VII. ANALISIS TATANIAGA KOPI ARABIKA DI PROPINSI SULAWESI SELATAN
7.1. Identitas Responden
Jumlah petani yang dipilih menjadi responden penelitian ini adalah 60 orang dari 20 741 orang populasi petani kopi arabika yang ada di kabupaten
Enrekang dan Tana Toraja. Selanjutnya karakteristik responden penelitian tersebut akan diidentifikasi menurut umur, pendidikan, pengalaman usahatani,
jumlah anggota keluarga dan luas lahan usahatani kopi arabika yang dfikelola, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Analisis lebih lanjut terhadap
indikator-indikator tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran memadai dalam hubungannya dengan program pengembangan kopi rabika pada daerah
penelitian.
7.1.1.Umur Petani Responden
Umur responden dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu kelompok umur 15 - 25 tahun, 26 - 34 tahun, 35 – 45 tahun, dan lebih dari 45
tahun. Berdasarkan penggolongan empat kelompok umur tersebut, maka sebagian besar responden terpilih berada pada kelompok umur 26 – 34 tahun
33.33. Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelompok umur 35 - 45 tahun 26.67, lebih dari 45 tahun 23.33, dan 15 – 25 tahun 16.67. Artinya,
petani responden sebagian besar berada pada usia produktif sehingga diharapkan menjadi faktor positif terhadap rencana pengembangan lebih lanjut
tanaman kopi arabika di daerah bersangkutan.
Tabel 17. Identitas Petani Responden Kopi Arabika di Sulawesi Selatan No Keterangan Jumlah
Petani org
Persentase Kelompok Umur th
15 - 25 26 - 34
35 - 45 45
10 20
16 14
16.67 33.33
26.67 23.33
1.
Jumlah 60 100.00
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah
SD SLTP
SLTA 10
14 2
34 16.67
23.33 3.33
56.67 2.
Jumlah 60 100.00
Jumlah Anggota Keluarga org 2
3 4
5 8
2 10
40 13.33
3.33 16.67
66.67 3.
Jumlah 60 100.00
Pengalaman Usahatani th 5
5 -10 10
8 10
42 13.33
16.67 70.00
4.
Jumlah 60 100.00
Luas Lahan Petani Ha 0.5
1.0 1.5 - 2.0
2.0 18
10 14
18 30.00
16.67 23.33
30.00 5.
Jumlah 60 100.00
7.1.2. Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan petani akan sangat berpengaruh terhadap respon dan kemampuan petani dalam menerima inovasi dan teknologi baru. Dilihat dari
tingkat pendidikannya, sebagian besar responden penelitian mempunyai pendidikan yang relatif tinggi, yaitu setingkat SLTA 56.67, kemudian berturut-
turut diikuti oleh responden yang berpendidikan SD 23.33, tidak sekolah atau buta huruf 16.67, dan SLTP 3.33. Oleh karena itu, dengan komposisi
tingkat pendidikan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17, maka diduga respon petani terhadap program pengembangan kopi arabika akan sangat
beragam. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah cara
berpikir dan bertindak, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Pendidikan yang dimaksud dalam hal ini adalah pendidikan formal yang terakhir
ditamatkan oleh petani. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani, baik formal maupun non formal, maka petani cenderung akan semakin rasional dalam
menjalankan usahataninya, termasuk menentukan usaha apa yang lebih cocok dan memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Proses adopsi teknologi,
perluasan usaha dan pengelolaan usahatani secara umum akan sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan petani. Dengan konfigurasi pendidikan yang
didominasi oleh petani berpendidikan SLTA, maka diharapkan program pengembangan kopi arabika di daerah ini akan mendapatkan dukungan kongkrit
dari petani kopi arabika itu sendiri.
