Postprandial distress syndrome Epigastric pain syndrome

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas. Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu 2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, terjadi beberapa kali seminggu Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan 2. Dapat timbul bersamaan dengan epigastric pain syndrome

b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigatrium dengan tingkat keparahan sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu 2. Nyeri timbul berulang 3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas epigatrium Universitas Sumatera Utara 4. Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus 5. Gejala – gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnostik kelainan kantung empedu dan sfingter Oddi Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Nteri epigatrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal 2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa 3. Dapat timbul bersamaan dengan postprandial distress syndrome 2.3.7. Penatalaksanaan Dispepsia Orang – orang yang menderita dispepsia dapat diberikan penatalaksanaan yang adekuat. Penatalaksanaan tersebut terdiri atas penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi Djojoningrat, 2014. Masing – masing dari penatalaksanaan tersebut antara lain sebagai berikut. 2.3.7.1. Penatalaksanaan Farmakologi Penatalaksanaan farmakologi dapat dipergunakan, pada umumnya untuk mengatasi kelainan organik pada dispepsia organik, walaupun secara luas digunakan pula untuk kasus dispepsia fungsional Loyd, 2011. Golongan obat yang dipergunakan tersebut antara lain sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 1. Antasida Penggunaan antasida bagi para penderita dispepsia, baik organik ataupun fungsional sudah umum saat ini Djojoningrat, 2014. Antasida yang dipergunakan harus kuat dalam menetralisasi asam lambung dan dapat ditoleransi dengan dosis ulang serta harus bebas dari efek samping yang merugikan McGuigan, 2012. Antasida yang biasa digunakan sendiri terdiri dari berbagai macam komposisi tertentu, yakni terdiri atas preparat aluminium hidroksida, yang berperan dalam proses netralisasi asam hidroklorida membentuk aluminium dan air. Penggunaan aluminium hidroksida yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek samping, yaitu konstipasi dan kekurangan fosfat, karena sifat aluminium yang mengikat fosfat dalam usus, sehingga berefek pada timbulnya lemah, lelah dan anoreksia McGuigan, 2014. Efek samping lain dari penggunaan aluminium hidroksida adalah efek neurotoksik Tarigan, 2014. Preparat magnesium hidroksida juga dapat dijumpai dalam antasida. Preparat ini memiliku sifat yang kuat dalam menetralisasi asam. Terdapat efek samping dari preparat ini, yakni efek pencahar yang menimbulkan diare McGuigan, 2012. Penggunaan magnesium hidroksida tidak dianjurkan untuk penderita gagal ginjal karena dapat menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat Tarigan, 2014. Guna menghindari efek konstipasi dari aluminium hidroksida dan efek diare dari magnesium hidroksida, penggunaan antasida yang mengandung kombinasi dua preparat ini dapat dilakukan McGuigan, 2012. Preparat lain yang biasanya terkandung dalam antasida adalah magnesium trisiklat, kalsium karbonat dan natrium bikarbonat. Magnesium trisiklat jarang dipergunakan karena efek kerjanya dalam netralisasi asam yang lambat dan lemah. Kalsium karbonat dapat digunakan karena merupakan salah satu preparat antasida yang cukup kuat. Saat menetralisasi asam, preparat ini akan diubah menjadi kalsium klorida di lambung. Meski kuat, preparat ini biasanya tidak Universitas Sumatera Utara digunakan sebagai obat utama dalam mengatasi dispesia. Hal ini disebabkan oleh efek sampingya, yakni kalsinosis ginjal dan insufisiensi ginjal, yang jika dibiarkan progresif akan menimbulkan gagal ginjal, serta milk – alkali syndrome yang ditandai oleh hiperkalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan kadar urea, kreatinin dan bikarbonat dalam darah. Preparat antasida yang lain adalah natrium bikarbonat yang cukup kuat dalam menetralisasi asam, namun memiliki efek samping antara lain alkalosis serta efek lain yang ditimbulkan oleh komposisi natriumnya yang tinggi McGuigan, 2012. 2. Obat Pelapis Mukus Obat ini tidak memiliki mekanisme penghambatan sekresi ataupun netralisasi asam lambung. Terdapat beberapa preparat untuk obat golongan ini. Salah satu jenis preparat tersebut adalah sukralfat, yang merupakan suatu kompleks garam polialuminium hidroksida McGuigan, 2012. Preparat ini bekerja dengan melepaskan suatu kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein, sehingga membentuk suatu lapisan pelindung pada jaringan granulasi di dasar tukak Tarigan, 2014. Lapisan ini dapat menghambat proses difusi asam ke dalam tukak tersebut. Selain itu, preparat ini juga dapat membantu proses sintesis prostaglandin endogen lambung sehingga terjadi peningkatan pertahanan mukosa. Preparat ini diabsorpsi secara minimal, dan hanya kurang dari 5 preparat ini dalam urin McGuigan, 2012. Efek samping dari penggunaan preparat ini adalah konstipasi. Preparat ini tidak dianjurkan untuk pasien gagal ginjal Tarigan, 2014. Preparat lain dari golongan pelapis mukus adalah koloid bismut. Mekasnisme kerja dari preparat ini adalah dengan membentuk suatu lapisan penangkal bersama dengan protein yang dapat melindungi jaringan granulasi di dasar tukak dari paparan asam lambung. Mekanisme kerja yang lain adalah dengan melakukan netralisasi, tanpa mengurangi sekresi asam lambung, mengurangi aktivitas pepsin, mencegah difusi asam lambung dan juga membantu proses sintesis prostaglandin endogen dan bikarbonat dalam lambung Universitas Sumatera Utara McGuigan, 2014. Preparat ini dapat menimbulkan warna kehitaman pada tinja sehingga sering menimbulkan keraguan terhadap adanya perdarahan Tarigan, 2014. 3. Prostaglandin Mekanisme kerja obat ini adalah dengan mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan pertahan an mukosa terhadap kemungkinan cedera jaringan, merangsang sekresi mukus dan bikarbonat lambung, meningkatkan aliran darah pada mukosa lambung, mempertahankan keberadaan sawar pada mukosa lambung yang berdampak pada tidak ada kemungkinan untuk asalm lambung berdifusi pada mukosa. Efek obat ini biasanya kurang begitu signifikan, jika dibandingkan dengan obat golongan lain seperti golongan antagonis reseptor H2. 4. Antagonis Reseptor H2 Golongan obat ini memiliki berbagai macam preparat. Secara umum untuk semua preparat, meanisme kerjanya hampir sama yakni, dengan menghambat pengaruh dari histamin terhadap sel parietal. Dampak dari penghambatan ini adalah terjadinya pengurangan sekresi asam lambung Tarigan, 2014. Beberapa dari preparat golongan obat ini memiliki struktur kimia yang sama dengan histamin, yaitu memiliki cincin imidazol McGuigan, 2012. Preparat yang pertama kali dikenal luas adalah simetidin. Struktur kimianya, seperti histamin, memiliki rantai imidazol, namun disertai dengan gugus sianoguanidin di salah satu sisinya. Sekitar 80 sekresi asam lambung yang tidak dicetuskan makanan, dan 70 sekresi asam lambung yang dicetuskan makanan, akan berkurang dengan penggunaan preparat ini. Waktu paruh dari preparat ini sekitar 1 sampai 2 jam. Meski cukup kuat, namun terdapat efek samping dari preparat ini antara lain peningkatan aminotransferase, kreatinin dan prolaktin dalam serum darah McGuigan, 2012. Efek samping lain adalah adanya efek antiandrogenik pada preparat ini yang dapat menyebabkan ginekomastia pada 0,01 – 0,02 kasus Tarigan, 2014. Universitas Sumatera Utara Preparat lain yang juga sudah cukup lama dikenal adalah ranitidin. Preparat ini tidak memiliki cincin imidazol dalam struktur kimianya, melainkan gugus aminometilfuran. Efek kerjanya sekitar enam kali lebih kuat dari simetidin. Efek samping dari preparat ini ditandai dengan meningkatnya kadar marker hati seperti ALT dan AST dalam serum darah. Efek samping ginekomastia hampir tidak terjadi karena preparat ini tidak memiliki efek antiandrogenik McGuigan, 2012. Dua preparat yang cukup baru adalah famotidin dan nizatidin. Kedua prperat ini hanya memiliki cincin tiazol dala struktur kimianya. Preparat ini memiliki kemampuan 8 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin. Efek samping dari preparat ini memiliki kemiripan dengan efek samping simetidin maupun ranitidin McGuigan, 2012. 5. Proton Pump Inhibitor Proton Pump Inhibitor atau PPI memiliki mekanisme kerja yaitu dengan menghambat kerja H + K + ATPase, yang terdapat pada membran apikal sel parietal dan berperan dalam sekresi hidrogen dari dalam sel parietal ke dalam mukosa lambung McGuigan, 2012. Beberapa preparat dari golongan obat ini, antara lain omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol Tarigan, 2014. Omeprazol, yang merupakan preparat golongan PPI yang sudah umum digunakan, merupakan suatu basa yang dapat menghasilkan ikatan gugus sulfur aktif yang selanjutnya akan membentuk disulfida kovalen dengan H + K + ATPase yang pada akhirnya akan menginaktifkan dan menghambat kerja H + K + ATPase McGuigan, 2012. Efek penginaktifan dari obat ini paling lama muncul dalam jangka waktu 2 – 6 jam dan efeknya akan tetap terasa hingga 72 – 96 jam Tarigan, 2014. 6. Obat Antikolinergik Golongan obat ini memiliki mekanisme kerja yaitu dengan menghambat reseptor asetilkolin sel parietal, sehingga sekresi asam lambung akan berkurang, namun efeknya tidak akan sekuat golongan lain. Salah satu preparat dari Universitas Sumatera Utara golongan ini adalah pirenzepin, yang efek sampingnya lebih sedikit. Efek samping itu antara lain mulut kering, kemampuan penglihatan berkurang, retensi urin dan gangguan irama jantung. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan gejala retensi urin atau pada penderita glaukoma McGuigan, 2012. 7. Prokinetik Golongan obat ini memiliki mekanisme kerja yaitu dengan meningkatkan gerakan peristaltis saluran cerna. Mekanisme ini dilakukan melalui jalur, baik antagonis maupun agonis, terhadap berbagai reseptor seperi serotonin, asetilkolin, dopamin maupun motilin. Beberapa preparat obat ini antara lain metoklopramid yang merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin 5 – HT3, domperidon yang merupakan antagonis dopamin D2, cisapride yang merupakan agonis reseptor serotonin 5 – HT4 dan antagonis reseptor serotonin 5 – HT3, dan agonis motilin, salah satunya eritromisin Djojoningrat, 2014. 2.3.7.2. Penatalaksanaan Non – Farmakologi Orang – orang yang menderita dispepsia dapat diberikan penatalaksanaan non farmakologi yang meliputi modifikasi pola hidup, diet, perawatan dan pembedahan Djojoningrat, 2014. Masing – masing dari hal tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Pola Hidup dan Diet Belum banyak data mengenai seberapa besar pengaruh perubahan pola hidup dan pola makan terhadap penurunan progresifitas dispepsia sampai dengan saat ini, sehingga perubahan pola makan yang dapat dilakukan antara lain dengan menghindari makanan yang dapat mencetuskan gejala, seperti makanan pedas, asam dan berlemak Djojoningrat, 2014. Konsumsi minuman berkafein seperti kopi, minumam berasam seperti air jeruk, minuman beralkohol seperti bir dan Universitas Sumatera Utara minuman berkarbonasi seperti cola harus dihindari McGuigan, 2012. Lebih baik bagi penderita untuk makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, dibandingkan dengan makan yang terlalu banyak dan sekaligus Akil, 2014. Merokok, walaupun tidak secara langsung mempengaruhi sekresi asam lambung, namun bagia penderita tukak peptik, merokok dapat menghambat proses penyembuhan tukak peptik, sehingga harus dihindari Tarigan, 2014. 2. Perawatan Pasien dispepsia lebih dianjurkan untuk rawat jalan dan istirahat di rumah, kecuali untuk pasien dispepsia yang disertai dengan komplikasi dan dispepsia yang disebabkan oleh tukak peptik. Pasien sebaiknya menghindari stres dan kecemasan karena dapat memicu peningkatan sekresi asam lambung, sehingga usahakan pasien tetap menikmati hidup dengan tenang selama masa pengobatan Tarigan, 2014. 3. Pembedahan Pada kasus tukak lambung, pembedahan yang cukup sering dilakukan adalah antrektomi dengan anastomosis gastroduodenal. Pada kasus tukak duodenum, pembedahan yang cukup sering dilakukan antara lain vagotomi dengan antrektomi, vagotomi dengan piloroplasti dan vagotomi sel parietal tanpa prosedur drainase lambung McGuigan, 2012 2.3.8. Komplikasi Dispepsia Dispepsia yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat dapat menimbulkan terjadinya berbagai komplikasi. Komplikasi tersebut antara lain perdarahan, perforasi dan stenosis pada pylorus lambung Djojoningrat, 2014. Komplikasi tersebut antara lain sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 1. Perdarahan Pada dispepsia yang disebabkan oleh tukak peptik, perdarahan dapat terjadi dengan insidensi 15 – 25 , dan biasanya akan berhenti dengan spontan, namun jika perdarahan berlangsung secara terus – menerus, maka perlu dilakukan terapi melalui endoskopi atau tindakan operatif jika tindaka sebelumnya gagal menimbulkan perbaikan. Pemberian transfusi dapat dilakukan jika indikator – indikator hemodinamik mengalami abnormalitas seperti tekanan darah sistol dibawah 100 mmHg, kadar hemoglobin dibawah 10 gr , nadi diatas 100 kali per menit, hematokrit dibawah 30 per jam. Transfusi darah segar diberikan hingga hematokrit diatas 30 per jam Tarigan, 2014 2. Perforasi Pada dispepsia yang disebabkan oleh tukak peptik, perforasi dapat terjadi dengan insidensi 6 – 7 , 10 diantaranya berlangsung tanpa keluhan, dan 10 pasien yang mengalami perforasi disertai perdarahan karena tukak tersebut. Perforasi dapat diberi tindakan dengan dekompresi, pemasangan nasogastric tube atau NGT, aspirasi cairal lambung, puasa disertai dengan nutrisi yang diberikan secara parenteral agar pasien tidak kekurangan gizi Tarigan, 2014. 3. Stenosis pada Pylorus Lambung Pada dispepsia yang disebabkan oleh tukak peptik, stenosis dapat terjadi dengan insidensi sekitar 1 – 2 . Adanya stenosis ditandai dengan rasa cepat kenyang, muntah, mual, sakit perut setelah makan dan turunnya berat badan. Stenosis ini dapat diberi tindakan dengan dekompresi, pemasangan nasogastric tube atau NGT, puasa, dilakukan endoskopi yang disertai dengan balon yang dapat dilebarkan. Tindakan operatif dengan piloroplasti dilakukan juga tindakan sebelumnya tidak memberikan efek signifikan terhadap perbaikan stenosis Tarigan, 2014. Universitas Sumatera Utara 2.3.9. Prognosis Dispepsia Dispepsia, yang sejak awal telah ditegakkan klasifikasinya sebagai dispepsia fungsional, berdasarkan penunjang diagnostik yang akurat, mempunyai prognosis yang baik Djojoningrat, 2014. Namun menurut Mahadeva 2011 dalam Abdullah 2012, prognosis dispepsia fungsional, dari segi kualitas hidup, lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Hal ini disebabkan oleh tingginya kemungkinan bagi pasien dispepsia fungsional untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatri lainnya. Pasien dispepsia organik karena tukak peptik membutuhkan penangan yang adekuat. Jika penanganan yang diberikan tidak adekuat maka kemungkinan mengalami komplikasi tetap ada, yakni perdarahan mencapai 15 – 25 , perforasi mencapai 6 – 7 dan stenosis pada pylorus lambung mencapai 1 – 2 Djojoningrat, 2014.

2.4. Tidur