PasalAyat Bermasalah Rekomendasi Munas Konbes NU 2012 Kempek Cirebon
II UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001
TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI A. Latar Belakang
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menjadi pintu masuk memperkuat neoliberalisme di Indonesia
yang memperkokoh watak kolonialisme dalam pengelolaan Mi- gas Nasional. Landasan yang digunakan adalah UU Migas No.
222001 yang menggantikan UU No. 44 Prp1960 dan UU No. 81971.
UU Migas tersebut disusun atas desakan International Mone- tary Fund IMF melalui Letter of Intent LOI sebagai kompensasi
dana pinjaman IMF untuk menanggulangi krisis moneter yang dialami Indonesia. Penyusunan RUU Migas dan peraturan pelak-
sanaannya Peraturan Pemerintah dibiayai oleh World Bank me- lalui USAID.
Sehigga RUU Migas kami istilahkan Jilid I yang diajukan oleh Mentamben Kuntoro Mangkusubroto pada era Presiden
Habibie ditolak oleh DPR. Meski dalam Pemandangan Umum- nya di DPR pada tanggal 1 Maret 1999 Mentamben Kuntoro
Mangkusubroto mengajukan dalil bahwa monopoli Pertamina
selama ini telah berdampak pada ineisiensi dan KKN. Di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, Mentamben Susilo
Bambang Yudhoyono mengajukan kembali RUU Migas Jilid I yang sudah ditolak DPR dalam bentuk RUU Migas Jilid II dengan
substansi yang sama dengan RUU Migas Jilid I. Namun penga- juan tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman
Wahid dan mentok di Sekneg dan tidak bisa diteruskan untuk dibahas di DPR. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid meng-
ganti Susilo Bambang Yudhoyono dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri ESDM.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan pada 23 Juli 2001, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro tetap dipertah-
ankan pada posisinya oleh Megawati Soekarnoputri. Dan di era Presiden Megawati RUU Migas yang kemudian menjadi UU No.
﷽
2012
222001 berhasil digolkan. Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri ESDM kemudian mengimplementasikan UU Migas No. 222001
hampir 9 tahun, yaitu di era Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perubahan Sistem Migas antara
lain: pertama, kuasa Pertambangan dicabut dari Pertamina. Yang berkontrak dengan Perusahaan Minyak AsingSwasta adalah
Pemerintah yang diwakili oleh Lembaga baru: BP Migas. Kedua, BP Migas berstatus Badan Hukum Milik Negara, se-
hingga penjualan migas bagian Negara harus dilakukan dengan menunjuk pihak Ketiga dan Blok produksi yang sudah selesai
Kontrak tidak akan pernah bisa diambil alihdioperasikan oleh BP Migas.
Ketiga , managementpengelolaan Cost Recovery dan assets
yang dibeli dengan dana cost recovery beralih dari Pertamina ke
BP Migas. Keempat, pertamina sebagai Perusahaan minyak yang ter-
integrasi, harus dipecah atas Perusahaan Hulu dan Perusahaan Hilir yang terpisah. Kelima, di hilir dibentuk BPH Migas sebagai
Regulator dan Perusahaan asing bisa masuk melalui izin dari Pemerintah dan Harga BBM dan Gas untuk dalam negeri dise-
rahkan ke mekanisme pasar, dsbnya.
Kemudian Pengelolaan Pertambangan umum non migas dalam UU Pertambangan No. 111967 menganut pola hubu-
ngan Bussines to Goverment dengan Perusahaan Tambang di- mana Pemerintah berkontrak dengan Perusahaan Tambang
Asing dalam bentuk Kontrak Karya CoW yang merupakan kelanjutan dari Sistem Konsesi Zaman Kolonial berdasarkan In-
dische Mijnwet 1899. Posisi Pemerintah ‘sejajar’ dengan Kon-
traktor. Kontraktor diwajibkan membayar Pajak dan Royalti PNBP sekitar 1 untuk emas. Seluruh isi Kontrak baru bisa di-
rubah setelah mendapat persetujuan kedua belah pihak, ter-
masuk kontrak yang menyangkut besaran royalti. Regulasi PP No. 132000 yang merubah royalti emas dari 1 menjadi 3.75
hingga saat ini tidak digubris oleh Pemegang Kontak Karya. Pemerintah tidak berdaya karena Pemerintah yang berkontrak.
Kedautan Negara hilang
Dengan Kontrak Karya dan sejenisnya PKP2B, management sepenuhnya ditangan Pemegang Kontrak. Pemegang Kontrak
“berkuasa penuh” atas wilayah konsesi.