5.2. Pembahasan
5.2.1. Dispepsia Fungsional Menurut Konsesus Rome III, seseorang dikatakan menderita dispepsia
fungsional jika menderita satu atau lebih gejala perasaan penuh atau kembung pada perut setelah makan, cepat kenyang, nyeri pada ulu hati atau rasa panas terbakar di
ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula munculnya gejala tersebut sedikitnya timbul dalam 6 bulan sebelum diagnosis
ditegakkan, tanpa ada suatu bukti kelainan struktural yang dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut muncul Abdullah, 2012. Berdasarkan pada definisi
tersebut, hasil analisis secara univariat untuk variabel independen, yakni kejadian dispepsia fungsional, di kalangan sampel penelitian, yang juga didasarkan pada data
hasil penelitian, seperti yang tertera pada tabel 5.5, menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian tidak menderita dispepsia fungsional, yaitu sebanyak 50
orang, dengan persentase 53,3 , jika dibandingkan dengan sampel yang menderita dispepsia fungsional, yaitu sebanyak 57 orang, dengan persentase 46,7 .
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan Anggita 2012, yang menyimpulkan bahwa tingkat kejadian dispepsia fungsional di kalangan
usia produktif, yaitu diatas 20 tahun ke atas, adalah tinggi. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena bervariasinya usia dari sampel penelitian, yaitu sebanyak 42 sampel
berusia dibawah 20 tahun, dengan persentase 39,2 , dan sebanyak 65 sampel berusia 20 tahun atau lebih, dengan persentase 60,8 . Hasil penelitian ini juga tidak
sesuai dengan hasil dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Annisa 2009, yang menyimpulkan bahwa prevalensi kejadian dispepsia fungsional
dikalangan remaja dan dewasa muda cukup tinggi, yaitu 64,4 . Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena adanya perbedaan karakteristik sampel yang dijadikan objek
penelitian oleh Annisa 2009 berada dalam rentang 14 sampai dengan 17 tahun saja, tidak sesuai dengan usia sampel penelitian, yang berada dalam rentang 18 sampai
dengan 22 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Adanya perbedaan yang ada dari hasil penelitian tentang tingkat kejadian dispepsia dengan hasil penelitian dari Annisa 2009 maupun teori dari Anggita
2012, dapat disebabkan oleh banyaknya faktor resiko dispepsia fungsional, yang dapat terjadi dan berlangsung di berbagai tempatmaupun waktu tertentu, namun tidak
terjadi di tempat dan waktu lainnya, walau berada dalam kelompok usia yang sama. Hal ini menyebabkan tingkat kejadian dispepsia fungsional dapat berbeda
– beda prevalensinya di berbagai tempat dan waktu, walau dalam kelompok usia yang sama,
apalagi jika dalam kelompok usia yang berbeda – beda Abdullah, 2014.
Gambaran kejadian dispepsia fungsional pada 50 orang sampel penelitian yang menderita disepepsia fungsional, menurut pengertian dispepsia fungsional dari
Konsesus Rome III, cukup bervariasi, seperti tertera pada tabel 5.6 dan 5.7. Jika tingkat kejadian dispepsia fungsional dibagi menurut masing
– masing keluhan dispepsia fungsional, maka hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar sampel
penelitian tidak menderita masing – masing keluhan dispepsia fungsional. Gejala
perasaan penuh atau kembung pada perut setelah makan hanya dirasakan oleh 23 orang sampel, gejala cepat kenyang hanya dirasakan oleh 16 orang sampel, gejala
nyeri di ulu hati hanya dirasakan 26 orang sampel, dan gejala rasa panas terbakar di ulu hati hanya dirasakan oleh 23 orang sampel.
