Fenomena Diglosia Dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun Di Kota Pematangsiantar

(1)

FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP KEBAHASAAN

PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN

DI KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Oleh

ELISTEN PARULIAN SIGIRO

077009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP KEBAHASAAN

PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN

DI KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELISTEN PARULIAN SIGIRO

077009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP

KEBAHASAAN PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN DI KOTA PEMATANGSIANTAR

Nama Mahasiswa : Elisten Parulian Sigiro Nomor Pokok : 077009005

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed.TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed.TESP 2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.


(5)

ABSTRAK

Penelitian terhadap “Fenomena Diglosia dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang menggunakan metode kuantitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert.

Populasi penelitian ini adalah suku Simalungun yang berdomisili di wilayah ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Barat, yakni sebanyak 60 responden, dalam penelitian ini, yang diteliti hanya elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Hal itu karena prilaku linguistik para responden dianggap homogen. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampel.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas“. Dikatakan demikian, karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun, yakni bahasa Toba, Karo, dan Indonesia.

Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga (terdiri atas beberapa interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b. interlokutor suami atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan diglosia telah bocor. Akan tetapi, ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa diglosia tidak bocor. Sementara itu, pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah adat, pada ranah keluarga dengan interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu sedangkan jika interlokutor Suami, Istri, maupun Anak pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama bahasa Simalungun bertahan, pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang sesuku bahasa Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang tidak sesuku, pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga pada ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.

Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Selanjutnya, sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidak setujuannya atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif.


(6)

ABSTRACT

The research of “Diglosia Phenomenon and Attitude of Simalungun Language Speaker” was a sociolinguistic research using a quantitative method in collection and analysis of data. This research data for each characteristic, related to diglosia phenomenon and attitude of language, was counted in basis of frequency, percentage and mean. The mean was calculated by using Likert scale or Likert technic.

The population of this research was ethnic group of Simalungun living in capital town of district, i.e., Pematangsiantar city, precisely at sub district of Siantar Barat, consisting of 60 respondents. In this research, it was only elements of sample, rather than all element of population, to observe. This was largely due to the linguistic behavior of respondents was assumed to be homogenous. Determination of sample number in this research used the sampling quota technic.

The findings of research indicated that essentially the respondents were multilinguists and speaking some language “freely”. There was a reason to support it, that 60 respondents generally mastered (spoke) more than two languages in addition to Simalungun dialect, Toba, Karo, and Indonesian languages.

Furthermore, the findings of this research included the use of language in each domain indicating that the use of language in custom, family (consisting of several interlocutors: a. relative interlocutor, father and mother, b. interlocutor of husband and wife, and c. interlocutor of children), religious, neighbor, social, terminal, transactional, and work domains, the diglosia has leaked out. However, educational and government domains did not indicate a leaked diglosia. Meanwhile, the preservation of language occurred in custom domain, in family domain with interlocutor of relatives, father and mother; while if interlocutors of husband, wife, or children the preservation of Simalungun language did not occur. In another domains—religious domain the Simalungun language was preserved, in neighbor and social domains if interlocutor of co-ethnic group the Simalungun language remained to e intact, but if it was not co-ethnic group interlocutor, the preservation of Simalungun language did not occur. Similarly, in terminal, transactional, work, educational, and government domains, the use of Simalungun language was not preserved.

In relation to language attitude of respondents, if language attitude of respondents was reviewed in perspective of language option on the most used language in daily life, the language assumed to more preference, and the more familiar language, it then could be concluded that language attitude of respondents on Simalungun language tended to be negative. Furthermore, the language attitude of respondents on Simalungun language, in perspective of agreement and disagreement indicators on questions asked, tended to be positive.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena diberikan kesehatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana penulis. Tesis ini mengambil tema Sikap Masyarakat Tutur. Sejalan dengan tema itu, isi tesis ini adalah Fenomena Diglosia dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun di

Kota Pematangsiantar.

Pemilihan judul tersebut dilakukan penulis atas dasar bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif guna mendukung interaksi antarindividu dalam suatu daerah. Melalui bahasa pula manusia mampu mengungkapkan berbagai bentuk ungkapan perasaan dan informasi kepada pihak lain. Tingkat intensitas penggunaan sebuah bahasa turut menentukan eksis atau tidaknya bahasa itu dalam sebuah masyarakat tutur. Kontak bahasa dan interaksi antarmasyarakat yang berbeda asal maupun bahasanya menimbulkan kekhawatiran terjadinya pergeseran dan kepunahan sebuah bahasa sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Masing-masing bahasa yang berbeda itu tentu saling mempengaruhi dalam sebuah tindak tutur antara individu. Dengan demikian, pada tesis ini akan diungkap fenomena diglosia dan sikap

kebahasaan penutur bahasa Simalugun di kota Pematangsiantar.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat lepas dari berbagai kekurangan. Akan tetapi, besar harapan peneliti semoga temuan penelitian ini bermanfaat bagi sivitas akademis program S-2 pada SPs USU, khususnya pada Program Studi


(8)

Magister Linguistik maupun masyarakat luas, khususnya masyarakat etnis Simalungun di kota Pematangsiantar.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen SPs USU Program S-2 Linguistik yang telah memberikan pengetahuan bagi penulis, khususnya kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP yang telah memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam penulisan Tesis ini. Kata terima kasih juga penulis haturkan kepada rekan-rekan yang telah memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Medan, April 2009

Peneliti,


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahatau sumber dari segala pengetahuan. Berkat izin-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.

Kesempatan yang diberikan pada saya untuk menimba ilmu di Program Magister Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak dapat terlepas dari bantuan dari berbagai pihak yang berkompeten di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Pusat Bahasa, serta di Universitas Sumatera Utara. Untuk itu, pada kesempatan ini sepatutnya saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ibu Jatiwati, S.Pd. (mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah), Dr. Dendy Sugono (mantan Kepala Pusat Bahasa), serta Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc., Ketua Program Studi Linguistik, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Drs. Umar Mono, M.Hum.

Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan secara khusus kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., selaku pembimbing I dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP selaku pembimbing II yang telah memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam merampungkan tesis ini.

Rasa hormat dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan juga kepada para dosen SPs USU Program S-2 Linguistik yang telah memberikan pengetahuan bagi penulis, khususnya, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Prof. Amrin Saragih, M.A.,


(10)

Ph.D., Prof. Robert Sibarani, M.S., Prof. Mangantar Simanjuntak, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Bahren Umar Siregar, Ph.D., Rustam A. Efendi, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Khairil Ansyari., Dr. Namsyahot, M.Hum. Selanjutnya, terima kasih yang tulus saya sampikan kepada pegawai administrasi di SPs USU, Prodi Linguistik, yakni Bang Rabulah, S.H., Kak Kar, Puput, dan Nila atas segala bantuannya selama saya menjalani studi.

Yang tidak kalah pentingnya, kata terima kasih dan rasa kagum saya haturkan kepada rekan-rekan yang telah memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini, khusunya pada Bang Ramlan Damanik, Pak Gustaf Sitepu, Bang Jamorlan Siahaan, dan Bang Amhar Kudadiri. Anda semua bak hujan pemupus kemaru panjang, bak pelita digelap malamku.

Buat istriku tercinta, Mestika Gloria Manurung, untaian kata ini yang dapat kuucapkan atas kesetiaan dan dukunganmu padaku.

sebab aku mencintaimu bukan karena siapa dirimu melainkan ...karena siapa diriku saat bersamamu. kuingin jalani hidup ini bersamamu untuk bermimi, belajar, dan bekerja saling berbagi, saling menerima dan memaafkan dengan hati yang penuh kasih Untuk semua keluargaku, kedua orang tuaku, dan mertuaku dukungan doa kalian telah menghantarku kepintu cita-citaku. Biarlah damai sejahtera dan ketentraman sejati tetap tinggal bersama kita.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Elisten Parulian Sigiro Tempat, Tanggal Lahir : Lubuk Pakam, 29 Maret 1969

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Kartini 30, Lubuk Pakam

Pendidikan : SD Inpres 10306, Lubuk Pakam, tahun 1983 SMP Negeri 1, Lubuk Pakam, tahun 1986 SMA Negeri Lubuk Pakam, tahun 1989 S-1 Bahasa dan Sastra Batak, USU, tahun 1995

Penataran : - Penyuntingan Kebahasaan, tahun 2000

- Pelatihan Metode Penelitian Tingkat Nasional, tahun 2004

Pekerjaan : Tenaga Teknis Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Depdiknas, tahun 2000—sekarang


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kerangka Teori ... 8

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 13

2.3 Kerangka Berpikir ... 14

2.4 Klarifikasi Istilah ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Desain dan Teknik ... 17


(13)

3.3 Lokasi, Peta, Keadaan Geografis, dan Kependudukan ... 25

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Latar Belakang Kebahasaan ... 31

4.2 Identitas Sosial Responden ... 31

4.3 Kemampuan Berbahasa Responden ... 36

4.4 Penggunaan Bahasa Berdasarkan Ranah ... 39

4.4.1 Ranah Adat ... 40

4.4.2 Ranah Keluarga ... 42

4.4.3 Ranah Agama ... 51

4.4.4 Ranah Tetangga ... 52

4.4.5 Ranah Pergaulan ... 55

4.4.6 Ranah Terminal ... 65

4.4.7 Ranah Transaksi ... 66

4.4.8 Ranah Pekerjaan ... 69

4.4.9 Ranah Pendidikan ... 70

4.4.10 Ranah Pemerintahan ... 73

4.5 Sikap Bahasa Responden ... 75

4.5.1 Sikap Bahasa atas Pilihan Bahasa ... 75

4.5.2 Sikap Bahasa Terhadap Bahasa Simalungun Berdasarkan Kesetujuan dan Ketidaksetujuan ... 78

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1 Simpulan ... 85

5.2 Saran ... 93


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Kelurahan, dan Penduduk Kota

Pematangsiantar ...

