Karya – Karya M. Quraish Shihab

43 Dalam menafsirkan al- Qur‟an M. Quraish Shihab menggunakan metode Ijmaliy atau global, yaitu dengan cara memperkenalkan secara singkat surah-surah al- Qur‟an baik yang berkaitan dengan intisari kandungan ayat-ayatnya, tujuan kehadiran surah tersebut, maupun pelajaran atau pesan singkat yang dikandungnya. Dengan mengetahui intisari kandungan ayat, dapat dikenal kandungan surah. Dengan menghayati tujuan surah, dapat mengayunkan langkah menuju tujuan itu dan dengan memperhatikan pelajaran dan pesan-pesan singkat yang terhidang, semakin mengukuhkan tekad untuk melaksanakannya hingga pada akhirnya kita semua mencapai tingkat ulul albab. Seperti firman-Nya Qs. al-Baqarah: 269. Metode muqaran komparatif yang antara lain berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat yang lain atau hadits Nabi saw yang kelihatannya bertentangan atau bahkan pendapat dua ulama atau lebih menyangkut ayat-ayat tertentu dan metode maudhuiy atau disebut juga metode tauhidiy, yang menyajikan pesan ayat-ayat al- Qur‟an yang berbicara tentang satu topik dalam satu kesatuan utuh.

C. Karya – Karya M. Quraish Shihab

Quraish Shihab merupakan seorang penulis yang produktif menulis berbagai karya ilmiah yang berupa artikel dalam majalah maupun buku-buku yang diterbitkan. Quraish Shihab menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beliau juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Lebih dari 20 buku telah lahir dari tangannya. Sosoknya juga sering tampil diberbagai media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual. Aktivitas utamanya sekarang adalah 44 Dosen Guru Besar Pascasarjana Universitas Islam Negeri UIN Jakarta dan Direktur Pusat Studi al- Qur‟an PSQ Jakarta. 41 Berbagai karyanya, antara lain: Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan antara lain : 42 Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984, Filsafat Hukum Islam Jakarta: Departemen Agama, 1987, Mahkota Tuntunan Ilahi Tafsir Surat Al-Fatihah Jakarta: Untagma, 1988, Membumikan Al Quran Bandung: Mizan, 1992, Studi Kritis Tafsir al-Mannar: Keistimewaan dan Kelemahannya 1994, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat .Mizan, 1996 dan juga menjadi best seller. Isinya menyangkut berbagi persoalan yang dijelaskan secara tematis sesuai imformasi al- Qur‟an, Haji Mabrur Bersama Quraish Shihab 1997, Menyingkap Tabir Illahi Asma‟ul Husna dalam Perspektif al- Qur‟an 1998, Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur‟an dan Hadits 1999, Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al- Qur‟an lengkap 30 Juz Jakarta: Lentera Hati, Al- Qur‟an dan Maknanya 2010. Dan masih banyak lagi karya tulisnya yang belum disebutkan, baik itu berupa makalah, rubrik dalam berbagai surat kabar, maupun buku-buku yang diterbitkan. 41 M. Quraish Shihab, Lentera al- Qur‟an Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2008, h. 5 42 “Quraish Shihab dan Tafsirnya”, artikel diakses pada hari Kamis, 4 Februari 2011, dari http:tafsirbetawie.wordpress.com20090813m-quraish-shihab-dan-tafsirnya 45 Karya M. Quraish Shihab dalam bidang penerjemahan misalnya; dalam al- Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama Kemenag terjemah itu disusun secara cermat oleh pakar-pakar yang berkompeten di bidangnya. Pertama kali terbit 1965, terlibat dalam penyusunannya sejumlah tokoh antarlain Hasbi Ash-Shiddiqi, Anwar Musaddad, Ali Maksum, dan Bustami Abdul Ghani. Pada 1989 secara redaksional, terjemah itu disempurnakan oleh Tim yang terdiri antara lain Satria Effendi Zain, M Quraish Shihab. Terjemah di sempurnakan ulang secara menyeluruh pada 1998-2002. Turut tergabung dalam tim tersebut diantaranya Ahsin Sakho Muhammad dan Ali Mustha fa Ya‟qub. 43 Demikianlah beberapa karya Qurais Shihab yang dapat Penulis paparkan pada bagian ini. Tentunya masih banyak karya-karya yang belum disebutkan, baik berupa makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar maupun majalah. D. Sekilas Tentang al- Qur’an dan Maknanya Al- Qur‟an dan Maknanya merupakan salah satu karya seorang pakar ilmu tafsir yang sangat berkualitas melakukan penggalian-penggalian makna atau nash- nash al- Qur‟an. Penguasaannya atas berbagai cabang ilmu al-Qur‟an dan hadits, serta cabang-cabang ilmu lainnya yang terkait tidak perlu diragukan lagi. 43 Al- Qur‟an dan Terjemahnya Bukan Pemicu Aksi Terorisme. Artikel diakses pada hari Selasa, 10 Mei 2011 dari http:www.republika.co.idberitadunia-islamislam- nusantara110502lkkdz9-alquran-dan-terjemahnya-bukan-pemicu-aksi-terorisme. 