Tabel 5.4 menunjukkan kelompok IMT, lingkar leher, dan usia yang cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah obese II 23.9, lingkar
leher 40 cm 39.1 dan usia 36-45 tahun 21.7.
5.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea
OSA, karakteristik sopir angkutan kota dan dinilai juga kelompok berisiko tinggi berdasarkan IMT, lingkar Leher, dan usia.
Tingkat risiko terjadinya OSA pada pengemudi angkutan kota yang memiliki risiko tinggi sebanyak 58.7 dan risiko rendah sebanyak 41.3. Hal
ini dapat terjadi karena sebagian dari responden memiliki gejala baik itu mendengkur, Excessive Daytime Sleepiness, tekanan darah tinggi dan IMT 30
kgm
2
yang menjadi penilaian pada kuesioner Berlin dalam hal intrepretasi risiko tinggi terjadinya OSA Neurophthalmol, 2012.
Dari tabel karakteristik pengemudi angkutan kota pada penelitian ini menunjukkan bahwa usia responden berkisar 21-56 tahun. Pengelompokkan usia
dibagi menjadi 5 kategori sesuai pengelompokan menurut Depkes 2009 dengan jumlah responden yang terbanyak adalah usia 36-45 tahun 32.6 sedangkan
jumlah paling sedikit adalah usia 56-65 tahun 4.3. Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiadnyana pada pengemudi taksi X di Jakarta
didapatkan usia responden berkisar antara 36-48 tahun 54.29. Berdasarkan IMT pada penelitian ini yang memiliki jumlah paling banyak adalah responden
dengan IMT normal 26.1 dan jumlah yang paling sedikit adalah responden dengan Underweight 13.0. Penelitian yang dilakukan pada sopir angkutan kota
trayek 104 Medan oleh Enike R. Siregar pada tahun 2008 juga didapatkan jumlah responden yang paling banyak adalah responden dengan Indeks Massa Tubuh
yang normal 67.21 dan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi adalah jumlah responden terbanyak pada sopir angkutan kota trayek 130 Medan
65.2. Hal ini diakibatkan sebagian besar responden mengatakan tidak pernah minum alkohol dan riwayat keluarga yang tidak memiliki riwayat hipertensi
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
dimana faktor-faktor tersebut sangat berperan terhadap risiko hipertensi Kumalasari, 2012.
Dari tabel 5.4 kelompok IMT pengemudi angkutan kota pada penelitian ini yang cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah kategori Obese II
23.9. Hal tersebut terkait dengan obesitas yang menjadi faktor risiko utama dalam pengembangan terjadinya OSA. Obesitas akan mempengaruhi perubahan
anatomi pada saluran napas selama tidur akibat peningkatan volume lidah dan tulang hyoid bagian anterior Garg et al, 2012. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Kales pada tahun 2013 pada sopir pribadi di Amerika bagian Utara didapatkan 28 suspected OSA tersangka menderita OSA dengan IMT 26
kgm
2
dan pada studi lainnya didapatkan 40 masyarakat mengalami OSA dengan kelebihan berat badan Jamie et al, 2010. Penelitian ini juga mendapatkan
bahwa kelompok IMT lainnya seperti underweight, normal, overweight, dan Obese I juga memiliki risiko tinggi terjadinya OSA namun dalam jumlah yang
sedikit dibandingkan dengan kelompok IMT Obese II. Pada penelitian Rajiv Garg dkk yang dikutip dari sakakibara et al dengan
desain penelitian cross-sectional retrospective yang mengamati OSA pada nonobese
menunjukkan bahwa adanya perbedaan struktur tulang yaitu jarak thyromental yang lebih pendek dibandingkan dengan pasien normal. Hal ini
ditunjukan dengan posisi dagu yang relatif lebih rendah dari kartilago tiroid dan dasar tengkorak. Pada studi retrospektif oleh Vivat tangugsorn dkk tahun 2001
melaporkan temuan serupa pada 71 pasien nonobese yang cenderung memiliki perubahan karakteristik anatomi kraniofasial seperti peningkatan soft palate,
pengurangan wilayah anteroposterior nasofaring dan oral pharynx. Selain struktur anatomi, banyak faktor dalam pengembangan terjadinya OSA seperti konsumsi
alkohol, merokok, supine sleep position, penggunaan sedatif, stroke, acromegaly, hypothyroidism, neurologic syndrome Downey, 2014. Maka dari itu, peranan
dalam terjadinya OSA bukan dari structur anatomi saja melainkan peranan dari banyak faktor multifaktorial.
Kelompok lingkar leher pengemudi angkutan kota pada penelitian ini menunjukkan Lingkar Leher yang 40 cm cenderung memiliki risiko tinggi
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
terjadinya OSA 39.1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Douglas C. Cowan pada tahun 2013 didapatkan kemungkinan OSA yang memiliki kaitan dengan
ukuran lingkar leher 17 inchi sebesar 69 dan pada penelitian Wiadnyana pada pengemudi taksi didapatkan lingkar leher 40 cm cenderung terjadinya OSA
95. Hal ini berkaitan dengan penumpukan lemak pada daerah leher yang dapat membuat saluran napas atas menjadi lebih sempit akibatnya aliran udara akan
semakin menurun dan akan mengalami ganguan napas selama tidur atau dikenal dengan Obstructive Sleep Apnea OSA Supriyatno dan Deviani, 2005. Namun
pada penelitian ini didapatkan lingkar leher 40 cm cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA.
Dalam penelitian ini didapatkan 18 responden berisiko tinggi dengan lingkar leher 40 cm dengan IMT normal sebanyak 4 orang 22.2 sedangkan
responden dengan IMT berlebih sebanyak 12 orang 66.6. Hal ini menunjukkan bahwa lingkar leher sebagai faktor risiko sangat dipengaruhi oleh Indeks Massa
Tubuh. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian pasien OSA dengan IMT normal yang dibandingkan dengan pasien IMT overweight dan obese. Penelitian
ini mengungkapkan bahwa lingkar leher bukan merupakan faktor utama dalam pengembangan terjadinya OSA melainkan Indeks Massa Tubuh. Quintas et al,
2013. Kelompok usia responden pada sopir angkutan kota yang cenderung
memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah usia 36-45 tahun 21.7. Mekanisme pertambahan usia terkait dengan terjadinya OSA pada populasi umum
masih belum jelas namun beberapa penelitian mengatakan bahwa pertambahan usia terkait dengan peningkatan deposisi lemak didaerah parapharygeal,
perpanjangan langit-langit dan perubahan struktur tubuh di sekitar faring Punjabi, 2008; Bixler et al, 1998. Data dari Wisconsin cohort study menunjukkan
prevalensi OSA pada orang yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24 untuk laki- laki dan 4-9 untuk perempuan Downey, 2014. Berdasarkan studi lainnya juga
didapatkan bahwa usia memiliki peranan penting dalam pengembangan risiko terjadinya OSA. Pada usia 20-44 tahun didapatkan 3,2 mengalami OSA, usia
45-65 tahun 11,3 dan 18, 1 pada usia 61-100 tahun Punjabi, 2008.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kalangan Sopir Angkutan Kota 130, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebanyak 58.7 sopir angkutan kota mengalami risiko tinggi terjadinya OSA.
2. Karakteristik sopir angkutan kota menunjukkan jumlah responden yang terbanyak adalah usia 36-45 tahun 32.6, normal 26.1 dan tidak
memiliki riwayat hipertensi 65.2. 3. Kelompok Indeks Massa Tubuh responden yang berisiko tinggi terjadinya
OSA yaitu Obese II 23.9 4. Kelompok lingkar leher responden yang berisiko tinggi terjadinya OSA
yaitu lingkar leher 40 cm 39.1 5. Kelompok usia responden yang berisiko tinggi terjadinya OSA yaitu usia
36-45 tahun 21.7.
6.2. Saran
1. Orang yang berisiko tinggi akan cenderung menderita OSA oleh sebab itu
disarankan bagi pembaca maupun sopir angkutan kota bisa menjaga berat badan yang ideal dan menjaga makanannya yang sehat untuk tetap
mengontrol faktor risiko dalam pengembangan terjadinya OSA karena hal ini yang akan mempengaruhi kualitas kerja seseorang dan cenderung
mengalami kecelakaan lalu lintas akibat mengantuk pada kalangan sopir angkutan.
2. Diharapkan karya tulis ini dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang OSA di kalangan sopir angkutan kota dan hal hal
lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
34
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara