11
BAB II KERANGKA TEORI
Analisis Semantik Kontekstual atas Penerjemahan Kata Arab Serapan Studi Kasus kata
Hikmah, Fitnah dan Amanah A.
Penerjemahan A.1
Pengertian Penerjemahan
Menurut Eugene A.Nida dan Charles R.Taber, dalam buku The Teory And Practice of Translation,
menerjemahkan adalah memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima sasaran dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.
9
Dibandingkan dengan menerjemahkan teks-teks lainnya, menerjemahkan teks al- Qur‟an sangat sulit karena menilai mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi
kesalahan dalam terjemahan-terjemhan al- Qur‟an.
10
B. Penerjemahan al-Qur’an
B.1 Sejarah Penerjemahan al-
Qur’an di Indonesia
Al- Qur‟ȃn al-Karîm diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan
oleh Abdul Ra‟uf al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad ke 17 M, jelasnya ke dalam bahasa Melayu. Terjemahan tersebut bila dilihat dari segi
ilmu bahasa tata bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perintis jalan.
9
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, Flores: Nusa Indah, 1989, h. 11
10
M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, Jakarta: al-Huda, 2007, h.268
12
Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan Islam di Yogyakarta, Qur‟an kejawen dan Qur‟an sundawiyah, terbitan percetakan
A.B. Siti Syamsiah Solo, tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawir Khalil, tafsir al- Qur‟an Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus 1935. Terjemahan al-Qur‟an ke dalam
bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam penerjemahan itu menggunakan
pendekatan puitis. Pemerintahan RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al-
Qur‟an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai
pada masa pemerintahan sekarang ini. Al- Qur‟an dan terjemahannya yang telah
beredar di masyarakat dan yang telah berulang kali dicetak ulang dengan penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian
pemerintah terhadap penerjemahan al- Qur‟an itu.
11
B.2 Jenis-Jenis Terjemahan al-
Qur’an
Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu amanat dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Maka, teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran dan
penjelasan. Karenanya, ketika menerjemahkan ke dalam bahasa yang dituju, harus memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman akurat seperti yang
diinginkan bahasa aslinya.
12
11
M. Ali Hasan dan Rif‟at syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.h. 177
– 180
12
Ibid., h.269-272
13
B 2.1 Penerjemahan Tekstual
Adalah penerjemahan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hingga
akhir. Contoh kalimat;
A’ȗdzubiȊȊahi min al-syaithȃni al-rajîm.
Diterjemahkan; Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Bismill ȃhi al-rahmâni al-rahîm.
Diartikan; Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan
penerjemah, karena alas an ini, mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan
sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah.
Kami tidak perlu membahas penerjemahan tekstual ini tidak mampu memindahkan keindahan dan daya tarik pembahasan. Penerjemahan tekstual bisa
dianggap sebagai metode penerjemahan yang paling tidak layak dan tidak mendapat tempat di hati para ilmuwan dan peneliti, khususnya yang berkaitan dengan buku-
14
buku ilmiah. Metode penerjemahan seperti ini bisa diterapkan untuk pengalihbahasaan kalimat pendek. Namun, jika pembahasan yang dipaparkan adalah
pembahasan ilmiah dan panjang, maka metode ini tidak pernah bisa mengutarakan pokok pembahasan dan permasalahannya.
Penerjemahan al- Qur‟an secara tekstual akan menuai hasil yang buruk.
Karena, kebanyakan ungkapan-ungkapan di dalamnya menggunakan berbagai macam kiasan, analogi dan ekstensi. Kiasan dan analogi setiap bahasa hanya khusus untuk
bahasa itu sendiri dan hal itu tidak bisa digunakan ke dalam bahasa lain. Kalau kita ingin menerjemahkan ayat 29, surah al-
Isra‟ dengan metode tekstual:
wal
ȃ
taj’al yadaka maghlȗlatan ilȃ ‘unuqika walȃ tabsuthȃ kulla al-basti fataqu’da mal
ȗmȃn mahsȗrȃn.
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
[852] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.
Pembaca terjemahan ini akan kebingungan, mengapa Allah melarang membelenggu tangan dan mengulurkannya. Harus diperhatikan bahwa membelenggu tangan dalam
bahasa Arab bermakna kikir dan mengulurkan tangan adalah dermawan.
B 2.2 Penerjemahan Secara harfiyah lafdziyah
Terjemahan secara harfiyah yaitu menerjemahkan al- Qur‟an ke dalam bahasa
sasaran di mana jumlah dan susunan kata dalam terjemahan disesuaikan dengan bahasa lainnya. Contoh, kalimat
bismill ȃh diartikan dengan menyebut nama
15
Allah yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa
pemakai yang sudah beredar di masyarakat, contohnya adalah terjemahan Al- Qur‟an
Depag RI dari setiap edisi.
B 2.3 Penerjemahan Secara Tafsiriyah
Terjemahan secara tafsiriyah yaitu menerjemahkan arti ayat-ayat Al- Qur‟an di
mana sisi penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti Al- Qur‟an yang
diterjemahkan dengan lafadz-lafadz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa asli. Model penerjemahan seperti itu juga sudah banyak di
masyarakat. Salah satunya adalah karya Mahmud Yunus. Contohnya penerjemahan kata
iq ra’ menurut M. Qurais Shihab, kata iqra’ memiliki beraneka ragam arti,
yaitu diantaranya „menyampaikan‟, „menelaah‟, „membaca‟, „mendalami‟, „meneliti‟, „mengetahui ciri-ciri tertentu‟.
13
B.3 Kaidah-Kaidah
Bahasa Arab
yang Perlu
Diperhatikan dalam
Menerjemahkan al- Qur’an
14
B 3.1 Redaksi yang bersifat umum =
‘ȃmm
a. „ȃmm adalah lafaz yang mencakup semua anggotanya tanpa ada pembatasan.
Seperti; Kull
setiap seperti firman Allah:
kullu nafsin dz ȃiqatu
al-ma ȗt setiap makhluk hidup akan merasakan kematian. Lafaz-lafaz yang
13
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misba, Vol. 15, h. 392-393.
14
Moch.Syarif Hidayatullah, 2007. h. 30 - 32
16
dima‟rifahkan dengan „al‟ yang bukan
lil ‘ahdi al al untuk menunjukan
bahwa hal tersebut telah disebut terlebih dahulu contoh:
inna al- ins
ȃna lafî khusrin sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian.
b. Isim nakirah dalam konteks nafyi, nahy, dan syarat, seperti:
fal ȃ rafatsa walȃ jidȃlu fî al-haji falȃ tsaqila lahumȃ ufin, ina ahada min al-
musyrikîna istij ȃraka fa ajrahu hattȃ
yasma’u kalȃmullȃhu. B 3.
2 Macam-Macam ‘ȃmm
„ȃmm terbagi menjadi tiga: pertama; „ȃmm yang tetap dalam keumumannya
al „ȃmm al-Baqi ala umumih. Contoh: wall
ȃ hu ‘alȃ kulli syain
qadîr. Kedua
;
„Amm yang dimaksud khusus al „amm al-murad bihi al-khusus.
Contoh: al-ladzîna q
ȃla lahumu al-nȃsa qad jama’ȗ lakum. Kata „an-nas‟ yang kedua adalah Abu Sufyan. Keduanya tidak
dimaksudkan untuk makna umum. Ketiga;
„Amm yang dikhususkan al-„amm al- makhsus
.
„Amm semacam ini banyak ditemukan di dalam al-Qur‟an:
wallȃhu ‘alȃ al-nȃsihijju al-baiti man istatȃ’a ilaihi sabîlȃn.
1.
Khas dan Mukhasshish
17
Kh ȃs
adalah lawan kata „amm, karena ia tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa hambatan. Sedangkan mukhasis adalah yang
mengkhususkan sesuatu yang umum. Mukhasis dibagi menjadi dua, yaitu muttasil dan munfasil
. 2.
Logika Bahasa
innam ȃ al-sadaqȃtu lil fuqarȃi wa al-masȃkîni wa al-
‘ȃmilîna ‘alaihȃ wa al- muallafatu qul
ȗbihim wafî al-rraqȃbi wa al-ghȃrimîna wa sabîli Allȃh wa ibni sabîlin.
Menurut asal bahasanya mencakup seluruh taat dan ibadah. Maka jikalau diartikan secara umum, zakat bisa diberikan kepada setiap orang yang shalat, puasa,
berdzikir, dan lain-lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mendahulukan hakikat
syara‟ daripada adat dan bahasa, mendahulukan yang mahsyur daripada yang syadz. Juga memperhatikan makna asli kata agar tidak menggunakan kiasan sebelum ada
qarinah yang memperbolehkan menggunakan kiasan. Qarinah tersebut ada tiga
macam. Pertama, aqliyah, seperti:
wa as alu al-qaryati allatî kan ȃ
fîh ȃ. yang dimaksud di sini adalah penduduk desa bukan desa tersebut. Kedua
18
lafziah , seperti:
mitslu n ȗrahu kamisykȃti fîhȃ misbȃh ketiga:
„urfiah, seperti:
waq
ȃ
la fir’auna yȃhȃmȃni ibnu lî sarhȃn la’allȃ ablaghu al-asbȃbi
3.
Memperhatikan Tujuan Kalimat
Memperhatikan tujuan bahasa al- Qur‟an yang beragam sangat membantu
penerjemah untuk menerjemahkan ayat-ayat al- Qur‟an, seperti kata
ijtin ȃbun
dalam ayat pengharaman khamar. Banyak orang yang beranggapan kata tersebut tidak mengandung tahrim jazim keharaman yang pasti, seperti pengharaman
bangkai, darah, daging babi yang menggunakan kata
hurmatun.
Kalau diteliti kata
ijtin ȃbun atau kata yang berasal darinya, selalu dibarengi
dengan kata syirik, dosa-dosa besar, atau perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa besar, seperti yang terdapat pada surat al-Nahl, 36; al-Hajj, 30; al-Nisa, 31. Dari
beberapa ayat disurah-surah itu dan maksud penggunaan kata
ijtin ȃbu tersebut,
kata lebih berat daripada
tahrîmun.
4.
Memperhatikan Konteks Kalimat
Salah satu aturan untuk menerjemahkan al- Qur‟an adalah harus memperhatikan
konteks ayat, konteks kalimat yang berhubungan dengan maksud ayat. Imam al- Zarkazy dalam al-Burhan, seperti dikutip al-Qardhawy. Hal ini penting untuk
19
menentukan arti, seperti kata
al-kit ȃbu dalam al-
Qur‟an mengandung banyak arti, diantaranya mengandung arti
al-qur ’ȃnu
seperti dalam surah al-Baqarah, 2; al-
An‟am, 165; al-Hadid, 25.
C.Wawasan Semantik C.1 Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema kata benda yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti manandai atau
melambangkan . Tanda atau lambang itu sendiri seperti dikemukakan Ferdinand De
Saussure terdiri dari dua bagian, yaitu komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau makna dari
komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar
bahasa yang disebut referen atau hal yang ditunjuk.
15
C.2. Semantik Kontekstual Teori Kontekstual
Nadzariyah Siy ȃqiyah
Konsep teori kontekstual diprakarsai oleh Antropologi Inggris Bronislaw Melinowski berdasarkan pengalamannya ketika ia hendak menerjemahkan konsep
suku Trobriand yang diselidiki ke dalam bahasa Inggris. Ia tidak dapat menerjemahkan kata demi kata atau kalimat antardua bahasa. Itu sebabnya, ia
15
Abdul Chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. Ke-2, h.2
20
mengatakan, “the meaning of any utterace is what it does in some context of situation.”
16
J.R Firth dalam membuat pertimbangan terhadap karya B. Malinowski mengatakan bahwa yang mengemukakan teori konteks situasi ini mula-mula Philip
Wegemer, lalu Sir Allan Gardiner, dan kemudian dia sendiri. Ia mengatakan obyek studi bahasa ialah penggunaan bahasa sehari-hari. Tujuan studi ini ialah memecahkan
aspek-aspek bermakna bahasa sedemikian rupa sehingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dihubungkan nada korelasi.
Makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam bahasa kalimat. Misalnya kata baik, jika ia bersanding pada seseorang maka makna terkait dengan
budi pekerti yang dimiliki. Namun jika kata baik oleh seorang dokter kepada pasien, maka ia berarti sehat. Begitu juga jika kata baik oleh pedagang buah, maka artinya
adalah segar, bersih dan bergizi. Kata hub mencintai dalam kalimat ana uhibbu ummî saya mencintai ibuku
yang disampaikan pada saat kesusahan dengan ana uhibbu umî dalam suasana lebaran, akan berbeda kadar makna mencintai karena konteks emosinya yang
berbeda. Begitu pula penggunaan kata dalam konteks-konteks yang lain.
17
Teori semantik kontekstual adalah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain diantara unit-unitnya, dan selalu
16
Jos Daniel Parera, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural Edisi kedua
Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991, h.74-75
17
Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, Malang: UIN Malang Press, 2007, h. 29-40
21
mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang
dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: a konteks kebahasaan, b konteks
emosional, c konteks situasi dan kondisi, dan d konteks sosio-kultural. Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat
menentukan makna yang berbeda, seperti taqdim posisi didahulukan dan ta‟khir
diakhirkan, seperti: “
Ahmadun utimma qir ȃatu al-kitȃbu
berbeda dengan
qir ȃatu al-kitȃbu utimuhȃ Ahmadun konteks emosional dapat
menentukan makna bentuk kata dan struksturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti “membunuh”, yaitu
ight ȃla dan
qatala
yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial tinggi dan dengan motif politisi, sedangkan yang kedua berarti
membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial tinggi.
Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-
nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna demikian dapat dijumpai dalam
22
peribahasa, seperti:
balagha al-saili al-zub ȃn
maknanya adalah “Nasi telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah mencapai tempat yang tinggi”.
Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat oleh
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia
terlepas dari konteks situasi. Singkatnya hubungan makna itu bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui
beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.
18
Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Walaupun demikian, ada pakar
semantik yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder
sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, pendapat yang membedakan makna primer
atau makna dasar dan makna skunder atau makna kontekstual secara tidak eksplisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.
Teori ini dikembangkan oleh Filsuf Jerman Winttgenstein berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu
18
Moh. Matsna, Orientasi Semantik al-Zamarkhsyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, Jakarta: Anglo Meedia, 2006, h. 21-23
23
selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak mantap di luar kerangka pemakaiannya.
19
Jika Anda mendengar ujaran “matikan”, makna akan muncul dalam pikiran Anda “matikan” apa. Ujaran “matikan” sudah pasti tidak muncul secara serta merta.
Ujaran “matikan” berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya atau pengetahuan bersama yang telah dimiliki bersama. Ujaran itu mungkin dapat be
rmakna “matikan lampu, matikan mesin mobil, matikan radio, matikan seekor binatang yang
berbahaya, atau juga matikan seorang penjahat”. Untuk memahami makna sebuah wacana, perlu pemahaman akan konteks keberlangsungan ujaran-ujaran. Berbagi
pengetahuan dan pengetahuan bersama merupakan salah satu syarat pemahaman wacana secara kontekstual.
20
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada kalimat berikut.
a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
d. Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.
e. Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks juga dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. sebagai contoh; tiga kali empat
19
Ibid., h.45 - 48
20
J
. D. Parera, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004, h. 2-5
24
berapa? Apabila dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran Matematika
berlangsung tentu akan dijawab “dua belas”. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah. Namun, kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya
atau di tempat kerja nya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ratus” atau
mungkin juga “tiga ratus” atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pas foto yang berukuran tiga
kali empat centi meter.
21
C.3 Rincian dalam Konteks
22
Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi keadaan, peristiwa dan proses yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat dirinci. Setiap orang
pembicara memiliki cara untuk memperkenalkannya sesuai dengan konteks. Ciri- ciri orang dapat diperjelas acuannya, misalnya dengan ciri fisik luar atau dengan
uraian yang agak emosional, bahkan dapat pula dinyatakan dengan perbuatan yang sedang dilakukan orang tersebut. Bila perhatikan antara lain ada:
1. Rincian ciri luar fisik;
Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, binatang secara fisik, atau ciri luar yang menyangkut milik atau ciri luar bagian dari tubuh
yang menonjol secara fisik. Contoh: Pandangannya tertuju kepada laki-laki yang tegap, berkumis tebal, dengan dahi lebar
. 2.
Rincian emosional
21
Abdul Chaer, Linguistik Umum Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, h. 288 - 291
22
Ibid., 35-37
25
Rincian emosional berhubungan erat dengan makna feeling di dalam semantik. Makna feeling perasaan berhubungan dengan sikap pembicara, situasi pembicaraan.
Rincian emosional di dalam konteks wacana menyangkut masalah perasaan emosi. Contoh: Gadis cantik yang mungil itu duduk bersimpuh di atas permadani.
3. Rincian perbuatan
Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakan yang dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalam di dalam konteks wacana. Rincian perbuatan
menunjukkan atau mengacu pada unsur-unsur sebagai ciri atau pewatas acuan orang, binatang, benda tertentu. Contoh: Laki-laki yang sedang berjalan itu, guru saya.
4. Rincian campuran mis., rincian emosional dan perbuatan
Rincian campuran terjadi antara rincian emosional dan perbuatan, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosional, dan sebagainya. Upaya yang digunakan
merupakan campuran dari rincian fisik, perbuatan, dan emosional, oleh karena itu disebut campuran. Contoh: Mila yang cantik itu mengambil gelas dari dapur, ia
berbaju hijau pada waktu itu, serta rambutnya yang ikal sebatas bahu membuat wajah bulat itu bertambah menarik. Gelas itu diberikan kepada temannya yang berkumis
tipis berperawakan mungil seperti perempuan, tangannya gemetar menuangkan wiski ke dalam gelas tadi.
C.4 Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan
Makna dan terjemah mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu
unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di
26
dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna. Oleh sebab itu menurut Suryawinata ada lima macam makna, yaitu makna leksikal, gramatikal, tekstual,
kontekstual atau situasional, dan makna sosiokultural.
23
Berkaitan dengan penerjemahan, makna merupakan referensi dasar bahasa yang selalu diperhatikan.
24
Teori semantik kontekstual dalam dunia penerjemahan memiliki peran yang sangat penting karena makna suatu kata seperti makna konotatif
dalam prakteknya sangat bergantung pada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat. Contoh: kata
kit ȃbun dalam makna dasar bermakna
“buku” tetapi, ketika kata kitab dihubungkan dengan konsep Islam serta kemudian ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata penting al-
Qur‟an seperti Allah, wahy, tanzil
dan sebagainya akan mengalami pengembangan dan perluasan maknanya, seperti kitab suci, al-
Qur‟an, maupun Bibel Yahudi dan Kristen ketika direlasikan dengan kata ahl dalam perbincangan al-
Qur‟an.
25
Makna kontekstual dalam terjemahan berfungsi satu lafadz berfungsi untuk menunjukan makna hakiki. Disamping itu, lafadz yang mengandung makna majazi
23
“Makna dan Terjemahan”, artikel diakses Rabu, 232011 dari http:www.himasaunpad..com2010_12_01_archive.html
24
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008, h. 136
25
phil. M. Nur Kholis Setiawan, al- Qur‟an Kitab Satra Terbesar Yogyakarta: Elsaq Press,
2005, h. 167
27
lebih halus diungkapkan dan mudah ditangkap, kerena bersifat inderawi, sehingga lebih mengena dalam hati pendengar.
26
Makna kontekstual menjadi sangat penting dalam penerjemahan karena makna kontekstual menjadi bagian dari teks yang mempengaruhi proses dalam
penerjemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu teks terjemahan meliputi faktor kontekstual, tekstual dan penerjemahan. Makna kontekstual sangat
berpengaruh terhadap hasil tulisan karena teks ditulis oleh seorang penulis pada suatu konteks tertentu. Oleh karena itu, segala hal yang dipahami penulis pada masa ia
hidup akan mempengaruhi apa yang ditulisnya dalam teks tersebut. Sehubungan dengan itu, dalam menerjemahkan teks, konteks tidak dapat dilepaskan darinya.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan konteks produksi teks meliputi sejarah bahasa, penulis teks, budaya tempat teks ditulis atau dihasilkan, wilayah tempat teks
dihasilkan, variasi sosial teks, dan topik teks. Dengan faktor-faktor inilah setiap penerjemah akan menghasilkan terjemahan yang berbeda dari suatu teks yang sama.
Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kompetensi penerjemah, wawasannya dan kamus yang digunakannya dalam proses menerjemahkan.
Teks tidak muncul begitu saja, tetapi teks dihasilkan dari suatu ruang dan waktu tertentu di suatu masa. Jika sebuah teks ada sekarang, teks tersebut tentunya
26
Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamarkhsyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, Jakarta: Anglo Meedia, 2006, h. 103
28
diproduksi dari masa yang lebih lampau daripada sekarang. Dengan kata lain, teks bertalian dengan sejarah.
27
D. Kata Serapan