Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perusahaan, dalam usaha pencapaian tujuan-tujuannya, akan membuat perencanaan-perencanaan baik dalam bidang pembelanjaan, produksi, dan pemasaran. Riyanto 1994, menyatakan bahwa masalah dana pembelanjaan merupakan masalah utama dalam perusahaan, dimana ketika perusahaan gagal mendapatkan dana untuk menjalankan satu fungsi dalam perusahaan, maka akan menghambat setiap proses lain dalam perusahaan. Pada saat perusahaan tidak memiliki cukup dana untuk melakukan ekspansi, atau melakukan perkembangan dalam usahanya, maka pertumbuhan perusahaan yang seharusnya dapat berjalan lancar menjadi terhambat. Dalam usaha pemenuhan dana ini, perusahaan akan dihadapkan pada beberapa pilihan mengenai sumber dana perusahaan: 1 laba ditahan, 2 utang kepada kreditur, 3 penawaran saham kepada publik atau Initial Public Offerings IPO. Masing-masing pilihan diatas memiliki kelebihan dan kekurangan. Laba ditahan merupakan sumber dana yang berasal dari internal perusahaan sendiri, dalam pemakaiannya perusahaan tidak harus memberikan konsekuensi apapun, akan tetapi dana yang diperoleh dari cara ini, jumlahnya terbatas Andriyanti, 2007 dalam Hastoro dan Yuliana 2010. Utang kepada kreditur adalah pilihan kedua yang lebih fleksibel, dimana perusahaan dapat memperoleh dana tanpa batasan tertentu, akan commit to user 2 tetapi utang ini menuntut pembayaran bunga dan ketika perusahaan gagal membayar kewajibannya, kreditur berhak memaksa perusahaan untuk melikuidasi aset perusahaan yang menjadi agunan utang tersebut Andriyanti, 2007 dalam Hastoro dan Yuliana 2010. Penawaran perdana kepada publik Initial Public Offerings atau IPO merupakan pilihan ketiga bagi perusahaan. IPO, menurut Payamta 1998, dapat diartikan sebagai penjualan saham oleh perusahaan untuk yang pertama kalinya. Kelebihan IPO dibanding dengan sumber dana yang lain adalah, adanya peningkatan sumber dana perusahaan, yang juga meningkatkan pos modal saham dalam laporan keuangan, sehingga ekuitas perusahaan meningkat, sehingga perusahaan bebas untuk melakukan investasi dari dana tersebut. Setelah melakukan IPO, maka struktur perusahaan yang sebelumnya merupakan perusahaan tertutup, berubah menjadi perusahaan publik atau perusahaan terbuka. Dari perubahan struktur perusahaan tersebut, maka timbul konsekuensi yang harus diterima oleh perusahaan. Salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh perusahaan adalah, adanya kewajiban transparansi atas pelaporan keuangan dalam perusahaan. Transparansi ini menjadi begitu penting, karena menyangkut kepentingan para stakeholders perusahaan seperti kreditur, supplier, terlebih bagi investor modal yang telah menanamkan dananya pada perusahaan, dan hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab perusahaan kepada mereka. commit to user 3 Kewajiban transparansi ini hanya akan diberlakukan pada perusahaan setelah IPO, sedangkan untuk periode sebelum IPO, perusahaan tidak akan diwajibkan untuk mempublikasikan laporan keuangannya secara terbuka kepada publik. Sebelum melakukan IPO, perusahaan dituntut untuk menyajikan laporan prospektus perusahaan, sebagai salah satu syarat untuk melakukan IPO. Prospektus ini merupakan satu-satunya informasi yang dimiliki investor mengenai perusahaan dan laporan keuangan perusahaan pada periode sebelum IPO, sehingga informasi yang dimiliki oleh investor mengenai perusahaan sangatlah terbatas. Keterbatasan informasi yang diperoleh investor mengenai perusahaan ini disebut asimetri informasi. Dengan adanya asimetri informasi pada periode sebelum IPO, manajemen perusahaan cenderung akan melakukan manajemen laba pada periode sebelum IPO tersebut, dengan tujuan untuk membentuk persepsi investor yang positif terhadap perusahaan Kiswara, 1999 dalam Saiful 2004. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan dari investor, sebelum menanamkan modalnya dalam perusahaan adalah, tingkat keuntungan dari perusahaan tersebut Hastoro dan Yuliana, 2010. Hal ini menyebabkan munculnya kecenderungan manajemen untuk membuat laba agar terlihat baik di mata investor, terlebih di sekitar periode IPO perusahaan tersebut, agar investor tertarik untuk menanamkan modalnya pada perusahaan. Tindakan mengelola laba agar terlihat lebih baik inilah yang disebut dengan manajemen laba. Schipper 1989 dalam Wild et. al., 2005 mendefinisikan manajemen laba sebagai intervensi manajemen dengan commit to user 4 sengaja dalam proses penentuan laba, yang biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi. Irawan dan Gumanti 2010 menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki laba yang konsisten, memiliki harga saham yang relatif lebih tinggi, dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba tidak konsisten. Hal ini menjelaskan, mengapa manajemen memiliki kecenderungan untuk menggunakan metode akuntansi tertentu, untuk mengatur laba sebelum melakukan IPO, adalah untuk menarik minat investor. Manajemen laba dapat menyebabkan pengungkapan informasi dalam pelaporan kinerja perusahaan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini dapat mengakibatkan para pemakai laporan keuangan tidak memperoleh informasi keuangan yang akurat untuk dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan Wahyuningsih, 2007. Salah satu pemakai dari laporan keuangan tersebut ialah investor. Kecenderungan manajemen untuk melakukan manajemen laba di periode sekitar IPO, akan sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan investor. Investor bisa saja salah menentukan langkah, dengan melakukan investasi pada perusahaan yang sebenarnya kurang prospektif, akan tetapi tidak dapat dideteksi oleh investor, karena tertutup oleh laba yang meyakinkan. Hal ini dapat menyesatkan investor dalam mengestimasi return yang diharapkan akan diterima investor di masa mendatang. Akibat dari adanya praktik manajemen laba dalam perusahaan, seperti telah diungkapkan oleh Lo 2007, dalam penelitian Al-khabash dan Al- Thuneibat, 2009, yaitu bahwa melakukan manajemen laba dapat merugikan commit to user 5 banyak pihak. Pihak-pihak yang berpotensi untuk dirugikan, kembali lagi, adalah investor modal, bank atau kreditur, pemerintah atau regulator, supplier, customer, dan pesaing. Pihak-pihak tersebut dapat menjadi korban dikarenakan, mereka dapat membuat keputusan atas dasar informasi yang tidak tepat Al-khabash dan Al-Thuneibat, 2009. Schipper, 1989 dalam Wild et. al. 2005 menyatakan bahwa asal- usul munculnya manajemen laba adalah dari kebijakan akuntansi itu sendiri. Kebijakan akuntansi akrual, disebut-sebut sebagai penyebab manajemen dapat melakukan manajemen laba, karena manajemen akan memiliki kebebasan untuk mengaplikasikan kebijakan akuntansi dalam perusahaan. Akuntansi akrual menjadi salah satu pilihan untuk melakukan manajemen laba karena, dalam pengaplikasian akuntansi akrual, manajemen diberikan kebebasan untuk memilih metode akuntansi mana, yang akan digunakan dalam pelaporan keuangan perusahaan. Kebebasan ini memberikan kesempatan kepada manajemen, untuk mengatur laba dengan cara mengatur angka-angka akrual, sehingga akan diperoleh laba yang diinginkan. Metode ini disebut sebagai metode discretionary accruals. Alasan penggunaan metode discretionary accruals, sebagai alat untuk melakukan manajemen laba dikarenakan sifat dari akrual itu sendiri yang dipandang sebagai metode yang lebih baik daripada metode cash, karena dengan digunakannya metode accrual, akan mengurangi masalah waktu dan ketidakcocokan mismatching dalam pengukuran arus kas Dechow, 1994 dalam Wahyuningsih 2007. Dijelaskan juga bahwa discretionary accruals commit to user 6 merupakan bagian dari total accrual, yang dalam perhitungan laba total accrual tersebut terdiri atas discetionary dan non discretionary accrual. Non discretionary accrual merupakan komponen akrual yang terjadi secara alami atau wajar seiring dengan perubahan aktivitas perusahaan. Discretionary accrual adalah komponen akrual yang berasal dari rekayasa manajemen earning management. Discretionary accrual berhubungan dengan harga saham, laba yang akan datang, serta aliran kas Subramanyam, 1996 dalam Wahyuningsih 2007. Beneish 2001 dalam Wahyuningsih 2007, menyatakan penyebab berkembangnya manajemen laba yang berbasis akrual: 1 Akuntansi akrual, merupakan bagian dari prinsip akuntansi yang berterima umum, sedangkan manajemen laba lebih mudah terjadi pada laporan yang berbasis akrual, daripada laporan yang berbasis kas. 2 Mempelajari akuntansi akrual, akan mengurangi masalah dalam mengukur dampak, dari berbagai pilihan metode akuntansi terhadap laba. 3 Apabila indikasi manajemen laba tidak dapat diamati dari akrual, maka investor tidak akan dapat menjelaskan dampak dari manajemen laba pada penghasilan yang dilaporkan perusahaan. Dalam praktik, metode yang diterapkan dalam pelaporan akuntansi, dapat mempengaruhi hasil akhir dari laporan keuangan perusahaan. Hal ini dapat menjadi keuntungan bagi manajemen, karena mereka dapat memilih metode yang akan dipakai dalam pelaporan akuntansi perusahaan mereka, baik dalam perhitungan keuntungan ataupun penilaian keuangan. Dengan adanya kesempatan untuk menggunakan metode tertentu seperti ini, maka commit to user 7 akan memicu manajemen untuk melaporkan keuntungan yang diinginkan, dan mencapai tujuan manajemen sendiri, sehingga kualitas laporan keuangan menurun. Berbicara mengenai hubungan antara praktik manajemen laba, dengan kinerja perusahaan, dapat dilihat bahwa sebenarnya perubahan kinerja perusahaan merupakan suatu bukti dari ada atau tidaknya praktik manajemen laba dalam perusahaan. Demi menarik minat investor, manajemen cenderung memberikan sinyal positif kepada calon investor. Sinyal positif yang ingin diberikan manajemen kepada calon investor, dapat diwujudkan dengan cara melakukan manajemen laba untuk memperlihatkan kinerja yang baik dalam prospektus penawaran, sehingga nilai perusahaan dimata investor akan meningkat. Namun, sinyal positif ini tidak akan bertahan dalam waktu yang panjang, hal ini tercermin dalam laporan keuangan yang menyatakan adanya penurunan kinerja yang dilaporkan oleh perusahaan Teoh et. al., 1998 dalam Suprianto 2008. Manajemen laba yang dilakukan pada periode sekitar IPO, meskipun akan menambah nilai perusahaan, karena laba perusahaan terlihat baik dimata calon investor, dan mengakibatkan respon pasar yang positif pada periode tersebut, akan tetapi praktik manajemen laba ini, juga mengakibatkan penurunan kinerja underperformance beberapa tahun setelah penawaran perdana IPO Suprianto, 2008. Dengan melakukan manajemen laba sebelum IPO, manajemen menggeser laba periode mendatang ke periode sebelum IPO, sehingga yang terjadi pada commit to user 8 periode setelah IPO, laba perusahaan akan menurun, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja perusahaan menurun setelah IPO. Penilaian kinerja suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh manajemen, pemegang saham, pemerintah, maupun oleh stakeholder yang lain, karena menyangkut distribusi kesejehteraan diantara mereka Payamta, 1998. Investor akan sangat bergantung pada isi dari laporan keuangan, yang merupakan sumber utama informasi keuangan mengenai perusahaan Jones 2010: 370 untuk menilai kinerja perusahaan tersebut. Untuk menilai kinerja perusahaan, dapat digunakan rasio-rasio keuangan. Suatu rasio keuangan akan bermanfaat bila diinterpretasikan dalam perbandingan dengan 1 rasio tahun sebelumnya, 2 standar yang ditentukan sebelumnya, 3 dan rasio pesaing Wild, et. al., 2005: 38. Rasio Tingkat Pengembalian atas investasi Return On Investment dipergunakan untuk menilai kompensasi keuangan kepada penyedia pendanaan ekuitas dan utang Wild, et. al., 2005: 39. Rasio-rasio tersebut adalah, Return on Assets ROA dan Return on Equity ROE. Rasio Kinerja Operasi Operating Performance Ratio dipergunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui pendapatan yang diterima perusahaan dari aktivitas operasinya pada suatu periode tertentu. Adapun rasio yang digunakan untuk analisis adalah Gross Profit Margin GPM, Operating Profit Margin OPM, Net Profit Margin NPM, dan sebagainya. commit to user 9 Penelitian mengenai manajemen laba dalam akuntansi, menarik untuk dilakukan, karena manajemen laba itu sendiri sering dilakukan oleh manajemen perusahaan, yang biasanya untuk memenuhi kepentingan pribadi, akan tetapi keberadaannya tidak dapat dipersalahkan. Bukti dari pernyataan diatas adalah, banyaknya penelitian yang membahas tentang manajemen laba, antara lain: Aharony et. al. 1993, Gioielli dan Carvalho 2008, Teoh et. al. 1998, Irawan dan Gumanti 2010, Saiful 2004, Hastoro dan Yuliana 2010. Akan tetapi dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ditemukan bahwa hasilnya tidak konsisten, dan cenderung membingungkan. Beberapa penelitian terdahulu mengenai manajemen laba di sekitar IPO, telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut tidak bisa memberikan hasil yang konsisten, tetapi cenderung memberikan hasil yang berbeda-beda. Beberapa peneliti menyatakan menemukan adanya indikasi manajemen laba disekitar IPO, akan tetapi beberapa peneliti lain menyatakan bahwa hasil penelitiannya tidak menemukan adanya indikasi manajemen laba disekitar IPO. Aharony et. al. 1993 menyatakan bahwa manajemen laba tidak ditemukan dalam periode sekitar IPO. Penelitian yang dilakukan oleh Gioielli dan Carvalho 2008 tidak menemukan manajemen laba di periode sebelum dan setelah IPO, hanya menemukan manajemen laba tepat pada periode IPO dilakukan. Namun berbeda dengan penelitian Friedlan 1994 dalam Suprianto, 2008, dan Teoh et. al. 1998 yang menemukan bukti kuat bahwa manajemen laba dilakukan pada periode sebelum IPO. commit to user 10 Penelitian serupa juga dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia, antara lain, Joni dan Jogiyanto 2009, menemukan adanya manajemen laba pada periode sebelum dan setelah IPO, hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian Hastoro dan Yuliana 2010, yang menemukan bahwa manajemen laba lebih besar ketika periode satu tahun sebelum IPO, daripada satu tahun setelah IPO. Penelitian Saiful 2004 secara parsial menemukan bahwa dua tahun sebelum dan setelah IPO terdapat manajemen laba, akan tetapi pada periode satu tahun sebelum dan setelah IPO tidak ditemukan adanya indikasi manajemen laba. Penelitian Irawan dan Gumanti, 2010, serta Irawan dan Gumanti 2005, tidak menemukan adanya manajemen laba di sekitar IPO, dan mendukung hasil dari Aharony et. al., 1993. Penelitian mengenai evaluasi kinerja operasi disekitar periode IPO pernah dilakukan oleh Saiful 2004, Hastoro dan Yuliana 2010, dan Suprianto 2008, penelitian tersebut hanya membahas mengenai Return on Asset ROA saja, sebagai proksi kinerja operasi, padahal sebenarnya masih banyak rasio lain untuk menilai kinerja operasi perusahaan. Wild et. al. 2005 dalam bukunya menyatakan beberapa rasio profitabilitas yang dapat digunakan untuk melakukan analisis profitabilitas perusahaan, antara lain, ROA, ROE, GPM, OPM, dan NPM. Mengingat begitu pentingnya masalah manajemen laba bagi para stakeholder perusahaan yang melakukan IPO, dan masih adanya perbedaan hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai manajemen laba disekitar IPO, serta masih sedikitnya penelitian yang mengkaji tentang kinerja operasi commit to user 11 perusahaan dalam periode di sekitar IPO, menjadi motivasi dilakukannya penelitian ini. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai manajemen laba dan kinerja keuangan pada perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO, maka diambil sebuah judul “PRAKTIK MANAJEMEN LABA DAN EVALUASI KINERJA PERUSAHAAN DI SEKITAR INITIAL PUBLIC OFFERING” Studi kasus pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI tahun 2005-2009. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian Saiful 2004 yang meneliti mengenai hubungan manajemen laba dengan kinerja operasi dan return saham di sekitar IPO, dan penelitian Hastoro dan Yuliana 2010 yang meneliti masalah manajemen laba disekitar Penawaran Harga Saham Perdana pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu, 1 penelitian ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai manajemen laba dalam perusahaan yang melakukan IPO pada rentang waktu yang berbeda, yaitu tahun 2005-2009, dan melakukan evaluasi kinerja operasi dalam periode sebelum dan setelah IPO, 2 mengubah sampel, dengan tidak membedakan jenis perusahaan yang terdaftar di BEI agar sampel lebih luas, dan dapat digeneralisasi, 3 menambah variabel kinerja keuangan ROE Return on Equity, GPM Gross Profit Margin, OPM Operating Profit Margin, dan NPM Net Profit Margin sebagai proksi tambahan untuk menggambarkan kinerja operasi lebih mendalam. commit to user 12

B. Perumusan Masalah