tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Melihat kodisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif
dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan
atau norma yang ada di masyarakat. Diantaranya adalah bingung peran, kesulitan belajar, kenakalan remaja, perilaku seksual yang menyimpang Sumiati, 2009.
Adapun beberapa konflik ataupun masalah yang dialami oleh remaja adalah konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas
dan merdeka, konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan kepada orang tua, konflik antara kebutuhan seks dan agama serta nilai sosial,
konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika kecil dahulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di
lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari, konflik menghadapi masa depan Jahja, 2011.
2.6.1 Bingung Peran
Bingung peran adalah karakteristik penyimpangan perilaku yang menunjukkan terjadinya resolusi negatif pada seorang remaja ketika mengalami
bingung, ragu-ragu dan perilaku anti sosial. Penyebab terjadinya penyimpangan perkembangan psikososialbingung peran adalah tidak menemukan ciri khas
kekuatan dan kelemahan dirinya, tidak diterima lingkungan pada setiap tahapan usia. Masalah-masalah yang sering di hadapi remaja, diantaranya adalah keliru
dengan peran dan tanggung jawab dirinya sendiri, sering merasa disalahkan, merasa dirinya di layani secara tidak adil, tidak di pedulikan, sukar memahami
emosi dirinya sendiri, susah membuat keputusan Sumiati,et.al, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Usaha remaja untuk memahami diri bukan “sejenis rasa tidak nyaman akibat menjadi dewasa”. Tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis”
identitas versus kebingungan identitas atau identitas versus kebingungan peran, untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh
dan memahami peran nilai dalam masyarakat. “Krisis identitas” ini jarang teratasi pada masa remaja. Remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru
orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan menyintesis identifikasi lebih awal ke dalam “struktur psikologi
baru yang lebih besar”, Menurut Erikson 1950 dalam Papalia 2011. Ciri-ciri individu yang memiliki identitas diri yakni individu tersebut
memiliki karakteristik seperti konsep diri, evaluasi diri, harga diri, efikasi diri, kepercayaan diri, tanggung jawab, komitmen, ketekunan, kemandirian
Dariyo,2004. a.
Konsep diri, yakni gambaran diri tentang aspek fisiologis maupun psikologis yang pengaruh pada perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan
orang lain. Sejauh mana individu menyadari dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya, maka akan mempengaruhi
pembentukan konsep dirinya. Kalau dia mampu menerima kelebihan dan kekurangan tersebut, dalam diri individu akan tumbuh konsep diri positif,
sebaliknya bagi yang tak mampu menerimanya, maka cenderung menumbuhkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang baik, akan mempengaruhi kemampuan
individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik. Sebaliknya, yang konsep dirinya negatif, cenderung menghambat dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Evaluasi diri, penerimaan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
individu yang baik, berarti ia memiliki kemampuan untuk menilai, menaksir, mengevaluasi potensi diri sendirinya. Kemampuan evaluasi diri tumbuh karena
ada kesadaran akan segala potensi yang dimilikinya. Justru mereka yang memiliki konsep diri yang baik, karena memang ia telah mampu mengevaluasi menilai
aspek-aspek dalam dirinya. c.
Harga diri, seseorang yang memiliki harga diri yang baik akan dapat menghargai diri secara proporsional. Ia tidak akan mengukur dirinya lebih tinggi
dari yang seharusnya, kalau memang saat ini belum saatnya. Namun penghargaan dirinya tidak serendah dari apa yang seharusnya. penghargaan diri yang wajar dan
proporsional merupakan tindakan yang tepat bagi seseorang individu yang mempunyai identitas diri matang.
d. Efikasi-diri, kemampuan menyadari, menerima dan mempertanggung
jawabkan semua potensi, keterampilan atau keahlian secara tepat. Orang yang memiliki self-efficacy, akan menempatkan diri pada posisi yang tepat. Efikasi diri
akan mendorong individu untuk menghargai dan menempatkan diri pada posisi yang tepat. Karena itu, ia tahu dimana dan kapan ia harus
mempertanggungjawabkan kapasitas bakat-bakatnya dengan baik. e.
