Fisiologi Lambung dan Duodenum

yang longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum adalah lapisan serosa tipis yang disertai dengan mesotel Mescher, 2012.

2.2. Fisiologi Lambung dan Duodenum

Lambung memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai tempat pengisian makanan yang masuk ke dalamnya sekaligus menyimpannya sebelum dialirkan ke duodenum, menyekresikan asam hidroklorida atau HCL dan enzim yang memulai pencernaan protein serta melakukan proses pencampuran makanan hingga akhirnya pengosongan isi lambungkm ke dalam duodenum Sherwood, 2012. 2.2.1. Fungsi Pengisian dan Penyimpanan Lambung merupakan tempat perlintasan bagi makanan dari esofagus menuju usus halus. Sebelum dimasuki oleh makanan asal esofagus, lambung memiliki volume 50 ml, namun setelah diisi makanan, volum lambung dapat meningkat hingga dua kali lipat volum awal ketika masih kosong, yaitu mencapai 1000 ml. Struktur lipatan dalam permukaan lambung atau ruggae akan melemas dan berkurang kedalamannya, bahkan hingga mendatar ketika makanan masuk ke dalam lambung. Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme relaksasi reseptif pada lambung, yaitu kemampuan relaksasi refleks pada lambung keitika dimasuki makanan, sehingga volum lambung dapat meningkat tanpa terjadi perubahan pada tegangan di dindingnya serta peningkatan tekanan intralambung yang berarti Sherwood, 2012. Relaksasi reseptif ini diperantarai oleh nervus vagus dan sudah mulai berlangsung ketika terjadi pergerakan pada faring dan esofagus akibat makanan Ganong, 2008. Sesaat setelah makanan masuk ke dalam lambung, lebih tepatnya pada daerah fundus, suatu potensial gelombang lambat timbul pada lapisan otot polos di fundus, yang kemudian menyebabkan otot polos tersebut berkontraksi dan menimbulkan suatu gerakan peristaltik yang menyebar dari fundus ke korpus, antrum dan sfingter pylorus, membawa makanan tergerak dari fundus hingga ke pylorus Sherwood, Universitas Sumatera Utara 2012. Kontraksi otot lambung yang timbul disetiap gelombang ini kadang disebut sistol antrum dan masa waktunya sekitar 10 detik, lalu muncul hingga empat kali setiap menitnya Ganong, 2008. Struktur otot pada fundus dan korpus yang tipis jika dibandingkan dengan sfingter pylorus mengakibatkan pergerakan kontraksi otot pada fundus dan korpus lebih lemah, sehingga makanan yang masuk ke lambung akan disimpan dibagian yang lebih tenang proses pencampurannya ini Sherwood, 2012. 2.2.2. Fungsi Sekresi Lambung memiliki fungsi sekresi, yakni sebanyak 2 liter getah lambung diproduksi setiap harinya. Getah lambung ini diproduksi oleh sel – sel sekretorik lambung yang berada di dinding dari foveola gastrica, imvaginasi – invaginasi dari permukaan dalam lambung Sherwood, 2012. Salah satu dari sel sekretorik lambung adalah sel parietal yang memproduksi HCL. Keberadaan HCL di dalam lambung memiliki fungsi, antara lain mengaktifkan prekursor enzim perpsinogen menjadi pepsin yang merupakan enzim aktif, membantu proses pemecahan jaringan ikat dan serat otot dan mengurangi ukuran partikel makanan besar menjadi lebih kecil, menimbulkan terjadinya denaturasi protein dan mematikan sebagian besar mikoorganisme yang tertelan bersama makanan Sherwood, 2012. Disamping menghasilkan HCL, sel parietal juga memproduksi suatu produk sekretorik lain, yakni faktor intrinsik yang berfungsi dalam penyerapan vitamin B12 atau sianokobalamin. Vitamin B12, yang hanya dapat diserap jika berikatan dengan faktor inrinsik, memiliki fungsi yang esensial untuk pembentukan normal sel darah merah Sherwood, 2012. Vitamin B12 yang berikatan dengan faktor intrinsik ini akan membentuk kompleks yang diserap oleh kubilin yaitu suatu apolipoprotein akan dipindahkan ke transkobalamin II, yang merupakan protein pengikat vitamin B12, yang akan mengangkut vitamin ini ke plasma. Jika terjadi defisiensi faktor intrinsik ini maka dapat terjadi anemia dan tidak akan beemanfaat dalam perbaikan jika vitamin