Variasinya gambaran kejadian dispepsia fungsional juga terlihat jika tingkat kejadian dispepsia fungsional dibagi menurut jumlah keluhan dispepsia fungsional
yang dirasakan sampel penelitian. Sebagian besar sampel penelitian yang mengalami keluhan dispepsia fungsional mengalami lebih dari 1 keluhan, yakni sebanyak 26
orang mengalami 2 keluhan, dan 6 orang mengalami 3 keluhan. Meski demikian, hanya sebagian kecil saja dari sampel penelitian yang mengalami keluhan dispepsia
fungsional, yang dapat diklasifikasikan keluhannya ke dalam 2 bagian besar dari dispepsia fungsional menurut Konsesus Rome III, yaitu postprandial distress
syndrome dan epigastric pain syndrome. Menurut Konsesus Rome III, postprandial distress syndrome terjadi pada mereka yang merasakan gejala perasaan penuh pada
Universitas Sumatera Utara
perut setelah makan dan gejala cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome terjadi pada mereka yang merasakan gejala nyeri dan rasa terbakar di ulu hati
Abdullah, 2012. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka 11 orang sampel saja yang menderita postprandial distress syndrome, dan 16 orang sampel saja yang
menderita epigastric pain syndrome, seperti tertera pada tabel 5.8. Berdasarkan pada data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar dari 32 orang sampel, yang menderita 2 atau lebih keluhan dispepsia fungsional, tidak menderita keluhan
– keluhan disepepsia fungsional secara berpasang
– pasangan menurut pembagian Konsesus Rome III, yaitu gejala perasaan penuh pada perut setelah makan dengan gejala cepat kenyang, dan gejala nyeri di ulu
hati dengan rasa terbakar di ulu hati. Namun demikian, jika tingkat kejadian dispepsia fungsional yang dibagi menurut masing
– masing keluhan dispepsia fungsional dan dibagi menurut 2 bagian besar dari dispepsia fungsional menurut Konsesus Rome III,
maka hasilnya menunjukkan keserasian, yaitu jumlah sampel penelitian yang menderita gejala nyeri di ulu hati dan gejala rasa panas terbakar di ulu hati lebih
banyak dibanding jumlah sampel penelitian yang menderita gejala perasaan penuh atau kembung pada perut setelah makan dan gejala cepat kenyang, serasi dengan
jumlah sampel penelitian yang lebih banyak menderita epigastric pain syndrome dibanding jumlah sampel penelitian yang menderita postprandial distress syndrome.
5.2.2. Kualitas Tidur Menurut Timby 2009 dalam Indrawati 2012, tidur memiliki berbagai
fungsi yang penting, antara lain mengurangi kelelahan, memperbaiki dan menyeimbangkan suasana hati, memelihara mekanisme perlawanan terhadap
penyakit, meningkatkan perbaikan sel, meningkatkan kemampuan menyimpan memori dan belajar serta mengembalikan energi seseorang sehingga seseorang dapat
kembali beraktivitas secara optimal dan baik. Pentingnya fungsi tidur ini
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan seseorang menghabiskan sepertiga dari siklus hidup hariannya untuk tidur, guna memperoleh fungsi
– fungsi tidur ini dengan optimal Kumar, 2008. Untuk menilai seberapa optimal diperolehnya fungsi
– fungsi tidur ini bagi seseorang, maka dapat dilakukan penilaian kualitas tidur bagi orang tersebut secara
komprehensif, dengan menggunakan berbagai instrumen penilaian yang terlah terjamin keakuratannya.
Hasil analisis secara univariat untuk variabel dependen, yakni kualitas tidur, di kalangan sampel penelitian, yang juga didasarkan pada data hasil penelitian, seperti
tertera pada tabel 5.9, menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian memiliki kualitas tidur yang tidak baik, yaitu sebanyak 77 orang, dengan persentase 72,0 ,
jika dibandingkan dengan sampel yang memiliki kualitas tidur baik, yaitu sebanyak 30 orang, dengan persentase 28,0 . Hal ini telah sesuai dengan hasil dari penelitian
yang telah dilakukan Indrawati 2012, yang menyimpulkan bahwa sebesar 81,9 mahasiswa memiliki kualitas tidur yang buruk. Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 232 orang, yang berasal dari kalangan mahasiswa Fakultas Keperawatan UI. dengan Penilaian
kualitas tidur bagi sampel dalam penelitian tersebut menggunakan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index PSQI.