46 Quraish memberi judul karyanya ini dengan istilah “Al-Qur‟an dan maknanya”, bukan “Al-Qur‟an dan Terjemahannya”. Kata “makna” memiliki arti yang jauh lebih dinamis, dalam dan tidak terbatas daripada kata “terjemah”. Melalui pemaknaan yang dilakukannya, redaksi nash-nash ayat suci Al- Qur‟an terasa lebih “hidup” dan lebih memiliki “ruh”. Ada spirit yang lebih menggerakan dibandingkan dengan penerjemahan yang sudah ada a tau menurut istilahnya “lebih nendang”. 44 Kehadiran Al- Qur‟an dan Maknanya diharapkan dapat membantu untuk memahami sekelumit dari makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat al- Qur‟an. Ia bukan terjemahan al- Qur‟an karena pada hakikatnya, sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, al- Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan. Paling banter yang dapat dihidangkan hanyalah sebagian maknanya, bukan seluruhnya, dan makna itu pun menurut sudut pandang manusia, bukan makna hakiki yang dimaksud Tuhan. Memang, setiap kalimat bahkan kata yang dihasilkanditulis oleh siapa pun, lebih-lebih firman Allah, hanya pengucappenulisnya yang mengetahui secara pasti maksudnya, sedang pemahaman pendengar atau pembacanya bersifat relative, tidak pasti. Dalam al- Qur‟an dan Maknanya ditulis makna dan tujuan surah karena tidak jarang mereka yang memaknai ayat-ayat al- Qur‟an, baik manusia awam atau lebih- lebih pengalih bahasa, sering kali sulit menggambarkan kandungan makna ayat-ayat 44 “Al-Qur‟an dan Maknanya M. Quraish Shihab”, opini diakses tanggal 14 April 2011 dari http:media.kompasiana.combuku20110223al-quran-dan-maknanya-prof-dr-m-quraish- shihab 47 yang kalimatnya berbentuk “jumlah ismiyah nominal senstence” dengan yang berbentuk “jumlah fi‟liyah verbal senstence, sebagai contoh, firman Allah:            Waja’ala kalimata al-ladzîna kafarȗ al-ssuflȃ wa kalimatu Allȃhi hiya al-‘ulyȃ. al-tauhah: 40 Ada yang memaknai ayat ini dengan menyatakan: “Allah swt. Selalu menempatkan orang-orang kafir itu di tingkat yang rendah, selalu kalah, dan kalimat Allah yaitu agama yang didasarkan atas tauhid, jauh dari syirik, selalu ditempatkan di tempat yang tinggi .” Pemaknaan di atas tidak sepenuhnya memperlihatkan perbedaan antara “kalimat orang kafir” dan “kalimat Allah”. Keduanya menurut pemaknaan di atas “ditempatkan Allah”, padahal ayat tersebut bermaksud menggambarkan perbedaan antara keduanya. Yang satu ditempatkan Allah di bawah, sedangkan kalimat-Nya tidak ditempatkan-Nya di atas, tetapi ia selalu di atas- bukan karena ditempatkan Allah. Kalimat Allah demikian disebabkan oleh karena substansinya sendiri, bukan karena campur tangan Allah meletakannya di atas. Perbedaan ini dipahami dari perbedaan penggunaan jumlah fi‟liyah verbal sentence dengan jumlah ismiyah nominal sentence. Perbedaan itu juga dapat dipahami dari adanya kata ja‟alamenjadikan pada kalimat alladzina kafaru sedang pada “kalimatullah” kata tersebut tidak ditemukan. 48 Di sisi lain, bahasa al- Qur‟an cenderung singkat dan sarat makna. Tidak jarang satu ayat tidak menyebut beberapa kalimat karena apa yang dimaksud oleh kalimat yang tidak disebut itu telah “diisyaratkan” oleh kalimat yang disebut sebelum atau sesudahnya. Sebagai contoh firman-Nya dalam Qs. Yunus [10]: 67.                  