7.1.3. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dari responden penelitian disajikan pada Tabel 17. Sebagaimana dapat dilihat dari Tabel 17 tersebut, sebagian besar
responden memiliki jumlah anggota atau tanggungan keluarga lebih besar dari 5
orang per keluarga 66.67, lalu berturut-turut diikuti oleh keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang 16.67, 2 orang 13.33, dan 3
orang 3.33. Dalam banyak hal, besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi kemampuan rumahtangga petani dalam pemupukan modal
usahatani. Semakin besar jumlah anggota keluarga petani, maka akan semakin besar pula tingkat konsumsi keluarga sehingga akan mengurangi
kemampuannya dalam hal pemupukan modal usahatani. Walaupun demikian, besarnya jumlah anggota keluarga ini dapat
dipandang sebagai potensi sumber tenaga kerja dalam keluarga yang bagi usahatani kebanyakan di Indonesia peranannya sangat besar. Berbagai
penelitian mengindikasikan bahwa sebagaian besar usahatani di Indonesia, termasuk usahatani kopi arabika, dikelola dengan menggunakan tenaga kerja
dalam keluarga yang lebih dominant bila dibandingkan tenaga kerja upahan atau tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Dalam prespektif program
pengembangan kopi arabika di Sulawesi Selatan, besarnya jumlah anggota keluarga ini dapat menjadi faktor positif dan negatif. Positif bila dikaitkan dengan
ketersediaan sumber tenaga kerja dan negatif bila dikaitkan dengan pemupukan modal yang dibutuhkan untuk pengembangan usahatani kopi arabika.
7.1.4. Pengalaman Usahatani Responden
Usahatani kopi arabika di kabupaten Enrekang dan Tana Toraja sudah dilakukan oleh masyarakat sejak lama. Oleh karena itu, sebagian besar
responden penelitian telah memiliki pengalaman usahatani kopi lebih dari 10 tahun 70.00. Hanya 16.67 dari responden yang memiliki pengalaman
usahatani 5 – 10 tahun. Responden dengan pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun jumlahnya lebih kecil lagi 13.33.
Dalam beberapa kasus, faktor pengalaman usahatani bahkan pengaruhnya lebih besar bila dibandingkan dengan pendidikan formal. Pada
prinsipnya, petani lebih percaya pada pengalaman mereka sendiri dalam mengelola ushataninya. Pengetahuan yang sederhana dari pengalaman
usahatani, mudah dipahami dan langsung dapat diterapkan sehingga memberi hasil yang dianggap lebih baik daripada menerapkan pengetahuan yang didapat
dari pendidikan formal. Pengetahuan dan penguasaan teknologi yang dimiliki petani kopi arabika
di daerah studi sifatnya legendaris, berasal dari nenek moyang mereka. Penguasaan teknologi seperti cara menanam, memelihara, memanen dan
mengolah hasil usahataninya, sebagian besar berasal dari pengetahuan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Pengetahuan lain yang bersifat lebih
modern tentang pengelolaan kopi arabika, kadang juga diperoleh dari interaksi dengan sesama petani yang lebih maju, termasuk dari petugas pertanian atau
aparat desa yang memiliki akses teknologi budidaya kopi arabika.
7.1.5. Luas Lahan Usahatani
Rincian tentang tentang luas lahan usahatani responden dapat dilihat pada Tabel 16. Dari Tabel 17 tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata petani
responden memiliki lahan usahatani kopi arabika seluas 0.5 hektar 30.00. Petani yang memiliki lahan usahatani lebih besar dari 2 hektar memiliki proporsi
yang sama, yaitu 30.00. Sedangkan kelompok responden lainnya memiliki lahan usahatani seluas 1.5 – 2.0 hektar 23.33 serta seluas 1 hektar 16.67.
Berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa luas lahan memiliki pengaruh positif terhadap tingkat keuntungan usahatani kopi rakyat disamping
faktor jumlah pohon produktif, harga pupuk dan pengalaman usahatani petani. Secara umum ushatani kopi akan lebih menguntungkan bila diusahakan pada
lahan yang lebih luas dan datar bila dibandingkan pada lahan sempit dan miring Nurung, 1997. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan tingkat efisiensi usaha,
usahatani pada lahan uang lebih luas belum tentu lebih efisien bila dibandingkan dengan lahan usahatani yang lebih sempit.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya selain ukuran luas lahan usahatani adalah tingkat kesuburan tanah, topografi, elevasi, status lahan, lokasi
lahan serta lingkungan atas lahan usahatni tersebut berada. Faktor-faktor tersebut tidak saja berpengaruh terhadap besarnya keuntungan, tingkat efisiensi,
skala usaha. Bahkan faktor-faktor tersebut akan berpengaruh juga terhadap kinerja pemasaran, khususnya menyangkut pilihan petani terhadap lembaga
pemasaran produknya.
7.2. Struktur Pasar Kopi Arabika