Kepercayaan diri ialah keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kemampuan dan kelemahannya, dan dengan kemampuan tersebut ia merasa
optimis dan yakin akan mampu menghadapi masalah dengan baik. Dengan kepercayaan diri, seseorang dapat berfikir dan bertindak antisipatid, artinya apa
yang dipikirkan cenderung melihat kearahg masa depan.
Universitas Sumatera Utara
f. Tanggung jawab, seseorang yang bertanggung jawab biasanya
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya sampai selesai. Ia tidak akan mundur atau melarikan diri dari tanggung jawab tersebut. Dengan selesainya tanggung
jawab tersebut akan menumbuhkan harga diri, kebanggaan dan kepuasan batin, kesenangan, dan kebahagiaan hidup.
g. Komitmen, yakni tekad atau dorongan internal yang kuat untuk
melaksanakan suatu janji, ketepatan hati yang telah disepakati sebelumnya sampai benar-benar selesai dengan baik.
h. Ketekunan, untuk meakukan suatu tanggung jawab dan komitmen sampai
tuntas, dibutuhkan sifat yang setia dan tekub untuk tetap bertahan pada kewajibannya.
i. Kemandirian, merupakan salah satu sifat dalam diri orang yang memiliki
identitas diri jati diri. Kemandirian sifat yang tidak bergantung pada diri orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalah dalam hidupnya sendiri.
Ada 4 status identitas remaja menurut James Marcia dalam Papalia 2011, yaitu:
1. Identity Achievement krisis yang mengarah kepada komitmen. Seorang
individu dikatakan telah memiliki identitas jati diri, kalau dalam dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik.
Justru, adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun dalam kenyataannya, ia harus
mengalai kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari dari upaya untuk mewujudkan potensi pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
2. Foreclosure komitmen tanpa krisis. Individu yang memiliki identitas ini,
ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiiki komitmen atau tekad. Sehingga orang ini, seringkali banyak angan-angan yang akan dicapai dalam
hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan masalah yang dihadapinya. Akibatnya, orang tipe ini ketika dihadapkan dengan masalah realitas,
tidak akan mampu menghadapi dengan baik. 3.
Moratorium krisis tanpa komitmen. Orang dengan tipe ini, ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat tekad untuk
menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada 2 kemungkinan tipe orang ini yaitu, individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan tetapi ia
tidak mau menyelesaikannya, dan individu yang memang tidak menyadari tugasnya namun juga tidak memiliki komitmen.
4. Identity diffusion tidak ada komitmen, tidak ada krisis. Orang tipe ini,
yaitu orang yang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki kemauan tekad, komitmen untuk
menyelesaikannya. 2.6.2 Kesulitan Belajar
Pelajar yang mengatur pembelajarannya sendiri menentukan target yang menantang dan menggunakan strategi yang tepat untuk mencapainya. Mereka
berusaha keras, bertahan di hadapan kesulitan, dan mencari bantuan jika memang diperlukan. Siswa yang tidak yakin akan kemampuan mereka untuk sukses
cenderung menjadi frustasi dan tertekan perasaan yang membuat kesuksesan sulit untuk dicapai. Beberapa faktor termasuk keyakinan dan praktik orang tua, status
sosioekonomi, dan pengaruh teman sebaya, mempengaruhi kekuatan orang tua
Universitas Sumatera Utara
dalam menguatkan prestasi anak. Pengaruh teman sebaya mungkin dapat menjelaskan penurunan tren dalam motivasi dan prestasi akademis yang bagi
banyak siswa dimulai pada awal masa remaja. Dalam studi longitudinal terhadap siswa yang memasuki sekolah menengah urban setelah tingkat ke enam, motivasi
dan peringkat mengalami penurunan, secara rata-rata, sepanjang tingkat ketujuh. Akan tetapi, siswa dengan kelompok teman sebaya yang sangat menerima
menunjukkan penurunan pada prestasi yang lebih sedikit dan menikmati sekolah, sedangkan mereka yang diasosiasikan dengan low achiever menunjukkan
penurunan yang besar Papalia,et.al, 2011. Penggunaan waktu, motivasi akademis dan keyakinan akan kecakapan diri
mungkin memengaruhi cara remaja tersebut menggunakan waktu mereka. Sebagian di antara mereka tampak terlalu sibuk dengan aktivitas ekstrakkulikuler,
pekerjaan rumah tangga, dan dan pekerjaan sampingan ketimbang harapan untuk mendapatkan peringkat yang baik. Tetapi banyak yang kekurangan waktu dapat
dan benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan banyak murid yang tampak memiliki banyak waktu luang justru ridak terlalu berprestasi Papalia,et.al, 2011.