Huwalladzî ja’ala lakumu allaela litaskunȗ fîhi wa al-nahȃra mubshirȃn inna fî dz ȃ lika la’ayȃti lliqaumim yasma’ȗna. Terjemahan ayat ini secara harfiah: “ Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan menjadikan siang terang benderang supaya kamu mencari karunia Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mendengar. ” Maknanya lebih kurang adalah: “Dialah yang menjadikan untuk kamu, malam gelap supaya kamu beristirhat padanya dan menjadikan yang terang benderang supaya kamu bersungguh-sungguh mecari rezeki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mau mendengarkan.” Banyak kata yang tidak disebut ayat di atas agar terhidang maknanya secara lebih jelas. Kata “gelap”, misalnya, tidak disebut pada penggalangan ayat yang berbicara tentang malam karena kata terang benderang telah disebut pada penggalan ayat yang berbicara tentang malam, yakni “siang”. Disisi lain, kalimat “supaya kamu bersungguh-sungguh mencari rezeki ” pada penggalan ayat berbicara tentang siang, tidak disebut lagi karena lawannya telah disebut sebelumnya, yakni “supaya kamu beristirahat.” Hal ini yang dinamai oleh pakar-pakar bahasa dengan ihtibak, dan banyak ditemukan dalam al- Qur‟an sehingga dalam konteks kejelasan makna, penyisipan 49 kata diperlukan. Disamping itu, penyisipan kalimat tidak jarang dibutuhkan juga akibat adanya penjelasan Nabi Muhammad saw yang tidak dapat diabaikan menyangkut maksud ayat tersebut. Sebagai contoh                                       ayy ȃmȃ ma’dȗdȃtin faman kȃna minkum marîdȃn au ‘alȃ safarin fa’iddatun min ayy ȃ min ukhara wa ‘ala al-ladzîna yuthîqȗnahu fidyatun tha’ȃmu miskînin faman tat awwa’a khairȃn fahuwa khairullahu wa an tashȗmȗ khairullakum in kuntum ta’lamȗna. “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, Maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, yaitu: memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. ” al-Baqarah: 184 Disini diperluk an sisipan. Pertama antara “dalam perjalanan” dan “maka”. Yakni dengan menyisipkan “lalu ia berbuka”. Sisipan ini diperlukan agar tidak timbul kesan bahwa yang sakit dan dalan perjalanan tidak boleh berbuka puasa, padahal Nabi saw. Bahwa mereka diberi alternative, boleh berpuasa, padahal nabi saw memberi mereka pilihan. Sedang sisipan yang kedua untuk memperjelas bahwa penggantian sebanyak sehari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain bersifat wajib, bukan sekadar anjuran. 50 Dalam al- Qur‟an dan Maknanya dijelaskan tidak kurang dari sepuluh syarat bagi mereka yang bermaksud “menerjemahkan” dalam arti menjelaskan makna-makna al- Qur‟an, antara lain: 1. Menghindari istilah-istilah teknis pembahasan-pembahasan ilmiah, kecuali yang dibutuhkan oleh pemahaman ayat. 2. Tidak menguraikan membahas teori-teori ilmiah. 3. Kalau pemahaman makna ayat membutuhkan pembahasan meluas, maka itu diletakkan pada catatan kaki. 4. Tidak terikat dengan madzhab tertentu, baik madzhab fiqih hukum Islam maupun teologi ilmu kalam. 5. Makna ayat dipetik dari Qira‟at Hafesh. 6. Tidak melakukan pemaksaan dalam menghubungkan satu ayat dengan ayat lain. 7. Menjelaskan tempat waktu turunnya ayat. Apakah Makkiyah atau Madaniyyah dan jumlah ayat-ayatnya. Dalam kitab ini terhidang juga sebagian dari asbab an-Nuzul sebab-sebab turun ayat-ayat tertentu yang menurut penilaian ulama-ulama bernilai shahih. Itu dimaksudkan untuk memperjelas makna ayat. Ini karena walau pun banyak sebab nuzul , tapi tidak semua shahih dan tidak semua juga diperlukan untuk memperjelas makna ayat. Dengan kata lain, ada ayat-ayat yang dapat dipahami walau tanpa mengetahui sebabkonteks turunnya. Catatan-catatan ilmiah yang terhidang disini pada umumnya terambil dari Tafsir al-Mukhatabah , yang disusun oleh sejumlah pakar Mesir, yang penulis jadikan 51 juga rujukan dalam karya penulis Tafsir al-Misbah. Selanjutnya, catatan akhir penulis bahwa apa yang terhidang di sini pada dasarnya terambil dari karya penulis tersebut. Ini untuk menyambut harapan sementara orang yang merasa tidak cukup waktu, atau kemampuan untuk membaca kitab tafsir yang terdiri dari lima belas jilid itu. tentu saja apa yang terhidang di sini tidak mencerminkan semua yang terhidang dalam Tafsir al-Misbah , namun semoga makna yang dihidangkan di sini sudah mengurangi sedikit dari dahaga siapa yang haus terhadap tuntunan al- Qur‟an. 45 45 M. Quraish Shihab, al- Qur‟an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, 2010, h. Pengantar 52

BAB IV Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan Studi