Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KERAMIK TRADISIONAL JEPANG
DAN ESTETIKA ZEN BUDDHISME DI JEPANG
2.1 Sejarah dan Perkembangan Keramik di Jepang
Seni keramik adalah seni yang paling sederhana dan sekaligus paling rumit dalam proses pembuatannya, karena dalam proses tersebut sangat bergantung
pada alam. Seni keramik dipandang dari segi bentuk merupakan seni murni, atinya seni yang terbebas dari segala macam peniruan dan mempunyai esensi
paling abstrak. Selain itu, seni keramik merupakan hasil kebudayaan manusia yang
terwujud dalam bentuk keramik serta memiliki fungsi dan nilai-nilai tertentu. Keramik diproses melalui beberapa tahapan dan dari berbagai komponen bahan
baku yang diperoleh dari lingkungan alam. Ditinjau dari bahan dasarnya, keramik mempunyai arti suatu barang atau benda yang berasal dari bahan alam, tanah dan
batu-batuan silikat, anorganis, non logam, yang pembuatannya melalui proses pembakaran suhu tinggi.
Selain itu, dikatakan pula bahwa yang termasuk keramik bukan hanya produk-produk yang berupa guci, melainkan termasuk bahan bangunan semen,
batu bata, kapur tohor, genteng dan lain-lain, bahan refrektori bata tahan api dan semen tahan api dan sebagainya, bahan email, bahan gelas, dan porselen Astuti,
1997:6. Selanjutnya keramik juga diklarifikasikan berdasar struktur bahan dan temperatur suhu bakarnya, yaitu: gerabah earthen ware , tembikar stone ware,
dan porselen.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Kendatipun keanekaragaman jenis keramik yang diuraikan di atas, penulisan ini difokuskan pada pengertian seni keramik, yaitu hasil karya manusia
yang menggunakan medium tanah liat sebagai wadah apresiasi manusia.
2.1.1 Sejarah Keramik Tradisional Jepang
Keramik pertama kali dibuat di Jepang sekitar 13.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, benda yang dihasilkan secara umum adalah berupa periuk besar
untuk merebus. Dekorasinya dihasilkan dengan cara menggiling atau menekankan jalinan tali pada permukaannya. Karena pola dekorasi inlah, barang tanah liat
pada zaman ini disebut dengan jomon doki jo = tali; mon = pola; doki = barang tanah liat. Sekitar 5.000 tahun yang lalu, selama zaman Jomon, beberapa desain
yang sangat dinamis muncul, termasuk ornament ombak pada bibir periuk dan pola-pola aneh yang menutupi setiap permukaannya.
Pada zaman Yayoi berikutnya, jenis tembikar baru diperkenalkan dari semenanjung Korea. Tembikar Yayoi merupakan bagian dari kehidupan sehari-
hari masyarakat Jepang pada saat itu, terutama digunakan sebagai tempat penyimpanan, memasak dan peralatan makan. Tembikar pada zaman ini tidak
semeriah pada zaman Jomon dan warnanya yang muda menciptakan kesan lembut. Sekitar abad ke-7, para pengrajin Jepang pergi mempelajari teknik-teknik
pembuatan keramik ke Korea dan Cina. Mereka mempelajari menggunakan glasir dan pembakaran dengan suhu rendah. Selama berabad-abad masyarakat Jepang
menggunakan teknik seperti yang dilakukan di Cina dan Korea. Pada sekitar abad ke-11 ajaran Zen Buddhisme masuk ke Jepang dari Cina.
Munculnya Zen Buddhisme di Jepang diikuti dengan masuknya kebudayaan Cina,
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
termasuk diantaranya budaya penjamuan teh. Dalam perkembangannya, Zen telah memiliki pengaruh yang kuat pada kebudayaan Jepang.