28

2. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan

Kecamatan ...

29

3. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (N=60) ... 32

4. Jumlah Responden Berdasarkan Usia (N=60) ... 33

5. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan (N=60) ... 34

6. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan (N=60) ... 35

7. Jumlah Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Siantar (N=60) ... 36

8. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun (N=60) ... 37

9. Kemampuan Berbahasa Responden (N=60) ... 38

10. Daftar Intrakelompok di Lingkungan Tempat Tinggal Responden (N=60) ... 39 11. Ranah Adat (N = 60) ... 41

12. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu (N = 60) ... 45

13. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Suami dan Istri (N = 20) ... 48

14. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Anak (N = 40) ... 50

15. Ranah Agama (N = 60) ... 51

16. Ranah Tetangga (N = 60) ... 54

17. Ranah Pergaulan (N = 60) ... 60

18. Ranah Terminal (N = 60) ... 65

19. Ranah Transaksi (N = 60) ... 67

20. Ranah Pekerjaan (N = 20) ... 70

21. Ranah Pendidikan (N = 20) ... 71

22. Ranah Pemerintahan (N = 60) ... 74

23. Sikap Bahasa Responden (N = 60) ... 76


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 1. Kerangka Berpikir ... 14 2. Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 18 3. Peta Kota Pematangsiantar ... 27


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 4. Kuesioner ... 98 5. Jawaban Responden Atas Pertanyaan Pada Kuesioner ... 107


(17)

DAFTAR SINGKATAN

BS: Bahasa Simalungun BT: Bahasa Toba BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lainnya

n : Jumlah responden yang memberikan jawaban pada setiap karakteristik pilihan jawaban

N : Jumlah keseluruhan responden


(18)

ABSTRAK

Penelitian terhadap “Fenomena Diglosia dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang menggunakan metode kuantitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert.

Populasi penelitian ini adalah suku Simalungun yang berdomisili di wilayah ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Barat, yakni sebanyak 60 responden, dalam penelitian ini, yang diteliti hanya elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Hal itu karena prilaku linguistik para responden dianggap homogen. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampel.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas“. Dikatakan demikian, karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun, yakni bahasa Toba, Karo, dan Indonesia.

Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga (terdiri atas beberapa interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b. interlokutor suami atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan diglosia telah bocor. Akan tetapi, ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa diglosia tidak bocor. Sementara itu, pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah adat, pada ranah keluarga dengan interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu sedangkan jika interlokutor Suami, Istri, maupun Anak pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama bahasa Simalungun bertahan, pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang sesuku bahasa Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang tidak sesuku, pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga pada ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.

Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Selanjutnya, sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidak setujuannya atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif.


(19)

ABSTRACT

The research of “Diglosia Phenomenon and Attitude of Simalungun Language Speaker” was a sociolinguistic research using a quantitative method in collection and analysis of data. This research data for each characteristic, related to diglosia phenomenon and attitude of language, was counted in basis of frequency, percentage and mean. The mean was calculated by using Likert scale or Likert technic.

The population of this research was ethnic group of Simalungun living in capital town of district, i.e., Pematangsiantar city, precisely at sub district of Siantar Barat, consisting of 60 respondents. In this research, it was only elements of sample, rather than all element of population, to observe. This was largely due to the linguistic behavior of respondents was assumed to be homogenous. Determination of sample number in this research used the sampling quota technic.

The findings of research indicated that essentially the respondents were multilinguists and speaking some language “freely”. There was a reason to support it, that 60 respondents generally mastered (spoke) more than two languages in addition to Simalungun dialect, Toba, Karo, and Indonesian languages.

Furthermore, the findings of this research included the use of language in each domain indicating that the use of language in custom, family (consisting of several interlocutors: a. relative interlocutor, father and mother, b. interlocutor of husband and wife, and c. interlocutor of children), religious, neighbor, social, terminal, transactional, and work domains, the diglosia has leaked out. However, educational and government domains did not indicate a leaked diglosia. Meanwhile, the preservation of language occurred in custom domain, in family domain with interlocutor of relatives, father and mother; while if interlocutors of husband, wife, or children the preservation of Simalungun language did not occur. In another domains—religious domain the Simalungun language was preserved, in neighbor and social domains if interlocutor of co-ethnic group the Simalungun language remained to e intact, but if it was not co-ethnic group interlocutor, the preservation of Simalungun language did not occur. Similarly, in terminal, transactional, work, educational, and government domains, the use of Simalungun language was not preserved.

In relation to language attitude of respondents, if language attitude of respondents was reviewed in perspective of language option on the most used language in daily life, the language assumed to more preference, and the more familiar language, it then could be concluded that language attitude of respondents on Simalungun language tended to be negative. Furthermore, the language attitude of respondents on Simalungun language, in perspective of agreement and disagreement indicators on questions asked, tended to be positive.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selain bahasa sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanya, bahasa juga mempengaruhi pikiran manusia itu sendiri. Ilmu Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi karena masyarakat itu terdiri atas individu-individu, masyarakat secara keseluruhan, dan antarindividu saling mempengaruhi dan saling bergantung. Bahasa sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa individu itu dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi, individu tetap terikat pada “aturan permainan” yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Oleh karena itu, jika bahasa ditinjau dari segi sosial, kelompok masyarakat di kota Pematangsiantar terdiri atas beberapa kelompok etnik yang memiliki tingkah laku kebahasaan yang menunjukkan ciri tersendiri dengan bahasa daerah masing-masing dan bahasa Indonesia.

Dilihat dari fungsinya, fungsi bahasa daerah berbeda dengan fungsi bahasa Indonesia dan masing-masing bahasa mempunyai ranah (domain) yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan (family), ketetanggaan (neighborhood) kekariban (friendship) sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, keresmian,


(21)

kenasionalan, dan dipakai, misalnya, dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi dalam rapat, alat komunikasi antarpegawai dengan tamu kantor), dan dalam ranah keagamaan (dalam kotbah). Selain itu, bahasa sering juga dipakai sebagai ciri etnik dan ciri bangsa. Bahasa dikatakan sebagai ciri etnik; bahasa daerah adalah identitas suku, bahasa dikatakan sebagai ciri bangsa; bahasa nasional sebagai identitas bangsa.

Masyarakat di kota Pematangsiantar adalah masyarakat majemuk (plural

society). Oleh karena itu, masyarakatnya merupakan masyarakat aneka bahasa atau

masyarakat multilingual (multilingual society) atau masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Biasanya suatu kelompok etnis menggunakan dua bahasa, yakni bahasa tradisional mereka dan bahasa lain yang dominan. Fenomena yang terjadi di kota Pematangsiantar, yaitu ada kelompok pendatang yang menjadi gayub di wilayah itu, tetapi gayub pendatang itu bahasanya berintegrasi pada masyarakat pribumi, yaitu etnik Toba (pendatang) yang berbahasa Toba dengan etnik Simalungun (pribumi) yang berbahasa Simalungun.

Keheterogenan suku-suku di kota Pematangsiantar itu menyebabkan situasi keanekabahasaan sangat kental. Sehubungan dengan itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan ahli-ahli sosiolinguistik menghasilkan suatu kesimpulan bahwa negara yang aneka bahasa mempunyai masalah lebih banyak dibandingkan dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Lebih


(22)

Berdasarkan kenyataan bahwa negara-bangsa (nation-state) ekabahasa itu tampak lebih stabil daripada negara aneka bahasa dan berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme maka perkembangan rasa nasionalis terasa lebih sulit bagi negara aneka bahasa daripada negara ekabahasa. Akan tetapi, keanekaan bahasa itu dalam dunia pendidikan agak berbeda. Dalam beberapa hal, strategi terbaik bagi bahasa dalam pendidikan adalah memakai bahasa etnik—tingkat SD. Bagaimana pun bahasa etnik itulah yang telah dikuasai anak-anak sehingga pelajaran bisa segera dimulai tanpa menunggu sampai anak-anak belajar bahasa nasional. Akan tetapi, dari sisi lain, strategi ini dapat merugikan perkembangan nasionalisme jika anak menerima pendidikan dalam bahasa etnik mereka. Disamping itu, pembelajaran bahasa daerah pada usia dini dapat juga meningkatkan eksistensi bahasa etnik itu dan menjadikannya sebagai lambang nasionalisme yang kontra nasioanal.

