Model Aditif Spatio Temporal untuk Pencemar Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan Pendekatan Model Linear Campuran

(1)

MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL UNTUK

PENCEMAR UDARA PM

10

DAN OZON

DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN

MODEL LINEAR CAMPURAN

ANIK DJURAIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Model aditif

Spatio-Temporal untuk Pencemar Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan

pendekatan Model Linear Campuran’ adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2007

Anik Djuraidah NIM G161020031


(3)

ABSTRAK

ANIK DJURAIDAH. Model aditif Spatio-Temporal untuk Pencemar Udara PM10

dan Ozon di Kota Surabaya dengan pendekatan Model Linear Campuran. Dibimbing oleh AUNUDDIN, AHMAD ANSORI MATTJIK, dan RIZALDI BOER

Model aditif adalah generalisasi model regresi berganda dengan nilai tengah respon dimodelkan sebagai penjumlahan dari bentuk hubungan fungsional

setiap prediktor. Berdasarkan hasil eksplorasi pada data PM10 dan Ozon diketahui

bahwa dalam data terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial dan disebut dengan data temporal. Penelitian ini mengkaji pemodelan pada data

spatio-temporal PM10 dan Ozon dengan model aditif. Fungsi mulus pada model aditif

dimodelkan dengan P-spline. Karena P-spline mempunyai hubungan metematis yang sederhana dengan model linear campuran, maka model aditif dengan fungsi mulus P-spline dapat diduga dengan model linear campuran. Model aditif spatio-temporal adalah gabungan antara model aditif deret waktu dengan model aditif spatial. Korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial, dan korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu, sehingga kedua macam korelasi ini sudah diperhitungkan dalam model aditif spatio-temporal. Pada model aditif spatio-temporal dapat ditambahkan hubungan fungsional peubah penjelas lain seperti faktor meteorologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan model aditif dengan pendekatan model linear campuran memberikan kemudahan dalam komputasi karena basis P-spline berdimensi rendah dan dalam penarikan kesimpulan karena model berbasis metode kemungkinan maksimum. Pendugaan model aditif dengan pendekatan model linear campuran dapat dipertimbangkan

sebagai metode alternatif pendugaan model aditif disamping algoritma backfitting.

Penambahan faktor meteorologis pada model aditif spatio-temporal meningkatkan ketelitian model. Pola kontur prediksi spatial pada Ozon lebih beragam

dibandingkan dengan pola kontur pada PM10. Hal ini disebabkan Ozon berbentuk

gas dan PM10 berbentuk padat, sehingga Ozon mudah menyebar dibandingkan

dengan PM10. Dari pola kontur prediksi spatial bisa diketahui sumber dan arah

penyebaran pencemaran udara. Berdasarkan prediksi spatial dari model aditif

spatio-temporal untuk PM10, lokasi stasiun pemantau yang saat ini dioperasikan

kurang optimal sehingga perlu dilakukan realokasi. Hasil realokasi menunjukkan bahwa pada lokasi baru dapat meningkatkan ketelitian prediksi spatial, khususnya

pada daerah konsentrasi PM10 tinggi.

Kata Kunci: model aditif, spatio-temporal, P-spline, model linear campuran, parameter pemulus


(4)

ABSTRACT

ANIK DJURAIDAH. Spatio-Temporal Additive Model for Air Pollution PM10

and Ozone in Surabaya using Linear Mixed Model Approach. Under the direction of AUNUDDIN, AHMAD ANSORI MATTJIK, and RIZALDI BOER

Additive model is the generalized of multiple linear regression that expresses the mean of a reponse variable as a sum of functional form of predictors. The results from data exploration of PM10 and Ozone show that the

data contain spatial correlation and temporal correlation and known as spatio-temporal data. This research is focused in modelling spatio-spatio-temporal data PM10

and Ozone using additive models with P-spline as smooth functions. Since P-spline has connection with linear mixed models, the estimation of additive model can be approached by linear mixed models. Spatio-temporal additive models are combination of time series addtive models and spatial additive models. Spatial additive model is used for modelling spatial correlation, and time series additive model is used for modelling temporal correlation, hence spatio-temporal additive models take account both correlation. We can add functional form of other predictors like meteorological factors to the model. The research results show that estimation of additive models using linear mixed models offer simplicity in the computation, since use low-rank dimension of P-spline, and in the model inference, since based on maximum likelihood method. Estimation additive model using linear mixed model approach can be suggested as an alternative method of additive models, beside backfitting algorithms. Addition meteorological factors in spatio-temporal models improved the accuracy of models. The contour pattern of spatial prediction for Ozone are more variation than that for PM10, since Ozone is gas and made it spread easier than PM10,

which is particle. The spatial prediction of spatio-temporal additive model can be used to detect the source and spread direction of air pollution. Based on result from spatial prediction of spatio-temporal additive model for air pollutant PM10,

the existing monitoring stations are not optimal and they should be moved to other locations. The result of reallocation shows that new location of monitoring network can increase the accuracy of spatial prediction, especially at area with high concentration of PM10

Key words : additive model, spatio-temporal, P-spline, linear mixed model, smoohing parameter


(5)

MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL UNTUK

PENCEMAR UDARA PM

10

DAN OZON

DI KOTA SURABAYA DENGAN PENDEKATAN

MODEL LINEAR CAMPURAN

ANIK DJURAIDAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Judul Penelitian : Model Aditif Spatio-temporal untuk Pencemar

Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan

Pendekatan Model Linear Campuran Nama Mahasiswa : Anik Djuraidah

NIM : G161020031

Program Studi : Statistika

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aunuddin, MSc Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ansori Mattjik, MSc Anggota

Dr. Ir. Rizaldi Boer, MAgr Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Statistika

Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya

sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian telah dilaksanakan sejak

awal tahun 2005 dengan judul Model aditif Spatio-Temporal untuk Pencemar

Udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan Pendekatan Model Linear

Campuran.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Aunuddin, MSc,

Bapak Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ansori Mattjik, MSc dan Bapak Dr. Ir. Rizaldi Boer, MAgr atas bimbingan, arahan, dan kritik, serta sarannya selama penelitian. Di samping itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Pimpinan Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah memberikan ijin

untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Statistika dan staf

pengajar serta karyawan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan layanan pengajaran dan adminstrasi dengan baik.

3. Ibu Dra. Chamida, MSi beserta staf di Laboratorium Kualitas Udara Dinas

Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya yang telah membantu pengumpulan data kualitas udara ambien.

4. Bapak Irvan Wahyudrajat, MT dari Dinas Perhubungan Pemkot Surabaya

yang telah membantu pengumpulan data trafik lalu-lintas

5. Kedua orang tua (alm), suami, putra-putri, dan seluruh keluarga penulis yang

senantiasa memberikan dorongan dan do’a yang tulus.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa disertasi ini

masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang memerlukan.

Bogor, Maret 2007

Anik Djuraidah NIM G161020031


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 15 Mei 1963, sebagai anak

kedua dari pasangan M. Jasin Dahlan (alm) dan Siti Djulaikah (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1987 penulis diterima di Program Studi Statistika pada Program Pascasarjana, IPB, dan menyelesaikannya pada tahun 1991. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Statistika, Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa pendidikan (BPPS) diperoleh dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Pada saat ini penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITS.

Penulis menikah dengan Sjaiful Bachri dan telah dikaruniai empat orang

anak, yaitu Raisya Noor Pertiwi, Anisa Noor Corina, Choirunisa (almh), dan Mirza Satria.

Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan beberapa karya

ilmiah yang telah dipublikasikan dalam seminar nasional, dan sebagian dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional. Karya-karya ilmiah ini merupakan bagian dari program S3 penulis. Karya-karya ilmiah tersebut adalah:

1. Sunaryo S, Setiawan, Djuraidah A, Saefuddin A. 2003. Sejarah

Perkembangan Statistika dan Aplikasinya. Forum Statistika dan

Komputasi 8(1) : 1-5.

2. Djuraidah A, 2003. Penerapan Gabungan metode Jaringan Syaraf Tiruan

dengan Kuadrat Terkecil Parsial pada Data Kalibrasi. Prosiding Seminar

Nasional Metematika dan Pendidikan Matematika UNJ, Jakarta 28 Juni 2003.

3. Djuraidah A, Notodiputro KA. 2004. Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruan

untuk Pendugaan Model Linear dengan Keragaman Konstan. Prosiding

Pertemuan Ilmiah National Basic Science I, UNIBRAW, Malang 17


(9)

4. Djuraidah A, Aunuddin. 2004. Analisis Diskriminan Kernel untuk Pengelompokkan Warna. Prosiding Seminar Nasional Statistika IPB, Bogor 4 September 2004.

5. Djuraidah A, Aunuddin. 2006a. Pendugaan Regresi Spline Terpenalti

dengan Pendekatan Model Linear Campuran. Statistika Jurnal Statistika

FMIPA-UNISBA 6(1): 39-46.

6. Djuraidah A, Aunuddin. 2006b. Pendugaan Model Aditif untuk Data

Deret Waktu dengan Pendekatan Model Linear Campuran. Inferensi

Jurnal Statistika FMIPA-ITS 2(1):76-92.

7. Djuraidah A, Aunuddin. 2006c. Kriging dan Thin-Plate Spline dengan

Pendekatan Model Linear Campuran. Matematika Integratif Jurnal

MatematikaFMIPA-UNPAD 5(2):1-12.

8. Djuraidah A, Aunuddin. 2006d. Estimation of Spatio-temporal Additive

Model Using Linear Mixed Model Approach with Application to Ozone Data in Surabaya. Proceedings of The first International Conference on Mathematics and Statistics, Bandung, June 19 – 21, 2006 (akan diterbitkan).

9. Djuraidah A, Aunuddin. 2006e. Optimasi Penentuan Lokasi Stasiun

Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya. Forum Statistika


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …...………... xii

DAFTAR GAMBAR ………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN …..………. xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ...………... 1

Tujuan Penelitian ………. 4

Kerangka Pemodelan .………. 4

Hubungan antar Bab 6 DESKRIPSI DATA PENELITIAN Pencemar Udara PM10 dan Ozon ………... 7

Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya …….... 9

Deskripsi Umum Kota Surabaya ………... 11

Metode Eksplorasi Data ………... 12

Hasil Eksplorasi Data ………... 13

Faktor Meteorologis ………... 14

Pencemar Udara PM10 ………... 17

Pencemar Udara Ozon ………... 22

Hubungan antara Pencemar Udara dengan Faktor Meteorologis ... 26

Hubungan Spatial antar Pencemar Udara ………... 28

Simpulan ………... 31

Daftar Pustaka ………... 32

MODEL LINEAR CAMPURAN Sejarah Komponen Ragam ………... 33

Model Linear Campuran ………... 36

Pemulusan dengan Model Linear Campuran ... 38

Daftar Pustaka ... 40

REGRESI SPLINE TERPENALTI DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ………... 43

Abstract ……….………... 43

Pendahuluan ………... 44

Regresi Spline Terpenalti ………... 45

Hubungan antara Regresi Spline Terpenalti dengan Model Campuran Linear ………... 46


(11)

x

Penerapan pada Data Pencemar Udara PM10 dan Ozon ... 47

Simpulan ....………..……... 52

Daftar Pustaka ...………... 52

MODEL ADITIF DERET WAKTU DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak .………... 54

Abstract ………... 54

Pendahuluan ………... 55

Pendugaan Model Aditif Deret Waktu ... 56

Model Aditif ………... 56

Model Aditif Deret Waktu PM10 dan Ozon . 57 Bahan dan Metode ………... 58

Hasil dan Pembahasan………... 59

Model Aditif Deret Waktu PM10 ... 59

Model Aditif Deret Waktu Ozon 65

Simpulan ………... 70

Daftar Pustaka ………... 71

MODEL ADITIF SPATIAL DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ...………... 72

Abstract ………... 72

Pendahuluan ………... 73

Pendugaan Model Aditif Spatial ... 74

Kriging dan Spline-d ... 74

Pendugaan Kriging dan Spline-d dalam Model Campuran ... 76

Bahan dan Metode ………... 77

Hasil dan Pembahasan ……... 79

Model Aditif Spatial PM10 ... 79

Model Aditif Spatial Ozon 82

Simpulan ………... 86

Daftar Pustaka ………... 86

MODEL ADITIF SPATIO-TEMPORAL DENGAN PENDEKATAN MODEL LINEAR CAMPURAN Abstrak ………... 87

Abstract ...………... 87

Pendahuluan ..………... 88


(12)

xi

Pendugaan Model Aditif Spatio-temporal ... 90

Bahan dan Metode ………... 92

Hasil dan Pembahasan ……... 93

Model Aditif Spatio-temporal PM10 ... 93

Model Aditif Spatio-temporal Ozon . 96 Simpulan .………... 98

Daftar Pustaka ………... 98

PEMBAHASAN UMUM ……… Pemodelan Data Spatio-temporal ……... 99

Pengaruh Faktor Meteorologis ……... 101

Optimasi Lokasi Stasiun Pemantau ... 105

Penilaian Lokasi Stasiun Pemantau di Surabaya ... 106

Prosedur Penentuan Lokasi Jaringan Pemantau ... 108

SIMPULAN DAN SARAN ………... 112


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai parameter pemulus, penalti kekasaran, dan MSE dari

pemulus kubik spline dan P-spline untuk Ozon ... 48

2 Nilai parameter pemulus, penalti kekasaran, dan MSE dari

pemulus kubik spline dan P-spline untuk PM10 ... 50

3 Beberapa model aditif untuk PM10 dan nilai statistik model ... 64

4 Beberapa model aditif untuk Ozondan nilai statistik model ... 68

5 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model kriging dan

spline-2 untuk PM10 ... 81 6 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model kriging dan

spline-2 untuk Ozon ... 83 7 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model aditif

spatio-temporal PM10 ... 94 8 Nilai AIC, MSE, dan parameter pemulus dari model aditif

spatio-temporal Ozon. ... 96 9 Waktu komputasi dari model aditif dengan metode model linear

campuran dan algoritma backfitting ... 101

10 Jarak antar lima SUF di Surabaya 107

11 Jarak antar lima SUF baru 109

12 Nilai MSE dan parameter pemulus pada model aditif


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemodelan PM 10 dan Ozon ... 5

2 Keterkaitan antar Bab dalam disertasi ... 6

3 Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau ... 11

4 Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam di setiap

SUF pada bulan Januari – Desember 2002 ... 14

5 Plot antara rataan kecepatan angin per bulan dengan jam di

setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002 ... 15

6 Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam di setiap

SUF pada Januari- Desember 2002 ... 16

7 Plot rataan curah hujan harian per bulan di 3 stasiun pemantau

pada bulan Januari – Desember 2002 ... 17

8 Diagram kotak garis konsentrasi PM10 di setiap SUF pada bulan

Januari sampai Desember 2002 ... 18

9 Transformasi Box-Cox untuk PM10 ... 19

10 Diagram kotak garis logaritma konsentrasi PM10 di setiap SUF

pada bulan Januari sampai Desember 2002 ... 19

11 Plot antara rataan konsentrasi PM10 per bulan dengan jam di

setiap SUF pada Januari- Desember 2002 ... 20

12 Plot ACF dan PACF dari Rataan Konsentrasi PM10 ... 21

13 Diagram kotak garis konsentrasi Ozondi setiap SUF pada bulan

Januari sampai Desember 2002 ... 22

14 Transformasi Box-Cox untuk Ozon ... 23

15 Diagram kotak garis logaritma konsentrasi Ozondi setiap SUF

pada bulan Januari sampai Desember 2002 ... 23

16 Plot antara rataan konsentrasi Ozonper bulan dengan jam di

setiap SUF pada Januari- Desember 2002 ... 24

17 Plot ACF dan PACF dari rataan konsentrasi Ozon ... 25

18 Plot CCF antara PM10 dengan suhu udara dan kecepatan angin

pada setiap SUF ... 26

19 Plot CCF antara Ozon dengan suhu udara dan kecepatan angin

pada setiap SUF ... 27

20 Plot CCF konsentrasi PM10 antar SUF ... 29

21 Plot CCF konsentrasi Ozon antar SUF ... 30

22 Plot antara CCF dengan jarak antar SUF dan persamaan garis

regresinya untuk PM10 dan Ozon ... 31


(15)