Bersamaan dengan itu, berkembang pulalah kebudayaan penjamuan teh yang kemudian dikenal dengan cha no yu atau cha do. Zen Buddhisme sangat erat
hubungannya dengan upacara minum teh. Berdasarkan Zen Buddhisme, upacara minum teh merupakan perwujudan dalam mencari keindahan yang mendalam,
serta berperan penting dalam pengembangan kepekaan estetis dan rasa keindahan. Di lain sisi, upacara minum teh memberikan pengaruh besar terhadap
perkembangan keramik di Jepang. Para ahli atau guru pada upacara minum teh ingin agar peralatan makan dan minum mereka juga mengekspresikan semangat
Zen khususnya nilai estetikanya estetika wabi-sabi, sehingga kemudian menggunakan pengaruh mereka untuk memerintahkan para pengrajin keramik
untuk membuat peralatan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Karya-karya keramik di Jepang pun terimbas dengan falsafah ajaran Zen
Buddhisme. Bentuk keramik yang dihasilkan sangatlah sederhana, alami dan bahkan asimetris atau tidak beraturan bentuknya.
2.1.2 Pengertian Keramik Tradisional Jepang
Keramik dapat digolaongkan menjadi dua jenis, yaitu keramik tradisional dan keramik canggih atau keramik modern. Dalam pembahasan ini hanya akan
membahas mengenai keramik tradisional saja, khususnya keramik tradisional Jepang. Untuk selanjutnya akan disebut dengan kata “keramik” saja.
Keramik dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu gerabah earthen ware, tembikar stone ware, dan porselen. Ketiganya terbuat dari bahan baku
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
tanah liat yang berbeda-beda. Namun gerabah dan tembikar memiliki persamaan, yaitu tanah liatnya berwarna merah dan bersifat plastis, sedangkan porselen tanah
liatnya putih dan tidak plastis sehingga tidak dapat diolah dengan tangan. Dalam perkembangannya, keramik putih atau porselen tidak mendapat
pengaruh berarti dari ajaran Zen Buddhisme, sehingga keramik porselen tidak digunakan dalam upacara minum teh. Hal ini disebabkan sifat tidak plastis yang
dimiliki oleh porselen yang mengharuskannya menggunakan peralatan khusus dan bahan tambahan berupa zat kimiawi dalam proses pembuatannya. Hal ini
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Zen Buddhisme tentang kealamian dan kesederhanaan.
2.1.2.1 Proses Pembuatan Keramik Tradisional Jepang
Proses pembuatan keramik terdiri dari: pengolahan bahan baku, pembentukan, dekorasi dan pewarnaan, serta pembakaran. Proses pembuatan
keramik akan diuraikan dalam penjelasan berikut ini: 1.
Pengolahan Bahan Baku Sebelum melakukan pembentukan, harus dilakukan pengolahan bahan
baku tanah liat mentah yang diambil dari alam yang kemudian dibersihkan dari kotorannya dengan cara menghancurkan funsai. Setelah bersih dan sempurna
seisei, bila perlu dicampur dengan bahan baku lainnya seperti talk, kwarsa dan lain-lain, sesuai dengan komposisi yang dikehendaki. Proses tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan metode basah maupun metode kering. Untuk mendapatkan hasil pencampuran yang maksimal perlu dilakukan penguletan
tsuchineri.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Penguletan tsuchineri dilakukan dalam tiga tahap. Tahap penguletan pertama aramomi, yaitu dengan cara mendorong tanah liat kemudian
menariknya kearah belakang yang bertujuan untuk memperoleh homogenitas tanah liat. Tahap pertama ini dilakukan 10 sampai 15 kali. Tahap kedua
penguletan kikumomi atau nejimomi berfungsi untuk menghilangkan gelembung udara yang terdapat dalam bungkahan tanah liat. Caranya yaitu dengan memutar
tanah liat dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri digunakan sebagai tumpuan. Tahap ini dilakukan sampai tanah liat berlipat-lipat melingkar
menyerupai bunga seruni kiku. Tahap ketiga adalah penguletan terakhir momiage. Tahap ini berfungsi untuk menambah keplastisan tanah liat dengan
cara seperti pada tahap kedua, tetapi dibentuk memanjang, kemudian tanah liat siap dibentuk.
2. Pembentukan Keramik Seikei
Teknik yang dilakukan untuk pembentukan keramik ada tiga macam, yaitu pembentukan dengan menggunakan tangan tezukuri, pembentukan dengan
menggunakan putaran rokuro seikei, dan pembentukan dengan menggunakan cetakan katazukuri.
1 Pembentukan dengan Menggunakan Tangan Tezukuri
Pembentukan yang dilakukan dengan menggunakan tangan merupakan teknik tradisional sebelum teknik menggunakan alat putar dikenal oleh
masyarakat Jepang. Teknik Tezukuri sampai saat ini masih dipertahankan masyarakat Jepang. Terdapat tiga macam teknik yang termasuk teknik Tezukuri,
yaitu:
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
a. Teknik Pijit
Teknik pijit yaitu suatu pembentukan yang secara langsung dilakukan dengan cara memijit-mijit gumpalan tanah liat yang telah melalui proses
pengolahan sehingga membentuk sebuah bentuk sesuai dengan desain yang dikehendaki. Teknik pijit juga disebut dengan teknik Raku.
b. Teknik Lilitan
Teknik lilitan merupakan suatu pembentukan benda dengan cara melingkarkan lilitan tanah liat sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, kemudian
pada bagian dalamnya deratakan agar lilitan yang melingkar tersebut menyatu. c.
Teknik Lempengan Teknik lempengan merupakan suatu teknik pembentukan dengan
menggunakan lempengan tanah liat. Pada milanya tanah liat digilas siantara dua bialah papan dengan menggunakan rol kayu. Setelah merata dan mempunyai
ketebalan tertentu, lempengan tersebut dipotong sesuai dengan bentuk dan ukuran yang dikehendaki. Untuk merekatkan antara bidang yang sau dengan yang lainnya
digunakan slip atau bubur tanah sebagai perekatnya. 2
Pembentukan dengan Menggunakan Alat Putar Rokuro Seikei Teknik ini digunakan sebagai medium melatih konsentrasi pemusatan
pikiran mental dan tubuh dalam meditasi. Jika seseorang tidak melakukan pemusatan pikiran dan tenaga, maka ia tidak dapat membuat keramik dengan
menggunakan teknik ini. Untuk dapat melakukannya diperlukan kedisiplinan dalam berlatih.
Pertama sekali yang harus dilakukan dalam teknik ini adalah meletakkan segumpal tanah liat tepat di tengah-tengan putaran. Kemudian tanah tersebut
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
ditekan dalam keadaan roda berputar untuk mencari pusat lingkaran. Dalam kondisi seperti ini memerlukan daya konsentrasi yang tinggi. Setelah menemukan
titik pusat tanah liat tersebut segera dibentuk lubang sampai mendekati dasar kurang lebih 1 cm dari dasar, kemudian tanah liat dalam posisi berputar ditarik
ke atas, mengikuti gerak tangan. Bila penarikan dilakukan tegak lurus maka akan membentuk silinder, bila digerakkan kearah dalam akan membentuk cembung,
demikian pula jika ditarik ke arah luar maka akan membentuk cekung. 3
Pembentukan dengan Teknik Cetak Katazukuri Pembentukan dengan teknik cetak dilakukan untuk jenis keramik porselen
karena sifat bahan bakunya tidak plastis. Cetakan yang digunakan terbuat dari gibs, dilakukan dengan cara menuangkan bubur porselen ke dalam cetakan hingga
penuh. Kemudian setelah beberapa saat massa dalam cetakan tersebut turun karena kandungan airnya terserap dinding cetakan. Selanjutnya diulang kembali
sampai lapisan dinding cetakan menebal. Waktu penuangan kurang lebih 10 sampai 15 menit, bergantung pada ukurang benda yang akan dibuat. Semakin
besar benda yang akan dibuat maka semakin banyak waktu yang diperlukan untuk peresapan.
Menurut para ahli teh, porselen tidak dapat secara langsung dibentuk dengan tangan dan mempunyai komposisi bahan yang sempurna, sehingga ia
tidak dapat digolongkan sebagai keramik teh. 3.
Dekorasi dan Pewarnaan Dekorasi atau hiasan memiliki sentuhan keindahan tersendiri yang
mencerminkan kekhasan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Penataan unsur-unsur hiasan yang terdiri dari penyederhanaan bentuk-bentuk alam, tekstur
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
dan warna, membentuk suatu motif yang digunakan sebagai dekorasi suatu benda. Hiasan yang menyertai suatu benda dapat diinterpretasikan sebagai simbol, tidak
terbatas pada bentuk-bentuk yang kongkrit atau realistis. Dalam hal ini masyarakat Jeapang memiliki beberapa cara atau teknik dekorasi keramik.
a. Dekorasi Engobe
Engobe adalah suatu larutan tanah bewarna yang diperoleh secara alami ataupun buatan. Pada umumnya engobe alami berwarna krem, coklat, dan coklat
tua dengan temperature bakar 1050 derajat celcius. Penggunaan engobe pada stone ware lebih memberikan kemungkinan warna lebih muda dan lebih cerah
jika dibandingkan dengan penggunaan pada earthen ware gerabah. Hal ini dikarenakan stone ware berwarna dasar krem keputihan atau cenderung berwarna
putih keabu-abuan, sedangkan earthen ware berwarna dasar merah kecoklatan. Selain sebagai pewarna pada dekorasi keramik, engobe memiliki sifat menutup
permukaan benda dengan baik, padat, serta tidak larut jika diglasir. Teknik dekorasi pelapisan engobe dilakukan dengan kuas atau dicelupkan.
b. Dekorasi Irisan Nentori
Menghiasi permukaan benda keramik dengan membuat garis-garis pada permukaannya dalam keadaan setengah kering dengan menggunakan pisau kecil
atau kawat pemotong. c.
Dekorasi Cap Tekan Tataki Ita Menghiasi permukaan benda dengan motif-motif yang telah dipersiapkan
di atas papan kayu. Kemudian ditekan-tekankan pada permukaan benda sehingga membentuk bekas atau cap sesuai dengan desain yang dibuat. Teknik ini selain
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
sebagai dekorasi, juga berfungsi untuk memadatkan permukaan benda sebelum dibakar.
d. Dekorasi Torehan Sisir Kushine
Menghiasi permukaan benda dengan menorehkan sisir sehingga membentuk guratan-guratan garis atau dilakukan dengan cara menorehkan jarum,
batang ranting atau benda-benda runcing lainnya pada permukaan benda yang masih dalam keadaan setengah kering.
e. Dekorasi Isi Inlay Zoogan
Melukis di atas permukaan benda dengan menggunakan benda tajam kemudian bagian-bagian yang tertireh diisi dengan bubur warna. Selanjutnya,
setelah kering dan sebelum di bakar dicelupkan ke dalam glasir transparan. f.
Dekorasi Lilin Cair Roonuki Melelehkan atau menyapukan lilin cair di atas permukaannya setelah
benda di bakar. Sebelum dibakar, benda tersebut terlebih dahulu di celupkan ke dalam glasir pewarna. Lilin berfungsi sebagai penutup permukaan agar tidak
terkena warna. g.
Dekorasi Lelehan nagashigake Bermula dari negri Cina, lelehan-lelehan warna dibuat dengan cara
menuangkan glasir berwarna atau dengan engobe cair pada bagian punggung tempayang atau bagian lengkungan piring, sehingga secara alami warna-warna
tersebut turun, tampak seperti meleleh menghiasi permukaan benda. h.
Dekorasi Tobiganna atau Kusuri Mon Istilah Tobiganna ini sulit diartikan ke dalam bahasa Indonesia karena
dekorasi ini ditemukan dan dikembangkan di Jepang dan tidak dimiliki oleh
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
negara-negara lain. Tobi berasal dari kata Tobu terbang, dan ganna adalah pisau panjang semacam sabit rumput. Dalam teknik ini, sesuai dengan namanya, berupa
cukilan-cukilan pisau. Cukilan-cukilan tersebut dibuat dengan cara membuat ketukan-ketukan pisau di atas permukaan benda setengah kering yang dilumuri
bubur warna engobe, pada saat benda keramik berada dalam posisi memutar di atas pemutar. Pada umumnya, warna yang dilumurkan berbeda dengan warna
dasar stone ware. i.