Menurut Chokoverty 2010, kualias tidur yang bervariasi pada berbagai individu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Shelgikar 2013, kualitas tidur
seseorang yang tidak baik memiliki berbagai faktor, bentuk dan manifestasi yang beraneka ragam. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya suatu instrumen penilaian
kualitas tidur yang dapat menilai seluruh faktor, bentuk dan manifestasi yang menandakan ketidakbaikan kualitas tidur seseorang. Salah satu instrumen tersebut
adalah Pittsburgh Sleep Quality Index PSQI yang menilai gambaran kualitas tidur seseorang dari tujuh komponen, yaitu kualitas tidur orang tersebut secara subjektif,
latensi tidur, durasi tidur, kebiasaan dalam tidur, gangguan – gangguan yang
dirasakan orang tersebut selama tidur, penggunaan obat – obat tertentu untuk tidur
Universitas Sumatera Utara
dan adanya gangguan dalam beraktivitas sehari – hari sebagai dampak dari adanya
gangguan kualitas tidur. Berdasarkan pada kriteria kualitas tidur seseorang menurut PSQI, gambaran baik dan tidak baiknya kualitas tidur sampel penelitian sangat
bervariasi faktor, bentuk dan manifestasinya Shelgikar, 2013. Secara subjektif, sebagian besar sampel merasakan bahwa kualitas tidurnya
buruk, yaitu sebanyak 70 orang sampel penelitian, dengan persentase 65,4 , seperti tertera pada tabel 5.28. Hal ini berarti ada keserasian antara kualitas tidur sampel
penelitian secara objektif menurut PSQI dan subjektif menurut masing – masing
sampel penelitian, yaitu jumlah sampel penelitian yang memiliki kualitas tidur yang tidak baik adalah lebih banyak, yaitu sebesar 72,0 berbanding dengan 65,4 .
Meskipun sebagian besar sampel, secara subjektif, menyatakan bahwa kualitas tidurnya buruk, namun sebagian besar sampel tidak pernah menggunakan atau
mengkonsumsi obat – obatan maupun zat – zat tertentu yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas tidurnya. Gambaran latensi tidur seseorang dapat dinilai dari dua faktor, yaitu jumlah
waktu yang dibutuhkan untuk dapat tertidur di malam hari dan pernah atau tidak pernahnya merasakan keluhan tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit atau lebih di
malam hari atau initial Shelgikar, 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat tertidur di malam hari dalam waktu kurang atau sama
dengan 15 menit, yaitu sebanyak 57 orang sampel, seperti tertera pada tabel 5.11. Namun demikian sebagian besar sampel pernah mengalami keluhan tidak dapat
tertidur dalam waktu 30 menit di malam hari, dengan frekuensi kejadian yang bervariasi, yaitu sebanyak 68 orang sampel, seperti tertera pada tabel 5.14. Keluhan
ini merupakan salah satu dari tiga bentuk gangguan dalam kebiasaan tidur. Gangguan lainnya antara lain kesulitan dalam mempertahankan tidur atau intermittent dan
terbangun setelah tidur di malam hari yang terlalu dini untuk selanjutnya tidak dapat tidur kembali atau terminal Chokroverty, 2010. Kedua gangguan ini dinilai dalam
Universitas Sumatera Utara
komponen gangguan – gangguan yang dirasakan seseorang selama tidur di malam
hari Shelgikar, 2013. Menurut Shelgikar 2013, kebiaasan tidur seseorang, selain dapat dinilai dari
adanya keluhan tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit di malam hari atau initial, kesulitan dalam mempertahankan tidur atau intermittent dan terbangun setelah tidur
di malam hari yang terlalu dini untuk selanjutnya tidak dapat tidur kembali atau terminal, dapat pula dinilai berdasarkan waktu atau pukul harian orang tersebut untuk
tidur di malam hari dan bangun di pagi hari. Gambaran kedua waktu atau pukul harian tersebut bervariasi menurut data hasil penelitian. Waktu atau pukul harian
untuk tidur di malam hari pada sampel penelitian bervariasi antar pukul 21.00 sampai 23.30, dengan waktu atau pukul denagn jumlah sampel penelitian terbanyak adalah
22.00, sebanyak 40 orang sampel, seperti tertera pada tabel 5.10. Waktu atau pukul harian untuk bangun tidur di pagi hari pada sampel penelitian juga bervariasi, yakni
antara pukul 04.00 sampai 06.15, dengan waktu atau pukul dengan jumlah sampel penelitian terbanyak adalah 05.30, sebanyak 33 orang sampel, seperti tertera pada
