Struktur Birokrasi Analisis Model GC Edward

107 “ Standar pekerjaan yang harus dilakuin sih gak ada. Kami kerja ngikutin perintah dari mandor sama orang HSE aja.” cor “ SOP gak ada. Nunggu disuruh mandor dulu baru kerja.” besi “ SOP gak ada. Pokoknya tinggal ngerapihin sama bersih - bersih aja.” house keeping Pendapat yang berbeda diberikan oleh informan operator tower crane dan operator alimak mengenai adanya SOP dalam pekerjaannya. Mereka mengerti bahwa SOP merupakan prosedur kerja tertulis yang harus mereka lakukan dan mereka sudah mendapatkannya dari subkontraktor. “ Ada safety instruction dipasang di dalam. Dari subkon juga dikasih tahu.” alimak “ Operator alimak beda - beda jam kerjanya. Hari ini giliran saya selesai istirahat. Nanti malam gantian tempat sama operator yang lain. Besok saya masuk pagi.” alimak “ Cara mengoperasikan mesin crane saya ngerti. Prosedur kerja ada.” tower crane “ Sebulan sekali biasanya ada checklist. Jam kerjanya juga sudah dijadwal. Operator TC ada shift pagi sama shift malam. ” tower crane Dokumen - dokumen yang berkaitan dengan SOP yang bisa dibawa peneliti hanya jam kerja sedangkan checklist mesin dan peralatan hanya ditunjukkan tanpa diperbolehkan untuk dibawa pulang. 108

5.3.4.2 Fragmentasi

Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Kebijakan Permenakertrans No.1 1980 tentang K3 pada konstruksi bangunan memuat bab - bab tertentu menurut jenis pekerjaannya sehingga pada pelaksanaannya menuntut pekerja untuk dapat memahami betul pekerjaannya yang berbeda dengan pekerja lain walaupun bekerja di tempat yang sama. Untuk itulah dibutuhkan kesamaan visi oleh semua pekerja bahwa semua kegiatan proyek perlu diatur agar terhindar dari kecelakaan kerja dan tidak melanggar peraturan perundang - undangan sehingga diperlukan adanya tim HSE dalam proyek yang bertanggung jawab untuk itu. Secara garis besar bila dilihat dari struktur organisasi proyek , kedudukan dari tim HSE berada di bawah pimpinan proyek dan sejajar dengan quality control. Kemudian dibawahnya ada manajer operasional, manajer administrasi, dan pengendalian operasional projek. Dengan begitu terlihat bahwa K3 mempunyai kedudukan sangat penting di proyek sehingga semua kegiatan yang dilakukan oleh karyawan kontraktor dan pekerja lapangan diatur agar selalu aman dalam bekerja. Tidak hanya dalam struktur organisasi saja tim HSE mempunyai kedudukan yang tinggi, dalam struktur P2K3L Panitia Pembina K3 dan Lingkungan yang fokus dalam program kegiatan K3 kedudukan tim HSE juga amat penting. Hanya pimpinan proyek saja yang berada di atasnya, semua karyawan kontraktor dan pekerja lapangan dipimpin oleh tim HSE. 109 Gambar 5.1 Struktur Organisasi Proyek Project Manager Quality Control Officer HSE Officer Site Engineering Manager Pengendalian Operasional Project Site Operasional Manager Site Adminstrasi Manager Engineering Logistik Peralatan General Superintendant Superintendant Pengukuran Administrasi Umum Karya Laksana 110 Gambar 5.2 Struktur P2K3L Kedudukan dan tanggung jawab kegiatan K3 di proyek dijelaskan oleh Informan HSE proyek dan HSE pusat. “ K3 di proyek itu tanggung jawab saya