga digambarkan sebagai berikut: Sebuah transmisi khusus di luar kata-kata, Tidak ditemuka n di atas kata-kata dan surat-surat, Secara langsung menunjuk kepada pemikiran manusia, Memahamim ke dalam alam seseorang dan mencapai alam Buddha. Gambaran klasik Zen yang terdiri dari 4 baris tersebut, menjelaskan bahwa Zen adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan demikian menjadi Buddha. Selain itu, Zen juga dijelaskan sebagai sebuah seni yang mampu meleluasakan kekuatan-kekuatan alami, mencegah kelesuan manusia dan menyemangati manusia menuju kebahagiaan. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Zen sendiri, memiliki pendekatan yang unik dalam memandang realitas. Menurut Zen, setiap orang harus telebih dahulu berhenti dan merenung dalam keheningan untuk melihat apakah semua memang ada sebagai mana adanya as they are. Pendekatan Zen dalam memandang keindahan pun demikian. Setiap orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam. Berdasarkan pemikiran Zen Buddhisme, untuk dapat memahami keindahan harus dapat memisahkan antara keindahan alami dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya keindahan. Di lain pihak Zen Buddhisme tidak dapat memberi arti sepenuhnya terhadap makna yang terkandung dalam keindahan. Menurut pemikian Zen Buddhisme, rasa keindahan lahir ketika terjadi proses perlawanan antara subjek dan objek yang tidak terselesaikan. Selanjutnya, anatara subjek dan objek tersebut telah larut dalam kenyataan dan secara keseluruhan tidak saling mempertentangkan. Misalnya, tidak mempertentangkan antara keindahan dan kecacatan, karena sesuatu yang sempurna belum tentu indah, sebaliknya sesuatu yang indah bukan berarti yang sempurna. Dengan demikian pengertian Zen Buddhisme mengenai nilai estetika merupakan keindahan yang alami. Berkaitan dengan itu, Zen Buddhisme menggunakan istilah kensho ken = melihat; sho = hakikat, inti. Penggabungan kedua kata tersebut secara harfiah mempunyai arti “melihat dalam keadaan yang sesungguhnya”. Dalam pemikiran Zen Buddhisme tersebut, untuk memahami suatu karya seni haruslah mampu menghilangkan sujektifitasnya, sehingga mampu menerima kehadiran objek sebagaimana adanya dengan menggunakan intuisi. Pendekatan seperti ini Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. menujukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika. Pengaruh pandangan Zen Buddhisme tentang keindahan itu sendiri tampak jelas pada kebudayaan khususnya kesenian dalam masyarakat Jepang. Pandangan Zen Buddhisme tentang estetika terkonsep dalam estetika wabi-sabi yang mengekspresikan nilai-nilai ajarannya yang tidak terlepas dari kewajaran dan kealamian. Adapun nilai-nilai estetika tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fukinsei 秦于艝 Fukinsei berarti suatu bentuk yang tidak teratur asimetris, tidak sempurna, dan tidak terorganisir. Penggunaan fukinsei terdapat pada seni pertamanan, seni lukis, ikebana, seni keramik, dan seni bonsai. 2. Kanso Kanso berarti suatu bentuk yang sederhana, rapi tidak berantakan, dan segar. Sederhana di sini berarti sederhana yang alami. Penggunaan Kanso terdapat dalam seni pertamanan, seni lukis, seni bonsai, dan seni keramik. 3. Kouko 幣 Kouko berarti suatu kedewasaan berdasarkan umur dan penampilan, dan mampu melihat dari berbagai sisi. Kouko berhubungan dengan rasa menikmati keindahan alam dengan seutuhnya. Penggunaan Kouko terdapat dalam kayu lapuk, batu taman, pohon antik, batu keramat, lingkungan, dan cuaca. 4. Shizen Shizen berarti suatu bentuk kealamian, spontan, dan melibatkan keseluruhan unsur tanpa adanya paksaan. Penggunaan Shizen terdapat dalam seni keramik. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. 5. Yuugen 杠仼 Yuugen berarti suatu bentuk kemisteriusan, ketidakberaturan alam, dan rasa yang mendalam. Keindahan yugen muncul melalui sedikit kata-kata atau sapuan kuas yang dapat menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak terkatakan. Penggunaan yuugen antara lain terdapat dalam seni pertamanan, seni keramik, dan ikebana. 6. Datsuzoku ㋸態 Datsuzoku berarti suatu kejutan, fantasi, dan kreativitas yang mengakibatkan aturan. Penggunaan datsuzoku terdapat dalam penggunaan pasir dan batu pada seni pertamanan yang menggambarkan kejutan tersendiri bagi orang yang melihatnya, serta dalam seni keramik. 7. Shibui 嚙広 Shibui berarti suatu bentuk kesederhanaan, kemudahan, dan keindahan yang seadanya. Penggunaan shibui terdapat dalam arsitektur, desain interior, seni keramik, dan lain-lain. Contohnya, dalam seni keramik desain dan dekorasi yang dihasilkan sangat sederhana, sehingga para pengrajin keramik sering disebut “shibui”, karena keahlian mereka adalah membuat keramik indah namun tanpa terlihat berlebihan. 8. Wabi 腰砿 Wabi berasal dari kata wabu yang berarti memisahkan diri, dan wabishi yang berarti sendirian, yang menunjukkan bagaimana menderitanya orang yang jatuh dalam kondisi tidak menguntungkan. Jadi dapat dikatakan bahwa arti asli dari wabi adalah suatu bentuk kesendirian atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, merenungkan arti kesengsaraan dan kebahagiaan. Dalam sastra, wabi Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. berarti kesedihan dan kemiskinan. Kemiskinan di sini bukan berarti tidak memiliki apapun, tetapi tidak bergantung pada harta materi. Wabi adalah membebaskan diri dari harta, kegemaran, keangkuhan, dan menyatukan diri dengan alam dan kenyataan. Wabi merupakan kesenangan akan hal sederhana. Dapat disimpulkan bahwa wabi adalah jalan kehidupan spiritual yang dipakai dalam menghargai benda dan seni. Prinsip Zen Buddisme tentang wabi adalah gabungan prinsip Confucius, Tao, Budha dan Shinto yang terfokus pada pandangan pertapa dan mengapa pertapa mengejar hidup terang dalam kesendirian. Prinsip filosofinya adalah mengurangi ego dan dunia materi yang memberikan penderitaan, ketakutan akan kematian, penghargaan terhadap hidup dan menyelaraskan hidup dengan alam. Menurut Sen No Rikyu, wabi adalah suatu bentuk kekayaan dalam kemiskinan dan keindahan dalam kesederhanaan. Penggunaan wabi terdapat dalam upacara minum teh, seni pertamanan, waka, haiku, renga, seni keramik, dan lain-lain. 9. Sabi 廝 Sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan, dan ketidakberaturan. Sabi mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan secara umum. Penggunaan sabi terdapat dalam puisi, upacara minum teh, seni keramik, ikebana, dan lain-lain. 10. Seijaku 廝 Seijaku berarti suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan ketentraman ke arah pencerahan. Seijaku berhubungan dengan suatu keadaan aktif yang tenang tanpa ada gangguan. Penggunaan seijaku terdapat dalam perasaan seseorang ketika melihat matahari terbit dan terbenam. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010. Dengan melihat penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai-niai estetika Zen Buddhisme memusatkan titik estetikanya pada alam. Jadi, jelas bahwa konsep estetika Zen Buddhisme memiliki kesamaan dengan konsep estetika yang diakui masyarakat Jepang secara umum. Persamaannya terletak pada alam sebagai pusat estetika, karena alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dimana manusia adalah bagian dari alam. Alam tidak untuk ditaklukkan, tetapi untuk dihormati dan dihargai. Penghormatan dan penghargaan terhadap alam tampak dalam berbagai aspek budaya Jepang, salah satunya tampak pada nilai-nilai estetika yang berkembang dalam masyarakat Jepang baik secara umum maupun berdasarkan ajaran Zen Buddhisme. Nilai-nilai ajaran Zen Budhisme mengenai estetitka sangat mempengaruhi esteika keramik Jepang. Penjelasan mengenai nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme yang sangat mempengaruhi estetika keramik Jepang dapat kita lihat pada bab berikut. Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.

BAB III NILAI-NILAI ZEN BUDDHISME DALAM ESTETIKA KERAMIK