Status sosioekonomis dan lingkungan keluarga. Status sosioekonomi bisa menjadi faktor kuat dalam prestasi melalui pengaruhmya terhadap atmosfer
keluarga, pemilihan lingkungan sekitar, dan pada caraorang tua membesarkan anak. Anak-anak miskin, dengan orang tua yang tidak berpendidikan, memiliki
kecenderungan yang lebih besar merasakan atmosfer negatif keluarga dan sekolah serta peristiwa yang menekan. Lingkungan yang dapat diberikan oleh keluarga
secara umum menentukan kualitas pendidikan dan peluang terhadap pendidikan yang lebih tinggi, dan ketersediaan peluang seperti itu, bersama dengan sikap
Universitas Sumatera Utara
kelompok teman sebaya lingkungan sekitar, dapat memengaruhi motivasi Papalia,et.al, 2011.
Keterlibatan orang tua dan gaya pengasuhan,. Orang tua dapat memengaruhi prestasi pendidikan anak dengan melibatkan diri dalam pendidikan anak;
bertindak sebagai penasihat bagi anak-anak mereka dan memberi kesan pada guru dengan keseriusan target pendidikan keluarga. Siswa dengan orang tua yang amat
terlibat dalam kehidupan sekolah dan memonitor perkembangan mereka biasanya
menjadi siswa yang terbaik di sekolah menengah atas.
Kesulitan belajar adalah suatu keadaan kondisi dimana remaja tidak menunjukkan prestasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kesulitan
belajar atau “Learning Disabilities LD” adalah hambatan atau gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan
antara taraf intelegensi dan kemampuan akan akademik yang seharusnya dicapai. Hali ini disebabkan oleh gangguan di dalam sistem saraf pusat otak gangguan
neurobiologis yang dapat minimbulkan gangguan perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman, dan berhitung.
Bila tidak ditangani dengan baikdan benar akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional psikiatrik yang akan berdampak buruk bagi perkembangan
kualitas hidupnya di kemudian hari Sumiati,et.al, 2009. Adapun faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar adalah:
a. Faktor internal siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari siswa
sendiri, yang meliputi gangguan atau kekurangan maupun psikofisik siswa yang terdiri dari bersifat kognitif ranah cipta seperti merendahkan kapasitas intele
ktual inteligensi siswa, bersifat afektif ranah rasa antara lain labilnya emosi dan
Universitas Sumatera Utara
sikap, bersifat psikomotor ranah karsa anatara lain terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran mata dan telinga.
b. Faktor eksternal siswa, yakni hal-hal ata keadaan yang datang dari luar diri
siswa, yaitu kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa, yang terdiri dari lingkungan keluarga, contohnya ketidak harmonisan
hubungan antara ayah dan ibu, rendahnya kehidupan ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat, contohnya wilayah perkampungan kumuh dan teman
sepermainan yang nakal, lingkungan sekolah, contohnya kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang
kurang berkualitas. Kesulitan belajar kadang-kadang tidak terdeteksi dan tidak dapat terlihat
secara langsung. Setiap individu yang memiliki kesulitan belajar sangatlah unik. Seperti misalnya, seorang anak “dyslexia”, yang sulit membaca, menilis dan
mengeja, tetapi sangat pandai dalam matematika. Pada umumnya, individu dengan kesulitan belajar memiliki intelegensi rata-rata bahkan diatas rata-rata.
Seseorang terlihat “normal” dan tampak sangat cerdas tetapi sebaliknya ia mengalami hambatan dan menunjukkan tingkat kemampuan yang tidak
semestinya dicapai dibandingkan dengan yang seusia dengannya. 2.6.3 Kenakalan remaja
Kenakalan remaja adah salah satu masalah yang paling berbahaya pada masa remaja ialah permulaan kenakalan serius. Masalah tersebut jauh lebih umum
ditemukan dikalangan pria daripada perempuan. Anak-anak nakal biasanya adalah orang yang berpencapaian rendah yang diberi sedikit alasan untuk percaya bahwa
mereka dapat berhasil dengan mengikuti jalur yang ditentukan bagi mereka oleh
Universitas Sumatera Utara
sekolah. Kenakalan pada remaja sangat banyak merupakan fenomena kelompok. Tindakan yang paling nakal dilakukan dalam kelompok atau dengan dukungan
aktif subkelompok yang nakal Slavin, 2011. Kenakalan remaja adalah tingkah laku yang melampaui batas toleransi
orang lain dan lingkungannya. Tindakan ini dapat merupakan perbuatan yang melanggar hak azasi manusia sampai melanggar hukum. Kenakalan remaja adalah
perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas,
dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran situs sehingga tindakan kriminal, menurut Kartono 2003 dalam buku Sumiati,et.al
2009. Remaja terlibat dalam perilaku kekerasan diakibatkan karena ketidak
dewasaan otak para remaja, khususnya prefrontal cortex, yang merupakan bagian penting untuk melakukan menilai dan memicu kekerasan. Remaja yang
berkecenderungan melakukan kekerasan sering kali menolak mendengarkan figur otoritas seperti orang tua dan guru; mengacuhkan perasaan dan hak orang lain;
memperlakukan orang lain dengan tidak benar, bergantung kepada kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyelesaikan masalah, dan percaya bahwa kehidupan
telah memperlakukan mereka dengan tidak adil Papalia, 2011. Mereka sering kali tampak lebih tua dari teman sebaya mereka. Mereka
berkelakuan buruk di sekolah seperti cut classes cabut dari kelas atau bolos sekolah, tidak naik kelas atau ditunda kenaikannya atau keluar dari sekolah,
Universitas Sumatera Utara
menggunakan alkohol,obat terlarang, bergabung dengan geng, berkelahi, mencuri, atau menghancurkan properti. Remaja lebih berkecenderungan lebih besar untuk
melakukan kekerasan jika mereka memilih model panutan atau menjadi korban kekerasan, seperti pelecehan fisik atau tawuran antar kampung. Informasi
kekerasan dari media berpengaruh signifikan terhadap pandangan pemirsa tentang pembenaran tindak kekerasan Papalia, 2011.
Bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu: kenakalan terisolir delinkuensi terisolir, kenakalan neurotik delinkuensi
neurotik, kenakalan psikotik delinkuensi psikopatik, dan kenakala defek moral delinkuensi defek moral. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan
kenakalan remaja adalah identitas, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman
sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas lingkungan sekitar tempat tingggal. menurut Kartono 2003 dalam Sumiati,et.al 2009.
Menurut Willis, 2014. Ada empat sumberk kenakalan remaja yaitu faktor- faktor di dalam diri anak itu sendiri, faktor-faktor di rumah tangga, faktor-faktor
di masyarakat, dan faktor-faktor yang berasal dari sekolah. 1.
Faktor-faktor di dalam diri anak itu sendiri. Terbagi atas a.
Predisposing Factor, faktor-faktor yang memberi kecenderungan tertentu terhadap remaja. Kecenderungan kenakalan adalah dari faktor bawaan bersumber
dari kelainan otak. Menurut pemahaman Freudian aliran psikoanalisis, bahwa kepribadian jahat delinquent bersumber dari id bagian kepribadia yang
bersumber dari hawa nafsu.