Dekorasi GlasirYuuyaku Pengglasiran mempunyai pengertian pengaplikasian glasir atau pelapisan
pada permukaan benda yang masih dalam keadaan mentah belum dibakar maupun pada keramik, selagi dalam proses pembakaran pertama. Beberapa cara
yang dilakukan orang Jepang, yaitu dengancara pencelupan, penyemprotan, dan pengolesan. Hakeme adalah termasuk salah satu dari dekorasi glasir dengan cara
mengoreskan kuas besar pada permukaan keramik. Guratan-guratan sapuan kuas tampak melingkar mengikuti arah pemutar.
Sebelum mengenal glasir berwarna, orang Jepang menggunakan glasir transparan dengan memakai garam dapur sebagai pelapis permukaan keramik.
Pewarnaan dilakukan sebelum pengglasiran dengan menggunakan engobe atau oksida pewarna. Selain garam dapur, juga digunakan abu kayu pohon cemara
sebagai glasir dof tidak mengkilat. Masih berkaitan dengan pewarnaan keramik selain dengan menggunakan
pelapisan atau pengglasiran pada permukaan benda keramik, mereka juga melakukan pengasapan pembakaran reduksi yang disebut dengan istilah
“Kokuto”. Pengasapan dilakukan dengan memasukkan daun cemara yang basah
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
ke dalam perapian tungku pembakarn. Asap tersebut menjadikan pembakaran reduksi dan mengakibatkan benda keramik yang berada dalam tungku
pembakaran menjadi hitam. Pewarnaan alami semacam ini ditemukan pertama kali saat ajaran Zen Buddhisme mulai diterapkan dalam prinsip kesenian di
Jepang, khususnya seni keramik. 4.
Pembakaran Keramik Pembakaran merupakan proses terpenting dalam membuat keramik,
karena suatu benda yang terbuat dari tanah liat tidak akan disebut keramik jika tidak melalui proses pembakaran. Pada mulanya, proses pembakaran tidak
dilakukan di dalam tungku pembakaran yang terbuat dari batu tahan api, tetapi dilakukan di dalam lubang-lubang tanah yang ditutup dengan dahan-dahan kering
atau jerami yang sekaligus berfungsi sebagai bahan bakar. Pembakaran semacam ini dapat dilakukan di mana-mana sehingga disebut dengan tungku ladang Bon
firing. Proses pembakaran dapat menentukan kualitas keramik yang dibakar.
Untuk itu, perlu diperhatikan konstruksi tungku, suhu bakar dihasilkan dari listrik, gas, minyak, kayu, sirkulasi api atau jalannya api api naik, api terbalik, dan
yang terakhir dari jenis pembakaran pembakaran oksidasi, pembakaran netral atau pembakaran reduksi. Pada umumnya tungku pembakaran yang ada di
Jepang adalah tungku untuk pembakaran suhu tinggi karena bahan baku keramik adalah jenis stone ware dan prselen. Bahan bakar tungku sebagian besar
menggunakan kayu untuk tungku tradisional, dan gas atau listrik untuk tungku modern. Ada juga beberapa daerah yang menggunakan bahan bakar minyak.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Sebagai sumber panas, listrik dan gas menciptakan temperatur yang stabil sehingga hasil pemakaran sangat sempurna. Sedangkan panas yang dikeluarkan
oleh minyak dan kayu tidaklah stabil karena pengaturan api melalui cerobong asap, sehingga mengakibatkan terjadinya pembakaran reduksi. Namun
pembakaran tersebut bagi orang Jepang dirasakan lebih alami dan lebih digemari. Di Jepang,melakukan pembakaran keramik mempunyai makna tersendiri,
yaitu mengharapkan sesuatu dengan berhati-hati agar konsentrasi yang ada tidak hilang. Dalam situsi seperti itu, biasanya mereka melakukan upacara dengan
minum sake bersama pada saat pembakaran berlangsung dan setelah pembakaran selesai.
2.1.2.2 Jenis-jenis Keramik Tradisional Jepang
Di Jepang, seni keramik sangat berkembang, tidak hanya menjadi rumah bagi seniman atau pengrajin keramik, namun juga merupakan bangsa dengan
populasi penikmat dengan apresiasi yang sangat tinggi terhadap seni keramik. Variasi keramik Jepang sangatlah mengagumkan. Karya-karya seniman keramik
di Jepang belakangan ini semakin menarik perhatian. Berikut merupakan jenis- jenis keramik tradisional Jepang berdasarkan daerah asal atau tempat
pembuatanya:
1. Arita dan Karatsu
Tembikar Arita dipercaya sudah ada sejak abad 16 periode Momoyama, ketika seorang pembuat keramik keturunan Korea, Ri Sampei, menemukan tanah
liat di Arita, Kyushu dan memproduksi porselen. Inilah awal dari pembuatan porselen di Jepang. Bahkan sampai periode Meiji 1868-1911, wilayah Arita
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
merupakan pusat porselen di Jepang dengan gaya Sometsuke, yaitu dekoarasi kebiruan dengan lapisan glasir bawah. Disamping itu juga dikembangkan porselen
bergaya Aka-e yang menggunakan glasir enamel dan polychrome. Tembikar Karatsu juga berasal dari sekelompok orang keturunan Korea.
Kebanyakan produksinya adalah untuk keperluan sehari-hari dan untuk peralatan upacara minum teh cha no yu. Daerah ini memproduksi beberapa jenis tembikar
dengan corak hias berupa glasir besi, dekorasi kuas, bulir, berbintik dan lain-lain. 2.
Hagi Keramik Hagi pada umumnya memproduksi keramik berupa mangkuk
untuk upacara minum teh cha no yu. Keramiknya minim dengan ekspresi pribadi dan pengglasirannya sedikit buram.
3. Bizen
Keramik Bizen tampil sebagai keramik utama dalam upacara minum teh cha no yu. Tanah liatnya kaya akan besi dan dibuat tanpa glasir sama sekali
untuk menampilkan keindahan alami tanah liat. Selain itu proses pembakaran yang sederhana memunculkan tekstur “benang apai” dan “biji wijen” yang
muncul secara alami yang kemudian menjadi ciri khas keramik dari daerah ini. 4.
Kyoto dan Tanba Kyoto terkenal sebagai pusat budaya dan politik serta maju secara kultural
juga menjadi pusat kesenian dan kerajinan. Sehingga tidak mengherankan sebagai pusat seni, Kyoto juga mengalami perkembangan pada kerajinan keramiknya.
Tidak hanya keramik tradisional, tetapi keramik avant-garde pun berkembang di sana.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.
Di daerah Tanba, umumnya keramik digunakan untuk peralatan rumah tangga dan sebagai peralatan upacara minum teh cha no yu.
5. Kutani dan Kanazawa
Kutani terletak di prefektur Ishikawa dengan ibukotanya Kanazawa. Kota ini juga merupakan pusat porselen di Jepang. Keramik Kutani dan Kanazawa
yang diturunkan dari generasi ke generasi memiliki ciri khas pada penggunaan warna dan bentuk yang berani.
6. Seto dan Mino
Daerah ini berkembang sebagai lokasi utama tungku pembakaran keramik sejak zaman kuno hingga sekarang. Teknik pembuatan keramiknya diadopsi dari
Arita, Kyushu. Seiring dengan perkembangan zaman, kini pengrajin keramik di daerah ini mulai menggunakan material dan teknik dari Eropa.
7. Tokyo dan Mashiko
Walaupun telah menjadi pusat budaya dan politik sejak abad 17, Tokyo bukanlah tempat terdapatnya sumber tanah liat dan bukan pula pusat tradisi
pembuatan keramik. Tokyo hanyalah kota pendukung bagi mereka yang ingin menjadi pengrajin keramik. Dikatakan demikian karena Tokyo sangat mendukung
dengan banyaknya institusi seni, seperti universitas seni yang dapat mendukung bagi pembelajaran mengenai seni keramik.
Mashiko terletak di utara Kanto, termasuk prefektur Tokyo, merupakan pusat produksi tembikar rakyat Jepang untuk keperluan sehari-hari sejak zaman
dahulu. Daerah ini menjadi pusat tembikar, berkat kepiawaian pengrajin tembikar Shoji Hamada yang memproduksi dan mengerjakan peralatan sehari-hari dari
tanah liat di akhir era Taisho.
Eva Nurintan Silalahi : Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang, 2010.