Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA

alam yang sangat indah dengan budaya yang sangat unik dan hasil kerajinan yang menarik membuat turis mancanegara senang berkunjung ke daerah lama Toraja terutama bila diadakan acara sakral atau pesta adat Dinas Perkebunan Tator, 2002. Kecamatan Rinding Allo terdapat obyek wisata yang sangat menarik di daerah pegunungan terdapat beberapa villa, disekitar villa dikelilingi tanaman kopi arabika yang sangat subur, sehingga wisatawan mancanegara sangat tertarik dengan daerah yang bernama Batutumonga. Di Batutumonga itulah turis Mancanegara menyaksikan tanaman kopi sejak berproduksi sampai pengolahan menjadi bubuk yang diolah secara tradisionil. Akhirnya lama kelamaan turis mancanegara tidak mengenal lagi Kopi Kalosi Arabika akan tetapi yang dikenal adalah “Kopi Toraja Arabika”.

2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA

Tanaman kopi di seluruh dunia terdapat sekitar 4.500 jenis yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok besar yakni; Coffee Canephora, yang salah satu varietasnya menghasilkan kopi dagang robusta, Coffee Arabica menghasilkan kopi dagang Arabika; Coffee Excelasa menghasilkan kopi dagang Excelasa; Coffea Leberica menghasilkan kopi dagang Leberika. Dari segi produksi, yang menonjol kualitas dan kuantitasnya adalah jenis arabika, andilnya dalam perekonomian dunia tidak kurang dari 70 persen. Jenis robusta mutunya di bawah kopi arabika, dengan pangsa sebanyak 24 persen dari total produksi kopi dunia, sedangkan leberika dan excelasa masing-masing hanya tiga persen. Kopi arabika Iebih baik dari pada robusta karena rasanya lebih enak dan jumlah kafeinnya Iebih rendah sehingga kopi arabika Iebih mahal dari pada kopi robusta Spillane, 1990. Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kopi arabika di kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dari data pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata peningkatan luas areal kopi arabika di kabupaten Enrekang dalam kurun waktu 1993 - 2005 adalah 31 persen. Sedangkan rata-rata perkembangan produktivitas pada tahun 1993 - 2005 adalah sebesar 3.51 persentahun. Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Enrekang,Tahun 1993-2005 Tahun LuasAreal ha Produksi ton Produktivitas kgha 1993 2 132 1 393 653 1994 2 795 1 873 670 1995 3 569 2 426 680 1996 4 200 2 578 614 1997 4 435 2 696 608 1998 4 170 3 170 760 1999 6 618 4 937 746 2000 6 698 3 590 536 2001 6 205 3 143 507 2002 10 354 3 947 673 2003 10 444 5 830 754 2004 10 444 6 231 870 2005 10 721 6 871 951 Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Enrekang berbagai seri Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dalam periode 1999 - 2005, luas areal kopi arabika di Tana Toraja terus mengalami peningkatan rata-rata 5.78 persentahun, sedangkan produksi dan produktivitas masing-masing hanya meningkat rata-rata 7.93 persentahun dan 5.21 persentahun. Tabel 5. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Daerah Tator,Tahun 1999 -2005 Tahun Luas Areal ha Produksi ton Produktifitas kgha 1999 11 604 3 555 310 2000 12 764 3 477 320 2001 15 010 3 146 370 2002 15 077 3 301 309 2003 15 980 3 310 370 2004 16 019 3 586 401 2005 16 299 3 837 423 Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Tana Toraja berbagai seri Sedangkan perkembangan jumlah petani kopi arabika di dua wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 1993 jumlah petani kopi arabika di Kabupaten Enrekang sebanyak 6.966 KK dan pada tahun 2005 sudah mencapai 16 215 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir sebesar 10.44 persen. Sedangkan untuk daerah Tator, pada tahun 1993 jumlah petani kopi sebanyak 15 300 KK dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak 31 094 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir sebesar 24.53 persen. Kontribusi daerah Enrekang dan Tator untuk penyerapan tenaga kerja KK kopi arabika terhadap Sulawesi Selatan masing-masing sebesar 14.7 persen Enrekang dan 33.2 persen Tator. Tanaman kopi arabika di wilayah MADUTORA sebanyak 80 persen adalah tanaman kopi rakyat sebagian besar diusahakan sebagai kebun-kebun tertutup dan berpencar-pencar di daerah yang sangat luas. Banyak juga yang diusahakan sebagai tanaman pekarangan dan ditanam di sekeliling rumah. Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal dan umumnya merupakan kegiatan usaha sampingan Tabel 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun 1993-2005 Tahun Enrekang KK Tator KK 1993 6 966 15 300 1994 6 902 24 746 1995 6 599 25 521 1996 7 174 26 242 1997 10 450 27 467 1998 14 637 27 467 1999 15 625 27 467 2000 16 215 29 873 2001 16 772 29 873 2002 16 215 32 250 2003 12 461 32 263 2004 16 215 32 268 2005 16 215 31 094 Sumber : Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2006 selain ladang untuk padi dan sayuran. Pemeliharaan kebun-kebun kopi rakyat sangat berbeda di masing-masing daerah sehingga tingkat produktivitas tanaman juga berbeda. Dalam tahun-tahun terakhir ini produktifitas tanaman kopi rakyat hanya sekitar 400-450 ribu ton setiap tahunnya. Upaya untuk mengembangkan kopi arabika di wilayah MADUTORA dilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Dalam jangka pendek pengembangan diarahkan kepada usaha pengembangan kemampuan produksi kebun rakyat dan kegiatan perbaikan mutu hasil produksi agar dapat bersaing di pasaran internasional. Kegiatan ini meliputi kegiatan rehabilitasi dan peremajaan serta perbaikan mutu yang dihasilkan. Sedangkan dalam jangka panjang pengembangan tanaman kopi diarahkan untuk memperluas pertanaman kopi arabika, termasuk pemilihan lahan yang sesuai dengan tanaman kopi arabika. Dengan pertimbangan tersebut maka pengembangan kopi arabika di wilayah MADUTORA penyebarannya difokuskan pada tiga kabupaten dengan sasaran utama untuk meningkatkan luas areal, produksi dan produktivitas tanaman. Panen dilakukan satu kali dalam satu tahun, musim pemetikan panen raya pada umumnya dimulai pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan pada bulan ApriI biasanya sudah mulai panen tetapi baru dalam jumlah sedikit. Hasil panen pada bulan itu terutama dilakukan dalam rangka usaha pemberantasan hama bubuk pada buah kopi. Untuk bulan September biasanya pemetikan dilakukan secara rajutan atau pemetikan secara massal. Panen dilakukan dengan menggunakan tangan sedangkan alat yang dipakai untuk mengumpulkan buah adalah ember dan karung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pascapanen itu menyangkut kegiatan pemetikan. Buah kopi yang masak berwarna merah, dipetik satu demi satu secara selektif dari tiap-tiap dompolannya dengan menggunakan tangan. Sistem pemetikan merah ini akan menghasilkan kopi biji bermutu tinggi dengan rendemen yang tinggi sekitar 20-22 persen. Untuk memperoleh hasil buah kopi yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul masak yaitu saat kulit buah kopi sudah berwarna merah. Untuk mencapai tahap matang, kopi robusta memerlukan waktu dari kuncup bunga selama 8 sampai 11 bulan dan 6 sampai 9 bulan untuk kopi arabika Najiyati dan Danarti, 1995. Pemetikan buah kopi secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: a pemetikan pendahuluan, biasanya dilakukan pada bulan Februari sampai Maret untuk memetik buah yang terserang hama bubuk. Kopi yang terserang hama bubuk buah biasanya berwarna kuning sebelum berumur 8 bulan, b petik merah dan panen raya; biasanya berlangsung 4 sampai 5 bulan yang dimulai pada bulan Mei atau Juni, yaitu untuk memetik buah yang sudah berwama merah, dengan interval atau selang pemetikan 10 sampai 14 hari, dan c petik hijau dan petik rancutan; petik hijau dilakukan apabila ada buah tersisa di pohon sekitar 10 persen. Semua buah yang masih tertinggal baik yang berwama merah maupun yang wama hijau dipetik seluruhnya. Petani rakyat di wilayah MADUTORA tidak melakukan pemetikan buah kopi secara selektif. Jika terdapat 30 sampai 40 persen buah yang berwarna merah dalam tiap dompolan, petani langsung memetik secara racutan. Buah kopi yang masih berwarna hijau dan kuning yang turut terpetik dapat mempengaruhi mutu kopi yang berwarna merah. Akhirnya kopi biji yang dihasilkan oleh rakyat bermutu rendah, harganya murah dan mengakibatkan pendapatan petani rendah. Karena buah kopi berwarna hijau akan menghasilkan kopi biji yang berwama hitam, coklat dan mudah pecah dalam proses pengolahan. Alat yang dipakai petani waktu memetik adalah keranjang, tali plastik, bambu berukuran kecil, ember dan karung. Setelah kopi dipetik, kemudian diangkut dengan tenaga manusia atau kuda. Berdasarkan hasil uji cita rasa, biji kopi yang berwarna hitam mempunyai aroma sangat tidak menyenangkan, tidak ada sifat kopinya dan rasanya seperti kayu membusuk. Sedangkan kopi yang berwarna coklat rasanya asam dan bau apek seperti keju, sama sekali tidak memberi cita rasa kopi. Kopi gelondong seperti itu akan memberikan rasa tidak enak pada cup quality dengan rasa tajam dan rasa tanah. Buah kopi yang berwarna merah dapat menghasilkan mutu yang tinggi sehingga harga jualnya tinggi karena rasa dan aromanya nikmat dan enak. Pemetikan yang dilakukan oleh perkebunan swasta sifatnya selektif, yaitu hanya buah kopi yang berwama merah dan wama kuning yang dipetik satu per satu dengan tangan. Masa pungut buah kopi ini berlangsung 4 sampai 5 bulan. Setelah buah kopi dipetik langsung ditakar untuk mengetahui berapa kilogram yang dipetik tiap orang dalam satuan kerja. Seorang tenaga yang terampil dapat memetik buah kopi 60 kg per hari atau rata-rata 40 kg tiap hari kerja. Buah kopi hasil petikan yang berwama merah, kuning dan hijau dipisahkan satu dengan Iainnya. Buah warna hijau adalah buah yang terikut pada saat memetik dompolan buah merah dan kuning Setelah selesai penakaran kemudian diangkut ke tempat pengolahan buah kopi. Pengolahan kopi pada dasamya dikenal dua macam cara yaitu, pengolahan kering dan pengolahan basah. Pengolahan basah mengalami proses penghilangan kulit buah dan lendir yang menempel pada cangkang biji sebelum biji dikeringkan. Serdangkan pengolahan kering dilakukan dengan tidak menghilangkan kulit. Ciri lain dalam pengolahan basah mempergunakan air yang cukup banyak pada beberapa tahap prosesnya, serta digunakan beberapa peralatan dari tingkat yang paling sederhana sampai yangmodern. Dengan demikian pengolahan buah kopi secara basah lebih bersifat padat modal dibandingkan pengolahan secara kering. Perkebunan kopi di Tana Toraja terdapat dua bentuk usaha perkebunan yaitu perkebunan kopi rakyat dan perkebunan swasta. Dalam hal pascapanen, terdapat perbedaan cara pengolahan kopi seperti dijelaskan berikut ini.