tabel 5.12. Menurut Chokroverty 2010, seorang yang berada dalam usia transisi dari
remaja akhir menuju dewasa muda butuh waktu tidur nyenyak atau pulas di malam hari setidaknya 7 sampai dengan 8 jam setiap harinya. Namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa kebanyakan sampel penelitian hanya memiliki waktu selama 5 jam saja untuk dapat tidur nyenyak atau pulas setiap harinya, yaitu sebanyak 42 orang
sampel, seperti tertera pada tabel 5.13. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian, yang berada dalam rentang usia 18 sampai dengan 22 tahun,
sehingga termasuk dalam usia transisi dari remaja akhir menuju dewasa muda, memiliki durasi tidur harian yang kurang dari waktu yang semestinya. Selain itu, dari
keseluruhan durasi waktu tidur tersebut, hanya sebagian waktu atau durasi saja yang dihabiskan oleh sampel penelitian tersebut untuk tidur dengan benar
– benar nyenyak atau pulas di malam hari.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Shelgikar 2013, tidak baiknya kualitas tidur memiliki berbagai macam bentuk dan manifestasi gangguan. Menurut Chokroverty 2010, manifestasi
tersebut antara lain kesulitan dalam mempertahankan tidur atau intermittent dan terbangun setelah tidur di malam hari yang terlalu dini untuk selanjutnya tidak dapat
tidur kembali atau terminal. Selain dari ketiga bentuk diatas, PSQI juga menilai gangguan lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang, antara lain sering
terbangun karena ingin ke toilet saat tidur, tidak dapat bernapas dengan baik dan nyaman saat tidur, batuk atau mendengkur dengan keras saat tidur, rasa kedinginan
dan kepanasan saat tidur, mimpi buruk saat tidur dan nyeri saat tidur di malam hari serta gangguan lain, yang bagi orang tersebut, mengganggu kualitas tidurnya
Shelgikar, 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian merasakan, setidaknya satu dari keseluruhan gangguan tersebut diatas,
setidaknya kurang dari satu kali dalam satu minggu, seperti tertera pada tabel 5.15 samapi dengan tabel 5.24. Sebagian besar sampel pernah merasakan gangguan
kesulitan dalam mempertahankan tidur atau terbangun setelah tidur di malam hari yang terlalu dini untuk selanjutnya tidak dapat tidur kembali, sering terbangun karena
ingin ke toilet saat tidur, batuk atau mendengkur dengan keras saat tidur, rasa kedinginan saat tidur dan mimpi buruk saat tidur di malam hari, setidaknya kurang
dari satu kali dalam satu minggu, sedangkan pada gangguan tidak dapat bernapas dengan baik dan nyaman saat tidur, rasa kepanasan saat tidur dan nyeri saat tidur di
malam hari, sebagian besar sampel tidak pernah merasakannya. Selain dari keseluruhan bentuk gangguan tersebut diatas, kebanyakan sampel penelitian
menjadikan kebisingan sebagai salah satu gangguan yang dapat mempengaruhi kualitas tidur malamnya, setidaknya pernah merasakan gangguan tersebut kurang dari
satu kali dalam satu minggu. Menurut Kumar 2008, seseorang yang memiliki kualitas tidur yang tidak
baik akan mengakibatkan tidak diperolehnya fungsi tidur secara optimal. Hal ini akan memiliki pengaruh saat beraktivitas sehari
– hari Shelgikar, 2013. Dalam PSQI, gangguan tersebut dapat diamati atas dua hal, yaitu ada atau tidaknya gangguan atau
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang timbul saat beraktivitas sehari – hari, seperti saat berkendara,
makan, belajar dan aktivitas atau kegiatan lain yang rutin dilakukan setiap hari, dan ada atau tidaknya gangguan atau permasalahan mengenai keinginan, keantusiasan dan
semangat dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian pernah mengalami gangguan
atau permasalahan yang timbul saat beraktivitas sehari – hari, setidaknya kurang dari
satu kali dalam satu minggu, yaitu sebanyak 62 orang sampel, seperti tertera pada tabel 5.26. Namun demikian, hasil penelitian ini juga menunjukkan, bahwa sebagian
besar sampel penelitian tidak pernah mengalami gangguan atau permasalahan mengenai keinginan, keantusiasan dan semangat dalam melakukan atau mengerjakan
sesuatu, yaitu sebanyak 58 orang sampel, seperti tertera pada tabel 5.27.