Sehubungan dengan keadaan masyarakatnya yang majemuk dan multibahasawan, fenomena kebahasaan yang terjadi di kota Pematangsiantar, yaitu adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menggunakan lebih dari satu bahasa secara “bebas”. Pilihan bahasa yang satu alih-alih bahasa yang lain untuk suatu peristiwa tutur bersifat manasuka. Fenomena itu menimbulkan kekhawatiran bahwa dalam kurun waktu yang cepat atau lambat bahasa yang satu akan menjadi lebih disukai untuk peristiwa-peristiwa tutur yang berlangsung sehingga berdampak pada matinya bahasa yang tidak disukai itu. Penerimaan bahasa yang asing di lingkungan suatu masyarakat penutur bahasa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah motivasi yang ada pada mereka. Sementara itu, dalam politik kebahasaan di Indonesia


(23)

dinyatakan bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dianalogikan sebagai dua sisi mata uang yang saling mendukung. Salah satu sisi hilang maka tidak bernilailah uang itu.

Keheterogenan masyarakat di kota Pematangsiantar yang mengubah perilaku bahasa masyarakat penutur bahasa Simalungun akan menyebabkan masalah pilihan bahasa (language choice) yang berlanjut pada pergeseran bahasa (laguage shift) sehingga pemertahanan bahasa (language maintenance) Simalungun tidak terlaksana. Hal itu, nantinya bisa saja menyebabkan kemunduran bahasa (language decline) yang berakhir pada kepunahan bahasa (language death). Adanya pergeseran sikap masyarakat penutur bahasa Simalungun yang mempunyai kecenderungan menggunakan bahasa Toba dan bahasa Indonesia yang tidak taat azas akan mengakibatkan bocornya diglosia pada masyarakat tutur itu. Dalam situasi itu, masyarakat harus tahu menentukan pilihan bahasa apa untuk ranah atau situasi yang bagaimana. Jika masyarakat dalam berbagai ranah lebih menyukai memakai bahasa Toba maupun bahasa Indonesia terus-menerus, bahasa Simalungun menjadi tergeser, mundur, dan kemudian punah. Sebaliknya, jika dalam berbagai ranah, khususnya ranah yang menuntut penggunaan bahasa Simalungun digunakan, masyarakat lebih menyukai memakai bahasa Simalungun terus-menerus maka bahasa Simalungun akan bertahan. Fenomena kebahasaan yang terjadi di kota Pematangsiantar itu jugalah yang melandasi penelitian ini dilakukan dengan mengambil tema Sikap Masyarakat


(24)

1.2 Masalah Penelitian

Bahasa bersifat dinamis. Dalam situasi masyarakat yang aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) menyebabkan potensi diglosia dan perubahan sikap bahasa pada penuturnya. Sejalan dengan asumsi itu, masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

(1) Bahasa apakah yang digunakan masyarakat bahasa Simalungun pada masing-masing ranah?

(2) Bagaimanakah frekuensi penggunaan bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Simalungun?

(3) Bagaimanakah situasi diglosia pada penutur bahasa Simalungun?

(4) Bagaimanakah sikap bahasa penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya, apakah cenderung positif atau negatif?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan dalam penelitian ini, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) bahasa yang digunakan masyarakat bahasa Simalungun pada setiap ranah, 2) frekuensi penggunaan bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan bahasa Indonesia pada penutur bahasa Simalungun agar diketahui apakah terjadi pergeseran bahasa Simalungun pada penutur bahasa Simalungun, 3) mengidentifikasi apakah telah terjadi kebocoran diglosia atau tidak pada penutur bahasa Simalungun, dan 4) kecenderungan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya, yakni apakah cenderung positif atau negatif.


(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah didapat kesimpulan yang ilmiah tentang fenomena diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun di kota Pematangsiantar, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan akademis bagi masyarakat bahasa Simalungun khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya.

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah setelah didapat informasi tentang fenomena diglosia bahasa Simalungun maka diharapkan agar terwujud diglosia yang tidak bocor di kota Pematangsiantar sehingga eksistensi bahasa Simalungun dapat terjaga dan terciptanya kesadaran berbahasa Simalungun yang positif sehingga bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi perannya sebagai penanda identitas etnis, baik dalam peran sosial dan alat komunikasi maupun sebagai bahasa pemerkaya khasanah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, maslahat selanjutnya pada bahasa nasional, yakni diharapkan bahwa perumusan perencanaan bahasa nasional akan dapat dilakukan secara lebih cermat sehingga pemasyarakatan bahasa Indonesia dapat terlaksana dengan baik khususnya di kota Pematangsiantar. Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat tetap menjatikan dirinya sebagai lambang identitas nasional.

Selanjutnya, manfaat bagi dunia akademis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang pengajaran bahasa sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan pengajaran bahasa daerah, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Sementara itu, maslahat dalam teori kebahasaan diharapkan dapat memberikan


(26)

sumbangan bagi pemerkaya khazanah ilmu kebahasaan terutama dalam membekali penelitian kebahasaan yang lebih luas lagi, yakni kajian makrososiolinguistik.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Ibrahim (1993:125—126), berpendapat bahwa semua kelompok manusia mempunyai bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk mengacu berbagai objek dan konsep. Pada saat yang sama, interaksi verbal merupakan suatu proses sosial di mana ujaran dipilih sesuai dengan norma-norma dan harapan-harapan yang disadari secara sosial. Selanjutnya, fenomena kebahasaan bisa dianalisis baik dalam konteks bahasa itu sendiri maupun di dalam konteks perilaku sosial yang lebih luas. Dalam analisis bahasa secara formal objek perhatiannya adalah seperangkat data kebahasaan yang diabstraksikan dari sudut pandang fungsi-fungsi referensialnya. Akan tetapi, dalam menganalisis fenomena kebahasaan di dalam semesta yang bisa ditentukan secara sosial, studi tentang penggunaan bahasa (language usage) bisa merefleksikan norma-norma perilaku yang lebih umum.

Dari pendapat di atas, dapat diterima bahwa faktor multietnik menyebabkan timbulnya multilingual dan diglosia yang akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena adanya pilihan bahasa. Pilihan bahasa itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari masyarakat penutur bahasa itu. Adapun faktor internal, yaitu adanya prestise sosial—tingkah laku kebahasaan yang menunjukkan ciri tersendiri—dan identitas diri—bahasa dipakai sebagai ciri etnik. Sedangkan faktor eksternal, yakni sikap bahasa itu disebabkan adanya motivasi


(28)

instrumental dan motivasi integrasi. Motivasi instrumental adalah suatu motivasi belajar yang timbul dengan sikap pandang bahwa bahasa yang dipelajari dianggap sebagai instrumen atau alat untuk mencapai sesuatu, sedangkan motivasi integarasi (integrated motivation) adalah suatu motivasi yang timbul dengan sikap pandang bahwa bahasa yang dipelajari akan menentukan hidupnya di masa yang akan datang. Bisa saja diartikan, bahasa yang dipelajari itu dianggap untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat baru yang akan dimasuki, (Sumarsono dan Paina, 2002).

Konsep diglosia dalam hal ini menganut konsep diglosia yang telah direvisi dan dikembangkan oleh Fishman atas konsep diglosia oleh Ferguson. Konsep yang dimodifikasi oleh Fishman, yakni pertama, Fishman tidak menekankan pentingnya situasi hanya terbatas dua variasi bahasa. Dia memberikan peluang adanya ‘beberapa kode yang berlainan’, meskipun pemisahan dikatakan ‘paling sering terjadi di sepanjang garis bahasa H (Tinggi) dan kurang sering terjadi dalam bahasa L (Rendah)’. Kedua, apabila Ferguson membatasi istilah ‘diglosia’ hanya untuk kasus-kasus dalam keterkaitan linguistik yang terjadi dalam rentang tengah-tengah, Fishman mengendorkan batasan itu. Dia mengemukankan pandangan bahwa diglosia tidak saja ada dalam masyarakat multiligual yang secara resmi menyadari beberapa ‘bahasa’ dan tidak hanya dalam masyarakat yang menggunakan dialek dan variasi klasik, tetapi juga dalam masyarakat yang menerapkan dialek, register yang berbeda, atau variasi bahasa yang berbeda secara fungsional. Dengan demikian, penggunaan istilah ‘diglosia’ oleh Fishman bisa mengacu pada berbagai tingkatan perbedaan linguistik


(29)

dari perbedaan stylistik yang paling lembut di dalam satu bahasa sampai pada penggunaan dua bahasa yang sama sekali berbeda (Fishman, 1968).

Adanya dua bahasa di dalam suatu masyarakat tidak harus menyebabkan persaingan. Artinya, kedua-dua bahasa itu dapat dipakai dengan “bebas”. Pemilihan bahasa yang satu alih-alih bahasa yang lain untuk suatu peristiwa tutur bersifat manasuka. Akan tetapi, situasi itu (yang dalam kepustakaan sosiolinguistik atau sosiologi bahasa disebut bilingualisme tanpa diglosia) tidak dapat dipertahankan selama-lamanya. Lambat atau cepat, bahasa yang satu menjadi lebih disukai untuk peristiwa-peristiwa tutur yang diasosiasikan dengan “ragam tinggi” (misalnya, dalam ranah agama dan pendidikan) dan bahasa yang lain lebih banyak digunakan dalam peristiwa-peristiwa tutur yang diasosiasikan dengan “ragam rendah” (misalnya, dalam ranah rumah tangga dan persahabatan). Jika pembagian ini berlangsung terus, pada akhirnya terciptalah apa yang disebut Ferguson (1959), yaitu diglosia. Situasi yang demikian itu disebut bilingulisme dengan diglosia, ada dua bahasa di dalam sutu masyarakat dan kedua bahasa itu berfungsi sebagai yang satu ragam tinggi dan yang satunya lagi sebagai ragam rendah, dan sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa bahasa yang satu telah “kalah” bersaing dengan bahasa yang lebih dominan dan terdesak keranah rumah. Terdesaknya satu bahasa ke ranah rumah tidak berarti bahasa itu punah. Situasi diglosia ini dapat bertahan lama, yakni selama pembagian tugas antara bahasa dengan fungsi “rendah” dan bahasa dengan fungsi “tinggi” dilakukan taat azas.


(30)

Warga kota Pematangsiantar merupakan masyarakat yang dwibahasa, baik aktif maupun pasif. Dalam situasi demikian, masyarakat tutur mempunyai pilihan bahasa untuk berinteraksi secara verbal dengan orang lain, lebih-lebih dengan gayub lain yang berbeda bahasa. Dengan demikian, secara umum situasi diglosia berlangsung pada masyarakat itu. Sejalan dengan itu, menurut Fishman (1968), jika diglosia bocor, bahasa yang satu merambah atau merembes ke ranah penggunaan bahasa yang lain, akibatnya, bahasa yang disebut terakhir ini kemudian terdesak penggunaannya. Akibatnya, bisa terjadi pergeseran bahasa (language shift), karena dalam banyak hal, satu bahasa selalu dipakai penutur dan bahasa lain yang semula dikuasai tidak lagi diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anaknya pun kelak lebih tidak mampu menurunkan bahasa itu kepada generasi berikutnya. Jika hal itu terjadi secara terus-menerus dalam beberapa generasi, terjadilah kepunahan bahasa (language death). Namun, manakala diglosia tidak bocor dan tiap bahasa tetap bertahan pada posisi ranah masing-masing, tidak ada satu bahasa pun yang bergeser atau punah; masing-masing bahasa akan mempertahankan diri. Diglosia bahasa (language mainternance) itu pun bergantung pada banyak faktor, seperti, ekonomi, agama, dan politik

Sejalan dengan keheterogenan etnik di kota Pematangsiantar yang berdampak ketersediaan pilihan bahasa untuk berinteraksi secara verbal dengan orang lain menuntut sikap penutur untuk memilih bahasanya. Sikap berbahasa merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk


(31)

bertindak dengan cara tertentu yang disukainya (Anderson, 1974). Sikap terhadap suatu bahasa dapat pula dilihat dari bagaimana keyakinan penutur terhadap suatu bahasa; bagaimana perasaan pernutur terhadap bahasa itu; bagaimana kecenderungan bertindak tutur (speech act) terhadap suatu bahasa. Sikap bahasa bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan juga bisa negatif (kalau dinilai jelek dan tidak disukai).

Adapun ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot dalam Fishman (1968), sebagai berikut.

1) Kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong suatu masyarakat mempertahankan bahasanya; bila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2) Kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan

bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan manyarakat.

3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

Kontak antarbahasa dan pemakaiannya dengan segala latar belakang sosialnya memberikan pandangan tentang adanya keragaman pilihan. Pilihan bahasa dapat seragam dan dapat pula tidak seragam. Ketepatan pemilihan bahasa di kalangan masyarakat pemakainya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan domain yang


(32)

yang menyebabkan varietas yang satu lebih tepat digunakan daripada varietas yang lainnya. Ketepatan itu merupakan hubungan faktor lokasi, topik, dan partisipan.

Sejalan dengan itu, variasi sosiolinguistik mengimplikasikan bahwa para penutur memiliki pilihan di antara varietas-varietas bahasa. Pilihan ini bisa antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, tergantung pada situasi (alih kode) atau menggunakan elemen-elemen dari satu bahasa, sementara itu, juga menggunakan bahasa yang lain (campur kode) atau antara berbagai varian di dalam satu sistem bahasa.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Sejalan dengan penelitian ini, Keller dalam Astar dkk. (2003), misalnya, telah meneliti pemakaian bahasa di daerah Pays Doc, Prancis Selatan. Menurutnya, jumlah penutur bahasa daerah Occitan, Gascon, Langedocian, dan Provoncel di Pays Doc tersebut mengalami penurunan. Bahasa-bahasa tersebut kebanyakan hanya dikuasai dengan baik oleh masyarakat yang sudah berumur lima puluh tahun ke atas sedangkan masyarakat kelompok usia muda lebih menguasai bahasa Prancis. Hal itu menyebabkan fungsi dan peran bahasa daerah itu tergeser oleh perkembangan bahasa Prancis yang begitu pesat. Hal lain yang juga dapat mempercepat pergeseran bahasa tersebut adalah karena di daerah-daerah tersebut terdapat industri yang didatangi oleh para imigran dari Italia dan Spanyol.

Selain itu, Sumarsono (1993) telah pula meneliti diglosia bahasa Melayu Loloan di Bali. Menurutnya, masyarakat gayup Loloan adalah masyarakat yang


(33)

dwibahasawan karena hampir setiap anggota gayup tersebut mampu menguasai bahasa gayup yang lain. Dengan demikian, di dalam gayub Loloan, bahasa Melayu Loloan dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu Loloan hanya berperan dalam ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan agama. Akhirnya Suamarsono menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya diglosia itu cenderung ‘bocor’. Maksudnya, pemakai bahasa Indonesia sudah mulai merembes ke ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan kekariban.

Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di atas, penelitian itu telah menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang fenomena diglosia dan sikap kebahasaan, khususnya penutur bahasa Simalungun di kota Pematangsiantar.

2.3 Kerangka Berpikir

Dengan pembatasan bahwa faktor internal dan eksternal mempengaruhi pilihan bahasa maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Prestise Sosial

Identitas Diri

Motivasi Instrumental

Motivasi Integrasi

Sikap Bahasa Masyarakat Tutur

R

ana

h P

ili

ha

n

B

ah

as


(34)

2.4 Klarifikasi Istilah

Klarifikasi istilah pada tulisan ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi tentang istilah yang digunakan sebab istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini adakalanya mempunyai makna yang berbeda pada bidang ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu, makna istilah-istilah tersebut ditinjau berdasarkan konsep sosiolinguistik. Adapun istilah-istilah itu, yakni:

1) sikap bahasa adalah kepercayaan, penilaian, dan pandangan terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakatnya serta kecenderungan untuk berperilaku terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakatnya di dalam cara tertentu,

2) ranah adalah lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat (misalnya, keluarga, pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dsb.). Sementara itu, ranah penggunaan bahasa adalah susunan situasai atau cakrawala interaksi yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa. Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status hubungan-peran, lingkungan, dan pokok bahasan tertentu. Ranah yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah ranah kekeluargaan, pergaulan, pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, terminal, keagamaan, adat, dan tetangga,

3) diglosia adalah tingkatan perbedaan linguistik dari perbedaan stylistik yang paling lembut di dalam satu bahasa sampai pada penggunaan dua bahasa yang sama sekali berbeda.


(35)

4) fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat deterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam), dan


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain dan Teknik

Untuk mencapai tujuan penelitian ini diperlukan prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan. Untuk keperluan itu, penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian Kausal-Komperatif (Ex Pos Facto). Metode ini lebih ditujukan untuk melihat dan mengkaji hubungan antara dua variabel atau lebih. Adapun variabel yang dikaji telah terjadi sebelumnya melalui perlakuan orang lain (Sujana, 2001).

Dalam penelitian ini, berkaitan dengan fenomena diglosai dan sikap bahasa responden, ada dua variabel yang akan diungkap, yakni variabel bebas dan variabel terikat. Dengan demikian, penelitian ini, dalam hal fenomena diglosia akan mengungkap bagaimana hubungan variabel ranah (variabel bebas) mempengaruhi pilihan bahasa seseorang (variabel terikat). Sedangkan dalam hal sikap penutur bahasa Simalungun akan diungkapkan bagaimana hubungan dua variabel, yakni variabel sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Toba dan bahasa Indonesia dan variabel yang diduga berpengaruh terhadap sikap penutur bahasa Simalungun, yakni faktor internal dan eksternal. Variabel faktor internal dan eksternal ditempatkan sebagai variabel bebas dan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Toba dan bahasa Indonesia sebagai variabel terikat.


(37)

1) Prestise Sosial

Sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Toba dan bahasa Indonesia

Ranah

Penggunaan Bahasa Pilihan Bahasa

Adapun varibel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan fenomena diglosia digambarkan seperti terdapat dalam diagram berikut. Variabel bebas Variabel terikat

Selanjutnya, varibel bebas dan variabel terikat, yang berkaitan dengan sikap bahasa digambarkan seperti terdapat dalam diagram berikut.

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2 : Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Dalam penyediaan data, istilah yang sarankan Sudaryanto (1993:10—11) menggantikan pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode yang biasa dipakai dalam sosiolinguistik, yakni ancangan (pendekatan) Sosiologi, yakni penelitian perihal kebahasaan di dalam konteks sosial, yang dikaji adalah prilaku kelompok bukan prilaku perseorangan. Dengan demikian, metode yang digunakan, yakni metode survei: metode penelitian untuk mengumpulkan dan menganalisis data sosial melalui daftar pertanyaan atau kuesioner yang sangat berstruktur dan rinci

2) Identitas Diri

3) Motivasi Instrumental


(38)

dengan tujuan memperoleh informasi dari sejumlah besar responden yang dianggap mewakili populasi.

Sementara itu, teknik yang digunakan, yakni teknik kuesioner survei dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dan semi tertutup.

Dalam menganalisis data, metode dan teknik yang digunakan, yakni metode statistik dengan mengunakan teknik statistik deskriptif dan statistik analitik. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian dalam bentuk persen dan nilai rata-rata. Data yang dijaring dari para responden adalah pengakuan diri (self-report) dari tiga generasi, yakni kelompok umur remaja, dewasa, dan orang tua (berdasarkan jenis kelamin [gender], pendidikan, dan ranah berdasarkan peristiwa bahasa).

Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert, yaitu dengan cara meminta responden menandai satu posisi pada skala penilaian (rating scale), misalnya 1—5 sesuai dengan pilihan bahasa dan kesetujuan atau ketidaksetujuannya atas sebuah pertanyaan. Selanjutnya, untuk sikap bahasa responden, di dalam daftar pertanyaan disediakan lima pilihan jawaban dengan bobot (nilai) sebagai berikut. Nilai 5 untuk sangat setuju, 4 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 2 untuk tidak setuju, dan 1 untuk sangat tidak setuju. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden inilah nantinya akan diketahui


(39)

nilai rata-rata (mean) untuk setiap pertanyaan. Nilai rata-rata ini diperoleh dengan menggunakan rumus berikut.

(n1 x 1) + (n2 x 2) + ... (n5 x 5) n1 + n2 + ... n5

Dalam hal ini, n1 = jumlah responden yang memberikan nilai 1 untuk karakteristik yang bersangkutan, dan seterusnya, terakhir, n5 = jumlah responden yang memberikan nilai 5 untuk karakteristik yang bersangkutan. Nilai rata-rata ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, misalnya nilai 1,00—2,50 dianggap atau ditafsirkan tidak setuju dan itu dikategorikan sikap negatif. Sementara itu, nilai 2,60—5,00 dianggap setuju dan dikategorikan sebagai sikap positif.

Sementara itu, dalam hal fenomena diglosia, untuk pertanyaan yang menyediakan tiga pilihan jawaban, yakni nilai bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan

bahasa Indonesia akan disesuaikan dengan pilihan jawaban responden sebab jawaban

responden bisa lebih dari satu jawaban. Untuk itulah maka jawaban responden dalam pengolahan data akan dikonversikan sesuai dengan jawaban responden atas pertanyan yang diajukan terdiri dari 3 jawaban dapat menjadi 4—7 jawaban. Untuk mencari nilai rata-rata penggunaan bahasa responden rumus yang digunakan sama dengan rumus di atas. Nilai rata-rata yang diperoleh untuk tiap-tiap pertanyaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kecenderungan diglosia yang tidak bocor atau diglosia yang bocor. Selanjutnya, untuk menentukan standar rentang nilai sebagai indikator menentukan bocor atau tidaknya diglosia terlebih dahulu ditentukan nilai tengah (median) dengan mengunakan rumus berikut.


(40)

n1 + n2 + n3 + ... n7 n

Dalam hal ini, n1—n7 = nilai indeks jawaban responden dan n = jumlah jawaban. Diglosia diinterpretasikan (ditafsirkan) bocor atau tidak bocor, untuk pertanyaan yang terdiri atas 4 jawaban, berdasarkan rumus di atas, mediannya adalah: 4 + 3 + 2 + 1 = 10 = 2,50. Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada 4 4

pada kisaran 1,00—2,50 diglosia diinterpretasikan bocor dan sebaliknya, diglosia diinterpretasikan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 2,60—4,00.

Untuk pertanyaan yang terdiri atas 5 jawaban, mediannya adalah 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 15 = 3,00.

5 5

Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada pada kisaran 1,00—3,00 diinterpretasikan diglosia bocor, sebaliknya, diglosia ditafsirkan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 3,10—5,00.

Untuk pertanyaan yang terdiri atas 6 jawaban, mediannya adalah 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 21 = 3,50. Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada 6 6

pada kisaran 1,00—3,50 diinterpretasikan diglosia bocor, sebaliknya, diglosia ditafsirkan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 3,60—6,00. Selanjutnya, untuk pertanyaan yang terdiri atas 7 jawaban, mediannya adalah 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 21 = 4,00. Dengan demikian, jika nilai rata-rata 7 7

rata berada pada kisaran 1,00—4,00 diinterpretasikan diglosia bocor, sebaliknya, diglosia ditafsirkan tidak bocor jika nilai rata-rata ada pada kisaran 4,10—7,00. Di samping itu, dengan data tersebut akan dilakukan perhitungan frekuensi dan


(41)

persentase penggunaan setiap bahasa tersebut dalam setiap ranah/domain untuk melihat apakah pemertahanan bahasa pada setiap ranah itu masih berlangsung atau tidak karena fenomena diglosia akan berdampak pada lebih disukainya salah satu bahasa sehingga mengakibatkan bahasa yang tidak disukai itu cepat atau lambat akan punah.

Selanjutnya, untuk menentukan persentase penggunaan bahasa responden digunakan rumus: n1 + n2 + ... n5 X 100%

N

Dalam hal ini, n1 = jumlah responden yang memberi jawaban terhadap karakteristik yang bersangkutan dan N = jumlah seluruh responden. Rentang nilai yang diacu sebagai indikator berlangsung atau tidak berlangsungnya pemertahanan bahasa Simalungun berdasarkan persentase penggunaan bahasa ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan nilai tengah (median) dengan menggunakan rumus: 100% : 2 = 50%. Dengan demikian, nilai tengah (median) adalah 50% maka rentang nilai 0%--50% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa Simalungun pada penuturnya tidak berlangusung dan rentang nilai 51%--100% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa Simalungun pada penuturnya berlangsung.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah masyarakat penutur asli bahasa Simalungun yang berdomisili di wilayah ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Barat. Hal ini dilakukan sebab tuntutan sikap kebahasaan


(42)

frekuensinya sangat tinggi di wilayah perkotaan, sesuai dengan tuntutan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat tutur yang representatif.

Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian ini, yakni untuk mengetahui fenomena diglosia dan sikap masyarakat terhadap pilihan bahasa, dalam penelitian ini, hanya sebagian elemen atau objek saja yang diteliti atau hanya meneliti elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Sejalan dengan itu, Milroy dalam Gunarwan (2002:46), mengatakan bahwa untuk penelitian kebahasaan, pemercontoh (sampling) yang besar cenderung tidak perlu. Hal itu karena prilaku linguistik itu lebih homogen daripada prilaku-prilaku lain. Walaupun demikian, pemercontoh dalam penelitian ini tetap menggunakan desain pemercontoh yang lazim dalam penelitian pada umumnya, yakni menentukan pemercontah dengan cara acak-berlapis, dengan rincian sebagai berikut: a) mewakili kelompok remaja; usia 17—25 tahun, b) mewakili kelompok dewasa; usia 26—50 tahun, dan c) mewakili kelompok orang tua; usia 51—60 tahun. Jumlah pemercontoh ditetapkan enam puluh responden dari populasi dengan cara menstratifikasi populasi berdasarkan tingkat generasi (remaja, dewasa, dan orang tua), yakni dua puluh responden per generasi yang terdiri atas sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan. Di samping itu, penentuan jumlah sampel didasarkan dengan menggunakan teknik quota sampel. Penggunaan teknik quota sampel ini perlu menetapkan strata populasi berdasarkan tanda-tanda yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap variabel yang akan diselidiki. Setelah strata-strata telah ditetapkan dengan pasti, kemudian ditentukan quota yang memadai dan


(43)

memenuhi serta dapat mewakili populasi atau sebagai populasi (Mardalis:1999). Sejalan dengan Mardalis, sampel pada penelitian ini memiliki ciri yang khas, yaitu asli suku Simalungun yang berdomisili di Pematangsiantar.

Sejalan dengan itu, pemilihan responden juga dilakukan berdasarkan syarat-syarat penentuan responden yang memenuhi syarat-syarat. Samarin (1988:55), mengatakan bahwa seseorang yang meneliti suatu bahasa dengan tujuan menemukan deskripsi bahasa itu sebenarnya memerlukan tidak lebih seorang informan yang baik.

Syarat-syarat pemilihan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan kriteria sebagai berikut:

1) penutur asli bahasa Simalungun berusia 17 sampai dengan 60 tahun yang sekarang tinggal di kota Pematangsiantar,

2) tidak pernah atau tidak lama meninggalkan tempat asal, 3) berasal dari masyarakat tutur dialek Simalungun, 4) setidak-tidaknya berpendidikan SD,

5) dapat berbahasa Indonesia,

6) sehat dan tidak mempunyai cacat wicara, 7) bersedia menjadi responden,

8) tidak mudah tersinggung, bersifat jujur, terbuka, sabar, dan ramah, 9) teliti, cermat, dan mempunyai daya ingat yang baik, dan


(44)

3.3 Lokasi, Peta, Keadaan Geografis, dan Kependudukan

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar yang berkedudukan di pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik, yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaaan sebagai raja tahun 1906.

Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk di antaranya, Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum kota Pemantangsiantar, yaitu:

1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang. 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota.

3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-Pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, dan Bane.

4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah Belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan Belanda. Pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu, Pematangsiantar bekembang mendjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru. Kota Pematangsiantar terletak pada garis 30 01’ 09”- 20 54’ 40” Lintang Utara dan 990 6’ 23”- 990 1’ 10” Bujur Timur, berada di tengah-tengah Kabupaten Simalungun.


(45)

Luas daratan kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km2 terletak 400 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan luas wilayah menurut kecamatan, kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Marihat dengan luas wilayah 25,831 Km2 atau sama dengan 32,30 persen dari total luas wilayah kota Pematansiantar. Secara administrasi wilayah kota Pematangsiantar terbagi atas delapan kecamatan dengan 43 kelurahan. Adapun kecamatan yang dimaksud, yaitu:

1) Kecamatan Siantar Marihat, 2) Kecamatan Siantar Marimbun, 3) Kecamatan Siantar Selatan, 4) Kecamatan Siantar Barat, 5) Kecamatan Siantar Utara, 6) Kecamatan Siantar Timur,

7) Kecamatan Siantar Martoba, dan 8) Kecamatan Siantar Sitalasari.

Adapun letak kedelapan kecamatan itu dapat dilihat pada peta wilayah kota Pematangsiantar berikut ini.


(46)

Kec. Siantar

Utara

Kec. Siantar

Timur

Kec. Siantar Barat

Kec.Sitalasari

Kec. Siantar Selatan

Kec. Marimbun

Sumber data: Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar (2008) Gambar 3 : Peta Kota Pematangsiantar


(47)

Selanjutnya, luas wilayah, jumlah penduduk, kelurahan, dan penduduk kota Pematangsiantar dirinci menurut masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Kelurahan, dan Penduduk Kota Pematangsiantar

No. Kecamatan Luas

Areal (Km2)

Jumlah Kelurahan

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (Per Km2)

1. Kecamatan Siantar

Marihat

7,825 4 19,607 2.506

2. Kecamatan Siantar

Marimbun

18,006 3 13,294 738

3. Kecamatan Siantar

Selatan

2,020 6 21,855 10.819

4. Kecamatan Siantar Barat 3,205 8 48,531 15.142 5. Kecamatan Siantar Utara 3,650 7 51,431 14.091 6. Kecamatan Siantar Timur 4,520 7 44,076 9.751

7. Kecamatan Siantar

Martoba

18,022 4 28,110 1.560

8. Kecamatan Siantar

Sitalasari

22,723 4 23,081 1.016

TOTAL 79,971 43 249,985 55.623


(48)

Sementara itu, jumlah penduduk kota Pematangsiantar menurut suku dan kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2a. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan Kecamatan

No . Kecamatan Suku Bangsa Tapanu li/ Toba

Jawa Sima - lung

un

Madi na

Cina Mina

ng Kar

o

1. Kecamatan Siantar

Marihat

16.043 1.75 2

666 395 17 18 410

2. Kecamatan Siantar Marimbun

10.878 1.18 7

452 268 12 12 278

3. Kecamatan Siantar

Selatan

14.243 1.30 9

1.35 5

444 2.687 127 1.09 7

4. Kecamatan Siantar

Barat

9.042 21.5 84

1.68 2

4.69 3

3.083 1.78 7

371

5. Kecamatan Siantar

Utara

24.519 8.77 8

3.92 0

4.07 7

1.702 2.98 1

324

6. Kecamatan Siantar

Timur

26.572 5.40 5

4.70 5

1.79 2

1.875 529 1.13 9

7. Kecamatan Siantar

Martoba

9.533 13.1 59

2.11 0

1.35 3

149 313 448

8. Kecamatan Siantar

Sitalasari

7.828 10.8 04

1.73 2

1.11 1


(49)

TOTAL 118.658 63.978 16.622 14.133 9.647 6.025 4.436 Tabel 2b. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan Kecamatan

No. Kecamatan

Suku Bangsa

Melayu Nias Acerh Pakpak Lainnya Jumlah/

Total 1. Kecamatan Siantar

Marihat

22 91 21 18 154 19.607

2. Kecamatan Siantar Marimbun

15 61 14 13 104 13.294

3. Kecamatan Siantar Selatan

26 100 13 13 441 21.855

4. Kecamatan Siantar Barat

695 127 265 18 5.184 48.531

5. Kecamatan Siantar Utara

320 138 92 39 4.541 51.431

6. Kecamatan Siantar Timur

191 299 100 99 1.370 44.076

7. Kecamatan Siantar Martoba

218 147 118 29 533 28.110

8. Kecamatan Siantar Sitalasari

179 120 97 23 438 23.081

TOTAL 1.666 1.083 720 252 12.765 249.985

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar (2008)


(50)

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Latar Belakang Kebahasaan

Di wilayah Kabupaten Simalungun terdapat sepuluh bahasa daerah yang digunakan. Di kota Pemantangsiantar latar belakang bahasa seperti ini semakin heterogen karena kedudukan kota itu sebagai ibu kota Kabupaten Simalungun. Bahasa Simalungun


(51)

merupakan bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi antarkeluarga dan antaranggota masyarakat. Di samping itu, bahasa Simalungun juga merupakan alat pendukung kebudayaan daerah. Dalam fungsinya sebagai alat pengembangan kebudayan daerah, bahasa Simalungun masih dipakai dalam kesusateraan daerah seperti dalam pantun (umpasa), peribahasa, mantera, serta kolom khusus bahasa Simalungun di surat kabar lokal. Begitu pula dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan, upacara meninggal dan berbagai aspek kebudayaan daerah yang dianggap khas bahasa Simalungun masih terus dipakai. Bahasa Simalungun dibagi atas dua dialek, yaitu dialek Simalungun Atas dan dialek Simalungun Bawah, masyarakat Simalungun mempunyai beberapa marga yang mendiami wilayah Simalungun, antara lain, marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang terkenal dengan istilah Sisadapur (Sangti, 1978).

4.2 Identitas Sosial Responden

Identitas sosial responden mengacu pada ciri-ciri yang berkenaan dengan masyarakat bahasa yang dijadikan pemercontoh (sampling) pada penelitian ini. Dengan demikian, ciri-ciri sosial responden akan dihitung berdasarkan jumlah pemercontoh. Adapun jumlah responden berdasarkan identitas sosial yang diidentifikasi, yakni:

1. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jumlahnya, responden pada penelitian ini adalah enam puluh orang, terdiri atas 30 responden laki-laki dan 30 responden perempuan. Penetapan jumlah sampling yang sebanding antara responden laki-laki dan responden perempuan


(52)

dilakukan dengan mengabaikan dikotomi prilaku bahasa laki-laki dengan perempuan sehingga pada penelitian ini prilaku bahasa dilihat secara umum (general). Adapun data yang diperoleh dari pengakuan responden berkaitan dengan identias responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Jumlah Responden Berdasarlan Jenis Kelamin (N=60)

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-Laki 30 50%

Perempuan 30 50%

Total 60 100%

2. Jumlah Responden Berdasarkan Usia

Tingkat usia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap dan pilihan bahasa seseorang dalam berkomunikasi. Dengan asumsi itu maka data responden pada penelitian ini dijaring melalui kuesioner berdasarkan penstratifikasian usia. Dengan demikian, jumlah responden berdasarkan usia, terdiri atas, usia 17—25 tahun (mewakili kelompok remaja) sebanyak 20 responden, terdiri atas: laki-laki 10 responden atau sebesar 33,33% dan perempuan sebanyak 10 responden atau 33,33%. Usia 26—45 tahun (mewakili kelompok dewasa) sebanyak 20 responden, terdiri atas: laki-laki 10 responden atau sebesar 33,33% dan perempuan oleh 10 responden atau 33,33%. Usia lebih dari 46 tahun (mewakili kelompok orang tua) sebanyak 20 responden, terdiri atas: laki-laki 10 responden atau sebesar 33,33% dan perempuan sebanyak 10 responden atau 33,33%.