2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja

Perkebunan swasta melakukan pengolahan kopi secara basah melalui 6 tahapan yaitu: Pertama, sortasi buah kopi gelondong. Pada tahap ini kopi gelondong dilakukan penyortiran dengan memisahkan antara buah kopi yang jelek dan yang baik agar seragam. Penyeragaman tersebut biasanya dilakukan secara manual untuk memisahkan buah kopi yang berwana hijau, kuning dan merah. Buah kopi yang berwarna merah ditampung dalam bak konis, kemudian diisi air untuk memisahkan buah kopi bernas tidak hampa dengan yang hampa serta yang terserang bubuk. Buah kopi yang bernas dan masak akan tenggelam, selanjutnya dialirkan bersama air ke mesin pulper untuk memisahkan kulit dan bijinya. Buah kopi yang hampa, kering dan terserang bubuk mengembang di atas permukaan air dan diolah tersendiri. Sortasi buah gelondongan dimaksudkan untuk memisahkan buah merah yang berbiji sehat dengan kopi hampa dan terserang bubuk. Buah kopi warna yang sudah ditimbang dimasukan ke dalam alat yang disebut bak penerima atau bak sortasi. Bak ini diIengkapi dengan saringan serta kran pemasukan dan pengeluaran air. Setelah itu bak diisi air dengan cara membuka kran pemasukan air. Bila bak sudah hampir penuh, kemudian diaduk, buah kopi yang terserang bubuk dan hampa akan mengapung sedang yang sehat dan berisi akan tenggelam. Kedua, penghilangan kulit buah, Pada tahap ini dilakukan dengan alat yang biasa disebut mesin pulper. Lendir yang menempel pada kulit tanduk dihilangkan karena lendir tersebut menghambat proses pengeringan bila tidak dihilangkan. Khusus untuk kopi arabika, cara ini masih dianggap dapat memperbaiki mutu kopi biji fermentasi. Setelah kopi terkupas dari kulitnya, didiamkan selama 48 jam dan tidak boleh terkena air. Martamidjaja 1984 mengemukakan bahwa fermentasi adalah proses pemerahan buah kopi dengan tujuan untuk rnempermudah lendir keluar sehingga lebih cepat pencuciannya. Ketiga, pencucian. Setelah fermentasi kopi harus dicuci sampai bersih dari lendir. Cara pencucian secara buatan yaitu dibuatkan seperti saluran air got kemudian dimasukkan air secara terus menerus. Alat yang digunakan untuk menggosok sampai biji kopi terasa keras tidak berlendir terbuat dari kayu yang biasa disebut garu. Pencucian ini merupakan salah satu teknik seleksi biji kopi yaitu biji kopi yang tenggelam dipisahkan dengan kopi yang terapung, Kopi yang tenggelam mutunya lebih baik daripada biji kopi terapung. Menurut Spillane 1990, pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang masih melekat pada biji kopi. Dalam bak pencucian itu biji diremas-remas dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki sehingga bersih. Biji yang sudah bersih apabila dipijit tidak terasa licin lagi setelah pencucian biji kopi selesai. Keempat, pengeringan. Pengeringan biji kopi berkulit tanduk setelah lendir dihilangkan dapat dilakukan dengan cara menjemur melalui matahari dan mesin pengering. Penjemuran dilakukan di atas lantai yang terbuat dari semen, tebal tumpukan biji kira-kira 2-5 cm, bahkan bisa sampai 10 cm Selain penjemuran dilakukan pengadukan untuk mempercepat proses dan penyeragaman hasil pengeringan. Waktu penjemuran biasanya tidak lebih dari 5 hari pada keadaan cuaca normal, akan menghasilkan kadar air biji kopi 8 -10 persen. Pengeringan dengan mesin dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca yang tidak menentu yang sering rnenghambat proses pengeringan. Suhu udara pengeringan antara 80 - 130 C kopi robusta dan 40-60 C kopi arabika. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air menjadi 8 - 10 persen. Dengan kadar air 10 persen kopi tidak mudah diserang cendawan dan tidak mudah pecah ketika digiling. Pengeringan biasa dilakukan melalui tiga cara yaitu cara alami, cara buatan, dan kombinasi antara cara alami dan cara buatan. Kelima, sortasi biji kopi olahan. Sortasi biji kopi olahan dilakukan dengan tujuan membuat biji kopi sesuai dengan kelas mutu yang ada dalam sistem perdagangan. Hal ini dilakukan karena biji kopi setelah dihilangkan kulit tanduknya tampak tidak seragam. Agar dapat memenuhi standar kelas mutu maka ukuran biji kopi harus diseragamkan dengan cara menyaring biji pada ayakan bergoyang. Lubang saringan mempunyai diameter 7.5 mm ukuran besar; 6.5 mm ukuran sedang; dan 5.5 mm ukuran kecil. Sortasi selanjutnya adalah memilih biji-biji kopi ukuran normal. Pemisahan biji cacat diatur sampai diperoleh biji kopi dasar dengan nilai cacat sesuai kelas mutu yang dikehendaki. Menurut Najiyati dan Danarti 1995, sortasi biji dimaksudkan untuk membersihkan kopi olahan dari kotoran sehingga memenuhi syarat mutu dan penggolongan kopi tersebut menurut standar mutu yang telah ditetapkan. Keenam, pengepakan atau penyimpanan. Setelah biji kopi olahan disortir lalu dimasukkan ke dalam karung dengan berat 60 kg bersih. Tiap karung yang digunakan diberi tanda label seperti jenis kopi, kelas mutu, asal kopi dan nama perusahaan Penyimpanan biji kopi dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan mutu sebelum biji kopi dijual kepada konsumen.