5.2.3. Hubungan Dispepsia Fungsional dan Kualitas Tidur Menurut Kim 2013, terdapat hubungan antara berbagai gangguan pada
saluran pencernaan, seperti dispepsia, tukak peptik, gastroesophageal reflux disease atau GERD, dan iritable bowel syndrome atau IBS. Hubungan ini telah banyak diteliti
dan hasil penelitian – penelitian tersebut membuktikan adanya hubngan antara dua
kejadian tersebut Kim, 2013. Data hasil penelitian untuk analisis univariat, seperti tertera pada tabel 5.5 dan
tabel 5.9, menunjukkan bahwa sebanyak 50 orang sampel mengalami keluhan dispepsia fungsional, dan sebanyak 77 orang sampel memiliki kualitas tidur yang
tidak baik, masing – masing terhadap 107 orang sampel secara keseluruhan. Hasil
analisis bivariat menunjukkan bahwa dari 77 orang sampel yang memiliki kualitas tidur tidak baik, 42 orang sampel diantaranya mengalami keluhan dispesia fungsional
dan 35 orang sampel diantaranya tidak mengalami keluhan dispepsia fungsional, demikian pula, dari 30 orang sampel yang memiliki kualitas tidur baik, 8 orang
sampel diantaranya mengalami keluhan dispepsia fungsional dan 22 orang
Universitas Sumatera Utara
diantaranya tidak menderita dispepsia fungsional. Dari hasil analisis univariat dan bivariat diatas, dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square atau x
2
, didasarkan pada kenyataan pada hasil analisis tersebut dieroleh dari penelitian yang
bermetode cross sectional. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square atau x
2
menunjukkan nilai signifikansi atau nilai p yaitu 0,009. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari nilai α, yaitu 0,05. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari nilai α
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masing – masing variabel independen
dan variabel dependen yang diteliti, yaitu dispepsia fungsional sebagai variabel independen dan kualitas tidur sebagai variabel dependen.
Selain dilakukan uji statistik, dilakukan juga perhitungan prevalens ratio terhadap hasil analisis bivariat, berdasarkan rumus perhitungan prevalens ratio. Hasil
perhitungan tersebut menghasilkan nilai prevalens ratio sebesar 1,368. Nilai prevalens ratio ini lebih besar dari nilai 1. Nilai prevalens ratio ini menunjukkan
bahwa dispepsia fungsional sebagai variabel independen, memiliki hubungan dengan kualitas tidur sebagai variabel dependen, sesuai dengan hasil uji Chi Square, yakni
dispepsia fungsional berperan sebagai faktor resiko, yang mempengaruhi resiko terjadinya kualitas tidur yang tidak baik bagi seseorang.
Hasil perhitungan prevalens ratio dan uji statistik Chi Square atau x
2
tersebut diatas telah sesuai dengan teori sebelumnya yang telah dikemukakan Kim 2013, bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional yang dirasakan seseorang
dan kualitas tidur orang tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini juga telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chand 2004, yang menyatakan bahwa dari
6125 penderita gangguan saluran cerna, yang dijadikan sampel penelitian, 60 diantaranya menderita gangguan kualitas tidur, berupa sulit untuk memulai tidur, dan
70 diantaranya menderita gangguan kualitas tidur, berupa kesulitan untuk mempertahankan tidur. Selain itu, hasil penelitian ini juga telah sesuai dengan
penelitian sebelumnya, yang dilakukan Yamawaki 2014 . Dalam penelitian yang dilakukannya dengan studi consecutive, Yamawaki 2014 menjadikan 79 pasien
Universitas Sumatera Utara
dispepsia fungsional dan 44 orang sehat, yang tidak mengalami suatu penyakit apapun, sebagai sampel penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kualitas tidur
bagi sampel penelitian yang sehat lebih baik dibandingkan pada sampel penelitian yang mengalami keluhan dispepsia fungsional.
Data hasil penelitian ini menunjukkan terdapat berbagai bentuk penurunan kualitas tidur, yang meskipun sama
– sama dipengaruhi oleh dispepsia fungsional, tidak seragam, melainkan sangat bervariasi. Hal ini ditunjukkan pada data hasil
penelitian untuk masing – masing komponen PSQI, sebagai instrumen yang dipakai
untuk menilai kualitas tidur sampel penelitian. Hal ini telah sesuai dengan penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Cremonini 2009. Dalam penelitian tersebut,
Cremonini 2009 menyimpulkan bahwa bentuk dari terganggunya kualitas tidur tersebut adalah bervariasi, antara lain seringnya terbangun dari tidur di malam hari
yang berkaitan dengan berbagai variasi keluhan pada saluran cerna seperti nyeri, mual, disfagia, diare dan urgensi untuk buang air kecil di malam hari serta konstipasi.
Hal ini, pada akhirnya, akan berpengaruh terhadap aktivitas sehari – hari di siang hari
dan kualitas hidup sehari – hari Cremonini, 2009. Hal ini dibuktikan dengan data
hasil penelitian yang menyatakan bahwa sebagian besar sampel penelitian yang ada, pernah mengalami masalah saat melakukan aktivitas sehari
– hari, seperti berkendara, makan, belajar, atau saat melakukan aktvitas sosial, setidaknya kurang dari satu kali
dalam satu minggu.
5.2.4. Keterbatasan Penelitian Selama proses pelaksanaan penelitian ini, peneliti menemukan berbagai
keterbatasan, yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Beberapa
keterbatasan penelitian yang ada tersebut adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Adanya Gangguan Lain yang Dapat Mempengaruhi Kualitas Tidur Seseorang,
yang Tidak Berhubungan dengan Dispepsia Fungsional Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara kejadian dispepsia fungsional dengan kualitas tidur seseorang. Kualitas tidur seseorang dapat terganggu karena berbagai faktor, sehingga kejadian
dispepsia fungsional hanyalah satu dari banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Hal ini terlihat pada data hasil penelitian
yang tertera pada tabel 5.9, yang menghasilkan data yaitu sebanyak 77 orang sampel penelitian memiliki kualitas tidur yang tidak baik, dan data hasil
penelitian yang tertera pada tabel 5.5 menghasilkan data yaitu sebanyak 50 orang sampel penelitian tidak menderita dispepsia fungsional. Namun sejumlah data
hasil penelitian yang tertera pada tabel 5.20 sampai dengan tabel 5.28 menunjukkan bahwa sebagian sampel penelitian mengalami penurunan kualitas
tidur, yang ditandai dengan faktor – faktor, berupa gangguan – gangguan yang
beberapa diantaranya bukanlah merupakan suatu gangguan yang berhubungan dengan dispepsia fungsional, seperti tertera pada tabel 5.21, 5.22, 5.23, 5.24, 5.25
dan 5.26. Berdasarkan pada data
– data tersebut, maka sebagian dari penurunan kualitas tidur pada sampel penelitian bukanlah disebabkan oleh dispepsia
fungsional, melainkan disebabkan oleh faktor – faktor lain, seperti yang tertera
pada seluruh tabel data hasil penelitian yang ada, khususnya pada tabel data hasil penelitian tentang kualitas tidur menurut PSQI. Keseluruhan faktor
– faktor tersebut, yang dapat mempengaruhi perubahan terhadap kualitas tidur seseorang,
selain dispepsia fungsional, belum seluruhnya tercakup sebagai faktor yang harus dieksklusikan dalam penelitian ini, sehingga dikhawatirkan hal ini dapat
mempengaruhi nilai dari hasil penelitian yang telah diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross sectional. Penelitian yang dilakukan dengan metode cross sectional hanya menilai ada
– atau tidaknya variabel
– variabel yang diteliti pada sampel penelitian untuk satu kali saja dalam waktu yang sama. Hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi
nilai dari hasil penelitian yang telah diperoleh, karena berbagai keluhan atau gangguan pada saluran cerna, termasuk dispepsia fungsional, yang dirasakan oleh
sampel penelitian tidak dirasakan dalam waktu sebentar, demikian pula penurunan kualitas tidur yang disebabkan oleh dispepsia fungsional, terjadi tidak
dalam waktu yang sebentar setelah orang tersebut mulai pertama kali mengalami keluhan dispepsia fungsional. Tidak ada suatu batasan waktu yang baku
mengenai seberapa lama waktu yang diperlukan oleh penderita dispepsia fungsional untuk mulai mengalami penurunan kualitas tidur, karena masing
– masing individu dapat mulai mengalami penurunan kualitas tidur tersebut dalam
jangka waktu yang bebeda dan bervariasi satu sama lain, sejak mulai mengalami dispepsia fungsional Chand, 2004.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, hasil penelitian ini akan lebih bernilai, jika penelitian dilakukan secara kohort prospektif, yaitu penelitian
dimulai sejak sampel mulai pertama kali mengalami dispepsia fungsional, lalu efek penurunan kualitas tidur diamati seiring berjalannya waktu ke depan. Hal ini
tidak dapat dilakukan oleh peneliti karena adanya keterbatasan waktu penelitian yang dimiliki untuk melakukan seluruh proses penelitian yang ada.
3. Waktu
– Waktu Pengambilan Sampel Seluruh sampel penelitian, yang berjumlah 107 orang, berasal dari tiga
tahap pengambilan sampel yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak seluruh sampel langsung terkumpul sejumlah 107 orang pada tahap
pengambilan sampel yang sama, karena adanya calon sampel terpilih yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, sehingga diperlukan lebih dari satu tahap
Universitas Sumatera Utara
pengambilan sampel, agar jumlah sampel yang terpilih dapat mencapai jumlah 107 orang. Ketiga tahap pengambilan sampel ini dilakukan pada tiga waktu yang
berbeda, dalam rentang pekan pertama sampai pekan terakhir bulan September 2015. Hal ini dapat mempengaruhi nilai dari hasil penelitian yang diperoleh,
karena keadaan mahasiswa yang menjadi sampel sangatlah berbeda dan bervariasi pada waktu
– waktu yang berbeda, misalnya faktor stres, sebagai salah satu variabel perancu atau confounding variable, yang berbeda antara awal bulan
dan akhir bulan. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, hasil penelitian ini akan lebih
bernilai, jika pengambilan sampel penelitian dapat dilakukan pada satu tahap pengambilan sampel saja, namun jika tidak memungkinkan, pengambilan sampel
penelitian dapat dilakukan pada lebih dari satu tahap, namun pada waktu –
waktu yang sama, misalnya pada awal bulan saja, akhir bulan saja atau pada tanggal yang sama di bulan yang berbeda, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan perbedaan dan bervariasinya keadaan sampel tersebut, jikalau sampel diambil pada waktu
– waktu yang berbeda. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh peneliti karena adanya keterbatasan waktu penelitian yang dimiliki untuk
melakukan seluruh proses pengambilan sampel yang ada.
4. Karakteristik Kelompok Sampel yang Berbeda
– Beda Mahasiswa yang dipilih menjadi sampel penelitian, yang berasal dari
berbagai kelompok dengan karakterisktik yang berbeda – beda. Salah satu dari
kelompok tersebut adalah berdasarkan stambuk atau angkatan asal mahasiswa yang menjadi sampel, antara lain tahun 2012, 2013 dan 2014. Karakteristik
kelompok sampel berdasarkan kelompok stambuk tersebut berbeda – beda,
misalnya faktor stres, sebagai salah satu variabel perancu atau confounding variable, yang dominan pada mahasiswa yang berasal dari tahun 2012, karena
para mahasiswa yang menjadi sampel, yang berasal dari tahun 2012, adalah mahasiswa tingkat akhir, yang sedang disibukkan dengan kegiatan penelitian dan
Universitas Sumatera Utara
penulisan karya tulis ilmiah, sebagai tugas akhir, dibandingkan dengan para mahasiswa yang menjadi sampel, yang berasal dari tahun 2013 dan 2014, yang
memiliki faktor stres, yang tidak sedominan mahasiswa dari tahun 2012. Hal ini dapat mempengaruhi nilai dari hasil penelitian yang diperoleh.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, hasil penelitian ini akan lebih bernilai, jika mahasiswa yang dipilih menjadi sampel penelitian dapat diambil
dari kelompok stambuk yang sama, sehingga seluruh sampel yang terpilih akan memiliki karakteristik yang sama.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN