Struktur Pasar Kopi Arabika

lahan yang lebih luas dan datar bila dibandingkan pada lahan sempit dan miring Nurung, 1997. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan tingkat efisiensi usaha, usahatani pada lahan uang lebih luas belum tentu lebih efisien bila dibandingkan dengan lahan usahatani yang lebih sempit. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya selain ukuran luas lahan usahatani adalah tingkat kesuburan tanah, topografi, elevasi, status lahan, lokasi lahan serta lingkungan atas lahan usahatni tersebut berada. Faktor-faktor tersebut tidak saja berpengaruh terhadap besarnya keuntungan, tingkat efisiensi, skala usaha. Bahkan faktor-faktor tersebut akan berpengaruh juga terhadap kinerja pemasaran, khususnya menyangkut pilihan petani terhadap lembaga pemasaran produknya.

7.2. Struktur Pasar Kopi Arabika

Produk pertanian, khususnya produk yang dihasilkan oleh subsektor perkebunan, memerlukan sejumlah perlakuan agar dapat dikonsumsi oleh konsumennya. Beberapa produk bahkan harus melewati proses pengolahan terlebih dahulu termasuk perlunya melakukan sortasi serta grading. Belum lagi jauhnya pusat produksi ke pusat konsumsi serta lokasi produksi yang umumnya terpencar. Disinilah peranan sejumlah lembaga pemasaran sangat dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Struktur pasar kopi arabika yang ada di daerah penelitian akan diidentifikasi berdasarkan dua indikator utama, yaitu jumlah lembaga pemasaran yang terlibat serta kondisi keluar masuk pasar.

7.2.1. Jumlah Lembaga Pemasaran

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kopi arabika meliputi petani, pedagang pengumpul tingkat desa PP I, pedagang pengumpul tingkat kecamatan PP II, pedagang tingkat kabupaten pedagang besar, dan eksportir. Petani bertindak menjadi pihak pertama dari sejumlah mata rantai proses pemasaran kopi arabika. Dalam proses tersebut, biasanya petani langsung mendatangi pedagang pengumpul tingkat desa yang berfungsi menjadi penyalur ke pedagang tingkat kecamatan. Lalu pedagang tingkat kecamatan tersebut akan menyalurkan produk ini ke pedagang besar di kabupaten. Pada tahap lebih lanjut, pedagang besar akan menyalurkan ke pihak eksportir dan konsumen akhir. Bila dianalisis berdasarkan jumlah petani sebagai produsen dengan jumlah pedagang pengumpul tingkat desa, dapat dikatakan bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah pasar oligopsoni dari sudut penjual. Hal ini disebabkan karena jumlah petani kopi arabika jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul tingkat desa. Disamping itu, petani cenderung menjadi pihak penerima harga price taker sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pedagang pengumpul tingkat desa. Perbandingan antara jumlah pedagang pengumpul tingkat desa dengan pedagang pengumpul tingkat kecamatan menunjukkan bahwa jumlah pedagang pengumpul tingkat desa jauh lebih banyak. Bila ditinjau dari sudut penjual, maka struktur pasar yang terbentuk adalah oligopsoni. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah pedagang pengumpul tingkat kecamatan yang beroperasi di daerah penelitian akibat besarnya hambatan memasuki pasar. Pada strata ini, pedagang pengumpul tingkat desa cenderung menjadi pihak penerima harga price taker sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Perbandingan yang sama juga terjadi pada strata pedagang besar yang menempatkan pedagang pengumpul tingkat kecamatan sebagai pihak penerima harga price taker pada pasar oligopsoni. Sedangkan pada tingkat eksportir, struktur pasar yang terbentuk adalah monopoli dari sudut penjual atau monopsoni dari sudut pembeli. Berdasarkan konfigurasi pasar seperti itu, maka struktur pasar kopi arabika yang ada di daerah penelitian adalah pasar persaingan tidak sempurna imperfect competitive market.

7.2.2. Kondisi Keluar Masuk Pasar

Kondisi keluar masuk pasar ditentukan oleh tinggi dan rendahnya hambatan dalam memasuki pasar. Tinggi dan rendahnya hambatan dalam memasuki pasar tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain besarnya modal yang dimiliki untuk bertindak menjadi pesaing dalam memasuki pasar, serta akses dengan lembaga pemasaran lainnya. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan hasil pengamatan di lapang, diketahui bahwa untuk memasuki pasar kopi arabika bagi pelaku pasar baru tergolong sulit. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi pelaku pasar, dibutuhkan semacam sejumlah persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh semua orang. Disamping persyaratan modal untuk biaya operasional, persayaratan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menjalin kerjasama, baik dengan petani produsen maupun dengan pedagang lain yang berada di atasnya. Walaupun tidak tertulis, sebagian besar dari petani umumnya sudah memiliki hubungan dengan pedagang perantara tingkat desa yang bersifat mengikat. Jumlahnya mencapai 95.2 persen, dan hanya 4.8 persen dari petani responden yang tidak memiliki ikatan dengan pedagang perantara tingkat desa. Disamping ikatan kultural dan kekerabatan, hubungan tersebut biasanya terjadi dalam bentuk pinjaman modal usahatani oleh petani. Dengan demikian, untuk menjadi pedagang perantara tingkat desa, pelaku baru harus dapat menembus kondisi tersebut agar dapat bersaing dan bertahan dengan pedagang perantara yang sudah ada. Belum lagi adanya faktor kekhawatiran petani bila akan berhubungan dengan pedagang baru yang belum mereka kenal sifat dan karakternya. Bagi petani, perasaan aman dalam bertransaksi menjadi faktor penting yang yang tidak dapat diabaikan. Apalagi bagi petani kopi arabika monokultur yang pendapatan keluarganya hanya bertumpu dan mengandalkan hasil penjualan kopi semata. Tingkat keberanian mengambil resiko untuk memutuskan hubungan yang sudah terjalin dengan pedagang langganannya menjadi semakin kecil. Hal ini tentu makin memperberat bagi pedagang baru untuk masuk dalam pasar kopi arabika. Hambatan untuk masuk ke dalam pasar kopi arabika menjadi pedagang pengumpul tingkat kecamatan menjadi lebih besar. Secara umum, pedagang pengumpul tingkat kecamatan merupakan kaki tangan dari pedagang yang ada di atasnya, baik pedagang besar maupun eksportir. Jalinan kerjasama yang terjadi di antara mereka, hampir dapat dikatakan sangat rapi dan sudah berlangsung lama. Disamping adanya keterkaitan dalam hal modal usaha, keharusan memasok kopi arabika bagi pedagang tingkat desa kepada pedagang tingkat kecamatan semakin ketat lagi, sehingga persaingan memperubutkan pasokan dari pedagang tingkat desa menjadi lebih sulit. Belum lagi tingkat kebutuhan modal usaha yang jumlahnya pasti lebih besar. Hambatan menjadi semakin besar lagi bagi pelaku pasar yang akan pedagang besar. Sedangkan hambatan terbesar akan dihadapi oleh pelaku pasar yang akan masuk menjadi eksportir. Disamping besarnya modal usaha yang dibutuhkan, berbagai macam bentuk perijinan yang harus dimiliki, akses dengan pasar internasional menjadi kendala yang tidak mudah untuk dipenuhi. Eksportir sangat membutuhkan kemampuan mengelola usaha secara besar, modern dan mampu menyediakan produk secara kontinu sesuai dengan persyaratan jumlah dan mutu yang telah ditetapkan agar terhindar dari resiko kerugian.

7.3. Perilaku Pasar Kopi Arabika