2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA

Kegiatan pasca panen kopi rakyat menyangkut kegiatan pemetikan buah, sortasi buah gelondongan, pengupasan kulit buah, fermentasi, penjemuran, sortasi kopi biji olahan dan pengemasan serta penyimpanan. Pascapanen kopi rakyat di wilayah MADUTORA dilakukan melalui pengolahan basah yaitu: 1. Buah kopi yang sudah dipetik dikupas kulit buahnya dengan menggunakan lesung batu, gilingan kayu dan diputar dengan tangan manusia kemudian ditumbuk dan digiling hingga terpisah biji kopi dengan kulit buahnya dan dibersihkan secara manual berulang-ulang sampai semua buah kopi terpisah dari biji dan kulitnya, tetapi cara ini biasanya tidak melakukan sortasi buah sehingga menyebabkan biji kopi banyak cacat. 2. Fermentasi, dilakukan secara alamiah yaitu biji kopi yang sudah dikupas kemudian dimasukkan ke dalam keranjang atau kotak yang terbuat dari papan yang sesuai dengan keberadaan petani dan fermentasi ini biasanya dilakukan selama 24 jam. 3. Pencucian, dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang melekat pada biji kopi dan mempercepat pengeringan agar tampilan fisik biji kopi menjadi lebih bersih dari kotoran dan kondisi tersebut akan menghambat serangan jamur pada waktu penyimpanan. 4. Petani rakyat umumnya pada musim panas mengeringkan biji kopi secara alamiah yaitu menjemur dengan panas matahari, tetapi ada juga yang menjemur biji kopi langsung di atas tanah ataupun menggunakan alas seperti tikar, karung bekas atau plastik dan pada musim hujan petani mengeringkan biji kopi dengan cara mengasapi melalui dapur kayu. 5. Setelah kering, biji kopi dimasukkan oleh petani ke dalam karung atau bakul tanpa melakukan sortasi, kemudian disimpan dengan cara menumpuk di tempat yang lembab untuk selanjutnya dijual, padahal cara ini tidak tepat karena dapat menurunkan mutu kopi yaitu cepat berjamur dan tampilan fisiknya kurang baik. Selanjutnya kopi arabika yang diperdagangkan oleh petani adalah kopi kering tanpa sortasi, dengan kadar air kira-kira 18 persen. Sedangkan yang diperdagangkan oleh pedagang pengumpul desa adalah kopi kering petani dengan sedikit sortasi dan dengan kadar air 18 persen; oleh pedagang pengumpul kecamatan adalah kopi kering dengan kadar air 15 persen. Baik petani maupun pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan, menjual kopi biji yang masih memiliki kulit tandukari, sedang pedagang pengumpul kabupaten dan perusahaan exportir menjual kopi biji dalam bentuk kopi beras kopi biji yang sudah dikupas kulit tanduknya atau kulit arinya dengan kadar air 15 persen. Pada tahap selanjutnya, perusahaan eksportir akan membagi lagi kualitas kopi arabika yang telah diolah tersebut dengan nama kopi mutu satu dan mutu dua. Meski pemerintah sudah menyarankan agar petani menjual kopi yang sudah disortasi, tetapi kenyataannya petani tetap memilih komoditi yang tanpa sortasi karena dianggap lebih mudah dan cepat prosesnya selain karena desakan ekonomi.

2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA