8. PEMBAHASAN UMUM
8.1. Pemodelan Data Spatio-temporal
Hasil eksplorasi pada data PM
10
dan Ozon yang diuraikan pada Bab 2 menunjukkan bahwa dalam data terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial.
Pemodelan pada data spatio-temporal harus memperhitungkan kedua macam korelasi ini. Kajian utama yang diteliti dalam disertasi ini adalah pemodelan pada
data spatio-temporal. Korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial, dan korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu. Selanjutnya kedua
model aditif ini digabung secara aditif dalam satu model aditif spatio-temporal. Berdasarkan hasil eksplorasi pada faktor meteorologis diketahui bahwa
konsentrasi PM
10
dipengaruhi oleh kecepatan angin pada lag--1, sedangkan konsentrasi Ozon dipengaruhi oleh suhu udara pada lag-0. Arah angin bervariasi
antar jam, dan curah hujan bervariasi antar hari. Oleh karena itu faktor meteorologis diikutsertakan sebagai peubah penjelas dalam model aditif spatio-
temporal. Hubungan fungsional untuk peubah penjelas kontinu, yaitu kecepatan angin, suhu udara, dan curah hujan ditentukan berdasarkan pola dari diagram
pencarnya. Sedangkan peubah arah angin merupakan peubah indikator. Kajian empiris tentang P-spline yang dibahas pada Bab 4 menunjukkan
bahwa perbedaan nilai parameter pemulus dan MSE antara P-spline dengan pemulus kubik spline relatif kecil. Dengan demikian P-spline dapat digunakan
sebagai metode alternatif untuk memodelkan hubungan fungsional nonparametrik pada model aditif.
P-spline merupakan model aditif untuk satu peubah penjelas dan diduga dengan pendekatan model linear campuran. Model ini dapat dikembangkan untuk
banyak peubah penjelas. Model aditif deret waktu adalah model aditif dengan peubah penjelasnya adalah lag. Kajian terhadap beberapa model aditif deret
waktu yang dibahas pada Bab 5 menunjukkan bahwa model dengan fungsi mulus pada lag mempunyai nilai AIC yang lebih rendah.
Perluasan P-spline pada dimensi dua diturunkan dari pemulus spline pada dimensi ganda yang dikenal dengan spline-d. Basis pada spline-d adalah fungsi
basis radial. Kriging juga dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari basis radial, sehingga kriging juga dapat diformulasikan dalam model linear campuran.
100 Hasil kajian model aditif spatial untuk PM
10
dan Ozon yang diuraikan pada Bab 6 menunjukkan bahwa model aditif spatial dengan kriging dan spline-2 dengan
jumlah simpul 5 mempunyai nilai AIC terkecil dan nilainya hampir sama. Kurva spline-2 lebih mulus dibandingkan dengan kurva kriging. Perbedaan kemulusan
kedua kurva ini juga tampak dari perbedaan nilai parameter pemulusnya yang relatif besar. Berdasarkan pola ragam spatial ternyata model aditif spatial dengan
kriging dapat menggambarkan keragaman pada lokasi yang tidak diamati. Gabungan antara model aditif deret waktu dengan model aditif spatial
menjadi model aditif spatio-temporal diuraikan pada Bab 7. Dari beberapa model aditif spatio-temporal untuk PM
10
dan Ozon ternyata model terbaiknya mengandung komponen AAR2, hubungan fungsional faktor meteorologis, dan
kriging dengan jumlah simpul 5. Pendugaan model aditif dengan pendekatan model linear campuran memberikan kemudahan dalam penarikan kesimpulan
karena model berbasis metode kemungkinan maksimum. Dari uraian penentuan model aditif spatio-temporal yang dibahas pada
Bab 2 sampai Bab 7 dapat disarikan tahapan-tahapan pemodelannya, yaitu 1. Eksplorasi data,
digunakan untuk mengetahui model deret waktu, fungsi korelasi spatial, dan mengidentifikasi pengaruh faktor meteorologis yang berpengaruh
terhadap penyebaran pencemar udara. 2. Menentukan model aditif deret waktu,
Diawali dengan menentukan bentuk hubungan fungsional antara peubah lag dengan respon. Bila hubungan fungsionalnya bersifat nonparametrik
maka dibangkitkan basis FPT dengan beberapa jumlah simpul. 3. Menentukan model aditif spatial,
Bila menggunakan metode kriging, maka lebih dulu ditentukan fungsi korelasi spatial, kemudian dibangkitkan fungsi basis radialnya dengan
beberapa jumlah simpul. Sedangkan bila menggunakan metode spline-2, maka dapat langsung dibangkitkan fungsi basis radialnya dengan
beberapa jumlah simpul. 4. Menentukan bentuk hubungan fungsional peubah penjelas lainnya yang
berpengaruh terhadap respon
101 Untuk PM
10
dan Ozon, peubah penjelas yang berpengaruh adalah faktor meteorologis. Bila hubungan fungsionalnya bersifat nonparametrik maka
dibangkitkan basis FPT dengan beberapa jumlah simpul. 5. Memformulasikan dalam model linear campuran,
menentukan matriks desain untuk efek tetap dan efek acak, kemudian menduga model dengan PROC MIXED pada SAS v8.2.
6. Penentuan model aditif spatio-temporal terbaik, berdasarkan nilai AIC, pola ragam spatial, fungsi korelasi spatial dari
galat model, serta plot ACF dan PACF dari galat model. Komputasi model aditif dengan pendekatan model linear campuran lebih
cepat dibandingkan dengan algoritma backfitting. Perbedaan jumlah kuadrat galat JKG antara kedua metode cukup kecil. Perbandingan waktu komputasi dan
JKG dari kedua metode disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Waktu komputasi dari model aditif dengan metode model linear
campuran dan algoritma backfitting Jumlah
pengamatan dan JKG
Model linear campuran Algoritma backfitting
7320 JKG
real time cpu time
PM
10
Ozon : 0.64 detik
: 0.60 detik : 880.5172
: 584.9043 real time
cpu time PM
10
Ozon : 4 menit 5.72 detik
: 3 menit 59.21 detik : 877.0121
: 582.6687 14760
real time cpu time
: 4.32 detik : 1.20 detik
Out of memory
menggunakan software SAS dengan memory computer 768 MB
8.2. Pengaruh Faktor Meteorologis