Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Petugas Kesehatan terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi 0-7 Hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan

(1)

PENGARUH PERSEPSI IBU TENTANG PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA

BAYI 0-7 HARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN BELAWAN

T E S I S

Oleh

JASMI 0970320114/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF MOTHER’S PERCEPTION ABOUT THE ROLE OF HEALTH OFFICER ON THE GIVING OF HEPATITIS B IMMUNIZATION

IN THEBABY 0 – 7 DAYS OLD IN THE WORKING AREA OF MEDAN BELAWAN HEALTH CENTER

T H E S I S

By

JASMI 097032114/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PERSEPSI IBU TENTANG PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA

BAYI 0-7 HARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN BELAWAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JASMI 097032114/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PERSEPSI IBU TENTANG PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP

PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA BAYI 0-7 HARI DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS MEDAN BELAWAN Nama Mahasiswa : Jasmi

Nomor Induk Mahasiswa : 097032114

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Ritha F Dalimunthe, M.Si) (dr. Rumondang Pulungan, M.Kes Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 17 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, M.Si Anggota : 1. dr. Rumondang Pulungan, M.Kes

2. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si. 3. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PERSEPSI IBU TENTANG PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA

BAYI 0-7 HARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN BELAWAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

JASMI 097032113/IKM


(7)

ABSTRAK

Data Dinas Kesehatan Kota Medan (2010) menunjukkan bahwa dari 39 puskesmas yang ada di Kota Medan, cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari masih dibawah target 80 % yaitu sebesar 73,70 %, dengan cakupan imunisasi yang paling rendah di Puskesmas Medan Belawan yaitu 57,70 %.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan yaitu (customer, komunikator, motivator, fasilitator, dan konselor)terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan, yang dilaksanakan pada Januari 2011 sampai November 2011. Jenis penelitian bersifat survei eksplanatori, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi 0-7 hari yang berjumlah 85 orang, dan semuanya dijadikan sampel penelitian. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan sebagai motivator, fasilitator, komunikator dan

customer memiliki pengaruh terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan. Variabel persepsi ibu tentang tenaga kesehatan sebagai motivator memberikan pengaruh paling besar.

Diperlukan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas sebagai tenaga kesehatan seperti kemampuan berkomunikasi, khususnya tenaga kesehatan yang sejak masa kehamilan dan persalinan melakukan kontak langsung dengan ibu sampai proses pemberian imunisasi sehingga mereka memiliki kemampuan untuk memberikan motivasi dan meningkatkan persepsi ibu tentang peran petugas dalam upaya pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari.


(8)

ABSTRACT

The data of Medan District Health Office (2010) showedthat of 39 health centers in the city of medan, Hepatitis B immunization coverage 0 – 7 days old babies was 73.70%, and it was still under the target of 80%,withthe lowestimmunization coveragein theMedanBelawan Health Centerwas57.70

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the mother’s perception of the role of health officer(customers, communicators, motivators, facilitators, and counselors) on the giving of Hepatitis B immunization in the 0 – 7 days old baby in the working area of Medan Belawan Health Center, was conducted from Januari 2011 until November 2011. The population of this study were all of the 85 mothers with 0 – 7 days old babies and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews, and then were analyzed through multiple logistic regression tests.

%.

The result of this study showed that statistically the variable of mother’s perception about the role of health officers as customers, communicators, motivators, facilitators, and counselor had influence on the giving of Hepatitis B immunization in the 0 – 7 days old babies in the working area of Medan Belawan Health Center. The variable of mother’s perception about the role of health officer as motivator brought the biggest influenced.

The training is required as increased capacity of health officers such as the ability communication, especially those who have made a direct contact with the mothers since the mothers were pregnant, delivered their baby until the process of immunization giving, needs to be improved that the health officers can motivate and improve the mothers’ perception about the role of health officers in their attempt to give Hepatitis B immunization to the 0 – 7 days old babies.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala karunia dan nikmat-Nyapenulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis inidengan judul “Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Petugas Kesehatan terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi 0-7 Hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan”.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Komisi penguji I yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.


(10)

5. Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe. M.Siselaku komisi pembimbing I dan dr. Rumondang Pulungan, M.Kesselaku komisi pembimbing II yang telah memberi perhatian, kesabaran, dukungan dan pengarahan sejak penyusunan proposal hinggatesis ini selesai.

6. dr. Ria Masniari Lubis, M.Kes selaku pengujiII yang telah bersedia untuk memberikan masukan dan sarandemi menyempurnakan tesis ini.

7. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan

8. Teristimewa buat nenek yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materi dan senantiasa berdo’a dan pengertian sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

9. Kedua orang tua, abang, kakak, dan adik-adik yang penuh pengertian dan kesabaran, dan senantiasa berdo’a sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

10. Seluruh rekan-rekan mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini hingga selesai.

Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasanatas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan


(11)

dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2011 Penulis

Jasmi 097032114/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Jasmi,lahirpada tanggal 24 Januari 1985 di Tanjung Belit Kabupaten Bengkalis. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Sunawan dan Ibunda Kayati.

Penulis memiliki pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 023 Tg. Belit pada tahun 1992 dan diselesaikan tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) No 01 Lubuk Muda pada tahun 1998 dan diselesaikan tahun 2001, Sekolah Menengah Umum (SMU) Muhammadiyah Pekanbaru pada tahun 2001 dan selesai tahun 2004, D-III Akademi Kebidanan Poltekkes Pekanbaru pada tahun 2004 dan selesai tahun 2007, D-IV Bidan Pendidik Universitas Sumatera Utara pada tahun 2008 dan selesai tahun 2009. Kemudian penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dn Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Persepsi ... 10

2.2.Peran Tenaga Kesehatan ... 13

2.3. Imunisasi Hepatitis B ... 23

2.4. Landasan Teori ... 37

2.5. Kerangka Konsep ... 40

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

3.6. Metode Pengukuran ... 45

3.7. Metode Analisis Data ... 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.2. Analisi Univariat ... 51

4.3. Analisis Bivariat ... 62


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 71

5.1. Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Customerterhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari... 71

5.2. Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Komunikatorterhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari... 73

5.3. Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Motivatorterhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari... 75

5.4. Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Fasilitatorterhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari... 77

5.5. Pengaruh Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Konselorterhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari... 79

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

6.1. Kesimpulan ... 82

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA………. 84


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Jadwal Imunisasi Hepatitis B……….. 30 4.1. Karakteristik Ibu yang Memiliki Bayi 0-7 Hari Di Wilayah Kerja