kalau dilihat dari struktur organisasinya .” HSE proyek “ HSE di proyek secara struktur organisasi di lapangan berada di bawah pimpinan proyek. Namun dia tetap memberikan laporan pelaksanaan K3 ke saya.” HSE pusat Project Manager HSE Officer Quality Control Officer Site Engineering Manager Pengendalian Operasional Site Operasional Manajer Site Administrasi Manajer Logistik Security Subkontraktor Mandor 111 Informan quality control juga memberikan pernyataan mengenai kedudukan dan tanggung jawabnya di proyek dilihat dari struktur organisasi. “ Tanggung jawab saya disini memastikan bahwa semua bahan, mesin, dan peralatan sebelum mulai dipakai kerja sudah aman. Setiap bulan juga di- checklist lagi. Secara struktur organisasi saya ada di bawah pimpinan proyek. Saya koordinasi juga sama HSE .” Jika dilihat dari area yang lebih luas. Tanggung jawab dan kedudukan HSE pusat lebih tinggi daripada HSE proyek karena HSE pusat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program K3 di semua proyek yang berada di wilayahnya sedangkan HSE proyek hanya bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program K3 di proyek tempat dia bertugas saja. Perbandingan kedudukan dan tanggung jawab pelaksanaan program K3 antara informan HSE proyek dan HSE pusat dijelaskan oleh informan HSE pusat dan HSE proyek. “ HSE proyek bertanggung jawab terhadap pelaksanaan K3 di proyek. Bedanya sama saya, tanggung jawab dia hanya di proyek itu saja, kalau saya di semua proyek.” HSE pusat “ Kalau HSE pusat itu tanggung jawabnya ke semua proyek. Itu bedanya sama saya. Makanya saya rutin ngasih laporan ke dia.” HSE proyek 112 Ketika ditanyakan mengenai penyebaran tanggung jawab kepada para pekerjanya, informan HSE proyek juga memberi pernyataan bahwa terkait dengan urusan K3 semua pekerja bertanggung jawab langsung kepada tim HSE proyek. “ Semua pekerja disini bertanggung jawab penuh ke saya. Kalau ada apa - apa langsung saya yang turun tangan gak usah lewat mandor tapi tetep saya bilang ke mandor karena dia yang bawa kesini.” Khusus pekerja house keeping, mereka tidak berasal dari subkontraktor sehingga tanggung jawabnya langsung kepada HSE proyek. Berikut dijelaskan oleh informan HSE proyek. “ House keeping bukan dari subkontraktor. Saya yang langsung pimpin.” Ketika dikonfirmasi ke pihak pekerja, semua informan pekerja lapangan juga membenarkan pernyataan HSE proyek. Mereka mengetahui bahwa untuk urusan K3 semua pekerja bertanggung jawab langsung ke tim HSE proyek. “ Kalau urusan K3 kita ikut HSE.” kayu “ Terkait K3 yang mimpin HSE. Mandor juga bilang ikutin aja apa yang disuruh HSE.” cor “ Urusan K3 yang mimpin HSE.” alimak 113 Antar sesama pekerja yang berbeda mandor atau subkontraktor juga mengetahui tanggung jawab pekerja lain terhadap masalah K3 di proyek. “ Kalau soal K3 semuanya ikut HSE.” cor “ Saya rasa semua pekerja disini wajib nurut sama orang HSE.” kayu “ Pekerja lain kalau urusan K3 dipimpin sama HSE juga.” tower crane Dokumen yang berhasil didapat peneliti untuk memperkuat pernyataan informan di atas yaitu struktur organisasi dan struktur P2K3L Panitia Pembina K3 dan Lingkungan di proyek. 114

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti tidak dapat mengambil semua dokumen perusahaan yang terkait dengan penelitian ini karena sifatnya yang dirahasiakan. 2. Tidak ada satupun mandor yang dapat dijadikan informan di penelitian ini. Mereka beralasan bahwa mereka sudah cukup sibuk dengan pekerjaan mereka di proyek sehingga tidak bersedia dilibatkan dalam penelitian ini. Padahal mandor merupakan orang yang membawa pekerjanya bekerja di proyek. 3. Terkait dengan teknis mesin dan peralatan, kontraktor tidak mengetahui masalah pembuatan atau fabrikasinya. Kontraktor hanya menyewa mesin, peralatan dan alat - alat berat dari perusahaan pembuatnya. 4. Wawancara yang dilakukan kepada informan pekerja subkontraktor berlangsung pada saat jam kerja sudah selesai, pekerja merasa terganggu bila diwawancara saat bekerja. Pada saat istirahat juga tidak bisa dilakukan karena waktu istirahat yang hanya 1 jam. Faktor kelelahan setelah bekerja membuat pekerja menjawab pertanyaan dengan tergesa - gesa karena ingin segera beristirahat. 115

6.2 Implementasi Kebijakan Permenakertrans No.1 1980 Tentang K3

Konstruksi Bangunan Hasil dari obsevasi dibantu oleh safety supervisor menunjukkan bahwa masih adanya pelanggaran di lapangan yang tidak sesuai dengan isi kebijakan Permenakertrans No.1 1980 tentang K3 pada konstruksi bangunan. Hasilnya yaitu antara lain : 1. Tempat Kerja dan Alat kerja Pelanggaran yang berkaitan dengan tempat kerja dan alat kerja yaitu masih adanya bahan material yang berserakan di tempat kerja. Kondisi untuk lokasi yang terdapat proses pekerjaan masih terlihat bahan material seperti potongan baja dan potongan kayu yang berserakan. Kontraktor sebenarnya sudah membuat aturan yang menyatakan bahwa material bahan harus disusun dalam keadaan rapi agar tidak mencelakai pekerja yang lain namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Padahal kecelakaan kerja menurut Suma’mur 2009 selain karena faktor manusia juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan kerja. Kesalahan disini terletak pada cara penanganan material bahan dan alat kerja yang tidak diletakkan dengan baik saat bekerja. Peralatan dan material bahan yang berserakan dapat menyebabkan pekerja terluka karena menginjak atau membentur barang tersebut. 116 2. Alat Angkat Pelanggaran yang berkaitan dengan alat angkat yaitu tidak terlihat adanya aturan yang melarang orang melintasi daerah lintas keran jalan travelling crane. Material bahan yang diangkat oleh mesin tower crane dapat menyebabkan kecelakaan bila sampai jatuh dan tertimpa pekerja dibawahnya. Menurut informan HSE proyek pekerja biasanya akan menyingkir dengan sendirinya saat mesin tower crane sedang beroperasi dan lengannya hoist crane sedang terlihat di atasnya. Kontraktor sebenarnya sudah membuat identifikasi resiko yang isinya menyatakan bahwa mesin tower crane dapat menyebabkan kecelakaan kerja karena material bahan yang diangkat oleh mesin tower crane bisa sampai terlepas dan menimpa pekerja dibawahnya. Setelah identifikasi resiko selanjutnya perusahaan harus membuat pengendalian resiko. Resiko dapat dikelola dengan melakukan berbagai pilihan teknik yang tersedia, efesiensi, dan efektifitas secara menyeluruh. Pengendalian resiko secara hirarki dimulai dari eliminasi, substitusi, engineering, administratif, dan terakhir APD Suma’mur. 2009. Mesin tower crane mempunyai fungsi yang sangat vital dalam proses pembangunan gedung bertingkat dan tidak mungkin untuk dieliminasi atau digantikan. Aturan yang melarang pekerja melintasi daerah lintas keran jalan travelling crane adalah bentuk pengendalian administratif yang harus dilakukan. Mengandalkan kesadaran pekerja saja belum cukup tetap harus ada peraturan K3 yang dibuat. 117 3. Beton Pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan ujung - ujung besi yang mencuat yang tidak dilindungi atau dilengkungkan yang banyak terlihat di adonan beton yang sudah keras namun belum selesai seluruhnya. Kontraktor sebenarnya sudah membuat identifikasi resiko yang salah satu isinya menyatakan bahwa pekerjaan pembesian dalam pembuatan beton dapat menyebabkan kecelakaan apabila ujung besi yang mencuat sampai terinjak kaki pekerja atau menusuk bagian tubuh lainnya. Setelah identifikasi resiko selanjutnya perusahaan harus membuat pengendalian resiko. Resiko dapat dikelola dengan melakukan berbagai pilihan teknik yang tersedia, efesiensi, dan efektifitas secara menyeluruh. Pengendalian resiko secara hirarki dimulai dari eliminasi, substitusi, engineering , administratif, dan terakhir APD Suma’mur. 2009. Fungsi besi dalam pembuatan beton adalah sebagai rangka beton dan untuk memperkuat bagian dalam beton sehingga tidak mungkin untuk dieliminasi atau digantikan. Melengkungkan ujung besi yang mencuat merupakan bentuk pengendalian teknis yang dilakukan supaya ujung besi tidak terinjak atau melukai pekerja. 4. Alat Pelindung Diri Pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan bekerja di ketinggian. Pekerja yang bekerja di ketinggian di pinggir gedung sudah dilengkapi dengan full body harness namun pekerja enggan memakai ketika bekerja 118 dengan alasan tidak praktis dan lebih memilih safety belt. Selain itu masih ada saja pekerja yang tidak memakai APD seperti helm dan sepatu padahal sudah tersedia. Alasan utama yang banyak dikemukakan pekerja pada umumnya adalah alasan kenyamanan. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian Piri 2012 yang menyatakan bahwa alasan paling utama mengapa pekerja enggan menggunakan APD karena APD dianggap mengganggu pekerjaan. Selain itu juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dan kejadian kecelakaan kerja. Semakin tinggi faktor penggunaan APD maka akan menurunkan faktor kecelakaan kerja pada pekerja kontruksi. Bila pekerja di proyek tetap enggan menggunakan APD dalam pekerjaannya besar kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja di kemudian hari. Pekerja yang bekerja di ketinggian di pinggir gedung lebih memilih safety belt karena dianggap lebih praktis daripada full body harness padahal pemerintah melalui SK Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan No. 45 2008 tentang Pedoman Kerja di Ketinggian menyebutkan bahwa bekerja di ketinggian harus menggunakan full body harness. Full body Harness dapat menyanggah anggota tubuh dari leher sampai pangkal paha sedangkan safety belt hanya diikatkan ke pinggang. Apabila pekerja terjatuh dari ketinggian dapat menyebabkan patah tulang punggung.