Analisis model implementasi gc edward pada penerapan permenakertrans no.per.01/men/1980 tentang k3 konstruksi bangunan pada proyek apartemen dan hotel di Kemang Jakarta Selatan Tahun 2013

(1)

ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI GC EDWARD PADA

PENERAPAN PERMENAKERTRANS NO.PER.01/MEN/1980

TENTANG K3 KONSTRUKSI BANGUNAN PADA PROYEK

APARTEMEN DAN HOTEL DI KEMANG JAKARTA SELATAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

OLEH:

Rizqy Unggul Permadi NIM: 108101000018

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY

OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY Thesis, Juli 2014

Rizqy Unggul Permadi, NIM : 108101000018

ANALYSIS GC EDWARD IMPLEMENTATION MODEL ON THE APLICATION PERMENAKERTRANS NO.PER.01/MEN/1980 ABOUT CONSTRUCTION OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY OF THE PROJECT APARTMENTS AND HOTEL IN KEMANG SOUTH JAKARTA YEAR 2013

xvi + 157 pages, 13 tables, 8 pictures

This study aims to look how the implementation of one of the government’s policy in the field of occupational safety which is Permenakertrans No.1 / 1980 about construction occupational health and safety on the apartments and hotel development projects in the works by PT PP in Kemang, South Jakarta . This study uses a model approach that saw GC Edward model policy implementation based on four basic subtances namely communication, resources, disposition, and bureaucratic structures.

This study uses qualitative research methods. The information used comes from the informant interviews, field observations, and projects data related to work safety. Informants in this study was divided into 2 parts : 4 people who represent the main contractor and 5 people who represent sub-contarctor. Each informant has duties and responsibilities are different from each other.

The result showed that occupation safety violations related to the content of Permenakertrans No.1 / 1980 which are materials and equipment scattering in the workplace, you do not see arrangement faucet cross the street of the crane, not curved the tip of iron manufacture of concrete, and the existence of workers who are not using PPE.


(7)

vi

In each subtance based on GC Edward model the are problems resulting from the implementation of Permenakertrans No.1 / 1980 about construction occupational health and safety on the building construction is not going well. Problems are that there are not competent workers to work, recruitment of workers only based ages not skill, workers commitment to implement occupational safety is still lacking, the application of strict punishment is not done, and there are still many information related work safety and standard operational procedures that have not been socialized to workers.

Recommendation are given to company that repair worker recuitment system, the provision of safety training to workers specifically according to the type of work, the application of punishment was more emphasized, and dissemination of standard operating procedures for workers overall.

Keywords : Policy, Implementation, Construction References : 53 (1991 - 2013)


(8)

vii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014

Rizqy Unggul Permadi, NIM : 108101000018

ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI GC EDWARD PADA PENERAPAN PERMENAKERTRANS NO.PER.01/MEN/1980 TENTANG K3 KONSTRUKSI BANGUNAN PADA PROYEK APARTEMEN DAN HOTEL DI KEMANG JAKARTA SELATAN

TAHUN 2013

xvi + 157 halaman, 13 tabel, 8 gambar

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana penerapan salah satu kebijakan pemerintah di bidang keselamatan kerja yaitu Permenakertans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan pada proyek pembangunan apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT PP di Kemang, Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan model GC Edward yang melihat implementasi kebijakan berdasarkan 4 substansi dasar yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Metode penelitian bersifat kualitatif. Informasi yang digunakan bersumber dari wawancara terhadap informan, observasi di lapangan, dan data - data proyek yang terkait dengan keselamatan kerja. Informan dalam penelitian terbagi menjadi 2 bagian yaitu 4 orang yang mewakili kontraktor utama dan 5 pekerja sub kontraktor. Setiap informan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda - beda antara satu dan lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran K3 terkait dengan isi dari Permenakertrans No.1 / 1980 yaitu material bahan peralatan yang berserakan di tempat kerja, tidak terlihat adanya aturan lintas keran jalan, ujung besi tidak dilengkungkan pada pembuatan beton, dan masih adanya pekerja yang tidak menggunakan APD.


(9)

viii

Pada masing - masing substansi berdasarkan model GC Edward terdapat permasalahan yang menyebabkan pelaksanaan dari Permenakertans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan tidak berjalan dengan baik. Permasalahan tersebut antara lain masih adanya pekerja yang belum kompeten untuk bekerja, rekrutmen pekerja hanya berdasarkan umur bukan keahlian, komitmen pekerja untuk melaksanakan peraturan keselamatan kerja masih kurang, penerapan hukuman tidak tegas dilakukan, dan masih banyaknya informasi terkait keselamatan kerja dan standar operasional prosedur yang belum disosialisasikan kepada pekerja.

Rekomendasi yang diberikan kepada perusahaan yaitu perbaikan sistem rekrutmen pekerja, pemberian pelatihan keselamatan kerja kepada pekerja secara spesifik menurut jenis pekerjaan, penerapan hukuman dipertegas, dan sosialisasi standar operasional prosedur menyeluruh kepada pekerja.

Kata kunci : Kebijakan, Implementasi, Konstruksi Daftar bacaan : 53 (1991 - 2013)


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT karena atas rahmat dan karunia - Nya yang telah memberikan banyak kemudahan kepada saya mulai dari pengajuan surat izin lapangan, selama penugasan, sampai selesainya laporan skripsi ini. Tak terkira banyaknya rasa syukur yang dapat hamba panjatkan ke hadiratmu.

Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah skripsi, Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya mengucapkan terima kasih kepada orang - orang yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan skripsi ini. Untuk hal tersebut saya mengharapkan saran dan kritik guna memperbaiki laporan skripsi ini sehingga dapat lebih sempurna.

Saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua yang telah memberikan bimbingan dan dukungan penuh baik moril maupun materiil.

2. Ibu Febrianti selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta.

3. Bapak Arif Sumantri selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan selama penyusunan laporan skripsi ini hingga selesai.


(11)

x

4. Ibu Riastuti Kusuma Wardhani selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan selama penyusunan laporan skripsi ini hingga selesai.

5. Bapak Mulyono dan Bapak Dadan selaku HSE officer proyek Kemang yang telah banyak membantu saya saat proses pengerjaan skripsi di lapangan. 6. Seluruh informan pekerja proyek Kemang yaitu pekerja kayu, besi, cor, house

keeping, operator tower crane, dan alimak yang telah memberikan informasi yang saya butuhkan selama proses pengerjaan skripsi di lapangan dan berbagi pengalaman kerja kepada saya.

7. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah membimbing dan memberikan banyak ilmu yang bermanfaat kepada saya selama proses perkuliahan.

8. Teman - teman Kesmas 2008 yang tidak dapat saya sebutkan semuanya satu per satu. Semoga semua perjuangan kita selama perkuliahan dapat menjadi kenangan untuk kita semua.

9. Serta segenap pihak yang telah banyak berperan aktif membantu pelaksanaan skripsi dan dalam menyelesaikan laporan skripsi ini yang tidak saya sebutkan secara keseluruhan.

Dengan memanjatkan doa kepada ALLAH SWT, saya berharap semua kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan kebahagaiaan dunia dan akhirat, dan juga semoga laporan magang ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Amien


(12)

xi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rizqy Unggul Permadi

TTL : Lamongan 15 April 1989

Alamat : Jl. Jamhur I No.108 Rt 04/01 Cinere, Depok

Agama : Islam

Gol. Darah : A

No. Telp : 0856 48563175

RIWAYAT PENDIDIKAN

1995 – 2001 SD Jetis VI - Lamongan

2001– 2004 SMP Negeri 12 - Jakarta

2004– 2007 SMA Negeri 6 - Jakarta

2008 – sekarang S1 – Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN……….………. i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

ABSTRAK……….……… x

KATA PENGANTAR……….……….... ix

DAFTAR RIWAYAT HIDUP…….………....……… xi

DAFTAR ISI.……….... xii

DAFTAR TABEL………..………... xviii

DAFTAR GAMBAR………... xix

BAB I PENDAHULUAN……….……… 1

1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Rumusan Masalah……….... 8

1.3 Pertanyaan Penelitian ……….. 8

1.4 Tujuan Penelitian………... 9

1.4.1 Tujuan Umum ……….... 9

1.4.2 Tujuan Khusus………... 9


(14)

xiii

1.5.1 Manfaat Aplikatif………... 10

1.6 Ruang Lingkup ………... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...………. 12

2.1 Kebijakan K3 Konstruksi………...………...………….... 12

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik………... 12

2.1.2 Proses Kebijakan Publik... 16

2.1.3 Kebijakan Publik dan Hukum... 19

2.1.4 Elemen Kebijakan... 20

2.1.5 Hirarki Perundang - undangan ... 21

2.1.6 Kebijakan Kesehatan ... 22

2.1.7 Jasa Konstruksi... 23

2.1.8 Kebijakan Publik K3 Konstruksi Bangunan... 25

2.1.9 Permenakertrans No.1 / 1980 Tentang K3 Pada Konstruksi Bangunan ... 28

2.2 Implementasi Kebijakan………... 29

2.2.1 Model Implementasi Van Horn dan Van Meter……….. 34

2.2.2 Model Implementasi Merilee S. Grindle………. 35

2.2.3 Model Implementasi Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier…… 36

2.2.4 Model Implementasi G.Shabir Chema dan Dennis Rondinelli... 37

2.2.5 Model Implementasi GC Edward………...……... 39

2.2.5.1 Komunikasi ………... 39


(15)

xiv

2.2.5.1.2 Kejelasan………..………... 41

2.2.5.1.3 Konsistensi………..……….. 41

2.2.5.2 Disposisi……….………. 41

2.2.5.2.1 Pengangkatan Birokrasi……… 42

2.2.5.2.2 Insentif……….. 42

2.2.5.3 Sumber Daya………….………... 43

2.2.5.3.1 Staf……… 43

2.2.5.3.2 Informasi……… 43

2.2.5.3.3 Wewenang………. 44

2.2.5.3.4 Fasilitas………... 44

2.2.5.4 Struktur Birokrasi……….…...……… 45

2.2.5.4.1 Standar Operasional Prosedur……… 45

2.2.5.4.2 Fragmentasi………... 46

2.3 Kerangka Teori………... 47

BAB III KERANGKA PIKIR ……...………...... 49

3.1 Kerangka Pikir….………... 49

3.2 Definisi Istilah………... 50

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN………... 57

4.1 Jenis Penelitian……….57

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian………... 57


(16)

xv

4.4 Instrumen Penelitian……… 62

4.5 Jenis Data………...………... 63

4.6 Teknik Pengumpulan Data………. 64

4.7 Pengolahan Data………. 65

4.8 Analisis Data……….. 66

4.9 Keabsahan Data………... 67

BAB V HASIL... 68

5.1 Karakteristik Informan... 68

5.2 Implementasi Kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 Tentang K3 Konstruksi Bangunan ... 69

5.3 Analisis Model GC Edward... 73

5.3.1 Komunikasi... 73

5.3.1.1 Transmisi... 73

5.3.1.2 Kejelasan... 79

5.3.1.3 Konsistensi... 83

5.3.2 Disposisi... 84

5.3.2.1 Komitmen... 84

5.3.2.2 Insentif... 85

5.3.3 Sumber Daya... 89

5.3.3.1 Staf... 89

5.3.3.2 Informasi... 93


(17)