xiv

24 Kurva P-spline berderajat-2 untuk PM10 ... 49

25 Kurva P-spline berderajat-3 untuk PM10 ... 49

26 Kurva pemulus kubik spline untuk PM10 ... 49

27 Kurva P-spline berderajat-1 untuk Ozon... 51

28 Kurva P-spline berderajat-2 untuk Ozon ... 51

29 Kurva P-spline berderajat-3 untuk Ozon ... 51

30 Kurva pemulus kubik spline untuk Ozon ... 51

31 Plot tebaran lnPM10 dengan lag-(1) lnPM10 dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 60

32 Plot tebaran lnPM10 dengan lag-(2) lnPM10 dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 60

33 Kurva spline untuk lnPM10 dengan jam jumlah simpul 8 dan 23 .. 61

34 Plot tebaran ln PM10 dengan lag-(-1) kecepatan angindan tiga bentuk hubungan fungsionalnya ... 61

35 Plot ACF dan PACF galat model aditif terbaik PM10 ... 63

36 Plot tebaran data dan hasil pendugaan model aditif deret waktu terbaik PM10 dengan jam ... 63

37 Plot tebaran lnOzon dengan lag-(1) lnOzon dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 65

38 Plot tebaran lnOzon dengan lag-(-2) lnOzon dan empat bentuk hubungan fungsionalnya ... ... 66

39 Kurva spline untuk lnOzondengan jam jumlah simpul 8 dan 23 .. 66

40 Plot tebaran lnOzon dengan suhu udaradan tiga bentuk hubungan fungsionalnya ... 67

41 Plot ACF dan PACF galat model aditif terbaik Ozon ... 70

42 Plot tebaran data dan hasil pendugaan model aditif deret waktu terbaik Ozon dengan jam ... 70

43 Plot rataan sisaan dan plot korelasi spasial dan fungsinya untuk PM10 ... 79

44 Fungsi basis radial untuk kriging dan spline-2 dari PM10 ... 80

45 Kontur dan kurva permukaan kriging PM10 ... 80

46 Kontur dan kurva permukaan spline-2 PM10 ... 81

47 Pola simpangan baku spatial dari kriging dan spline-2 untuk PM10 ... 82

48 Plot rataan sisaan dan plot korelasi spasial dan fungsinya untuk Ozon ... 82

49 Fungsi basis radial untuk kriging dan spline-2 dari Ozon ... 83

50 Kontur dan kurva permukaan kriging Ozon ... 84


(16)

xv

52 Pola simpangan baku spatial dari kriging dan spline-2 untuk

Ozon ... 85

53 Pola ragam spatial Model-11 dan Model-12 untuk PM10 ... 95

54 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat

Model-12 untuk PM10 ... 95

55 Pola ragam spatial Model-5 dan Model-6 untuk Ozon ... 97

56 Plot korelasi spatial, plot ACF, dan plot PACF dari galat

Model-6 untuk Ozon ... 97

57 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan

faktor meteorologis untuk PM10 pada pada tanggal 31 Agustus

2002 jam 6, 7, 8, 16, 19 ... 102

58 Kontur dari model tanpa faktor meteorologis dan model dengan

faktor meteorologis untuk Ozon pada pada tanggal 31 Agustus

2002 jam 6, 7, 8, 16,19 ... 103

59 Prediksi spatial PM10 pada jam 8 tanggal (a) 19 Mei 2002, (b)22

Juli 2002, (c) 31 Agustus 2002, dan (d) rata-rata ... 106

60 Tahapan penentuan lokasi stasiun pemantau yang baru ... 109

61 Pola ragam spatial (a) SUF asli (b) SUF baru ... 110


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia ... 120

2 Peralatan sensor stasiun dan tampilan data publik ... 121

3 Pusat pemantau dan pengolahan data kualitas Udara di

Surabaya ……….. 122

4 Pengelompokkan arah angin ……….. 123

5 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik PM10 pada

jam 1 sampai jam 24 ... 124 6 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik

PM10 ... 125 7 Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik Ozon pada

jam 1 sampai jam 24 ... 127 8 Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik

Ozon ... 128

9 Daftar titik contoh dari lokasi SUF baru ... 130


(18)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teori klasik dari geostatistik terutama berhubungan dengan kasus dari satu

realisasi proses stokastik yang berkorelasi secara spatial (Cressie, 1993; Stein, 1999). Kriging adalah suatu teknik di geostatistik untuk menduga nilai

respon pada lokasi yang tidak diamati melalui interpolasi spatial. Istilah kriging

diambil dari nama insinyur pertambangan Afrika Selatan D.G. Krige, seorang pioner metode interpolasi spatial di industri pertambangan. Pada saat ini kriging digunakan secara luas untuk prediksi spatial pada berbagai bidang.

Akhir-akhir ini banyak dikembangkan model spatio-temporal untuk

menganalisa data spatial yang diamati pada waktu yang kontinu. Pada dasarnya model ini merupakan perluasan dari proses spatial menjadi proses stokastik yang berkorelasi serentak dalam spatial dan waktu. Metode statistika yang digunakan pada model ini merupakan gabungan antara model deret waktu dengan model variogram dari geostatistik. Model spatio-temporal digunakan untuk memprediksi secara optimal pada lokasi dan waktu yang tidak diamati dari proses spatio-temporal. Dengan demikian analisa dengan model spatio-temporal lebih menguntungkan dibandingkan dengan pendekatan model spatial saja atau dengan model deret waktu saja.

Model spatio-temporal banyak diterapkan di bidang lingkungan,

pertanian, klimatologi, meteorologi, hidrologi, dan kesehatan. Pemodelan pada data spatio-temporal sangat beragam, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok. Perkembangan model spatio-temporal diawali dari kelompok pertama. Pada kelompok ini, metode deret waktu stasioner diperluas dengan menambahkan matriks ragam-peragam spatial. Metode ini antara lain

STARMA (space-time autoregressive moving average) yang dikemukakan oleh

Pfeifer dan Deutch (1980) dan model STARMAX yang dikemukakan oleh Stoffer (1986) yang dibentuk dengan menambahkan matriks ragam-peragam spasial pada model deret waktu ARMA. Kelompok kedua merupakan gabungan antara analisa deret waktu dengan fungsi peragam spatio-temporal. Pada kelompok ini, respon diuraikan ke dalam komponen deterministik dan komponen galat. Selanjutnya fungsi peragam spatio-temporal diduga dari komponen galat.


(19)

2

Beberapa peneliti yang menggunakan model ini antara lain Guttorp et al (1998),

Carroll et al (1997), dan Cressie dan Huang (1999). Sedangkan kelompok ketiga

terdiri dari model linear dinamik Bayes, seperti yang dikemukakan oleh Sanso

dan Guenni (1999), Stroud et al (2001), Tonellato (2001), Cressie and Wikle

(2002), Saddick dan Wakefield (2002). Ketiga kelompok model spatio-temporal di atas merupakan perluasan dari analisa deret waktu. Kelompok keempat merupakan perkembangan terbaru dari model spatio-temporal yang terdiri dari model yang bersifat lebih fleksibel, yaitu model aditif dan model aditif terampat (generalized additive model selanjutnya disebut GAM). Beberapa peneliti yang

menggunakan GAM antara lain Zoppou et al (2000), Draghicescu (2003), dan

Smith dan Kolenikov (2004). Sedangkan Kamman dan Wand (2003) mengembangkan model aditif untuk data spatial yang disebut dengan model geoaditif. Model ini merupakan perluasan dari metode kriging dengan penambahan peubah penjelas.

Model aditif merupakan generalisasi dari model regresi linear berganda,

dan GAM merupakan generalisasi model aditif untuk respon yang berasal dari

sebaran keluarga eksponensial (exponential family). Model ini dipelopori dan

dikembangkan oleh Hastie dan Tibshirani (1990) dengan menggunakan metode

pendugaan algoritma backfitting. Meskipun GAM bersifat fleksibel dan efisien,

algoritma backfitting dengan pemulus linear mempunyai kesulitan dalam seleksi

model dan penarikan kesimpulan. Kesulitan pada GAM ini dipecahkan oleh Gu

dan Wahba (1991) dengan pemulus spline terampat (generalized smoothing spline

selanjutnya disingkat GSS) dan algoritma untuk pendugaan parameter pemulus

ganda pada model GSS. Sayangnya perhitungan GSS mendekati n3, dengan n

adalah banyaknya data yang akan dimodelkan.