(53)

Berdasarkan data di atas, jumlah responden menurut usia dipaparkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Jumlah Responden Berdasarkan Usia (N=60)

Usia

Laki-Laki Wanita

F % F %

17—25 10 33,33% 10 33,33%

26—45 10 33,33% 10 33,33%

>46 10 33,33% 10 33,33%

Total 30 100% 30 100%

3. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan

Apabila dilihat dari segi pendidikan, para responden mempunyai jenjang pendidikan yang bervariasi. Dari data 60 responden, yang berpendidikan sarjana sejumlah 17 responden atau 28,33%, Diploma sejumlah 11 responden atau 18,33%, SMA sejumlah 29 responden atau 48,33%, SMP sejumlah 3 responden

atau 5,00%, dan responden yang memiliki jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) pada data penelitian ini tidak ada. Sementara itu, proporsi responden berdasarkan jenjang pendidikan ini tidak proporsional, yakni SMA paling tinggi disebabkan, secara umum pada dekade ini, rata-rata tingkat pedidikan masyarakat lebih banyak pada tingkat SMA.

Dari data jenjang pendidikan responden ini dapat dikatakan bahwa para responden sudah bebas dari buta aksara dan umumnya telah menempuh pendidikan formal yang memadai, yakni yang berpendidikan tingkat perguruan tinggi mencapai 46,67% dan tingkat pendidikan pertama dan menengah mencapai 53,33% sehingga dapat ditafsirkan bahwa para responden telah bersentuhan dengan bahasa di luar


(54)

komunikasi yang formal sewaktu di sekolah.

Adapun jenjang pendidikan para responden itu dipaparkan pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan (N=60)

Pendidikan F %

Sarjana 17 28,33%

Diploma 11 18,33%

SMA 29 48,33%

SMP 3 5,00%

SD 0 0,00%

Total 60 100%

4. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan

Berkaitan dengan pekerjaan responden, data yang diperoleh menunjukkan bahwa responen yang bekerja sebagai pegawai negeri sebanyak 19 responden atau 31,67%, yang bekerja sebagai wirausaha/berjualan sebanyak 19 responden atau 31,67%, yang bekerja sebagai petani sebanyak 2 responden atau 3,33%, dan yang belum bekerja atau masih berstatus pelajar sebanyak 20 responden atau 33,33%. Penjaringan data berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan responden didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan pekerjaan juga dapat mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Hal itu akibat dari tuntutan formal dan tidak formalnya komunikasi para responden. Dengan demikian, berdasarkan jenis pekerjaan data di atas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan (N=60)

Pekerjaan F %


(55)

Wiraswasta/Berjualan 19 31,67%

Bertani 2

3,33%

Sekolah dan lainnya 20

33,33%

Total 60 100%

5. Jumlah Responden Berdasarkan Mobilitas

Berkaitan dengan mobilitas responden, diperoleh data bahwa lama tinggal para responden berdomisili di kota Pematangsiantar menunjukan bahwa 12 responden atau 20% berdomisili kurang dari 10 tahun dan 48 responden atau 80% telah berdomisili lebih dari 10 tahun di kota Pematangsiantar. Dari data yang diperoleh itu, menunjukkan bahwa para responden yag tinggal lebih dari 10 tahun masih dominan (80%) sehingga dapat diasumsikan bahwa para responden paling tidak masih bersentuhan dengan bahasa Simalungun. Dengan demikian, data responden di atas dipaparkan dalam tabel berikut.

Tabel 7. Jumlah Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Siantar (N=60)

Lama Tingal F %

< 10 Tahun 12 20%

> 10 Tahun 48 80%


(56)

Kemampuan bahasa responden pada penelitian ini mengacu pada kemampuan responden berbahasa Simalungun, penguasaan responden terhadap bahasa lain di luar bahasa Simalungun, dan kemampuan bahasa berdasarkan hubungan intrakelompoknya. Dengan demikian kemampuan berbahasa responden pada penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari persentase yang cukup tinggi atas jawaban “Ya” atau mampu berbahasa Simalungun. Data itu diperoleh atas pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner, yaitu:

8. Apakah Anda dapat berbahasa Simalungun?

Berdasarkan pertanyaan tesebut, diperoleh jawaban responden atas pertanyaan (8) adalah sebagai berikut: yang menyatakan “Ya” sebanyak 41 responden atau 68%, yang menyatakan “Sedikit-sedikti” sebanyak 18 responden atau 30%, dan yang menyatakan “Tidak” sebanyak 1 responden atau 2%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para responden masih loyal dalam menggunakan bahasa Simalungun yang ditunjukan dengan frekuensi kemampuan berbahasa Simalungun masih tinggi, yakni (98%). Dengan demikian, data itu dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun (N=60)

Atribut

Bahasa Simalungun


(57)

Ya

Sedikit-sedikit Tidak

41 18 1

68% 30% 2%

Total 60 100%

2. Situasi Bahasa Responden

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa jawaban responden akan pertanyaan:

9. Selain bahasa Simalungun, bisakah Anda berbahasa lainnya, misalnya?

menunjukkan bahwa responden yang mampu berbahasa Toba/Indonesia/Lainnya (BT/BI/BL) sebanyak 4 responden atau 6,67%. Responden yang mampu berbahasa Toba/Indonesia (BT/BI) sebanyak 31 responden atau 51,67%, yang mampu berbahasa Indonesia/lainnya, bahasa Karo, (BI/BL) sebanyak 1 responden atau 1,67%, dan yang mampu berbahasa Indonesia (BI) sebanyak 24 responden atau 40%.

Untuk itu, kemampuan bahasa responden terhadap bahasa di luar bahasa Simalungun disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 9. Kemampuan Berbahasa Responden (N=60)

BT/BI/BL BT/BI BI/BL BI Jumlah

F %

F %

F %

F %

F % 4

6,67%

31 51,67%

1 1,67%

24 40%

60 100%


(58)

Berdasarkan data yang terdapat dalam tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa responden pada dasarnya adalah multibahasawan. Dikatakan demikian karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa diluar bahasa Simalungun. Jika dilihat dari persentase penguasaan bahasa responden di luar bahasa Simalungun (BS) maka 6,67% responden menggunakan bahasa Toba, Indonesia, dan bahasa lainnya (BT/BI/BL), 51,67% responden menguasai bahasa Toba/Indonesia (BT/BI), 1,67% responden dapat berbahasa Indonesia dan bahasa lainya (BI/BL), dan 40% responden dapat berbahasa Indonesia. Sementara itu, berdasarkan data itu juga dapat disimpulkan bahwa 100% dari jumlah responden dapat berbahasa Indonesia (BI).

3. Hubungan Intrakelompok Responden

Hubungan intrakelompok, dalam hal ini, melibatkan anggota-anggota etnis yang sama. Data tentang frekuensi dan persentase hubungan intrakelompok diperoleh berdasarkan jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan berikut.

10. Apakah di lingkungan tempat tinggal Anda terdapat orang-orang yang sesuku dengan Anda?

Adapun jawaban yang diberikan responden dapat dilihat pada tabel di bahwah ini.

Tabel 10. Daftar Intrakelompok di Lingkungan Tempat Tinggal Responden (N=60)

Banyak Agak Bayak Sedikit Tidak Ada Jumlah


(59)

50 83% 7 12% 3 5% 0 0% 100 100%

Berdasarkan tabel 10 di atas pengakuan responden bahwa di lingkungan tempat tinggalnya masih “banyak” yang suku dengannya oleh 50 responden atau 83%, 7 responden atau 12% mengaku “agak banyak”, 3 responden atau 5% mengaku “sedikit”, dan tidak ada responden yang tidak mempunyai tetangga yang sesuku dengannya. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa hubungan intrakelompok para responden masih tinggi, yakni 83%. Tidak satu pun responden yang di lingkungan tempat tinggalnya tidak terdapat orang yang sesuku dengannya. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa para responden masih dalam komunitas Simalungun yang sangat kental.

4.4 Penggunaan Bahasa Berdasarkan Ranah

Adapun ranah yang menjadi objek penelitian ini sebanyak sepuluh ranah. Ranah-ranah yang dimaksud, yakni Ranah-ranah adat, Ranah-ranah keluarga, Ranah-ranah agama, Ranah-ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan.

4.4.1 Ranah Adat

Data yang berkaitan dengan rahan adat ini diperoleh dari jawaban responden atas pertanyaan berikut.