Puskesmas Medan Belawan ... 52 4.2. Distribusi Jawaban Persepsi Ibu per Item tentang Peran Tenaga Kesehatan

sebagai Customer di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 54 4.3. Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Customer di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 55 4.4. Distribusi Jawaban Persepsi Ibu per Item tentang Peran Tenaga Kesehatan

sebagai Komunikator di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan .... 56 4.5. Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Komunikatordi Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 57 4.6. Distribusi Jawaban Persepsi Ibu per Item tentang Peran Tenaga Kesehatan

sebagai Motivator di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan... 58 4.7. Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Motivator di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 58 4.8. Distribusi Jawaban Persepsi Ibu per Item tentang Peran Tenaga Kesehatan

sebagai Fasilitator di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 59 4.9. Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Fasilitator di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 60 4.10. Distribusi Jawaban Persepsi Ibu per Item tentang Peran Tenaga Kesehatan

sebagai Konselor di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 61 4.11. Distribusi Persepsi Responden tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Konselor di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 62 4.12. Distribusi Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 Hari di Wilayah


(16)

4.13. Hubungan Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai Customer

dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 63 4.14. Hubungan Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Komunikator dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan... 64 4.15. Hubungan Persepsi Ibu tentang PeranTenaga Kesehatan sebagai

Motivatordengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 65 4.16. Hubungan Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Fasilitatordengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 67 4.17. Hubungan Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan sebagai

Konselordengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan ... 68 4.18. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Persepsi Ibu tentang Peran PTenaga

Kesehatan terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Belawan... 69


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 83

2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 93

3 Hasil Out Put ... 94

4 Master Data Penelitian ... 106

5 surat survei pendahuluan ... 117

6 Surat Izin Penelitian ... 118

7 Surat Penyelesaian Penelitian ... 119

5. USU ... 155


(19)

ABSTRAK

Data Dinas Kesehatan Kota Medan (2010) menunjukkan bahwa dari 39 puskesmas yang ada di Kota Medan, cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari masih dibawah target 80 % yaitu sebesar 73,70 %, dengan cakupan imunisasi yang paling rendah di Puskesmas Medan Belawan yaitu 57,70 %.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan yaitu (customer, komunikator, motivator, fasilitator, dan konselor)terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan, yang dilaksanakan pada Januari 2011 sampai November 2011. Jenis penelitian bersifat survei eksplanatori, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi 0-7 hari yang berjumlah 85 orang, dan semuanya dijadikan sampel penelitian. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan sebagai motivator, fasilitator, komunikator dan

customer memiliki pengaruh terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan. Variabel persepsi ibu tentang tenaga kesehatan sebagai motivator memberikan pengaruh paling besar.

Diperlukan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas sebagai tenaga kesehatan seperti kemampuan berkomunikasi, khususnya tenaga kesehatan yang sejak masa kehamilan dan persalinan melakukan kontak langsung dengan ibu sampai proses pemberian imunisasi sehingga mereka memiliki kemampuan untuk memberikan motivasi dan meningkatkan persepsi ibu tentang peran petugas dalam upaya pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari.


(20)

ABSTRACT

The data of Medan District Health Office (2010) showedthat of 39 health centers in the city of medan, Hepatitis B immunization coverage 0 – 7 days old babies was 73.70%, and it was still under the target of 80%,withthe lowestimmunization coveragein theMedanBelawan Health Centerwas57.70

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the mother’s perception of the role of health officer(customers, communicators, motivators, facilitators, and counselors) on the giving of Hepatitis B immunization in the 0 – 7 days old baby in the working area of Medan Belawan Health Center, was conducted from Januari 2011 until November 2011. The population of this study were all of the 85 mothers with 0 – 7 days old babies and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews, and then were analyzed through multiple logistic regression tests.

%.

The result of this study showed that statistically the variable of mother’s perception about the role of health officers as customers, communicators, motivators, facilitators, and counselor had influence on the giving of Hepatitis B immunization in the 0 – 7 days old babies in the working area of Medan Belawan Health Center. The variable of mother’s perception about the role of health officer as motivator brought the biggest influenced.

The training is required as increased capacity of health officers such as the ability communication, especially those who have made a direct contact with the mothers since the mothers were pregnant, delivered their baby until the process of immunization giving, needs to be improved that the health officers can motivate and improve the mothers’ perception about the role of health officers in their attempt to give Hepatitis B immunization to the 0 – 7 days old babies.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seseorang untuk menuju sehat bukanlah hal yang mudah, apalagi tanpa adanya kesadaran dan kemauan untuk merubah kebiasaan buruk menjadi yang lebih baik.Melalui interakasi diharapkan para tenaga kesehatan khususnya promosi kesehatan mampu meyakinkan dan menyalurkan berbagai informasi penting kepada masyarakat untuk mendukung tercapainya pembangunan kesehatan.

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dari upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

Imunisasi merupakan salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian zat kekebalan tubuh, yang harus dilaksanakan secara teratur, menyeluruh dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan terhadap kesehatan.WHO (2004) melalui program The Expanded Program On Imunisation (EPI) merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit sebagai imunisasi rutin di Negara berkembang yaitu : BCG, Polio, Campak, DPT, dan Hepatitis B.


(22)

Pemberian imunisasi Hepatitis B di Indonesia mulai tahun 1997 dan telah masuk ke dalam program imunisasi rutin secara nasional yang diberikan sebanyak tiga kali dengan penyuntikan pertama pada bayi umur 3 (tiga) bulan, namun mengacu kepada surat No : 168/MENKES/I/2003 tentang Perubahan Kebijakan Teknis Imunisasi Hepatitis B, diberikan pada bayi umur 0 – 7 hari, dengan menggunakan

prefilled syringe (uniject HB) yaitu alat suntik sekali pakai yang sudah steril dan sudah diisi vaksin hepatitis B dengan isi kemasan 0.5 cc untuk satu dosis.

Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.Penyakit Hepatitis B juga merupakan infeksi virus yang paling banyak tersebar dan dapat menimbulkan infeksi yang berkepanjangan, sirosis hati, kanker hati hingga kematian.

Berdasarkan data WHO Tahun 2008, penyakit Hepatitis B menjadi pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China dan bagian lain di Asia termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita Hepatitis B ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah penderita 13 juta orang, sementara di Jakarta diperkirakan satu dari 20 penduduk menderita penyakit Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi VHB sejak usia kanak-kanak. Sejumlah negara di Asia, 8-10 % populasi orang menderita Hepatitis B kronik (Sulaiman, 2010).

Menurut Ningsih (2010) mengatakan bahwa mayoritas pengidap Hepatitis B terdapat di negara berkembang. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, prevalensi penduduk yang pernah terinfeksi virus


(23)

Hepatitis B adalah sebesar 34% dan cenderung meningkat karena jumlah pengidapnya terus bertambah terlebih lagi terdapat carrier atau pembawa penyakit dan dapat menjadi penyakit pembunuh diam-diam (Silent Killer) bagi semua orang tanpa kecuali.