Eilers dan Marx (1996) mengemukakan metode pemulus dimensi rendah yang disebut dengan P-spline. Pendekatan yang sama juga dikemukakan Ruppert

dan Carroll (1997) dengan nama regresi spline terpenalti (penalized spline

regression) dan disebut juga dengan P-spline. Metode ini menggunakan basis pemulus dengan lokasi simpul yang tetap dan jumlahnya lebih kecil dari data, sehingga komputasinya lebih memungkinkan. Kriteria pendugaan pada P-spline disebut dengan jumlah kuadrat terpenalti yang terdiri atas jumlah kuadrat galat


(20)

3

dan penalti kekasaran (roughness penalty). P-spline mempunyai hubungan

matematis yang sederhana dengan model linear campuran seperti yang dibahas oleh Brumback dan Rice (1998), Fan dan Zhang (1998), Wang (1998), Brumback

et al (1999), Vebyla et al (1999), French et al (2001), Kamman dan Wand (2003), dan Wand (2003).

Model linear campuran merupakan perluasan dari model linear yaitu

dengan menambahkan efek acak. Metode ini banyak digunakan dalam rancangan percobaan untuk data yang berkorelasi seperti pada percobaan pengukuran berulang. Pendugaan model linear campuran menggunakan metode kemungkinan (maximum likelihood selanjutnya disingkat ML) atau metode kemungkinan

maksimum berkendala (restricted maximum likelihood selanjutnya disingkat

REML). Dengan diketahuinya hubungan matematis antara P-spline dengan model linear campuran, maka P-spline dapat diformulasikan dalam model linear campuran dan dapat diduga dengan metode ML (REML). Efek samping yang menarik dari hubungan antara P-spline dengan model linear campuran adalah parameter pemulus P-spline berhubungan dengan komponen ragam dari model linear campuran. Hubungan antara pemulusan dengan model linear campuran baru terbuka setelah munculnya paket program model ini di SAS dan S-PLUS. Pendugaan metode nonparametrik P-spline dengan menggunakan metode REML merupakan suatu paradigma baru di bidang pemulusan (Wand, 2003)

Di kota Surabaya ditempatkan lima buah stasiun pemantau kualitas udara ambien. Setiap stasiun pemantau dilengkapi dengan alat ukur zat pencemar udara

yang terdiri dari CO (karbon monooksida), SO2 (sulfur dioksida), O3 (ozon), NO2

(nitrogen dioksida) dan PM10 (partikel debu berukuran 10 mikron) dan kondisi

meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a). Hasil pemantauan ditampilkan di lokasi strategis agar dapat dibaca oleh masyarakat setiap saat.

Pada tahun 2001-2003 pencemar udara dominan di kota Surabaya adalah PM10

diikuti Ozon (Chamida, 2004).

Pada data pencemar udara PM10 dan Ozon terdapat korelasi temporal dan

korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Di Indonesia metode statistika yang digunakan pada data kualitas udara adalah statistik


(21)

4

deskriptif (Din LH Surabaya, 2002; SARPEDAL KLH, 2003b), metode deret waktu di satu lokasi stasiun (Roekmi, 1997; Prestiwati, 2002), dan metode spatial pada satu waktu pengamatan (Andayani, 2002; Hamonangan, 2004).

Pada umumnya model spatio-temporal untuk pencemar udara yang

terdapat di referensi hanya menggunakan peubah penjelas waktu dan lokasi saja, dengan ukuran data yang tidak terlalu besar. Pada penelitian ini akan

dikembangkan model spatio-temporal dengan mengikutsertakan faktor

meteorologis di samping peubah penjelas waktu dan lokasi. Hal ini disebabkan

faktor meteorologis diduga berpengaruh terhadap penyebaran polutan PM10 dan

Ozon. Model yang dipilih untuk pemodelan pencemar udara PM10 dan Ozon

adalah model aditif dengan pendekatan model linear campuran, dengan beberapa pertimbangan yaitu :

1. dapat digunakan untuk menggabungkan model deret waktu, model spatial,

dan hubungan fungsional faktor meteorologis,

2. bersifat fleksibel karena hubungan fungsional antara peubah penjelas

kontinu dengan respon dapat berbentuk parametrik atau nonparametrik

3. komputasi yang cepat untuk data berukuran besar, karena menggunakan

pemulus berdimensi rendah P-spline.

4. berbasis model dan metode kemungkinan maksimum, karena pendugaan

model dapat menggunakan metode ML atau REML.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model aditif spatio-temporal

untuk pencemar udara PM10 dan Ozon di Kota Surabaya dengan fungsi mulus

P-spline dan diduga dengan pendekatan model linear campuran

1.3. Kerangka Pemodelan

Permasalahan utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah

pemodelan pencemar udara dominan PM10 dan Ozon di kota Surabaya dengan

model aditif spatio-temporal. Pada data spatio-temporal terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial yang harus diperhitungkan dalam pemodelannya. Pada penelitian ini korelasi temporal dimodelkan dalam model aditif deret waktu dan korelasi spatial dimodelkan dalam model aditif spatial. Selanjutnya kedua model aditif ini digabung secara aditif menjadi model aditif spatio-temporal. Sehingga


(22)

5

model aditif spatio-temporal dapat menggabungkan kedua korelasi yang terdapat pada data dalam satu model. Kerangka pemodelan disajikan pada Gambar 1. Peubah penjelas yang dilibatkan dalam model aditif deret waktu adalah lag dan jam, sedangkan pada model aditif spatial adalah koordinat geografis dari lokasi stasiun pemantau. Pada model aditif spatio-temporal ini dapat ditambahkan hubungan fungsional faktor meteorologis.

Gambar 1. Kerangka pemodelan PM10 dan Ozon

Bentuk hubungan fungsional antara peubah penjelas kontinu dengan

respon pada model aditif tidak dibatasi dalam bentuk parametrik, akan tetapi dapat berbentuk nonparametrik atau gabungan keduanya. Dalam penentuan model aditif, lebih dahulu dilakukan identifikasi tentang bentuk hubungan fungsional antara peubah penjelas kontinu dengan respon. Bila bentuk hubungan fungsionalnya nonparametrik, maka akan dimodelkan dengan P-spline. Bentuk hubungan fungsional ini kemudian digunakan untuk menyusun model aditifnya.

!

" # " $ !

%&

" ' "

" "

" ' "


(23)

6

Model aditif yang sudah terbentuk, selanjutnya diformulasikan ke dalam bentuk model linear campuran. Parameter-parameter pada model aditif diduga

dengan metode REML. Kebaikan model ditentukan dari nilai AIC (Akaike

Information Criteria) yang rendah, dan galat modelnya mempunyai nilai autokorelasi dalam waktu dan korelasi spatial yang kecil dan tidak berpola.

1.4. Hubungan antar Bab

Keterkaitan antar Bab dalam disertasi ini disajikan pada Gambar 2. Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 adalah bab-bab yang diperlukan sebagai masukan dalam membangun model aditif spatio-temporal. Metode yang dikembangkan untuk pemodelan data spatio-temporal dibahas dalam empat bab, yaitu Bab 4, Bab 5, Bab 6, dan Bab 7.

Bab 2 berisi tentang hasil eksplorasi data pencemar udara PM10 dan Ozon.

Bab 3 berisi tentang kajian teori model linear campuran dan hubungannya dengan pemulusan. Pada Bab 4 dibahas tentang hubungan matematis antara regresi spline

terpenalti dengan model linear campuran dan kajian empirik pada data PM10 dan

Ozon. Pada Bab 5 dibahas tentang pengembangan metode Bab 4 untuk data deret waktu. Pada Bab 6 dibahas pengembangan metode pada Bab 4 untuk data berkorelasi spatial. Pada Bab 7 dibahas tentang penggabungan model aditif deret waktu dengan model aditif spatial menjadi model aditif spatio-temporal. Bab 8 berisi tentang pembahasan umum yang mencakup bahasan-bahasan tentang pemodelan data spatio-temporal, pengaruh faktor meteorologis, dan optimasi lokasi stasiun pemantau. Simpulan dan saran dibahas pada Bab 9.

Gambar 2. Keterkaitan antar Bab dalam disertasi B

BAABB22 B

BAABB11

B BAABB44

B BAABB55

B BAABB66

B

BAABB77 BBAABB88 BBAABB99

B BAABB33

digabung diperluas

data spatial diperluas data


(24)

2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

2.1. Pencemar Udara PM10 dan Ozon

Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu

dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat memberikan daya dukung bagi mahkluk hidup untuk hidup secara optimal. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemar udara. Definisi pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999, adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Sumber pencemaran udara berasal dari kejadian alami dan kegiatan

manusia (antropogenik). Sumber pencemaran yang berasal dari alam antara lain kebakaran hutan, letusan gunung berapi, debu, dekomposisi biotik dan lain-lain. Sedangkan sumber pencemaran udara akibat aktivitas manusia secara kuantitatif sering lebih besar, antara lain berasal dari kegiatan transportasi, industri, pemukiman, dan pengelolaan limbah sampah (Soedomo, 2001)

Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap

pencemaran udara di kota-kota besar. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemar udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis BBM mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia, rendahnya budaya perawatan kendaraan bermotor secara teratur, dan buruknya manajemen transportasi. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara terbesar berikutnya setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga (KLH, 2002). Pada umumnya bahan pencemar udara

yang terdapat di daerah perkotaan adalah: SO2, NOx, O3, CO, HC, debu, dan Pb,

serta bahan-bahan pencemar organik lainnya (SARPEDAL KLH, 2003a). Sepanjang tahun 2001-2003 pencemar udara yang paling dominan dengan konsentrasi maksimum pada jam-jam tertentu melebihi baku mutu udara ambien

di kota Surabaya adalah PM10 diikuti O3, SO2, dan CO ( Din LH, 2002;


(25)

8

Faktor meteorologis mempunyai peran yang sangat utama dalam

menentukan kualitas udara di suatu daerah. Dalam sistem pencemaran udara, intensitas emisi dari sumber pencemar akan masuk ke dalam atmosfer sebagai medium penerima. Sedangkan atmosfer merupakan suatu medium yang sangat dinamik dan mempunyai kemampuan dalam menyebarkan, mengencerkan, dan mendifusikan pencemar udara. Kemampuan atmosfer tersebut ditentukan oleh berbagai faktor meteorologi, seperti kecepatan angin, arah angin, kelembaban udara, suhu udara, dan tekanan udara (Soedomo, 2001)

Partikulat debu dalam bentuk tersuspensi merupakan campuran yang

sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai kurang dari 1 mikron sampai dengan maksimal 500 mikron. Partikulat debu berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara. Karena komposisi partikulat debu udara yang rumit, dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan dampaknya terhadap kesehatan, maka banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan partikulat debu di udara. Beberapa istilah yang digunakan mengacu

pada metode pengambilan contoh udara antara lain SPM (Suspended Particulate

Matter), TSP (Total Suspended Particulate), dan balack smake. Istilah lainnya mengacu pada tempat di saluran pernafasan dimana partikulat debu dapat

mengendap, seperti inhalable/thoracic particulate yang mengedap di bawah

pangkal tenggorokan. Istilah lainnya yang juga digunakan adalah PM10 (partikulat

debu dengan ukuran diameter aerodinamik <10 mikron), yang mengacu pada unsur fisiologi maupun metode pengambilan contoh.

Pengaruh partikulat debu yang berada di udara terhadap kualitas lingkungan sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umumnya partikulat debu yang berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sedangkan partikulat yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku


(26)

9

mutu konsentrasi PM10 yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 150 g/m3

untuk waktu pengukuran 24 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).

Lapisan troposfer mengandung Ozon atau O3 kira-kira hanya 10% dari

seluruh kandungan Ozon yang ada di atmosfer. Ozon adalah komponen atmosfer yang diproduksi oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang membutuhkan sinar matahari untuk mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi oleh oksigen. Senyawa yang terbentuk merupakan bahan pencemar sekunder yang diproduksi dari interaksi antara bahan pencemar primer dengan sinar matahari. Hidrokarbon merupakan komponen yang berperan dalam

produksi oksidan fotokimia. Reaksi ini juga melibatkan siklus fotolitik NO2.

Polutan sekunder yang dihasilkan dari reaksi hidrokarbon dalam siklus ini adalah Ozon dan Peroksiasetilnitrat (PAN). Karena Ozon merupakan senyawa yang dominan dari oksidan fotokimia ini, yaitu mencakup kira-kira 98% volume, maka hasil pemantauan udara ambien dinyatakan sebagai kadar Ozon. (Soedomo, 2001)

Ozon dapat ditemukan di setiap tempat dimana terdapat oksida nitrogen

dan hidrokarbon yang berinteraksi di bawah radiasi sinar matahari. Ozon

berbahaya bagi tumbuh-tumbuhan, karena dapat mengganggu prosesfotosintesis.

Sedangkan dampak terhadap manusia dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan pernafasan. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku mutu konsentrasi ozon

yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 235 g/m3 untuk waktu pengukuran

1 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).

2.2. Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya

Sejak tahun 1992 BAPEDAL Pusat/ Menteri Lingkungan Hidup membuat

strategi pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dengan Program Langit Biru. Untuk mengevaluasi pelaksanaan program ini, pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Austria membangun Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien Terpadu untuk kota metropolitan dan kota

rawan kebakaran melalui proyek The Integrated Ambient Air Quality Monitoring

for Metropolitan Area. Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia disajikan pada Lampiran 1. Tujuan utama dari jaringan pemantauan kualitas udara ambien adalah mengetahui besarnya kondisi kualitas udara melalui pengukuran


(27)

10

kondisi meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a).

Untuk dapat memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas

udara ambien kepada masyarakat di suatu lokasi pada waktu tertentu, serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pengendalian pencemaran udara telah ditetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 45 tahun 1997. ISPU adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu didasarkan dampaknya pada kesehatan manusia, makhluk lainnya, dan nilai estetika (KLH, 2002)

Kota Surabaya telah mengoperasikan jaringan pemantauan kualitas udara

yang bekerja secara kontinu 24 jam sehari sejak April 2001. Peralatan dari jaringan pemantau ini terdiri dari beberapa komponen yaitu :

1. Lima stasiun pemantau kualitas udara permanen.

2. Lima tampilan data publik (Public Data Display)

3. Peralatan RAQMC (Regional Air Quality Monitoring Center)

4. Peralatan kalibrasi dan maintenance

Peralatan sensor pada stasiun pemantau dan tampilan data publik disajikan pada Lampiran 2. Cara kerja peralatan jaringan pemantau kualitas udara ambien disajikan pada Lampiran 3.

Pemilihan lokasi penempatan peralatan jaringan pemantau ditetapkan

bersama oleh Tim BAPEDAL Pusat, Pemerintah Austria, dan Tim Pemkot Surabaya beserta Pemprov Jatim tanggal 10-13 Maret 1999. Lokasi harus berada pada daerah pemukiman agar data yang dihasilkan adalah data kualitas udara ambien dan bukan udara emisi dengan jarak minimum dari jalan raya 20 meter sampai 250 meter. Lokasi penempatan 5 stasiun pemantau kualitas udara ambien kota Surabaya disajikan pada Gambar 3 dengan perincian sebagai berikut :

1. Halaman taman prestasi (Jl. Ketabang Kali) disingkat dengan SUF-1.

Lokasi ini mewakili daerah pusat kota, pemukiman, perkantoran, dan perdagangan Surabaya Pusat.

2. Halaman kantor kelurahan Perak Timur (Jl. Selangor) disingkat dengan


(28)

11

3. Halaman bekas kantor pembantu walikota Surabaya Barat (Jl.

Sukomanunggal) disingkat dengan SUF-3. Lokasi ini mewakili daerah pemukiman, dan daerah pinggir kota.

4. Halaman kecamatan Gayungan (Jl. Gayungan) disingkat dengan SUF-4.

Lokasi ini mewakili daerah pemukiman dekat jalan tol Surabaya-Gempol Surabaya Selatan.

5. Halaman Convention Hall (Jl. Arif Rahman Hakim) disingkat dengan

SUF-5. Lokasi ini mewakili pemukiman, kampus dan perkantoran Surabaya Timur.

Gambar 3. Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau

Berdasarkan panduan mutu ISPU, sensor yang ada pada stasiun pemantau kualitas udara mampu menangkap pencemar udara dengan sensitifitas sampai sejauh radius 5 km, dengan mekanisme kerja berdasarkan arah angin yang menuju

alat dengan spesifikasi kisaran arah angin antara 0o sampai 360o dengan

kecepatan angin sampai dengan 60 m/detik [SARPEDAL KLH, 2003b].

2.3. Deskripsi Umum Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan ibukota propinsi Jawa Timur yang terletak di

koordinat 70 12’ -70 21’ lintang selatan dan 1120 36’ sampai 1120 54’ bujur timur

dengan luas wilayah ± 326.37 km2. Wilayah kota Surabaya merupakan dataran

rendah dengan ketinggian antara 0 - 50 meter di atas permukaan laut, sedangkan pada daerah pantai ketinggian berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut

SUF-1 SUF-2

SUF-3

SUF-4


(29)

12

bahkan sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah kota Surabaya memiliki ketinggian tanah berkisar antara 0 - 10 meter yaitu 25919.04 ha (80.72%) yang menyebar di bagian timur, utara, selatan, dan pusat kota. Pada wilayah kota lainnya memiliki ketinggian berkisar antara 10 - 20 meter (12.53%) dan di atas 20 meter dari permukaan laut (6.76%) yang terdapat pada bagian barat dan selatan kota Surabaya (Surabaya dalam Angka, 2002).

Kota Surabaya beriklim tropis dengan suhu udara yang relatif konstan

sepanjang tahun, yaitu dari 250 C pada malam hari sampai 340 C pada siang hari.

Kelembaban rata-rata antara 65 % sampai 85 %. Pola iklim di kota Surabaya dipengaruhi oleh angin muson sehingga setiap tahun terjadi dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya musim kemarau berlangsung dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung dari bulan Desember sampai dengan Maret. Curah hujan maksimum biasanya terjadi pada bulan Januari dan minimum terjadi pada bulan Agustus. Pada tahun 2002, arah angin terbanyak pada bulan Januari dan Pebruari adalah Barat, pada bulan Maret sampai Nopember berasal dari arah timur, dan bulan Desember dari arah barat (Surabaya dalam Angka, 2002).

Jumlah penduduk kota Surabaya sekitar 2.8 juta pada malam hari, dan

bertambah kira-kira 300 ribu penduduk yang bekerja di Surabaya dari wilayah sekitar Surabaya di pagi hari. Jenis transportasi didominasi oleh kendaraan pribadi. Berdasarkan hasil penelitian GTZ-SUTP (2000), komposisi kendaraan di Surabaya adalah 35% kendaraan umum dan 65% kendaraan pribadi. Sedangkan hasil survey Dinas Perhubungan Surabaya terhadap volume kendaraan di 40 persimpangan pada satu jam sibuk di bulan Mei dan Juni tahun 2002 menunjukkan bahwa volume kendaraan tertinggi terjadi di sekitar SUF-4 (Dinhub Surabaya, 2002).

2.4. Metode Eksplorasi Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrasi pencemar

udara yang terdiri dari PM10 dan Ozon per jam ( g/m3), dan faktor meteorologis

yang terdiri dari suhu udara per jam (0C), kecepatan angin per jam (m/detik), arah

angin per jam (derajat) pada 5 lokasi stasiun pemantau (SUF) selama satu tahun dari bulan Januari 2002 sampai Desember 2002. Data arah angin dikelompokkan


(30)

13

dalam 16 kategori (metode pengelompokkan disajikan pada Lampiran 4). Sedangkan data curah hujan (mm) yang digunakan adalah data harian pada waktu yang sama di 3 stasiun pemantau klimatologi kota Surabaya.

Tahap awal dalam menentukan model aditif spatio-temporal adalah identifikasi model dengan menggunakan metode eksplorasi data. Dari metode ini akan diketahui tentang bentuk sebaran data, pola kecenderungan data terhadap waktu, keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis, dan pola kecenderungan spatial. Untuk mengetahui pola sebaran dan kesimetrikan data digunakan diagram kotak garis. Sedangkan untuk mengetahui pola kecenderungan data terhadap waktu digunakan plot antara rataan data faktor meteorologis atau pencemar udara per bulan dengan jam pada setiap SUF dari bulan Januari sampai Desember 2002.

Untuk mengidentifikasi model deret waktu digunakan plot autokorelasi

(autocorrelation function selanjutnya disingkatACF) dan plot autokorelasi parsial (partial autocorrelation function selanjutnya disingkat PACF). Fungsi ACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu-(t) dengan pengamatan pada waktu-(t+k) dari proses stokastik yang sama dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Sedangkan fungsi PACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu-(t) dengan pengamatan pada waktu-(t+k) setelah hubungan linear dalam pengamatan pada waktu-(t+1) sampai waktu-(t+k-1) telah dihilangkan. Untuk mengukur tingkat keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis

digunakan plot korelasi silang (cross correlation function dan disingkatCCF).

Untuk mengidentifikasi pola hubungan spasial dari pencemar udara

digunakan plot CCF dan plot hubungan antara korelasi pencemar udara antar SUF dengan jarak antar SUF. Data mempunyai hubungan spasial bila pola hubungan antara korelasi dengan jarak bernilai negatif artinya dengan korelasi antar SUF semakin kecil bila jarak antar SUF semakin jauh.

2.5. Hasil Eksplorasi Data

Hasil eksplorasi terhadap data faktor meteorologis dan pencemar udara digunakan untuk penentuan model aditif spatio-temporal. Dari hasil eksplorasi dapat diketahui tentang pola kecenderungan faktor meteorologis dan pencemar


(31)

14

udara terhadap jam, model deret waktu pencemar udara, keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis, dan pola hubungan spasial.

2.5.1. Faktor Meteorologis

Faktor meteorologis seperti arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan

curah hujan mempengaruhi kualitas udara dan penyebaran pencemar udara di suatu lokasi. Deskripsi faktor meteorologis di kota Surabaya sebagai berikut : a. Suhu Udara

Perbedaan suhu udara pada berbagai daerah di bumi akan mengakibatkan

perbedaan tekanan udara yang mempengaruhi pergerakan udara di dalam atmosfer. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam disajikan pada Gambar 4. Pola kecenderungan rataan suhu udara dengan jam pada semua SUF tampak mirip, dengan suhu udara terendah terjadi pada jam 6 dan suhu udara tertinggi terjadi antara jam 12 sampai jam 14.

J A M

R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-1

J A M

R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-2

J A M

R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-3

J A M

R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-4

J A M

R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5

Gambar 4. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002

Pada umumnya rataan suhu udara beragam antar bulan, dengan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember. Perbedaan suhu udara tertinggi pada bulan Oktober dan Nopember dengan bulan lainnya pada SUF-1


(32)

15

b. Kecepatan Angin

Kecepatan angin berperan menentukan jarak dan waktu perpindahan

pencemar udara dari sumber ke penerima. Di samping itu kecepatan angin akan menentukan derajat pengenceran pencemar udara searah dengan pergerakan angin. Plot rataan kecepatan angin per bulan selama 24 jam disajikan pada Gambar 5. Pola kecenderungan antara kecepatan angin dan suhu udara terhadap jam tampak mirip. Kecepatan angin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu udara. Setiap SUF mempunyai pola kecenderungan kecepatan angin dengan jam yang sama, yaitu kecepatan angin terendah dan konstan terjadi antara jam 1 sampai jam 7, dan kecepatan angin tertinggi terjadi pada jam 12 atau jam 13.

J A M

R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-1

J A M

R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-2

J A M

R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-3

J A M

R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-4

J A M

R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5

Gambar 5. Plot antara rataan kecepatan angin per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002

Pada Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat bahwa pola kecenderungan

kecepatan angin dan suhu udara terhadap jam tampak mirip. Besarnya kecepatan angin beragam antar SUF. Kecepatan angin pada SUF-1, SUF-2, SUF-4 lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan angin pada SUF-3 dan SUF-5. Pada SUF-3 terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok rendah yang terjadi pada bulan Juli sampai Agustus dan kelompok tinggi yang terjadi pada bulan Januari sampai Juni. SUF-5 mempunyai rataan kecepatan angin tertinggi dibandingkan dengan keempat SUF-lainnya, hal ini disebabkan lokasinya berada dekat pantai Kenjeran.


(33)

16

c. Arah Angin

Arah perjalanan pencemar udara dari sumber ke penerima ditentukan oleh

arah angin. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam disajikan pada Gambar 6. Pola kecenderungan modus arah angin dengan jam pada setiap SUF beragam antar bulan.

J A N U A R I 16 12 8 4 0 P E B R U A R I 16 12 8 4 0 M A R E T 16 12 8 4 0 J U L I 16 12 8 4 0 A G U S T U S 16 12 8 4 0 S E P T E M B E R 16 12 8 4 0 A P R I L 16 12 8 4 0 M E I 16 12 8 4 0

J A M

J U N I 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 O K T O B E R 16 12 8 4 0 N O P E M B E R 16 12 8 4 0

J A M

D E S E M B E R 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 SUF 3 4 5 1 2

Gambar 6. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam di setiap SUF

pada Januari- Desember 2002

Pada bulan Januari dan Pebruari modus arah angin umumnya berada antara arah barat dengan utara. Arah angin pada bulan Maret beragam antar jam, yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 22 sampai jam 24 berada antara arah selatan dengan barat, antara jam 9 sampai 12 berada antara arah timur dengan tenggara, sedangkan antara jam 12 sampai jam 21 arah angin bervariasi antar SUF. Pada bulan April sampai Nopember, pola kecenderungan arah angin pada semua SUF tampak mirip, yaitu pada jam 1 sampai jam 9 arah angin berada antara arah selatan dengan barat, dan pada jam 10 sampai jam 24 arah angin berada antara timur dan selatan. Arah angin pada bulan Desember mirip dengan


(34)

17

arah angin pada bulan Maret, yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 21 sampai jam 24 berada antara arah selatan dengan barat laut, sedangkan antara jam 9 sampai 20 arah angin bervariasi antar SUF.

d. Curah Hujan

Plot rataan curah hujan harian per bulan pada 3 stasiun pemantau di kota

Surabaya disajikan pada Gambar 7. Pola kecenderungan rataan curah hujan pada 3 stasiun tampak mirip. Pada bulan Januari sampai Juni tampak curah hujan cenderung menurun, pada bulan Juni sampai Oktober tidak ada curah hujan, dan pada bulan Nopember sampai Desember curah hujan cenderung meningkat. Perbedaan rataan curah hujan di 3 stasiun pemantau tidak besar. Pada umumnya musim kemarau berawal pada bulan Mei dan berlangsung sampai bulan Oktober. Peralihan antara musim kemarau dengan musim hujan terjadi pada bulan Nopember. Musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret.

Bulan

Ra

ta

a

n

Cu

ra

h

H

u

ja

n

p

er

B

u

la

n

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 18 12 6 0

Variable

Juanda Pe rak -1 Pe rak -2

Gambar 7. Plot rataan curah hujan harian per bulan di 3 stasiun pemantau pada bulan Januari – Desember 2002

2.5.2. Pencemar Udara PM10

Deskripsi tentang pola sebaran PM10 antar SUF dari bulan Januari sampai

Desember 2002 dan identifikasi model deret waktu untuk PM10 sebagai berikut :

a. Pola Sebaran Konsentrasi PM10

Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 di lima stasiun pemantau (SUF)

mulai bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 8. Pada umumnya pola sebaran data di setiap SUF tidak simetrik dengan banyak pencilan di nilai besar. Pada Gambar 8 tampak lebar kotak kuartil antar SUF tidak sama,


(35)

18

hal ini menunjukkan keragaman data antar SUF tidak homogen. Oleh karena itu

agar konsentrasi PM10 antar SUF mempunyai pola sebaran yang simetrik dengan

ragam yang lebih homogen, maka dilakukan transformasi.

Gambar 8. Diagram kotak garis konsentrasi PM10 di setiap SUF pada

bulan Januari sampai Desember 2002

Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi Box-Cox dan hasilnya disajikan pada Gambar 9. Nilai lamda sebesar 0.08 dekat dengan 0, sehingga bentuk transformasi yang tepat adalah ln (logaritma bilangan dasar e).

Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 yang telah ditransformasi ln disajikan

pada Gambar 10. Pola sebaran pada data transformasi sudah simetrik dengan pencilan yang menyebar baik di nilai besar maupun nilai kecil. Keragaman antar SUF pada data transformasi juga sudah lebih homogen. Secara umum rataan

konsentrasi PM10 pada SUF-1 SUF-3, dan SUF-5 lebih rendah dibandingkan

rataan pada SUF-2, dan SUF-4. Hal ini wajar mengingat SUF-2 terletak di kawasan pergudangan pelabuhan Tanjung Perak, sedangkan SUF-4 terletak pada jalur penghubung antara kota Surabaya dengan kota Sidoarjo dan kota Malang, dimana aktifitas industri atau transportasi pada kedua SUF ini lebih tinggi dibandingkan pada SUF-1, SUF-3 dan SUF-5.


(36)

19

!"

#

$

3 2

1 0

-1 140 120 100 80 60 40 20 0

% & ' ' &

L am b d a

0.08 ( u s in g 95.0% co n fid e n ce )

Es t im ate 0.08 L o w e r CL 0.06 Up p e r CL 0.09 Ro u n d e d V alu e

Gambar 9. Transformasi Box-Cox untuk PM10

(

)

Gambar 10. Diagram kotak garis logaritma konsentrasi PM10 di setiap SUF pada

bulan Januari sampai Desember 2002

b. Pola Kecenderungan Rataan konsentrasi PM10 per Bulan dengan Jam

Pola sebaran rataan konsentrasi PM10 selama 24 jam di lima SUF pada

bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 11. Secara umum

pola kecenderungan konsentrasi PM10 dengan jam pada setiap SUF tampak mirip,

yaitu mempunyai 2 puncak yang terdapat pada jam 8 dan jam 18. Kedua waktu puncak tersebut terutama disebabkan oleh rutinitas transportasi yang berhubungan

dengan waktu berangkat kerja dan pulang kerja. Rataan konsentrasi PM10 tertinggi


(37)

20

terdapat pada SUF-4, akan tetapi antara jam 15 sampai jam 19 di bulan Juni sampai Oktober 2002, rataan tertinggi terdapat pada SUF-2.

J A N U A R I 240 160 80 0 P E B R U A R I 240 160 80 0 M A R E T 240 160 80 0 J U L I 240 160 80 0 A G U S T U S 240 160 80 0 S E P T E M B E R 240 160 80 0 A P R I L 240 160 80 0 M E I 240 160 80 0

J A M

J U N I 24 18 12 6 1 240 160 80 0 O K T O B E R 240 160 80 0 N O P E M B E R 240 160 80 0

J A M

D E S E M B E R 24 18 12 6 1 240 160 80 0 SUF 3 4 5 1 2

Gambar 11. Plot antara rataan konsentrasi PM10 per bulan dengan jam di setiap

SUF pada Januari- Desember 2002

Rataan konsentrasi PM10 antar bulan beragam, pada bulan Januari,

Pebruari, Maret, dan Desember relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan di bulan lainnya. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi pada bulan tersebut seperti dijelaskan pada subbab 2.5.1. butir (d). Musim hujan menyebabkan partikel-partikel berukuran kecil mengalami proses penyisihan dari atmosfer melalui mekanisme deposisi basah dan kering sehingga konsentrasi

PM10 pada musim hujan mengalami penurunan (Chamida, 2004).

c. Plot Autokorelasi dan Plot Autokorelasi Parsial

Plot ACF dan PACF untuk konsentrasi PM10 disajikan pada Gambar 12.

Setiap SUF mempunyai plot ACF dan PACF yang mirip. Pada plot ACF tampak nilai ACF yang turun lambat pada lag 24, 48, dan kelipatan 24 lainnya. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh musiman dengan panjang musiman 24 jam.


(1)

126

Lampiran 6. Lanjutan

J a m

K

o

n

s

e

n

tr

a

s

i

O

z

o

n

(

ln

)

d

i

S

U

F

-4

7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1

7 2 0 5 4 0

3 60 18 0

1

7 5 3 1

7 2 0 5 40

36 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0

B L N = 1 1 B L N = 1 2

J a m

K

o

n

se

n

tr

a

si

Oz

o

n

d

i

S

U

F

-5

7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1 7 5 3 1

7 20 54 0

3 6 0 1 8 0

1

7 5 3 1

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 80

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0


(2)

127

Lampiran 7. Kontur dari model aditif spatio-temporal terbaik untuk Ozon pada jam 1 sampai jam 24

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e

4.8 11.4 18.1 24.7

24.7 31.4 38.0 38.0 44.6 44.6 51.3 57.9

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e

6.0 9.2

9.2

12.4 15.7 18.9 22.1

2

2

.1

25.3

25.3

25.3 28. 5 31 .7 31.7

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 6.0 6.0

9.2 12.3

15.4

15.4 18.6 21.7

24.8 28 .0 3 1 .1 31.1

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 4.1 4.1

7.9 11.6

15.3 19.0

22.7 26.

5 30.2 33

.9

33.9

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 4.2 4.2

7.5 10.7

14.0

14.0 17.3 20.5

23.8 27.

0 30 .3 30.3

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 3.8 3.8 7.3 7.3 7.3 10 .8 14.2 14.2 17.7 17.7 21.2 24. 6 28. 1 31 .6 31.6

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 7.5 7.5 11.2 11.2 14 .9 18.5 18.5 22.2 22.2 25.9 29.5

29.5 33

.2 33.2

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 23. 8 29.3 29.3 34.7 34.7

40.2 45.7

5 1.1

51.1 56.6

56. 6 62

.1 62.1

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 85.5

93.8 102.0 110.2 110.2 118.5 11 8 .5 126.7 134.9 143.2 15 1.4

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 106.3 111.2 111.2 116 .0 116.0 120.8 120 .8 125.7 12 5.7 130.5 13 0.5 135.4 1

35.4 140.2

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 102.4 106.4 110 .3 114.3 118.3 11 8.3 122.2 12 2.2 126.2 12

6.2 130.1

13

0

.1

130.1

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 94.6 98 .4 98.4 102.3 10 6 .2 11 0.0 113.9 117.8 1

17.8

121.6 125.5

129.4

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 92.6 96.7 96.7

100.7 10

4

.8

108 .9

113.0

117.0 121.1 125.2

129.3

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 85.8 89.7 89.7 93.6 93.6

97.5 97.5

10 1.4

101.4

105.3

1 0 5 .3 109.2 113.1 117.0 120 .9

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 85.8 89.7 89.7 93.6 93.6

97.5 97.5

10 1.4

101.4

105.3

1 0 5 .3 109.2 113.1 117.0 120 .9

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 77.8 82 .3 82.3 86.9 91 .5 9 1.5 96. 0 96 .0 100.6 105.2 109.7

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 69 .1 73 .7 73.7

78.3 82

.8 8 2 .8 87.4 8 7.4 92.0 96.6

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 5 3 .4 53.4 57.1 57.1 60.8 60 .8 64 .5

64.5

68 .2 6 8 .2 71.8 75.5 79.2 8 2 .9 82.9

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 32.5 37.0 37.0 41.5 41.5

46.0

50.4

54.9 54.9

59

.4

59.4

5

9.4

63 .8 63.8

68.3 72.8 7

7

.3 81.7

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e

23.9

29. 2 29.2 34 .6 34.6 39.9 45.2 50.6

50.6 55.9

55.9

55.9 61

.2 61.2

66 .6

71.9 77.2

82.6

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 37.2 41. 3 41.3 45.4 45.4 49.6 49.6 53.7 53 .7 57.8

57.8 61

.9 61.9 6 6.0 70 .1 74.2 78.3 8 2 .5 86.6

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 39.9 42.6 45.3 47.9 4 7.9 50.6 50.6 53.3 53.3 5 3 .3 55.9 58 .6 61.2

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e

31.8 34.9 38.0 41.1 44.3

44.3 47.4 47.4 50.5 50.5 53.6 56. 7 59.8

112.68 112.70 112.72 112.74 112.76 112.78

Longitude 7.22 7.24 7.26 7.28 7.30 7.32 L a ti tu d e 22.0

26.9 31.7 36.6

36.6 41.5 41.5 41.5 46 .3 4 6.3 51 .2 56 .1 60 .9 65 .8 70.7 75.5 80.4


(3)

128

Lampiran 8. Prediksi temporal dari model aditif spatio-temporal terbaik Ozon

J a m

K

o

n

se

n

tr

a

si

O

zo

n

(

ln

)

d

i

S

U

F

-1

6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0

B L N = 1 1 B L N = 1 2

J a m

K

o

n

se

n

tr

a

si

O

zo

n

(

ln

)

d

i

S

U

F

-2

6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0

B L N = 1 1 B L N = 1 2

J a m

K

o

n

se

n

tr

a

si

O

zo

n

(

ln

)

d

i

S

U

F

-3

6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0


(4)

129

Lampiran 8. Lanjutan

J a m

K

on

s

en

tr

a

si

O

z

on

(

ln

)

di

S

U

F

-4

6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0

B L N = 1 1 B L N = 1 2

J a m

K

o

n

se

n

tr

a

si

O

zo

n

d

i

S

U

F

-5

6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0 6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

6 4 2 0

7 2 0 5 4 0

3 6 0 1 8 0

1

B L N = 1 B L N = 2

B L N = 3 B L N = 4

B L N = 5 B L N = 6

B L N = 7 B L N = 8

B L N = 9 B L N = 1 0


(5)

130

Lampiran 9. Daftar titik contoh dari lokasi SUF baru

Titik Contoh SUF-B2 NO

Longitude Latitude

Jarak dengan SUF-B1

1 112.763 7.288 5.150

2 112.768 7.288 5.467

3* 112.768 7.292 5.100

4 112.773 7.292 5.466

5 112.773 7.297 5.149

6 112.778 7.297 5.557

7 112.773 7.301 4.862

8 112.778 7.301 5.293

9 112.778 7.305 5.064

Titik Contoh SUF-B3 NO

Longitude Latitude

Jarak dengan SUF-B2

1 112.754 7.250 5.245

2 112.758 7.250 5.124

3 112.763 7.250 5.049

4 112.749 7.254 4.947

5 112.754 7.254 4.766

6 112.758 7.254 4.632

7 112.763 7.254 4.550

8 112.734 7.258 5.338

9* 112.739 7.258 5.022

10 112.744 7.258 4.738


(6)

131

Lampiran 9. Lanjutan

Titik Contoh SUF-B4 Titik Contoh SUF-B5 NO

Longitude Latitude Longitude Latitude

Jarak antar kedua SUF

1 112.754 7.220 112.709 7.220 4.516

2 112.758 7.220 112.709 7.220 5.018

3 112.763 7.220 112.709 7.220 5.520

4 112.758 7.224 112.709 7.220 5.043

5 112.763 7.224 112.709 7.220 5.542

6 112.758 7.220 112.714 7.220 4.516

7 112.763 7.220 112.714 7.220 5.018

8 112.758 7.224 112.714 7.220 4.544

9 112.763 7.224 112.714 7.220 5.043

10 112.768 7.224 112.714 7.220 5.542

11 112.749 7.220 112.705 7.224 4.544

12 112.754 7.220 112.705 7.224 5.043

13 112.758 7.220 112.705 7.224 5.543

14 112.758 7.224 112.705 7.224 5.520

15 112.754 7.220 112.709 7.224 4.544

16 112.758 7.220 112.709 7.224 5.043

17 112.763 7.220 112.709 7.224 5.542

18 112.758 7.224 112.709 7.224 5.018

19 112.763 7.224 112.709 7.224 5.520

20 112.749 7.220 112.700 7.229 5.118

21 112.749 7.220 112.705 7.229 4.627

22* 112.754 7.220 112.705 7.229 5.118

23 112.754 7.220 112.709 7.229 4.627

24 112.758 7.220 112.709 7.229 5.118

25 112.758 7.224 112.709 7.229 5.043

26 112.763 7.224 112.709 7.229 5.542

27 112.749 7.220 112.700 7.233 5.240

28 112.749 7.220 112.705 7.233 4.761

29 112.754 7.220 112.705 7.233 5.240

30 112.749 7.220 112.700 7.237 5.406