34. Jika berbicara dalam acara adat Simalungun (komunitasnya suku Simalungun) bahasa apa yang Anda gunakan?


(60)

35. Jika berbicara dalam acara adat Toba (komunitasnya suku Toba) bahasa apa yang Anda gunakan?

Setelah jawaban responden diolah maka diperolehlah frekuensi, persentase dan nilai rata-rata penggunaan bahasa pada ranah adat ini. Adapun pengakuan responden apabila berbicara dalam acara adat Simalungun yang interlokutornya komunitas suku Simalungun, yang mengaku menggunakan bahasa Siamalungun (BS) sebanyak 39 responden atau 65%, pengguna bahasa Indonesia (BI) sebanyak 10 responden atau 16,67%, dan yang mengaku menggunakan bahasa Simalungun/Toba/Indonesia (BS/BT/BI) sebanyak 1 responden atau 1,67%, dan yang tidak menjawab/blangko sebanyak 10 responden atau 16,87%. Adapun penyebab responden yang blangko itu adalah akibat dari usia responden remaja

masih relatif muda sehingga belum terlibat dalam kegiatan acara adat. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (34) ini sebesar 1,22.

Jawaban responden atas pertanyaan (35) sebagai berikut. 27 responden atau 45% menggunakan bahasa Toba (BT), 22 responden atau 36,67% menggunakan bahasa Indonesia (BI) dan 1 responden atau 1,67% responden yang menggunakan bahasa Toba/Indonesia (BT/BI). Sementara itu, 10 responden atau 16,67% tidak memberikan jawaban atau blangko. Adapun penyebab responden yang blangko itu adalah akibat dari usia responden remaja masih relatif muda sehingga berlum terlibat dalam kegiatan acara adat. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (35) ini sebesar 2,07.


(61)

Selanjutnya, pertanyaan (34), (35) itu diajukan kepada respenden juga untuk melihat kemultibahasaan responden, yakni dibuktikan dengan pilihan bahasa responden atas penggunaan bahasa Simalungun (BS), Toba (BT), dan bahasa Indonesia (BI) yang menunjukkan bahwa para responden umumnya, selain menguasai bahasa ibunya, bahasa Simalungun (BS), juga menguasai bahasa Toba (BT) (45%) dan bahasa Indonesia (BI) (100%).

Dengan demikian, penggunaan bahasa responden dalam ranah adat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 11. Ranah Adat (N = 60)

No. Penggunaan Bahasa Peristiwa Bahasa

BS/BT/BI BI BT BS Blangk

o Jumlah Nilai Rata-Rata F % F % F % F % F % F % 1 . Acara adat Simalungun 1 1,67% 10 16,67% 0 0% 39 65% 10 16,87% 60 100% 1,22 2 . Acara adat Toba 1 1,67% 22 36,67% 27 45% 0 0% 10 16,67% 60 100% 2,07 Keterangan:

Nilai rata-rata 1,00—2,50 rentang nilai interpretasi diglosia bocor Nilai rata-rata 2,60—4,00 rentang nilai interpretasi diglosia tidak bocor

Lebih lanjut, dari tabel ranah adat di atas dapat diinterpretasikan bahwa situasi diglosia pada ranah adat dengan interlokutor komunitas etnis Simalungun, pertanyaan (34) telah mengalami kebocoran sebab apabila dilihat dari nilai rata-rata penggunaan


(1)

36. Bahasa apa yang Anda gunakan dengan teman di sekolah jika di luar kelas

(istirahat)?

(

Jika Anda masih sekolah

)

a. Simalungun

b. Toba

c. Indonesia

d. Lainnya (………..…………)

37. Bahasa apa yang Anda gunakan dengan teman di sekolah jika di dalam kelas

(saat belajar)? (

Jika Anda masih sekolah

)

a. Simalungun

b. Toba

c. Indonesia

d. Lainnya (……….…………)

38. Bahasa apa yang paling sering Anda gunakan dalam keseharian Anda?

a. Simalungun

b. Toba

c. Indonesia

d. Lainnya (………...…………)

39. Menurut Anda bahasa apa yang dalam berbicara terasa lebih akrab?

a. Simalungun

b. Toba

c. Indonesia

d. Lainnya (……….…………)

40. Menurut Anda bahasa apa yang dalam berbicara terasa lebih indah?

a. Simalungun

b. Toba

c. Indonesia

d. Lainnya (……….…………)

41. Kemampuan dan kemahiran berbahasa lebih dari satu bahasa menunjukkan

intelegensi/kepAndaian seseorang.


(2)

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

42. Penggunaan bahasa Simalungun menunjukkan kepercayaan diri.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

43. Penggunaan bahasa Simalungun menunjukkan lambang keakraban/keintiman.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

44. Penggunaan bahasa Simalungun menunjukkan keramah-tamahan.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

45. Pengetahuan tentang bahasa Simalungun berarti menjamin hubungan komunikasi

di masyarakat akan berjalan dengan baik.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

46. Bahasa Simalungun diperlukan sebagai lambang atau identitas suku Simalungun.

a. Sangat setuju


(3)

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

47. Bahasa Simalungun tidak diperlukan sebagai lambang atau identitas suku

Simalungun

karena bahasa Indonesia sudah merupakan lambang identitas kewarganegaraan

Indonesia.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

48. Penggunaan bahasa Simalungun menunjukkan kesan kemajuan/modern.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

49. Penggunaan bahasa Simalungun menunjukkan kesan keterbelakangan.

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Bio Data Responden

Nama : ………

Alamat: ……….


(4)

Lampiran 2

No. Jawaban Responden Atas Pertanyaan Pada Kuesioner

Urt 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Remaja

1 b b a a b c d c b a c c c c c c c c c

2 b b a a b a d b b a c c c c c c c c c

3 b b a a b a d a b a a c a c a c c a c

4 b b a a a a d a bc a a c a c c c c a c

5 b b a a a c d a b a a c a c a a a a c

6 b b a a a d d a b a a c a c a a a a c

7 b b a a b c d a b a a c a c c c c a c

8 b b a a b c d b b a a c a c c c c c c

9 b b a a b c d b b a c c c c c a a a c

10 b b a a a c d b b a c c c c a a c a c

11 a b a a a a b b b a c c a c a a c a c

12 a b a a a c d b b a a c a c c c c a c

13 a b a a a a d b b a a c a c c c a c c

14 a b a a a d b a b a a c a c c c a c c

15 a b a a b a b a ab a a c a c a c c a c

16 a b a a b a b a b a a c c c a a c a c

17 a b a a b c d b b a a c c c a a c a c

18 a b a a b b d b b a a c a c c c a c c

19 a b a a b c d a b a c c a c c c c c c

20 a b a a b c d a b a a c c c a c c a c

Dewasa

21 b a b a b a a b ab b a c c c c c c c c c c

22 b a b a b a a b ab c c c c c c c c c c c c

23 b a b a a a a b ab c c c c c a a a c c c


(5)

25 b a b a a b a b b a c c c c c c c c c c c

26 b a b a b c a a b a a c c c c c c c c c c

27 b a b a b c a a ab a a c a c a a a a c a c

28 b a b a b b a a b a a c c c c c c c c c c

29 b a b a a a b b b a c c a c ac c c a a c

30 b b b a b b b b b a c c c c c c c c c

31 a a b a b c b a abc a a c a c a a ab a c a c

32 a a b a b c d a ab a a c ac bc ac a a ac ac a bc

No. Dewasa (sambung)

Urt 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

33 a a b a b c d a ab b a c a c c a a a c a c

34 a a b a b a b a ab a a c a c a a a a a c

35 a a b a b c b a ab b ac c ac c c ac ac ac c c c

36 a a b a b c b a abc a abc bc c bc a a a ac ac a bc

37 a a b a b a b a ab a a bc a bc ac a a a c ac bc

38 a a b a b a a a ab b a b a b c c c a c a b

39 a a b a b c a a ab a ac c abc bc c c c c c ac bc

40 a a b a b c c a ab a a c a c a a a ac ac a a

Orang Tua

41 a a c a b a a a ab c ac c ac c ac a a ac c ac c

42 a a c a b c d a ab a a c a c a a a ac ac a c

43 a a c a b b a a ab a abc c b ab b a a b c b abc

44 a a c a b d c a ab a a c a c a a a a a a c

45 a a c a b c a a ab a a c a c a a a a a a c

46 a a c a b a a a ab a a c a c a a a a a a c

47 a a c a b c b a ab a a c a ab a a a ac c a abc

48 a a c a b c b a ab a a c a ab a a a ac c a abc


(6)

50 a a c a b c b a ab a a c a c a a a c a a abc

51 b a c a b b a a ab a a c a c a a a a a a c

52 b a c a b c a a ab b a c ac c c a a c c c c

53 b a c a b b a b ab a ac c a c b b b b c a c

54 b a c a b c d a b b a c a c a a a a c a c

55 b a c a b b a a ab a abc ac a ac a a a a a a ac

56 b a c a b b a a abc a a c a c a a a a c a c

57 b a c a b b b a ab a a c a c a a a a c a c

58 b a c a b b b a ab a a c a c a a a a c a c

59 b a c a b c b a ab a a c a ac a a a a c a c