Cakupan imunisasi hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari secara nasional masih belum mencapai hasil yang optimal, untuk itu perlu diupayakan agar kerjasama kegiatan Kunjungan Neonatal 1 (KN-1) sekaligus memberikan imunisasi hepatitis B dengan uniject HB dilakukan bersamaan pada saat kunjungan rumah. Mengingat perubahan teknis imunisasi Hepatitis B tersebut merupakan hal yang baru bagi masyarakat (menyuntik bayi usia 0-7 hari), tentunya perlu sosialisasi kepada masyarakat dan perlu dukungan berbagai pihak khususnya dari tenaga kesehatan.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rahkmat, 2007). Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi.Oleh sebab itu indikator perilaku seseorang sangat berkaitan dengan persepsi (Notoatmodjo, 2007).

Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat (Azwar, 1996). Tenaga kesehatan berdasarkan pekerjaanya adalah tenaga medis, dan tenaga paramedis seperti tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan lain sebagainya. (Muninjaya, 2004).


(24)

Dokter sebagaitenaga kesehatan mempunyai peranan dalam proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit (sarwono, 2007), tenaga kesehatan menurut Potter dan Perry (2007) terdiri dari empat kelompok profesi yaitu bidan, perawat, dokter, dan profesi kesehatan lain seperti ahli gizi, dan lain sebagainya. Sebagai pelaksana pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dapat berperan sebagai

customer(pemberi pelayanan kepada masyarakat), komunikator (memberikan informasi kesehatan), motivator (memberikan motivsai atau dukungan), fasilitator (memberikan fasilitas pelayanan kesehatan, dan konselor (memberikan bantuan pasien dalam memecahkan masalah atau membuat keputusan).

Menurut Helmi (2008) dalam penelitiannya menyebutkan ada hubungan antara faktor internal (pengetahuan, tingkat pendidikan) dan faktor eksternal (peran tenaga kesehatan) dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi Hepatitis B sedangkan faktor internal (kepercayaan) dan faktor eksternal (pendapatan) secara statistik tidak terdapat adanya hubungan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2009) menyatakan bahwa adanya pengaruh antara penolong persalinan terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari, bahwa ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan memiliki peluang 7 kali untuk memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari. Variabel jumlah anak, tempat persalinan tidak menunjukkan adanya pengaruh dengan pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari.

Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), perilaku seseorang dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan


(25)

faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, perilaku para tenaga kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku, misalnya seseorang ibu yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena ibu tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya.Dalam hal ini peran seorang ibu juga sangat penting, karena sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya sehingga dapat menjaga kesehatan anaknya.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari di Indonesia sebesar 59,19% (Depkes RI, 2009). Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera Utara adalah sebanyak 48 kasus sedangkan pada Tahun 2009 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera Utara adalah sebanyak 64 kasus. Ini berarti menunjukkan adanya kenaikan kejadian Hepatitis B.

Cakupan imunisasi di Sumatera Utara secara umum cukup tinggi, tetapi tidakmerata setiap kabupaten, ada di antaranya di bawah 80 %. Hal ini memungkinkanterjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit misalnya campak, polio, tetanus dan sebagainya. Sedangkan infeksi hepatitis B pada bayi dan balita menyebabkan terjadinya infeksi kronis yang dapat menimbulkan cirrhosis hepatis


(26)

dan kanker hati pada saat ia dewasa, sehingga bila cakupan imunisasinya rendah, hal ini juga berpotensi untukmenimbulkan KLB di kemudian hari.

Pelaksanaan program imunisasi merupakan program penting dalam upaya pencegahangn primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular, pelaksanaan imunisasi menjadi kurang efektif bila banyak yang tidak imunisasi. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan imunisasi menurut WHO antara lain pengetahuan ibu, lingkungan dan logistik, urutan anak dalam keluarga, jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap tenaga kesehatan, dan pembiayaan. Sebaliknya faktor pendorong pelaksanaan imunisasi adalah tersedianya tenaga kesehatan, tersedianya logistik vaksin uniject hepatitis B dan pembiayaan gratis.

Peran ibu dalam pelaksanaan program imunisasi hepatitis B sangat penting. Hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan oleh oleh Siswandoyo dan Putro (2003) yang menyatakan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga, dan pelyanan tenaga kesehatan. selain itu penerimaan ibu terhadap imunisasi bayi dapat disebabkan adanya faktor di luar pengetahuan atau pemahaman masyarakat tentang imunisasi. Faktor tersebut berupa anjuran dari pimpinan formal maupun non formal dimasyarakat serta anjuran dari tenaga kesehatan.

Persepsi ibu yang salah tentang imunisasi selain pengetahuan dan pemahaman ibu tentang imunisasi peran tenaga kesehatan juga sangat mempengaruhi.Karena dengan adanya peran dari tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan informasi


(27)

dan mendorong ibu untuk mengimunisasi bayinya sehingga ibu juga memiliki persepsi yang baik tentang tenaga kesehatan.Namun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan masalah rendahnya peran petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan misalnya pasien jarang sekali diberi kesempatan mengemukan pendapat dan perasaannya. Kemudian seringkali petugas memberikan terlalu banyak informasi dan berbicara dengan gaya merendahkan pasien, sehingga pasien beranggapan atau memiliki persepsi yang tidak baik terhadap peran tenaga kesehatan itu sendiri. Hal ini juga sama dengan hasil survei awal yang dilakukan peneliti karena kebanyakan ibu merasa tenaga kesehatan kurang memberikan kesempatan kepada ibu untuk mengemukakan pendapatnya. Dari hasil survei yang dilakukan peneliti, gambaran persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan di puskesmas Medan Belawan masih kurang karena ada beberapa ibu menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan bahkan tidak tahu tentang pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari.

Pada data cakupan imunisasi yang ada di Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2010, bersumber dari laporan semua puskesmas yang ada di Kota Medan yang melaporkan hasil kegiatan imunisasi puskesmas dan dari pelayanan swasta yang ada di wilayah kerja puskesmas, dikatakan bahwa dari 39 Puskesmas yang ada di kota Medan hasil cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari masih dibawah target 80 % yaitu sebesar 73,70 % dengan cakupan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari di puskesmas Medan Belawan merupakan puskesmas dengan cakupan imunisasi yang paling rendah yaitu 57,70 %.


(28)

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan terhadap pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.

1.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh persepsi ibu tentangperan tenaga kesehatan (customer, komunikator, motivator, fasilitator, dan konselor)terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan yaitu (customer, komunikator, motivator, fasilitator, dan konselor)terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh persepsi ibu tentangperan tenaga kesehatan yaitu (customer, komunikator, motivator, fasilitator, dan konselor)terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari diwilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.


(29)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Puskesmas

Dari hasil penelitian diketahui bahwa persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan sangat mempengaruhi dalam pemberian imunisasi untuk itu diharapkan bagi pihak puskesmas untuk meningkatkan peran tenaga kesehatan dalam memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari.

2. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh peran tenaga kesehatan terhadap pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Menurut Fishbein dan Azjen (1975) menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setip perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.

Winardi (2001) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses internal yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus, yang mungkin kita hadapi dim lingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimulus yang di seleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada setiap individu sehingga secara karakteristik menghasilkan persepsi yang berbeda-beda.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) hingga manusia memperoleh pengetahuan baru (Rakhmat, 2007).

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal


(31)

yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2002).

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat pengelihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2007).

Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun objeknya sama (Notoatmodjo, 2007)

Beberapa pengertian persepsi juga dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain:

1) Menurut David Krech (1962), persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataan.

2) Menurut Duncan (1981), persepsi dapat dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu perilaku khususnya psikologi, istilah ini dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat atau


(32)

merasakan sesuatu. Persepsi yang signifikan adalah jika diperluas di luar jangkauan lima indera dan merupakan suatu unsur yang penting di dalam penyesuaian perilaku manusia.

3) Meurut Luthans (1981), persepsi lebih kompleks dan luas dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan, dan penafsiran. Dengan kata lain proses persepsi dapat menambah, dan mengurangi kejadian senyatanya yang diinderakan oleh seseorang

Menurut Hidayat (2009), persepsi dapat didefinisikan sebagai proses seseorang memahami lingkungan, meliputi pengorganisasian dan penafsiran rangsang dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi merupakan proses kognitif yaitu menginterpretasi obyek, simbol dan orang dengan pengalaman yang relevan. Persepsi juga merupakan proses ekstraksi informasi persiapan untuk berespon. Persepsi menerima, memilih, mengatur, menyimpan dan menginterpretasi rangsang menjadi gambaran dunia yang utuh dan berarti. Persepsi dapat terjadi saat rangsang mengaktifkan indera, atau pada situasi dimana terjadi ketidakseimbangan pengetahuan tentang obyek, simbol atau orang akan membuat kesalahan persepsi. Persepsi ini akan memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku manusia.

2.2.Peran Tenaga Kesehatan

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Depdikbud, 2001).Peran adalah suatu pola tingkah laku,


(33)

kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan di pegang kedudukan.Jadi peran menggambarkan prilaku yang seharusnya di perlihatkan oleh individu pemegang peran tersebut dalam situasi yang umum (Sarwono, 2007).

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 1995).

Menurut Horton dan Hunt (1993) dalam Sudarma (2008), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status. Seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar – benar sama.

Ahli sosiologi menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku (actor) yang menjalankan berbagai peranan.Suatu peranan, apakah dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya mempunyai kewajiban atau paling tidak diharapkan untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan peranannya (Muzaham, 2007).


(34)

Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat (Azwar, 1996).Tenaga kesehatan berdasarkan pekerjaanya adalah tenaga medis, dan tenaga paramedic seperti tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan lain sebagainya.Upaya pengembangan pelayanan puskesmas adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan.Hal ini diwujudkan dengan meningkatkan keterampilan staf dan motivasi kerjanya, memberikan pelayanan, dan menyediakanperalatan dan obat-obatanyang mencukupi sesuai kebutuhan pelayanan.Ada dua aspek mutu pelayanan kesehatan yang perlu dilakukan di puskesmas yaitu quality of care dan quality of service, namun keduanya saling terkait.Quality of careadalah lebih banyak terkait dengan ketrampilan kinerja klinis staf medis dan paramedis dan jika mutu pelayanan ini kurang akan menjadi tanggungjawab ikatan profesi untuk meningkatkannya. Sedangkan Quality of service

lebih banyak terkait dengan manajemen program dan pelayanan kesehatan, misalnya kualitas dan jumla sarana dan prasarana kesehatan, mutu kebijakan kesehatan, dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan.Peningkatan kualitas dimulai dari kebutuhan dan berakhir pada persepsi pelanggan.Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan pada sudut pandang atau persepsi pelanggan (Muninjaya, 2004).

Menurut Wijono (1999), tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu


(35)

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi dan tenaga ketehnisian medis, namun dalam penelitian ini tenaga kesehatan yang dimaksud adalah seorang koordinator imunisasi yang diberikan tugas untuk memberikan pelayanan kesehatan tentang imunisasi.

Peran tenaga kesehatan dalam memelihara dan melindungi kesehatan adalah sebagai customer, komunikator, fasilitator, motivator dan konselor (Azwar,1996; Herawati, 2006; Notoatmodjo 2007). Diharapkan tenaga kesehatan melaksanakan ke lima peran ini dalam melakukan pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0 -7 hari.

Adapun peran tenaga tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:

2.2.1. Customer

Menurut Muninjaya (2004), tenaga kesehatan harus menyadari peranannya sebagai customer yaitu staf yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medis dan kesehatan kepada masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan. Sebagai pemberi pelayanan, petugas membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Petugas memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan social.Pemberian asuhan memberikan bantuan kepada kepada klien dan keluarga dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan energi dan waktu yang minimal (Potter dan perry, 2007).


(36)

2.2.2. Komunikator

Komunikator adalah orang ataupun kelompok yang menyampaikan pesan ataupun stimulus kepada orang atau pihak lain dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan tersebut memberiknn respon. Menurut Mundakir (2006), tenaga kesehatan secara fisik dan psikologis harus hadir secara utuh pada waktu berkomunikasi dengan klien. Petugas tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap dan penampilan dalam berkomunikasi.Sebagai pelaku aktif dalam komunikasi, peran komunikator sangatlah vital. Komunikasi dapat berjalan lancar dan efektif tidak jarang karena faktor komunikator yaitu:

1. Penampilan yang baik, sopan dan menarik sangat berpengaruh dalam proses komunikasi. Seorang yang menerima pesan adakalanya yang pertama diperhatikan adalah penampilan komunikator. Sebagai seorang tenaga kesehatan, penampilan yang bersih, sopan dan menarik sangat perlu dalam menjalankan perannya memberikan asuhan pelayanan kebidanan

2. Penguasaan masalah. Sebelum melakukan komunkasi seorang komunikator hendaknya paham dan yakin betul bahwa apa yang akan disampaikan merupakan permasalahan yang penting. Penguasaan masalah juga dapat meningkatkan komunikasi terhadap komunikator.

3. Penguasaan bahasa. Proses komunikasi akan berjalan lambat apabila bahasa yang digunakan kurang sesuai dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh penerima


(37)

pesan. Penguasaan bahasa yang kurang baik dapat menyebabkan salah penafsiran.

Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran yang lain. Pelayanan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, komunikasi antar profesi kesehatan lainnya.Memberi perawatan yang efektif, pembuatan keputusan dengan klien dan keluarga atau mengajarkan sesuatu kepada klien, tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas.Kualitas komunikasi merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan klien (Potter dan Perry, 2007).

Tenaga kesehatan sebagai komunikator seharusnya memberikan informasi secara jelas kepada pasien. Pemberian informasi sangat diperlukan karena menurut Notoatmodjo (2003), komunikasi diperlukan untuk mengkondisikan faktor kurangnya pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.Untuk itu diperlukan komunikasi yang efektif dari tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan harus mengevaluasi pemahaman ibu tentang informasi yang diberikan.Juga memberikan pesan kepada ibu apabila terjadi efek samping yang tidak bisa ditanggulangi segera datang untuk konsultasi ke petugas (Mandriwati, 2008).

2.2.3. Motivator

Menurut Azwar (1996) dalam Maulana (2009) Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang hingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi adalah upaya untuk menimbulkan


(38)

rangsangan, dorongan ataupun pembangkit keinginan seseorang maupun sekelompok masyarakat tersebut sehingga mau berbuat dan bekerja sama secara optimal, melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Motivasi juga didefinisikan sebagai kekuatan dari dalam individu yang mempengaruhi kekuatan atau petunjuk perilaku, motivasi itu mempunyai arti mendorong/menggerakkan seseorang untuk berperilaku, beraktivitas dalam mencapai tujuan (Widayatun, 1999).Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berprilaku.Motivator adalah orang yang memberikan motivasi atau dorongan kepada seseorang untuk berperilaku (Santoso, 2005).

2.2.4. Fasilitator

Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan atau menyediakan fasilitas (Santoso, 2005).Tenaga kesehatan harus dapat berperan sebagai fasilitator bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.Sebagai fasilitator tenaga kesehatan harus mampu menentukan kelompok sasaran sehingga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi (Depkes RI, 2000).

Menurut Notoatmodjo (2007), tenaga kesehatan harus memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program pemberdayaan.

2.2.5. Konselor

Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman terhadap


(39)

fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien (Depkes RI, 2002). Tujuan umum pelaksanaan konseling adalah membantu ibu mencapai perkembangan yang optimal dalam batas-batas potensi yang dimiliki dan secara khusus bertujuan untuk mengarahkan perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku sehat, membimbing ibu belajar membuat keputusan dan membimbing ibu mencegahtimbulnya masalah (Mandriwati, 2008).

Pada umumnya jasa konseling diperlukan apabila ada pihak yang mempunyai kesulitan tentang sesuatu dan berharap dengan konsultasi kesulitan tersebut dapat teratasi.Konseling adalah bagian dari peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan kepada klien dalam memberikan pelayanan yang optimal (Mundakir, 2006).Konseling berbeda dengan komunikasi infomasi edukasi karena konseling merupakan upaya untuk menciptakan perubahan perilaku yang dilaksanakan secara individu atau kelompok dengan menggunakan komunikasi efektif, untuk mengutarakan permasalahan sesuai dengan kondisi sasaran sampai sasaran merasakanpermasalahannya dan membimbing dalam pelaksanaannya (Mandriwati, 2008).

Proses konseling terdiri dari 4 unsur kegiatan yaitu pembinaan hubungan baik, penggalian informasi (identifikasi masalah, kebutuhan, perasaan, kekuatan diri, dan sebagainya) dan pemberian informasi sesuai kebutuhan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, perencanaan dan menindaklanjuti pertemuan (Depkes RI, 2002).

Langkah-langkah pelaksanaan konseling menurut Mandriwati (2008) adalah tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.Tahap persiapan yaitu menyiapkan ruangan


(40)

yang kondusif, menyiapkan alat-alat peraga sesuai dengan kebutuhan dan menyiapkan alat tulis, catatan dan kartu ibu sesuai dengan kebutuhan. Tahap pelaksanaan konseling disingkat dengan GATHER yaitu greet (menyapa ibu untuk memulai percakapan dan menciptakan suasana yang akrab), ask (menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi), tell (memberi informasi tentang cara atau metode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah), help (yaitu membantu ibu memilih cara yang tepat untuk mengatasi permasalahannya sesuai dengan kemampuan ibu), explain (menjelaskan secara rinci tehnik pelaksanaan cara-cara yang dipilih) dan return (membuat kesepakatan dengan ibu untuk pertemuan berikutnya untuk mengevaluasi keberhasilan cara-cara pemecahan masalah yang telah dilaksanakan) (Mandriwati, 2008).

Tenaga kesehatan harus mampu menjadi konselor untuk menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan ditengah-tengah masyarakat. Sebagai konselor petugas harus mampu meyakinkan ibu bahwa ia berada dalam asuhan orang yang tepat sehingga ibu mau berbagi cerita seputar permasalahan kesehatan yang dialaminya dan ibu mau menerima asuhan yang diberikan (Simatupang, 2008).

Konselor yang baik adalah yang mau mengajar dari dan melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau mendengarkan dan sabar, optimis, respek, terbuka terhadap pandangan dan interaksi yang berbeda, tidak menghakimi, dapat menyimpan rahasia, mendorong pengambilan keputusan, memberi dukungan, membentuk


(41)

dukungan atas dasar kepercayaan, mampu berkomunikasi, mengerti perasaan dan kekhawatiran orang lain dan mengerti keterbatasan mereka (Simatupang, 2008).

2.2.6. Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (Sarwono, 2004).Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Menurut Notoatmodjo (2007) setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya. Perilaku seperti inilah yang disebut dengan praktik kesehatan.Oleh sebab itu indicator praktik kesehatan ini sangat berkaitan dengan persepsi.

Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Menurut Lawrence Green (1980), perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

1. Faktor Predisposisi (Predisposing factors)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social, ekonomi dan sebagainya.Faktor- faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku kesehatan, maka sering disebut sebagai faktor pemudah.


(42)

2. Faktor pemungkin (Enabling Factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung.Fasilits ini pada hakekatnya mendukung untuk mewujudkan perilaku kesehatan, maka faktor-fakor ini disebut dengan faktor pendukung atau faktor pemungkin.

3. Faktor Penguat atau Pendorong (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para tenaga kesehatan.Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.Untuki berperilau sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan juga perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan terlebih lagi para tenaga kesehatan.disamping itu undang-undng juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut (Notoatmojdo, 2007).

2.3. Imunisasi Hepatitis B 2.3.1. Pengertian imunisasi

Imunisasi salah satu cara yang paling efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah


(43)

suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 2000).

Menurut Musa dalam Mirzal (2008) Imunitas dalam ilmu kedokteran adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Oleh karena itu imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga apabila seseorang terpapar antigen yang serupa maka tidak akan pernah terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2001).

2.3.2. Program Imunisasi

Program imunisasi di Indonesia telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar khususnya di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi


(44)

dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenal kan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2000).

Cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4% pada tahun 1984.Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989.Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin .Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur.

Pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI)

yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990.Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990.Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000).


(45)

2.3.3. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit yang dapat menyerang anak-anak.Hal ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sedini mungkin kepada bayi dan anak-anak. Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita anak-anak pra sekolah.

Pencapaian program PD3I perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi.Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada.Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.

Menurut Sarwono (1998), pemantauan yang dilakukan oleh petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi adalah sebagai berikut : Pemantauan ringan adalah memantau apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril, apakah diantara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

Cakupan imunisasi dapat dilakukan dengan cara memantau cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing


(46)

desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target, berarti program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 50-75% dari target, berarti program cukup berhasil dan bila garis pencapaian dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berarti program belum berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten.Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu mempertimbangkan pula memonitoring evaluasi pemakaian vaksin (Notoatmodjo, 2003).

2.3.4. Imunisasi Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu (1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan.Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg ibu tidak mengganggu respons terhadap vaksin (Wahab, 2002).

Vaksin Hepatitis B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah :Alat suntik (spluit dan jarum) sekali dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut:


(47)

a. Isi kemasan 0,5 cc

b. Ukuran jarum 25 G x 5/8”

c. Dimensi; panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject

e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject-Hb 12 water pack.

Kemudian uniject ini adalah alat suntik yang tidak perlu diisi vaksin oleh petugas sebelum disuntikan, karena sudah terisi dari pabriknya, alat suntik yang tidak perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah strelil dari pabriknya, alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik hanya dapat dipakai satu kali saja.

Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, di samping itu harganya yang relatif mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan. Vaksin Hepatitis B (hepB) diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan.Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).


(48)

2.3.5. Program Imunisasi Hepatitis B di Indonesia

Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B 0-7 hari dimulai sejak tahun 2005 dengan memberikan vaksin hepB-O monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, pada Tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tujuan vaksin hepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP (Difteria, Tetanus, Pertusis Whole cell) untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah (Hadinegoro, 2008).Pada umumnya bayi mendapatkan imunisasi Hepatitis B melalui puskesmas, rumah sakit, praktik dokter dan klinik (Dalimartha, 2004).

Pemberian imunisasi hepatitis B segera setelah lahir di Indonesia masih sulit. Kesulitan itu antara lain karena masyarakat belum biasa menerima penyuntikan pada bayi baru lahir dan kontak tenaga kesehatan dengan bayi baru lahir kurang karena sebagian persalinan masih ditolong oleh dukun (Depkes RI, 2000). Koordinasi pelaksanaan imunisasi hepatitis B dilakukan oleh petugas KIA dan imunisasi.Pemberian HB 0-7 hari menjadi kewenangan petugas imunisasi. Penjangkauan bayi baru lahir dengan memantau kohort ibu hamil yang dimulai saat ANC. Persalinan yang ditolong oleh nakes, dosis pertama imunisasi hepatitis B diberikan segera setelah lahir sedangkan persalina yang ditolong oleh dukun,


(49)

penjangkauannya berdasarkan laporan keluarga/kader/dukun kepada nakes/BDD (Depkes RI, 2002).

2.3.6. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B

Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum

Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

2. Tujuan khusus

a. Pemberian dosis pertama dari vaksin hepB kepada bayi sedini mungkin sebelum berumur 7 hari.

b. Memberikan imunisasi Hepatitis B sampai 3 dosis pada bayi

2.3.7. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat :

1. Minimal diberikan sebanyak 3 kali .

2. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir.

3. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling optimal.


(50)

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :

1. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir. 2. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1

yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Umur Bayi Imunisasi Kemasan

Saat lahir Hep B-0 Uniject (hepB-monovalen)

2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1

3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2

4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan adalah :

1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya mendapatkan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka segera berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).

2. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 mL) intramuskular dan


(51)

disuntikkan pada sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.

3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan.

4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun ( Wahab, 2002).

2.3.8. Kontraindikasi dan Efek Samping

Vaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan.Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari (Dalimartha, 2004).

2.3.9. Faktor yang Berhubungan dengan pemberian Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi merupakan program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan, logistik, urutan anak dalam keluarga, jumlah anggota


(52)

keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap tenaga kesehatan, pembiayaan dan pertimbangan hukum.

Gust (2004), menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi.Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orang tuauntuk mengimunisasi bayinya jika mempunyai bayi lagi (sikap), ketidakyakinan orang tua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan), dan pernah menolak bayinya di imunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi.Selain itu faktor sosial ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan, dan jumlah balita dalam keluarga juga ikut memberikan kontribusi terhadap status imunisasi bayi.Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak.Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan.Karakteristik ibu yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi anak adalah ibu kulit hitam, janda, berpendidikan rendah, dan hidup dibawah garis kemiskinan (Luman, 2003).

Siswondoyo dan Putra (2003), melakukan survey terhadap ibu-ibu anak usia 12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga, dan pelayanan petugas imunisasi.


(53)

2.3.10. Hepatitis B

Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver).Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007).

2.3.11.Etiologi

Hepatitis B terjadi karena disebabkan oleh VHB yang terbungkus serta mengandung genoma DNA (Deoxyribonucleic acid) melingkar. Virus ini merusak fungsi liver dan terus berkembang biak dalam sel-sel hati (Hepatocytes). Akibat serangan ini sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan.Kalau berhasil maka virus dapat terbasmi habis. Tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis (si pasien sendiri menjadi carrier atau pembawa virus seumur hidupnya). Dalam seluruh proses ini liver mengalami peradangan (Misnadiarly, 2007).

2.3.12.Sumber Penularan

VHB mudah ditularkan kepada semua orang.Penularannya dapat melalui darah atau bahan yang berasal dari darah, cairan semen (sperma), lendir kemaluan wanita (Sekret Vagina), darah menstruasi. Dalam jumlah kecil HBsAg dapat juga ditemukan pada Air Susu Ibu (ASI), air liur, air seni, keringat, tinja, cairan amnion dan cairan lambung (Dalimartha, 2004).


(54)

2.3.13.Cara Penularan

Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

a. Transmisi vertikal

Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal).VHB ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal. Penularan cara ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

b. Transmisi horisontal

Adalah penularan atau penyebaran VHB dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut.Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi

carrier seumur hidup bahkan nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati. Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.3.14.Masa Inkubasi

Masa inkubasi (saat terinfeksi sampai timbul gejala) sekitar 24-96 minggu (Misnadiarly, 2007).Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa masa inkubasi VHB berkisar dari 15–180 hari (rata-rata 60-90 hari).


(55)

2.3.15.Gejala dan Tanda

Gejala penyakit Hepatitis B ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia pasien saat terinfeksi, kondisi kekebalan tubuh dan pada tingkatan mana penyakit diketahui. Gejala dan tanda antara lain:

a. Mual-mual (Nausea)

b. Muntah – muntah (Vomiting) disebabkan oleh tekanan hebat pada liver sehingga membuat keseimbangan tubuh tidak terjaga

c. Diare

d. Anorexia yaitu hilangnya nafsu makan yang ekstrem dikarenakan adanya rasa mual

e. Sakit kepala yang berhubungan dengan demam, peningkatan suhu tubuh f. Penyakit kuning (Jaundice) yaitu terjadi perubahan warna kuku, mata, dan kulit

2.3.16.Kelompok yang Rentan

Adapun kelompok yang rentan terkena Hepatitis B adalah : a. Anak yang baru lahir dari ibu yang terkena Hepatitis B

b. Tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita Hepatitis B

c. Mereka yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.3.17. Prognosa

Seseorang yang terinfeksi VHB maka proses perjalanan penyakitnya tergantung pada aktivitas sistem pertahanan tubuhnya. Jika sistem pertahanan tubuhnya baik maka infeksi VHB akan diakhiri dengan proses penyembuhan. Namun,


(56)

bila sistem pertahanan tubuhnya terganggu maka penyakitnya akan menjadi kronik. Penderita Hepatitis B Kronik dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati

(Karsinoma Hepatoseluler).Sirosis dan kanker hati sering menimbulkan komplikasi berat berupa pendarahan saluran cerna hingga Koma Hepatik (Dalimartha, 2004).

2.3.18. Diagnosa

Diagnosa yang dapat dilakukan yaitu serologi (test darah) dan biopsi liver (pengambilan sampel jaringan liver).Bila HBsAg positif maka orang tersebut telah terinfeksi oleh VHB (Misnadiarly, 2007).

2.3.19.Pencegahan Hepatitis B

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh yang diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008).

Program imunisasi di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Imunisasi Wajib

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG (Bacille Calmette Guerin), Polio, Hepatitis B, DTP (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan campak.

2. Imunisasi yang Dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas.Imunisasi yang dianjurkan adalah Hib (Haemophillus Influenza


(57)

Tipe b), pneumokokus, influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella), tifoid, Hepatitis A, varisela, rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Hadinegoro, 2008).

2.4. Landasan Teori

Ahli sosiologi menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku (actor) yang menjalankan berbagai peranan.Suatu peranan, apakah dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya mempunyai kewajiban atau paling tidak diharapkan untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan peranannya (Muzaham, 2007).

Peran tenaga kesehatan dalam memelihara dan melindungi kesehatan adalah sebagai customer, komunikator, fasilitator, motivator dan konselor (Azwar,1996; Herawati, 2006; Notoatmodjo 2007).

Pemberian imunisasi diperlukan untuk mencegah meluasnya penyakit-penyakit tertentu dan menghindari risiko kematian yang diakibatkannya.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan.

Menurut Leavel and Clark, dalam kesehatan masyarakat ada lima tingkat pencegahan penyakit salah satunya adalah perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu yang merupakan usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit atau disebut dengan pencegahan Primer. Salah satu perlindungan umun dan


(58)

khusus terhadap penyakit tertentu adalah dengan memberikan imunisasi pada golongan yang rentan terhadap penyakit tersebut.

Menurut Hendrik L. Blum (1983) dalam Effendy (1998), mengatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat yaitu, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.Sedangkan menurut Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi

(predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong

(reinforcing factors).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teori Blum (1983) tentang pelayanan kesehatan dan teori Lawrence Green (1991) khusunya faktor pendukung

(enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).Menurut Blum (1983) Pelayanan kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan, pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan.Ketersedian fasilitas sangat dipengaruhi oleh lokasi, dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilatas dalam memperoleh pelayanan, serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukannya.

Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.Faktor pendukung ketersedian, keterjangkauan, dan


(59)

kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya yang tersedia di masyarakat, kondisi kehidupan, dukungan sosial, dan ketrampilan –ketrampilan yang memudahkan untuk terjadinya suatu prilaku. Untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya: perilaku memberikan imunisasi pada bayinya. Ibu yang memiliki bayi akan mengimunisasi bayinya tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat imunisasi saja, melainkan ibu tersebut harus dengan mudah dapat menjangkau fasilitas atau tempat imunsasi, seperti: puskesmas, polindes, bidan praktik atau rumah sakit.

Sedangkan faktor pendorong adalah sikap dan perilaku tenaga kesehatan atau konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif atau negatifdan mendapat dukungan sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor pendorong mencakup dukungan sosial, pengaruh sebaya, serta advise dan umpan balik dari tenaga kesehatan.


(60)

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, diketahui variabel independen dalam penelitian ini adalah peran tenaga kesehatan yaitu sebagai customer, komunikator, motivator, fasilitator, konselor. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pemberian imunisasi Hepatitis Bpada bayi 0-7 hari.

Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan

- Customer

- Komunikator - Motivator - Fasilitator - Konselor

Pemberian Imunisasi Hepatitis Bpada Bayi 0-7


(61)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Explanatorysurvey yang bertujuan menganalisis pengaruh persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B 0-7 hari.Explanatory survey adalah penelitian yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun, 1995).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah atas pertimbangan masih rendahnya cakupan imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari di puskesmas Medan Belawan.

Waktu penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai November 2011 yang kegiatannya meliputi pengajuan judul, survei awal, penelusuran pustaka, konsultasi pembimbing, mempersiapkan proposal penelitian, kolokium, pengumpulan data, pengolahan data dan seminar hasil.


(62)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi 0-7 hari pada periode waktu Januari sampai April 2011 dan berada di wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan sebanyak 85 orang.

3.3.2. Sampel

Melihat jumlah populasi yang relatif sedikit maka ditetapkan keseluruhan populasi dijadikan sebagai sampel yaitu sebanyak 85 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data yang langsung diperoleh dari responden melalui wawancara dan observasi langsung kepada responden dengan berpedoman pada kuesioner (daftar pertanyaan) penelitian yang telah disusun.Data primer dalam penelitian ini adalah data persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan sebagai customer, komunikator, motivator, fasilitator, konselor dan data tentang pemberian imunisasi (diberikan dan tidak diberikan).

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pencatatan dari dokumen puskesmas Medan Belawan dan Dinas Kesehatan Kota Medan serta literatur lain beruba bahan bacaan yang relevan dengan tujuan penelitian.


(63)

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner persepsi ibu tentang peran tenaga kesehatan terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari yang telah disusun terlebih dahulu dilakukan uji coba sebelum dijadikan sebagai alat ukur penelitian yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur. Uji coba kuesioner dilakukan terhadap 30 responden yaitu pada ibu yang memiliki bayi umur 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Terjun Medan Marelan. Alasan pengambilan lokasi untuk uji validitas ini adalah atas pertimbangan wilayah kerja Puskesmas Terjun Medan Marelan ini memiliki karakteristik penduduk yang hampir sama dengan wilayah kerja Puskesmas Medan Belawan.

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel menggunakan rumus teknik korelasi pearson product moment (r), dengan ketentuan bila r-hitung > r-tabel, maka pertanyaan dinyatakan valid dan sebagainya.

Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan jika nilai r-alpha> r tabel, maka dinyatakan reliabel.

Hasil uji validitas dan reliabilitas pada kuesioner yang berjumlah 27 butir pertanyaan yang telah dilakukan pada 30 orang ibu yang memiliki bayi 0-7 hari yang


(1)

Wahab, S dan Julia, M. 2002. Sistem Imun, Imunisasi dan Penyakit Imun. Widya

Medika, Jakarta.

Winardi, J. 2001. Motivasi dan Pemotivasi dalam Manajemen, PT. Raja Gravindo

Persada. Jakarta.

Wiryanto.Pengantar Ilmu Komunikasi. Gramedia Widiasarana Indonesia. 2005.

WHO.2004 .Integration of Hepatitis B into the Expanded Programme on imunization


(2)

KUESIONER PENELITIAN

PENGARUH PERSEPSI IBU TENTANG PERAN TENAGA KESEHATAN

TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA

BAYI 0-7 HARIDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

MEDAN BELAWAN

No. Responden

:………

Tanggal pengisian

:………

Petunjuk Pengisian:

1.

Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan dan alternatif jawaban yang tersedia

sebelum ibu menjawab pertanyaan ini.

2.

Pilihlah salah satu jawaban yang ibu anggap paling tepat dan sesuai menurut

ibu dan berikanlah tanda silang (x) pada pilihan jawaban yang tersedia.

A.

Identitas Responden

Umur

:………..

Jumlah anak

:………..

Pendidikan

:………..

Pekerjaan

:………..

Agama

:……….

B.

Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan

1.

Customer

No Pernyataan Nilai

1. Apakah ada tenaga kesehatan menanyakan kepada ibu sudah

memberikan imunisasi hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari? a. Ya

b. Tidak

2. Apakah ada tenaga kesehatan menanyakan kepada ibu tentang

pentingnya pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari ? a. Ya

b. Tidak

3. Apakah ada tenaga kesehatan menanyakan kepada ibu bila ibu

memberikan imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari mendapat tekanan atau larangan dari keluarga?

a. Ya b. Tidak


(3)

4. Apakah ada tenaga kesehatan memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi ibu umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah tenaga kesehatan memberikan pelayanan yang baik saat ibu mengimunisasi bayi ibu?

a. Ya b. Tidak

2.

Komunikator

No Pernyataan Nilai

1. Apakah tenaga kesehatan memberikan informasi tentang imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah tenaga kesehatan menginformasikan akibat jika bayi ibu tidak diberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah tenaga kesehatan memberikan informasi tentang kapan waktu pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan menggunakan bahasa yang mudah dipahami?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah tenaga kesehatan melakukan pendataan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan imunisasi Hepattis B pada bayi umur 0-7 hari

a. Ya b. Tidak

6. Apakah tenaga kesehatan memberitahu ibu kalau mereka akan

memberikan imunisasi Hepatitus B pada bayi umur 0-7 hari pada bayi ibu?

a. Ya b. Tidak

7. Apakah tenaga kesehatan menanyakan kembali apakah ibu sudah

mengerti tentang pentingnya imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak


(4)

3.

Motivator

No Pernyataan Nilai

1. Apakah tenaga kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari pada bayi sewaktu ibu melakukan pemeriksaan kehamilan?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah tenaga kesehatan menganjurkan segera memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari setelah ibu melahirkan?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah tenaga kesehatan meyakinkan kepada ibu bahwa imunisasi

Hepatitis B pada bayi 0-7 hari ini aman untuk bayi ibu? a. Ya

b. Tidak

4. Apakah ada tenaga kesehatan meyakinkan kepada ibu tentang pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari dapat mencegah penyakit hepatitis B?

a. Ya b. Tidak

5. Apabila ibu tidak bersedia mengimunisasi bayi ibu apakah tenaga kesehatan berusaha membujuk ibu untuk mengimunisasi bayi ibu? a. Ya

b. Tidak

4.

Fasilitator

No Pernyataan Nilai

1. Bila ibu tidak hadir ke tempat pelaksanaan imunisasi yang dilaksanakan di desa atau puskesmas, apakah tenaga kesehatan melakukan kunjungan kerumah?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah tenaga kesehatan melakukan kunjungan rumah untuk memantau bayi ibu setelah diberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak


(5)

3. Apakah tenaga kesehatan memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari secara gratis?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah tenaga kesehatan menyediakan tempat pelayanan imunisasi selain di puskesmas, seperti di posyandu?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah tenaga kesehatan bersedia melakukan kunjungan ulang bila dijumpai masalah setelah bayi diberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

5.

Konselor

No Pernyataan Nilai

1. Apakah tenaga kesehatan dapat membina hubungan baik dengan ibu? a. Ya

b. Tidak

2. Apakah tenaga kesehatan membantu ibu mengatasi keluhan yang ibu rasakan mengenai imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari pada bayi ibu?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah selama konsultasi tenaga kesehatan memberikan saran sesuai dengan harapan ibu?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah tenaga kesehatan bersedia mendengarkan harapan ibu tentang kesehatan bayi ibu setelah diberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah tenaga kesehatan memberikan penjelasan tentang efek samping yang ditimbulkan setelah dilberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari?

a. Ya b. Tidak


(6)

C.

Pemberian Imunisasi HB 0-7 Hari

No Pernyataan Nilai

1. Apakah ibu memberikan imunisasi Hepatitis B pada usia bayi 0-7 hari?

a. Ya, diberikan umur………hari


Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Ibu Dan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi 0 - 7 Hari Di Kabupaten Langkat

4 66 131

Karakteristik Dan Tingkat Pengetahuan Ibu Bayi Usia 0-7 Hari Yang Mendapatkan Imunisasi Hepatitis B Di Klinik Martini Medan Tembung Tahun 2013

1 34 74

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

1 1 15

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

0 0 2

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

0 0 4

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

0 2 12

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

0 0 2

Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Hepatitis B Dan Imunisasi Hepatitis B Serta Jadwal Pemberian Vaksinasinya Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan, Medan

0 0 25

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BAYI 0-12 BULAN DENGAN PRAKTIK PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B-O DI WILAYAH PUSKESMAS KAYU KUNYIT BENGKULU SELATAN NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BAYI 0-12 BULAN DENGAN PRAKTIK PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B-O DI WIL

0 0 12

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PREDISPOSING, ENABLING DAN REINFORCING DENGAN PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B PADA BAYI USIA 0-7 HARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TERIAK KABUPATEN BENGKAYANG

0 0 8