Universitas Sumatera Utara
b. Lemahnya pertahanan diri, adalah faktor di dalam diri untuk mengontrol dan
mempertahankan diri terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Lemahnya kepribadian remaja disebabkan faktor pendidikan di keluarga.
c. Kurangnya kemampuan penyesuaian diri, keadaan ini amat terasa di dunia
remaja. Banyak remaja yang kurang pergaulan. Inti dari persoalannya adalah ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial, karena dengan
mempunyai daya pilih dengan teman bergaul akan membantu pembentukan perilaku positif. Anak-anak yang terbiasa dengan pendidikan kaku dan dengan
disiplin ketat dari keluarga akan menyebabkan masa remajanya juga kuku dalam bergaul, dan tidak pandai memilih teman yang bisa membuat doa berkelakuan
baik. d.
Kurangnya dasar-dasar keimanan dalam diri remaja, agama adalah benteng diri remaha dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang padanya sekarang
dan dimasa yang akan datang. Karena saat ini banyak orang yang berusaha agar agama remaja makin tipis. Orang-orang tersebut adalah kelompok sekuler dan
orang-orang yang ingin agar para remaja tidak lagi menghiraukan agamanya. Oleh karena itu, pendidikan agama harus diberikan kepada remaja dengan menarik dan
ridak membosankan. 2.
Faktor-faktor di rumah tangga Keluarga merupakan sumber utama atau lingkungan yang utama penyebab
kenakalan remaja. Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang permulaan sekali dari pergaulan keluarga yaitu hubungan antara orangtua dengan
anak, ayah, dengan ibu dan hubungan anak dengan anggota keluarga lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Turner dan Helms 1995 dalam Dariyo 2004,sebagai berikut:
a. Kondisi keluarga yang berantakan Broken Home
Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cermin adanya ketidakharmonisan individu suami-istri atau orang tua anak dalam lembaga
rumah tangga. Kondisi ini membuat anak tidak merasakan perhatian, kehangatan kasih sayang, ketntraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya.
Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain, dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah.
b. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua
Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi saja, tetapi lebih dari itu. Ia juga memerlukan kebutuhan psikologis untuk pertumbuhan dalam
perkembangan kepribadiannya. Anak yang kurang diperhatikan bahkan kasih sayang akan cenderung memiliki dampak buruk bagi perkembangan pribadi dan
perlakuannya. Misalnya, melakukan tindakan yang melanggar norma masyarakat mencuri, merampok, menodong, mabuk-mabukan di jalan, sambil mengendarai
motor mobil. c.
Status sosial ekonomi orang tua rendah Kehidupan sosial-ekonomi yang mapan merupakan salah satu penunjang
yang membentuk kebahagian hidup keluarga. Kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang, menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan makanan yang bergizi, kesehatan, pendidikan, dan sarana penunjangnya, dan bahkan orangtua pun kurang optimal dalam memberikan
perhatian kasih sayang pada anak. Hal ini dapat terjadi karena seluruh waktu dan
Universitas Sumatera Utara
perhatiannya, cenderung tercurah untuk bekerja agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya. Tiadanya pekerjaan yang baik, akan menyebabkan mereka
dapat membentuk kelompok pengangguran dan mungkin menyalurkan energinya untuk melakukan hal-hal yang melanggar norma masyarakat.
d. Penerapan disiplin keluarga yang tidak tepat
Sebagian dari oranng tua beranggapan bahwa penerapan disiplin terhadap anak harus dilakukan secara tegas, keras, tidak kenal kompromi serta tidak
mengenal belas kasihan kepada anaknya. Ketika anak sering mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya, mungkin anak akan patuh dihadapan orang
tuanya. Akan tetapi kepatuhan itu semu dan sementara, mereka cenderung akan melakukan tindakan-tindakan yang negatif, sebagau pelarian maupun protes
terhadap orang tuanya. 3.
Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat Masyarakat dapat pula menjadi penyebab bagi berjangkitnya kenakalan
remaja, terutama sekali di lingkungan masyarakat yang kurang sekali melaksanakan ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dapat juga timbul konflik
dalam diri para remaja sendiri, yakni norma-norma yang dianutnya dari rumah keluarga bertentangan dengan norma masyarakat yang menyimpang dari norma
keluarga. 4.
Faktor-faktor kenakalan yang bersumber dari sekolah Sekolah merupakan tempat pendidikan kedua setelah rumah tangga. Karena
itu ia cukup berperanan dalam membina anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Perilaku Seksual