B12 diberikan secara oral Ganong, 2008. Universitas Sumatera Utara Sel sekretorik lambung lainnya adalah chief cell yang menghasilkan suatu molekul enzim yang inaktif yang disebut pepsinogen, yang sebelumnya tersimpan dalam granula zimog. Sesaat setelah pepsinogen dilepas menuju lumen lambung, HCL yang dihasilkan sel parietal mengubuh struktur enzim inaktif tersebut, membentuk pepsin, yang selanjutnya pepsin tersebut melakukan suatu proses autokatalisis atau pengaktifan diri, yakni pepsin, suatu enzim yang aktif, mengaktifkan molekum enzim inaktif yang sama, yakni pepsinogen, guna membentuk pepsin yang lebih banyak lagi Sherwood, 2012. Sel sekretorik lambung, yaitu sel parietal, chief cell dan mucous cell, dalam memproduksi sekresinya diatur oleh sel – sel sekretorik lain yang menghasilkan faktor regulatorik endokrin. Faktor – faktor regulatorik tersebut terdiri dari sel G yang menghasilkan gastrin, ECL cell yang menghasilkan histamin dan sel D yang menghasilkan somatostatin Sherwood, 2012. Sel G dan sel ECL mengeluarkan produknya ketika mendapatkan rangsangan dari asetilkolin atau ACh, yang dibebaskan dari pleksus saraf intrinsik sebagai respon terhadap stimulasi nervus vagus. Sel G lalu mengeluarkan gastrin ke dalam darah, yang kemudian dibawa kembali ke fundus dan korpus lambung lalu merangsang sel parietal dan chief cell menghasilkan produknya. Demikian pula dengan histamin yang dihasilkan oleh sel ECL, yang bekerja secara lokal pada sel – sel parietal disekitarnya Sherwood, 2012. Jika sel G dan sel ECL meningkatkan produktivitas sel parietal dan chief cell, maka sel D yang menghasilkan somatostatin berfungsi kebalikannya. Sel D bekerja sebagairespon terhadap tingginya kadar asam dalam lumen lambung, dan menghasilkan somatostatin yang akan menghambat sekresi sel parietal, juga faktor stimulasinya, yakni sel G dan sel ECL, sehingga produksi sel parietal menjadi minimal Sherwood, 2012. Universitas Sumatera Utara Seluruh proses sekresi sel sekretorik lambung beserta faktor regulatoriknya dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang muncul sebelum makanan masuk ke dalam lambung, ketika makanan berada di dalam lambung, dan ketika makanan sudah keluar dari dalam lambung, di dalam duodenum. Adanya faktor – faktor ini menyebabkan proses sekresi sel sekretorik lambung berlangsung dalam tahap – tahap tertentu, antara lain : 1. Fase sefalik, yang timbul akibat mekanisme umpan sebagai respon terhadap rangsangan yang bekerja di luar lambung, termasuk memikirkan, mencium, mencicipi, mengunyah dan menelan makanan, yang pada akhirnya akan meningkatkan sekresi lambung oleh aktvitas nervus vagus, yang merangsang ACh keluar dari pleksus saraf intrinsik. 2. Fase lambung, yang terjadi ketika makanan telah mencapai lambung sehingga timbul rangsangan – rangsangan yang memicu sekresi lambung. 3. Fase usus yang berlangsung ketika makanan telah mencapai usus halus, sehingga terjadi suatu proses inhibitorik terhadap sekresi lambung pada fase ini Sherwood, 2012. Meski sel – sel sekretorik lambung menghasilkan berbagai macam komponen getah lambung, namun permukaan mukosa lampung tetap terlindungi dari iritasi akibat paparan getah lambung yang dapat berperan sebagai perusak endogen Sherwood, 2012. Selain perusak endogen, permukaan mukosa lampung juga tetap terlindungi dari perusak eksogen seperti obat tertentu, alkohol maupun bakteri Tarigan, 2014. Komponen yang berfungsi sebagai pelindung tersebut adalah suatu lapisan mukus yang dihasilkan oleh sel mukus Sherwood, 2012. Mukus ini terdiri atas glikoprotein musin dan membentuk struktur gel yang fleksibel, yang melapisi mukosa lambung Ganong, 2008. Ketebalan lapisan mukus ini sekitar 0,2 mm. Sebelum membentuk lapisan gel sebagai fase tidak terlarut, mukus ini berada dalam cairan lambung sebagai fase terlarut. Guna membantu fungsi lapisan mukus ini, ion bikarbonat yang diproduksi oleh sel epitel non parietal lambung, akan memasuki Universitas Sumatera Utara lapisan mukus dan memungkinkan terjadinya reaksi pendaparan atau buffering, membentuk pH basa, yaitu pada kisaran pH 1 sampai dengan 2. Ion bikarbonat ini diproduksi dengan perangsangan kalsium dan prostaglandin McGuigan, 2012. Keberadaan lapisan mukus ini mampu melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis akibat sifat pelumasan yang dimilikinya, juga melindungi lambung dari cedera asam karena sifat basa yang dimilikinya mampu menetralkan HCL di dekat lapisan mukosa lambung tanpa mengganggu fungsi HCL di lambung Sherwood, 2012. Mukosa lambung juga memiliki mekanisme pelindung terhadap getah lambung yang lain. Lapisan mukosa lambung membentuk suatu sawar mukosa lambung yang dapat mencegah rusaknya lapisan mukosa oleh getah lambung. Sawar pada membran luminal sel mukosa membuat membran tersebut tidak dapat ditembus oleh asam ke dalam sel. Disamping itu, tepi – tepi lateral sel mukosa juga saling menyatu membentuk taut erat sehingga asam tidak dapat melintas lewat ruang antar sel mukosa menuju lapisan dibawahnya Sherwood, 2012. Prostaglandin juga berpengaruh dalam mekanisme perlindungan mukosa lambung. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa sejumlah prostaglandin juga berpengaruh dalam sekresi mukus lambung dan ion bikarbonat mukosa lambung dan duodenum. Prostaglandin juga berpengaruh dalam mempertahankan aliran darah pada mukosa lambung dan dalam mempertahankan intaknya lapisan sawar mukosa lambung, serta dalam pembaruan sel epitel terhadap luka pada epitel mukosa McGuigan, 2012. 2.2.3. Fungsi Pencampuran dan Pengosongan Proses pencampuran makanan berlangsung di bagian antrum dari lambng. Gelombang kontraksi peristaltik lambung lebih kuat di antrum dibandingkan dengan daerah lain kaarena lapisan ototnya yang lebih tebal. Kontraksi pada natrum akan Universitas Sumatera Utara menyebabkan makanan di dalamnya akan tercampur dan membentuk campuran cairan kental makanan yang disebut sebagai kimus. Sambil mencampur, kontraksi peristaltk juga mendorong kimus untuk terus maju menuju ke sfingter pylorus. Meski kimus telah sampai di dekat sfingter pylorus, kimus tersebut tidak akan, atau setidaknya hanya sedikit yang bisa melewati sfingter tersebut menuju duodenum. Hal ini disebabkan kontraksi pada otot lambung yang juga menyebar sampai ke otot sfingter pylorus akan menyebabkan sfingter itu berkontraksi dan nyaris menutup sempurna. Akibatnya setiap kimus yang terdorong ke arah sfingter namun tidak dapat mencapai duodenum akan tertahan di sfingter yang menutup lalu memantul kembali ke arah antrum, menimbulkan suatu gerakan berpola maju mundur yang berperan dalam proses pencampuran makanan Sherwood, 2012. Proses kontraksi pada otot sfingter pylorus, juga pada bagian lambung lain tergantung pada seberapa besar intensitas kontraksi tersebut. Intensitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam lambung itu sendiri, dari dalam duodenum, maupun dari luar saluran cerna Sherwood, 2012. Jumlah kimus menjadi faktor yang besar dalam mempengaruhi kontraksi otot lambung. Jumlah dan volume kimus yang besar akan menimbulkan terjadinya peregangan pada lambung, yang secara langsung berefek pada meningkatnya eksitabilitas kontraksi otot lambung. Disamping itu, kontraksi otot lambung juga dipengaruhi oleh seberapa lama kimus diubah dari bentuk padat menjadi cair kental, karena semkin cepat keenceran kimus diperoleh makan akan semakin cepat juga pengosongan isi lambung ke dalam duodenum Sherwood, 2012. Selain volume dan keenceran kimus, jenis makanan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi kontraksi otot lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat akan lebih cepat meninggalkan lambung, namun pada protein akan lebih lambat dan lemak adalah zat yang paling lambat meninggalkan lambung Ganong, 2008. Selain faktor dari dalam lambung itu sendiri, faktor dari dalam duodenum juga mempengaruhi kontraksi otot lambung. Faktor – faktor dari dalam duodenum itu akan mengaktifkan reseptor yang sesuai dengan masing – masing faktor tersebut di Universitas Sumatera Utara duodenum, lalu memicu berbagai mekanisme yang dapat mengurangi eksitabilitas otot lambung. Mekanisme tersebut antara lain : 1. Melalui respon saraf yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik sebagai refleks pendek dan saraf otonom sebagai refleks panjang, sehingga refleks – refleks ini disebut sebagai refleks enterogastrik. 2. Melalui respon hormon yang melibatkan sejumlah hormon yang kesemuanya disebut enterogastron, dimana enterogastron yang paling penting adalah sekretin dan kolesistokinin atau CCK. Enterogastron ini akan dibawa oleh darah ke lambung dan akhirnya aka mengurangi kecepatan pengosongan lambung Sherwood, 2012. Terdapat empat faktor dari dalam duodenum yang dapat mengurangi kecepatan pengosongan lambung, antara lain lemak, asam, hipertonisitas dan peregangan. Faktor yang pertama adalah lemak, yang bersifat lambat pencernaannya daripada zat lain dan proses pencernaan tersebut hanya berlangsung di dalam usus halus, menyebabkan setiap pengosongan lemak di duodenum haruslah menunggu proses pencernaan lemak lainnya di dalam usus halus. Lemak sendiri merupakan zat yang paling lama laju pengosongannya di dalam lambung, sehingga banyaknya kadar lemak dalam lambung maupun duodenum akan memperlambat laju pengosongan lambung Sherwood, 2012. Karena lemak efektif dalam mempelambat pengosongan lambung, maka banyak orang yang akan mengkonsumsi susu, krim, atau zat makanan yang mengandung lemak lainnya sebelum mengkonsumsi alkohol. Proses pengosongan di lambung dan pencernaan lemak yang lama akan menahan alkohol di lambung dalam waktu yang lebih lama dan proses pemasukan alkohol ke dalam usus halus juga akan berlangsung perlahan – lahan, sehingga intoksikasi alkohol akibat peningkatan kadar alkohol dalam darah yang mendadak dapat dihindari Ganong, 2008. Faktor yang kedua adalah sifat asam kimus lambung yang berasal dari HCL, membutuhkan proses netralisasi ketika memasuki duodenum guna tidak mengiritasi Universitas Sumatera Utara mukosa duodenum dan menginaktifkan enzim penccernaan yang disekresikan pankreas ke dalam lambung. Netralisasi tersebut berlangsung ketika kimus bercampur dengan natrium bikarbonat yang disekresikan ke dalam lumen duodenum oleh pankreas. Jika masih ada kimus yang belum ternetralkan maka proses pengosongan isi lambung lebih lanjut akan melambat hingga proses netralisasi tuntas Sherwood, 2012. Faktor yang ketiga adalah hipertonisitas sebagai akibat dari lebih lambatnya proses penyerapan molekul asam amino dan glukosa dibandingkan dengan kecepatan pencernaan protein dan tepung untuk membentuk molekul asam amino dan glukosa di dalam duodenum. Hal ini akan mengakibatkan menumpuknya sejumlah besar molekul tersebut di dalam kimus, sehingga akan meningkatkan osmolaritas kimus tersebut. Hal ini secara refleks akan menghambat proses pengosongan kimus lebih lanjut dari dalam lambung Sherwood, 2012. Faktor yang keempat adalah peregangan pada duodenum sebagai akibat dari kelebihan volume kimus yang ditampung di dalam duodenum. Hal ini akan menyebabkan melambatnya waktu pengosongan isi lambung lebih lanjut guna menunggu duodenum dalam memproses kimus di dalamnya sebelum menerima kimus tambahan dari lambung Sherwood, 2012. Disamping faktor – faktor yang masih berhubungan pada saluran cerna, faktor lain yang tidak ada kaitannya dengan saluran cerna juga bisa mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Faktor tersbut antara lain emosi yang dapat mengubah motilitas lambung melalui saraf otonom sehingga mempengaruhi eksitabilitas otot lambung. Faktor lainnya adalah nyeri dari nagian tubuh manapun yang dapat juga menghambat motilitas, tidak hanya di lambung, tetapi juga di bagian saluran cerna lainnya, melalui mekanisme peningkatan saraf simpatis Sherwood, 2012. Universitas Sumatera Utara

2.3. Dispepsia