hujan menggunakan pias yang terpasang dalam jam alat otomatis tersebutdan dilakukan penggantian pias setiap harinya pada pukul 00.00 GMT, sedangkan
pengukuran curah hujan digital dimana curah hujan langsung terkirim kemonitor komputer berupa data sinyal yang telah diubah kedalam bentuk satuan curah hujan.
Gambar 2.2. Alat Pengukur Curah Hujan Jenis Otomatis
2.2. Faktor yang mempengaruhi curah hujan
Sebagai salah satu kawasan tropis yang unik dinamika atmosfernya dimana banyak dipengaruhi oleh kehadiran angin pasat, angin monsunal, iklim maritim dan
pengaruh berbagai kondisi lokal, maka cuaca dan iklim di Indonesia diduga memiliki karakteristik khusus yang hingga kini mekanisme proses pembentukannya belum
diketahui banyak orang. Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia,
El-Nino, sirkulasi Timur-Barat Walker Circulation dan sirkulasi Utara-Selatan
Universitas Sumatera Utara
Hadley Circulation serta beberapa sirkulasi karena pengaruh local McBride, 2002 dalam Hermawan, E.2007.
Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian chaotic dari variabilitas monsun Ferranti 1997 dalam Aldrian 2003. Monsun
dan pergerakan ITCZ Intertropical Convergence Zone berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi tahunan di Indonesia Aldrian, 2003, sedangkan
fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar- tahunan di Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai satu kawasan benua maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua Samudera yaitu Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu elemen unsur iklimnya terutama curah hujan memungkinkan dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut SPL di
sekitarnya. Salah satu fenomena yang dicirikan oleh adanya suatu perubahan SPL yang kemudian mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah fenomena yang
terjadi di Samudera Hindia yang dikenal dengan istilah Dipole Mode DM yang tidak lain merupakan fenomena couple antara atmosfer dan laut yang ditandai dengan
perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut SPL di Samudera Hindia tropis bagian timur perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa dan Samudera
Hindia tropis bagian tengah sampai barat perairan pantai timur Benua Afrika. Pada saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di
bagian timurnya, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami
Universitas Sumatera Utara
penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif DM +. Fenomena yang
berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM - Ashok et al., 2001 Hermawan, E.2007. Hasil kajian yang dilakukan Saji. et al 2001 Hermawan,
E.2007 menunjukkan adanya hubungan antara fenomena DM dengan curah hujan yang terjadi di atas Sumatera bagian Selatan sebesar -0,81. Selain itu, Banu 2003
Hermawan, E.2007 juga telah mengkaji adanya pengaruh DM terhadap curah hujan di BMI Benua Maritim Indonesia dan Gusmira 2005 Hermawan, E.2007 yang
mengkaji dampak DM terhadap angin zonal dan curah hujan di Sumatera Barat. Seperti halnya di Sumatera Barat, analisis keterkaitan kejadian DM terhadap perilaku
curah hujan yang tersebar di beberapa stasiun penakar curah hujan yang ada di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Dengan menggunakan lebih banyak data
stasiun untuk kedua kawasan tersebut, diharapkan dapat dianalisis keadaan curah hujan di kawasan tersebut yang mewakili curah hujan sebenarnya terutama yang
terjadi pada saat kejadian DM. Untuk memprediksi kecenderungan yang akan terjadi pada periode mendatang adalah
melihat tiga kemungkinan kejadian yaitu kondisi normal, ada El Nino atau kah muncul La Nina. Ada dua cara yang dapat dilakukan, pertama melihat prediksi
anomali suhu muka laut Sea Surface Temperatur Anomaly SSTA Kriteria pada tabel 2.1 dan melihat Indeks Osilasi Selatan Southern Ocilation Indeks SOI
dengan Tabel 2.2 yakni melihat nilai beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Indikator Kekuatan Berdasarkan Anomali Suhu Muka Laut
Diolah dari Quinn, 1978
Anomali Suhu Muka Laut
o
C Kondisi
≥ 3 2 – 3
1 - 2 0 - 1.0
-1- -2 -2 - - 3
≤ - 3 El Nino
kuat Sedang lemah
normal -
- -
La Nina -
- -
normal lemah
sedang Kuat
Tabel 2.2. Indikator Kekuatan Berdasarkan SOI
Sumber : MMS Malaysian Meteorological Service, 2001
NILAI SOI P TAHITI-P DARWIN
FENOMENA YANG AKAN TERJADI
Di bawah - 10 selama 6 bulan El Nino kuat - 5 sd - 10 selama 6 bulan El Nino lemah-sedang
- 5 sd + 5 selama 6 bulan Normal + 5 sd + 10 selama 6 bulan La Nina lemah-sedang
Di atas + 10 selama 6 bulan La Nina kuat
Osilasi Selatan pada dasarnya adalah peristiwa atmosfer berskala besar yang didefenisikan sebagai fluktuasi tekanan udara di atas Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia. Bila tekanan udara di Samudera Pasifik tinggi maka tekanan udara di daerah Samudera Hindia dari Afrika sampai Australia akan rendah dan begitu pula
sebaliknya. Keadaan ini berhubungan dengan suhu yang rendah di kedua daerah tersebut. Gejala
ini diamati oleh Walker 1904 melalui pengamatan terhadap perilaku parameter atmosfer dan menemukan suatu gelombang tekanan berperiode panjang diantara India
dan Australia dengan kawasan Amerika Selatan. Karena mempunyai gerak yang berosilasi maka Walker 1904 menyebutnya dengan Osilasi Selatan.
Peristiwa Osilasi Selatan ini terjadi karena adanya pertukaran massa udara antara belahan bumi utara dan selatan di daerah tropik dan subtropik.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Model Jaringan Syaraf Tiruan