xvi

5.3.3.4 Fasilitas... 100

5.3.3.5 Anggaran... 102

5.3.4 Struktur Birokrasi... 103

5.3.4.1 Standar Operasional Prosedur... 103

5.3.4.2 Fragmentasi... 108

BAB VI PEMBAHASAN ... 114

6.1 Keterbatasan Penelitian... 114

6.2 Implementasi Kebijakan Permenakertrans No.1 /1980 Tentang K3 Konstruksi Bangunan... 115

6.3 Analisis Model GC Edward... 119

6.3.1 Komunikasi... 119

6.3.1.1 Transmisi... 119

6.3.1.2 Kejelasan... 122

6.3.1.3 Konsistensi... 124

6.3.2 Disposisi... 126

6.3.2.1 Komitmen... 126

6.3.2.2 Insentif... 128

6.3.3 Sumber Daya... 131

6.3.3.1 Staf... 131

6.3.3.2 Informasi... 134

6.3.3.3 Wewenang... 136


(18)

xvii

6.3.3.5 Anggaran... 139

6.3.4 Struktur Birokrasi... 140

6.3.4.1 Standar Operasional Prosedur... 140

6.3.4.2 Fragmentasi... 142

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 145

7.1 Kesimpulan... 145

7.2 Saran... 148

DAFTAR PUSTAKA ... 151 LAMPIRAN I

LAMPIRAN II LAMPIRAN III


(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Status Pegawai……….. 59

Tabel 4.2 Matriks Informan Kontraktor...……….. 60

Tabel 4.3 Matriks Informan Subkontraktor... 61

Tabel 5.1 Karakteristik Informan……….. 68

Tabel 5.2 Implementasi Permenakertrans No.1 / 1980 ... 69

Tabel 5.3 Pelatihan K3 Umum ... 77

Tabel 5.4 Pelatihan K3 Khusus ... ... 78

Tabel 5.5 Kompetensi Informan ... 82

Tabel 5.6 Kewenangan HSE Pusat dan HSE Proyek ... 96

Tabel 5.7 Kewenangan Quality Control ... 98

Tabel 5.8 Kewenangan Pekerja Lapangan ... 99

Tabel 5.9 SOP Pekerjaan... 105


(20)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kebijakan Publik Sebagai Bentuk Nyata Ideologi………....15

Gambar 2.2 Siklus Kebijakan………... 18

Gambar 2.3 Sistem Politik……… 20

Gambar 2.4 Elemen Kebijakan………. 21

Gambar 2.5 Model Implementasi GC Edward………. 39

Gambar 3.1 Kerangka Pikir ...……….. 49

Gambar 5.1 Struktur Organisasi Proyek ... 109


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan merupakan apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Dye dalam Wibawa, 1994). Sedangkan kebijakan publik adalah kebijakan - kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga atau badan pemerintah dan pejabat - pejabatnya (Anderson dalam Wibawa, 1994). Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai suatu bentuk arah utama dalam suatu pemerintahan negara berupa kebijakan politik guna menjalankan program - program pembangunannya, secara khusus di sektor kesehatan (Walt dalam Massie, 2009). Oleh karena itu, sebagai aktor penting maka pemerintah adalah pihak yang menentukan kebijakan negara termasuk kebijakan kesehatan yang meliputi perlindungan tenaga kerja.

Isu global mengenai upaya perlindungan tenaga kerja sudah dimulai sejak

International Labour Organization ( ILO ) mulai didirikan pada tahun 1919 untuk

mencerminkan keyakinan bahwa perdamaian yang universal dan abadi hanya dapat dicapai melalui keadilan sosial. Lalu pada tahun 1944 para pendiri ILO menerapkan deklarasi Philadelphia yang menyatakan bahwa pekerja bukanlah komoditas dan menetapkan hak asasi manusia dan hak ekonomi kepada kaum pekerja. Kemajuan besar dicapai ILO pada tahun 1998 dengan diadakannya Konferensi Perburuhan Internasional yang mengadopsi deklarasi ILO tentang prinsip - prinsip dan hak - hak mendasar di tempat kerja termasuk diantaranya


(22)

2

membahas mengenai kesehatan dan keselamatan pekerja. Hingga saat ini ILO telah membantu banyak negara melalui upaya - upaya pembuatan kebijakan mengenai hak serikat pekerja dalam memperoleh demokrasi dan perlindungan tenaga kerja (ILO, 2007).

Pada tingkat nasional kewajiban untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja telah diatur dalam undang - undang dan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang menjamin perlindungan pekerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Selain itu juga mengatur dengan jelas tentang hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja, syarat - syarat keselamatan kerja serta sistem manajemen K3 (Modjo, 2007).

Upaya perlindungan tenaga kerja sudah dimulai saat sebelum Indonesia mendapatkan kemerdekaannya yaitu dengan dibuatnya Veiligheidsreglement tahun 1910 disusul Verordening Stoom Ordonnantie tahun 1930. Lalu setelah Indonesia merdeka dibuatnya landasan undang - undang dasar 1945. Pasal 27 ayat 2 berbunyi “ Tiap - tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini dijadikan landasan utama dalam pembuatan kebijakan - kebijakan selanjutnya seperti undang - undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang mengatur tentang kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja, UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 23 tentang kesehatan kerja menekankan pentingnya kesehatan kerja agar pekerja dapat bekerja secara sehat dan menghasilkan produktivitas yang optimal, UU No.13 tahun 2003 tentang


(23)

3

ketenagakerjaan paragraf 5 pasal 86 dan 87 tentang keselamatan dan kesehatan kerja harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang - undangan lainnya yang berlaku. Pada pasal 35 dijelaskan bahwa pemberi kerja wajib memberikan perlindungan kepada tenaga kerjanya mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Sebagai penjabaran dan kelengkapan Undang - undang, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah dan kementerian tenaga kerja dan kementrian kesehatan juga mengeluarkan kebijakan untuk memudahkan pelaksanaan K3 di tempat kerja. Hingga saat ini sudah puluhan aturan hukum dibuat mengenai keselamatan kerja.

Dengan banyaknya kebijakan yang sudah dibuat dalam upaya melindungi tenaga kerja tidak menjamin kecelakaan kerja tidak akan terjadi. Sampai saat ini kecelakaan kerja masih saja sering terjadi dari tahun ke tahun. Secara global, ILO mencatat bahwa setiap tahunnya kurang lebih terjadi 337 juta kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak kurang dari 2,3 juta nyawa melayang. Dilihat dari dampak ekonomi USD 1,25 Trilyun atau 4% dari Global Gross Domestic Product (GDP) dialokasikan utuk biaya dari kehilangan waktu kerja akibat kecelakaan dan penyakit di lingkungan kerja, kompensasi untuk para pekerja, terhentinya produksi, dan biaya pengobatan pekerja (ILO, 2012).

Secara nasional, data yang didapat dari Jamsostek menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terjadi 99.491 kecelakaan kerja. Total klaim yang telah dibayar sekitar Rp 504,3 miliar meningkat dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2010 yang sebesar 98.711 kecelakaan kerja dengan total klaim yang dibayar Rp 401,237 miliar (Nasir, 2012). Lalu berdasarkan data Depnakertrans, angka kecelakaan


(24)

4

kerja di Indonesia pada tahun 2009 terdapat 88.492 kasus kecelakaan kerja . Pada kesempatan terpisah Dirut Jamsostek juga menyatakan bahwa selama 34 tahun sejak PT Jamsostek beroperasi hingga kini, terjadi 1.883.200 kasus kecelakaan kerja dengan total klaim yang harus dibayarkan sebanyak Rp 3,46 triliun. Dari jumlah tersebut sektor yang mencatat persentase tertinggi adalah sektor konstruksi sebesar 32 % (Pikiran rakyat, 2012).

Pada 2009 tercatat pekerja di sektor jasa konstruksi ada 5% atau sekitar 4,5 juta pekerja dengan kecelakaan kerja yang beragam. Hingga November 2009 pelaksanaan program jasa konstruksi secara nasional telah terdaftar menjadi peserta jamsostek sebanyak 93.103 perusahaan dengan sekitar 4.362.224 orang tenaga kerja (Poskota, 2010).

Data yang disampaikan oleh menteri tenaga kerja Muhaimin Iskandar menyatakan sampai dengan September 2012 angka kecelakaan kerja berada pada kisaran 80.000 kejadian (Detik finance, 2012). Pusat Pembinaan Penyelenggaraan Konstruksi menilai pentingnya pemahaman mengenai pengadaan barang atau jasa pemerintah di bidang konstruksi menyusul tingginya kasus kecelakaan pekerja konstruksi yang bermunculan dengan rata - rata 7 orang meninggal per hari (Industri bisnis, 2013) .

Kebijakan mengenai penyelenggaraan K3 pada pekerjaan konstruksi tergambar pada UU No.18 / 1999 tentang jasa konstruksi yang mengamanatkan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga


(25)

5

kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan konstruksi.

Kebijakan K3 yang menyangkut dengan kegiatan konstruksi lainnya yaitu Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 Konstruksi Bangunan. Peraturan ini bisa dibilang merupakan induk penting pelaksanaan K3 pada kegiatan konstruksi di Indonesia karena memuat banyak hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan kostruksi yaitu tempat kerja, peralatan kerja, mesin, perancah, tangga, alat angkat, penggalian, pemancangan, beton, APD, dan apapun yang berkaitan dengan konstruksi. Sudah 33 tahun berlalu namun peraturan ini masih dipakai sebagai bagian dari persyaratan legal yang harus dipenuhi perusahaan konstruksi dalam menjalankan kegiatannya dan belum direvisi hingga saat ini. Peraturan ini juga lebih bersifat aplikatif di lapangan dibandingkan peraturan pemerintah lainnya di bidang konstruksi.

Implementasi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program. Implementasi kebijakan mencakup tindakan - tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, publik maupun privat yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Ini meliputi baik usaha - usaha sesaat untuk menstransformasikan keputusan kedalam istilah operasional, maupun usaha yang berkelanjutan untuk mencapai perubahan - perubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan - keputusan kebijakan (Van Horn dan Van Meter 1975 dalam Wibawa 1994). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara


(26)

6

agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang (Nugroho, 2008).

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, dan disposisi. Komunikasi merupakan alat kebijakan untuk menyampaikan perintah - perintah dan arahan - arahan dari sumber pembuat kebijakan kepada mereka yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Disposisi yaitu kemauan atau niat para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan. Struktur birokrasi yaitu kelembagaan perusahaan dalam mensukseskan implementasi kebijakan tanpa adanya intervensi atau tekanan dari luar perusahaan (GC Edward dalam Sahuri, 2012).

PT. PP ( Pembangunan Perumahan ) merupakan salah satu perusahaan BUMN konstruksi terbersar di Indonesia. Saat ini PT. PP sedang menggarap salah satu proyek di Kemang, Jakarta Selatan berupa apartemen dan hotel. Proyek yg ini sudah berjalan dari tahun 2012. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada Februari 2013 tercatat pada laporan kecelakaan sudah terjadi 5 kecelakaan kerja hingga saat ini dengan rincian 4 kecelakaan terjadi pada tahun 2012 dan 1 kecelakaan kerja pada Januari 2013. Menurut penanggung jawab K3 proyek, kecelakaan kerja yang dilaporkan belum tentu sebenarnya yang terjadi karena di lapangan banyak pekerja yang menyembunyikan atau tidak melaporkan kecelakaan kerja yang sifatnya hanya cedera ringan sehingga bisa jadi jumlah kecelakaan kerja yang terjadi jumlahnya bisa mencapai puluhan. Selain itu juga tidak adanya pencatatan untuk kejadian near miss.


(27)

7

Diakui pula oleh penanggung jawab K3 proyek bahwa karakteristik kegiatan konstruksi yang berbeda dengan sektor lainnya sehingga kecelakaan kerja pada sektor ini mustahil dapat mencapai zero accident. Karakteristik yang dimaksud misalnya banyak melibatkan tenaga kerja kasar yang berpendidikan relatif rendah, intensitas kerja tinggi dibuktikan dengan akhir pekan yang tetap melakukan kegiatan operasinya, peralatan kerja yang beragam jenis, teknologi, dan kapasitasnya, dan juga mobilisasi peralatan dan material yang tinggi.

Hasil observasi yang dilakukan peneliti saat studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran - pelanggaran terkait aturan K3 antara lain masih banyak bahan - bahan berserakan di lokasi kerja dan masih banyak pekerja yang menggunakan APD seenaknya bahkan masih ada saja yang tidak mau menggunakan.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran implementasi kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan pada proyek hotel dan apartemen yang sedang digarap PT. PP di Kemang, Jakarta Selatan. Penelitian ini akan melihat bagaimana analisa model GC Edward pada penerapan kebijakan K3 pada proyek tersebut dan juga untuk mengetahui hambatan dan problem yg muncul dalam proses implementasi berdasarkan model implementasi kebijakan GC Edward yaitu dengan melihat variabel komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi dari pelaksanaan proyek tersebut.


(28)

8

1.2 Rumusan Masalah

PT. PP ( Pembangunan Perumahan ) saat ini sedang menggarap salah satu proyek di Kemang, Jakarta Selatan berupa apartemen dan hotel. Proyek yg ini sudah berjalan dari tahun 2012. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada Februari 2013 tercatat pada laporan kecelakaan sudah terjadi 5 kecelakaan kerja dengan rincian 4 kecelakaan terjadi pada tahun 2012 dan 1 kecelakaan kerja pada Januari 2013. Menurut penanggung jawab K3 proyek ini, kecelakaan kerja yang dilaporkan belum tentu sebenarnya yang terjadi karena di lapangan banyak pekerja yang tidak melaporkan kecelakaan kerja yang sifatnya cedera ringan.

Hasil observasi menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran - pelanggaran terkait aturan K3 antara lain masih banyak bahan - bahan berserakan di lokasi kerja dan masih banyak pekerja yang menggunakan APD seenaknya bahkan masih ada saja yang tidak mau menggunakan.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan Penelitian ini untuk melihat bagaimana analisa model GC Edward pada penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan pada proyek apartemen dan hotel yang sedang digarap PT PP di Kemang, Jakarta Selatan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana analisa model GC Edward pada penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan pada lokasi


(29)

9

proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan ?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya implementasi penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan pada lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan dengan pendekatan analisis kebijakan model GC Edward.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran tentang komunikasi terhadap penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan di lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan.

2. Diketahuinya gambaran tentang disposisi terhadap penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan di lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan.

3. Diketahuinya gambaran tentang sumber daya terhadap penerapan kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan di lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan.


(30)

10

4. Diketahuinya gambaran tentang struktur birokrasi terhadap implementasi kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan di lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Aplikatif

1. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam menentukan perencanaan kegiatan K3 sehubungan dengan kegiatan konstruksi di lokasi proyek apartemen dan hotel yang sedang dikerjakan PT Pembangunan Perumahan di Kemang, Jakarta Selatan.

2. Bagi fakultas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan kurikulum program studi Kesehatan Masyarakat khususnya pada konsentrasi K3.

3. Bagi pihak Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam menentukan arah kebijakan selanjutnya sehubungan dengan permasalahan K3 konstruksi di Indonesia.

4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan ataupun data dalam penelitian studi implementasi kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan di Indonesia.


(31)

11

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukana pada bulan mei 2013 dengan perkiraan jumlah hari ± 30 hari bertempat di lokasi proyek Kemang Village Residence, Jakarta Selatan. PT. PP sebagai salah satu kontraktor menggarap pembangunan beberapa apartemen dan hotel pada proyek tersebut.

Penelitian ini dirancang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian akan dilaksanakan oleh peneliti itu sendiri. Triangulasi data dilakukan berdasarkan teknik yaitu observasi, wawancara, dan telaah dokumen dan juga berdasarkan sumber yaitu informan dari pekerja kontraktor dan pekerja subkontraktor. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana proses implementasi yang dilakukan di lapangan. Bantuan dari pihak lain atau penghubung diperlukan saat proses wawancara mendalam dengan informan sebagai sumber data primer. Data juga diperoleh dengan melakukan telaah dokumen perusahaan yang terkait dengan pelaksanaan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 konstruksi bangunan.


(32)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan K3 Konstruksi 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Jones dalam Wahyudi (2011), kata kebijakan sering digunakan dan diperuntukkan maknanya dengan tujuan program, keputusan, hukum, proposal, patokan dan maksud besar tertentu. Selanjutnya Jones mendefinisikan kebijakan adalah keputusan tetap yg dicikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yg membuat dan dari mereka yg mematuhi keputusan tersebut.

Secara etiologi publik berasal dari bahasa yunani yakni pubes berarti kedewasaan secara picik, emosional maupun intelektual. Dalam bahasa yunani istilah publik sering dipadankan dengan kata common yang bermakna hubungan antar individu. Oleh karena itu publik sering dikonsepsikan sebagai suatu ruang yang berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan bersama (Namawi dalam Wahyudi, 2011).

Menurut menurut Thomas R Dye dalam Wibawa (1994), kebijakan publik diartikan sebagai “whatever governments choose to do or not to do” (pilihan tindakan apapun atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Sedangkan


(33)

13

menurut Anderson dalam Zaeni (2006): “A purposive course of action followed by an actor or set of actors in deadling with a problem or a matter of concern”(serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Selanjutnya Harold D Laswell dan Abraham Kaplan dalam Yulisetyaningtyas (2008) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai “a projected program of goals, values and practices“ (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Amara Raksasataya dalam Wisakti (2008) menyebutkan bahwa kebijaksanaan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Implikasi dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli kebijakan publik menurut Anderson dalam Susilowaty (2007) adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.


(34)

14

3. Kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. 4. Kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa

bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negarif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Kebijakan pemerintah selalu dilandaskan pada peraturan perundang - undangan yang bersifat memaksa atau otoritatif.

Kebijakan publik juga berarti serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana untuk mencapai tujuan tersebut. Namun dalam konteks ini, kebijakan publik dapat dilihat dalam tiga lingkungan kebijakan, yaitu : (1) perumusan kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan dan (3) penilaian kebijakan atau evaluasi. Berdasarkan pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa makna kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan pemerintah guna melaksanakan suatu kegiatan yang diawali dari perumusan, pelaksanaan, dan penilaian atau evaluasi. (Nakamura dan Smallwood dalam Yulisetyaningtyas, 2008). Lebih jauh lagi kebijakan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan - peraturan, perundang - undangan, atau dalam bentuk pidato pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program -program dan tindakan - tindakan yang dilakukan pemerintah (Islamy, 1997).

Kebijakan publik menentukan bentuk kehidupan bangsa dan negara. Negara dalam menghadapi setiap masalah yang dihadapinya mempunyai respon tersendiri. Respon ini disebut dengan kebijakan publik. Maka bisa dibilang


(35)

15

kebijakan publik adalah bentuk faktual dari upaya pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama yang disebut sebagai bangsa dan negara. Kebijakan publik pada akhirnya merupakan bentuk paling nyata dari ideologi suatu negara. (Nugroho, 2008)

Gambar 2.1 Kebijakan Publik Bentuk Nyata Ideologi

Ideologi adalah keyakinan politik negara berdaulat. Ideologi diturunkan menjadi politik kebangsaan apapun bentuknya baik demokrasi atau non demokrasi. Lalu diturunkan lagi menjadi kebijakan publik. Politik yang paling unggul sekalipun tidak ada gunanya jika tidak mampu membangun kebijakan - kebijakan publik yang juga unggul.

Ideologi

Sistem

Politik

Kebijakan

Publik


(36)

16

2.1.2 Proses Kebijakan Publik

Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles).

Thomas R. Dye dalam Wahyudi (2011) menjabarkan proses kebijakan publik sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah kebijakan (Identification of Policy Problem)

Dapat dilakukan melalui identifikasi apa yg menjadi tuntutan atas tindakan pemerintah. Aktivitas yang dilakukan yaitu publikasi masalah sosial dan mengekspresikan tuntutan akan tindakan dari pemerintah. Peserta yang terlibat antara lain media massa, kelompok kepentingan, inisiatif masyarakat, maupun opini publik.

2. Penyusunan agenda (Agenda Setting)

Merupakan aktivitas yg memfokuskan perhatian pada pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yg akan diputuskan terhadap masalah publik tertentu. Aktivitas yang dilakukan yaitu menentukan mengenai masalah-masalah apa yang akan diputuskan atau masalah apa yang akan


(37)

17

dibahas oleh pemerintah. Peserta yang terlibat antara lain kaum elit termasuk presiden kongres, kandidat untuk jabatan publik tertentu, maupun dewan negara.

3. Perumusan kebijakan (Policy Formulation)

Merupakan tahapan pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan melalui organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokrasi pemerintah, presiden, dan lembaga legislatif. Aktivitas yang dilakukan adalah pengembangan proposal kebijakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki masalah. Peserta yang terlibat antara lain presiden, lembaga eksekutif, komite kongres, dan kelompok kepentingan.

4. Pengesahan kebijakan (Legitimating of Policy)

Pengesahan kebijakan dilakukan melalui tindakan politik oleh partai politis, kelompok penekan, presiden, dan kongres. Aktivitas yang dilakukan yaitu memilih proposal, mengembangkan dukungan untuk proposal terpilih, menetapkannya menjadi peraturan hukum, dan memutuskan konstitusionalnya. Peserta yang terlibat antara lain kelompok kepentingan, presiden, kongres, dan pengadilan.


(38)

18

5. Implementasi kebijakan (Policy Implementation)

Implementasi kebijakan dilakukan melalui birokrasi, anggaran publik, atau aktivitas agen eksekutif yg terorganisasi. Aktivitas yang dilakukan yaitu mengorganisasikan departemen, menyediakan pembiayaan dan pelayanan.

6. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation)

Evaluasi kebijakan dilakukan melalui lembaga pemerintah, konsultan, pers, dan masyarakat. Aktivitas yang dilakukan yaitu melaporkan output dari program pemerintah, mengevaluasi dampak kebijakan kepada kelompok sasaran dan bukan sasaran, dan mengusulkan perubahan.


(39)

19

2.1.3 Kebijakan Publik dan Hukum

Hukum publik merupakan bagian dari proses kebijakan publik. Hukum publik memberikan wadah legal bagi negara untuk mencapai tujuan yang dibawa oleh kebijakan publik tersebut dan untuk membatasi kekuasaan negara karena prinsip negara modern adalah negara dengan kekuasaan tidak tak terbatas.

Setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku mengikat kehidupan bersama, maka pada saat itu pula kebijakan publik berubah menjadi hukum. Berarti hukum merupakan wujud dari kebijakan publik, tapi kebijakan publik tidak identik dengan hukum.

Hukum publik merupakan formalisasi dan legalisasi dari kebijakan publik. Tanpa proses formalisasi dan legalisasi tersebut kebijakan publik menjadi tidak berdaya untuk dilaksanakan. Namun tidak semua kebijakan publik memerlukan kodifikasi formal dan legal dalam bentuk hukum publik karena tetap ada kebijakan yang dapat dilaksanakan secara efektif tanpa memerlukan bentuk formal legal yaitu kebijakan yang mengandalkan sanksi politik dan sanksi sosial. Jadi tujuan hukum adalah untuk membuat kebijakan publik dapat dilaksanakan dan untuk membatasi kekuasaan pembuat dan pelaksana kebijakan publik (Nugroho, 2008).


(40)

20

2.1.4 Elemen Kebijakan

Kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yg terdiri dari input, konversi, dan output. Dalam konteks ini ada dua variabel makro yg mempengaruhi kebijakan publik yakni lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kedua lingkungan tersebut dapat memberikan input yang berupa dukungan dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor dalam sistem politik memproses atau mengonversi input tersebut menjadi output yg berwujud peraturan atau kebijakan. Peraturan tersebut akan diterima oleh masyarakat dan masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan insentif maka masyarakat akan mendukungnya. Sebaliknya jika kebijakan tersebut bersifat disinsentif maka masyarakat akan menolaknya (David Easton dalam Wahyudi, 2011).

Gambar 2.3 Sistem Politik

Lingkungan kebijakan seperti gejolak politik pada suatu negara akan mempengaruhi pelaku atau aktor kebijakan untuk meresponnya, yakni


(41)

21

memasukkannya kedalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah - masalah yg bersangkutan.

Gambar 2.4 Elemen Kebijakan

2.1.5 Hirarki Perundang - Undangan

UU No.12 / 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan pasal 7 mengatur jenis dan hirarki perundang - undangan sebagai berikut :

A. UUD 45 B. TAP MPR

C. UU / PP pengganti UU D. PP

E. PERPRES F. PERDA provinsi


(42)

22

Kesemuanya merupakan bentuk kebijakan publik yang terkodifikasi secara legal. Di samping itu, kekuatan hukum Peraturan Perundang - undangan sesuai dengan hirarki tersebut. Artinya peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pada hirarki di atasnya.

Dalam pemahaman kontinentalis, dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau mendasar yaitu

ketujuh peraturan di atas.

2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah. Kebijakan ini dapat berbentuk peraturan menteri, surat edaran menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati, ataupun surat keputusan bersama / SKB antar menteri. 3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah yang mengatur pelaksanaan

kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya berupa peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, atau walikota.

Namun ada beberapa kebijakan yang sifatnya messo atau makro dapat diimplementasikan langsung dan itu bukan merupakan kekeliruan.

2.1.6 Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai suatu cara atau tindakan yang berpengaruh terhadap perangkat institusi, organisasi, pelayanan kesehatan, dan pengaturan keuangan dari sistem kesehatan (Walt dalam Massie, 2009).


(43)

23

Kebijakan - kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta. Kebijakan merupakan produk pemerintah walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan oleh swasta, dikontrakkan atau melalui kemitraan, kebijakannya disiapkan oleh pemerintah dimana keputusannya mempertimbangkan aspek politik. (Walt dalam Massie, 2009).

Kebijakan kesehatan berpihak pada hal - hal yang dianggap penting dalam suatu institusi dan masyarakat, bertujuan jangka panjang untuk mencapai sasaran, menyediakan rekomendasi yang praktis untuk keputusan - keputusan penting (WHO dalam Massie, 2009).

Kebijakan kesehatan terefleksi dalam beberapa bentuk hukum tertulis misalnya undang - undang, peraturan pemerintah, rencana strategis, program kesehatan, dan sebagainya.

2.1.7 Jasa Konstruksi

Menurut Undang - undang tentang Jasa konstruksi, "Jasa Konstruksi" adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. "Pekerjaan Konstruksi" adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan / atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.


(44)

24

Dari pengertian dalam UU No.18 / 1999 Tentang Jasa Konstruksi tersebut maka dalam masyarakat terbentuklah "Usaha Jasa Konstruksi", yaitu usaha tentang jasa di bidang perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi yang semuanya disebut penyedia jasa.

Proyek Konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang mengolah sumber daya proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa bangunan. Proses yang terjadi dalam rangkaian kegiatan tersebut tentunya melibatkan pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi maka potensi terjadinya konflik sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa proyek konstruksi mengandung konflik yang cukup tinggi (Ervianto, 2007).

Bidang konstruksi perlu mendapat perhatian dikarenakan lokasi pekerjaan proyek merupakan salah satu lingkungan kerja yang mengandung resiko cukup besar sehingga dapat dikatakan bahwa industri konstruksi terbilang paling rentan terhadap kecelakaan kerja. Hal tersebut karena bidang konstruksi merupakan satu bidang produksi yang memerlukan kapasitas tenaga kerja dan tenaga mesin yang sangat besar, bahaya yang sering ditimbulkan umumnya dikarenakan faktor fisik, yaitu : terlindas dan terbentur yang disebabkan oleh terjatuh dari ketinggian, kejatuhan barang dari atas atau barang roboh. Hal tersebut juga didukung oleh prilaku kerja yang tidak aman. Selain kurangnya pemahaman pekerja tentang keamanan, perlindungan tenaga kerja yang


(45)

25

dilakukan pemilik usaha sering tidak mencukupi (IOSH, 2007). Oleh karena itu perlu adanya peraturan terkait keselamatan kerja bidang konstruksi.

2.1.8 Kebijakan Publik K3 Konstruksi Bangunan

Dalam mengisi cita - cita pembangunan nasional maka perlu dilakukan program yang terencana dan terarah untuk melaksanakan proses pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan tersebut yakni Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.

Sektor jasa konstruksi mempunyai peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi negara. Sektor konstruksi sangat dibutuhkan negara dalam meningkatkan pembangunan dan perekonomian nasional oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah membuat berbagai peraturan dan kebijakan guna mengatur dan memberdayakan jasa konstruksi nasional.

Menyadari akan hal tersebut maka sudah selayaknya kehadiran undang - undang yang berkaitan dengan jasa konstruksi sangat dibutuhkan guna mengatur dan memberdayakan jasa konstruksi nasional. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah berinisiatif menyusun konsep awal Undang - Undang Jasa Konstruksi pada tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi secara berkesinambungan meneruskan konsep awal Rancangan Undang - Undang Jasa Kontruksi yang selanjutnya diubah dan disempurnakan hingga akhirnya dapat dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dan selesai pada tanggal 22 April 1999.


(46)

26

Pada UU No.18 / 1999 Tentang Jasa Kontruksi pasal 23 ayat 2 dijelaskan bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keamanan, keselamatan dan keselamatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kemudian pada pasal 24 ditambahkan bahwa penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan sub penyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing - masing tahapan pekerjaan konstruksi. Sub penyedia jasa tersebut juga harus memenuhi kewajiban - kewajibannya kepada penyedia jasa. Pada UU No.13 / 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 35 dijelaskan bahwa pemberi kerja wajib memberikan perlindungan kepada tenaga kerjanya mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Diperjelas lagi pada bab X paragraf 5 tentang keselamatan dan kesehatan kerja bahwa perlindungan kepada tenaga kerja harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang - undangan lainnya yang berlaku. Masih pada UU yang sama pada pasal 65 dijelaskan bahwa penyerahan sebagian pekerjaan ke perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis yang mencakup perlindungan kerja.

Terlihat bahwa penyedia jasa wajib memenuhi ketentuan K3 dan perlindungan terhadap tenaga kerjanya sehingga sub penyedia juga wajib memenuhi ketentuan K3 dan perlindungan tenaga kerja sebagai tanggung jawabnya terhadap penyedia jasa sesuai dengan Perundang - undangan yang berlaku. Undang - undang jasa konstruksi dan ketenagakerjaan ini mempunyai


(47)

27

hubungan komplementer dengan peraturan Perundang - undangan terkait K3 agar bisa melakukan kegiatan produksinya.

Menimbang bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadi kecelakaan akibat belum ditanganinya pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja menyeluruh pada pekerjaan konstruksi bangunan dan dengan semakin meningkatnya pembangunan dengan penggunaan teknologi modern dan juga sebagai pelaksanaan Undang - Undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja maka diperlukan ketentuan yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerjaan Konstruksi Bangunan. Peraturan Perundang - Undangan yang dimaksud contohnya seperti :

1. Permenakertrans No.1 / MEN / 1980 Tentang K3 Pada Konstruksi Bangunan.

2. SKB Menteri Pekerjaan Umun dan Menteri Tenaga Kerja No.174 / Men / 1986 No.104 / KPTS / 1986 Tentang K3 Pada Tempat Kegiatan Konstruksi.

3. Permenaker No.1 / MEN / 1989 Tentang Kualifikasi dan Syarat - syarat Operator Keran Angkat.

4. Permenakertrans No.2 / MEN / 1982 Tentang Kualifikasi Juru Las.

5. Kepmenaker No.51 / MEN / 1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

6. Permen PU No.9 / Per / 2008 Tentang SMK3 Kontruksi Bidang Pekerjaan Umum.


(48)

28

2.1.9 Permenakertrans No.1 / 1980 Tentang K3 Pada Konstruksi Bangunan Peraturan perundang - undangan Permenakertrans No.1 / 1980 Tentang K3 Pada Konstruksi Bangunan (selanjutnya disebut peraturan) dibuat pada masanya berdasarkan ideologi Pancasila. Sistem politik yang berkembang pada masa pembuatan peraturan ini adalah demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila mempunyai bentuk operasional pada tingkat politis dalam bentuk pembangunan. Peraturan ini dibuat untuk mengakomodir kegiatan pelaksanaan pembangunan yang sangat pesat sebagai bagian dari program kerja Presiden ke - 2 RI yaitu Presiden Soeharto yang pada jaman itu disebut dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

Peraturan ini merupakan bentuk kebijakan publik yang terkodifikasi secara legal dan formal. Pembuatan peraturan ini melibatkan ahli hukum dan ahli yang menguasai masalah berkaitan terutama teknik dan K3. Peraturan ini bersifat messo yang dibuat di bawah departemen tenaga kerja dan transmigrasi pada masanya dan dapat diimplementasikan.

Peraturan ini bisa dibilang merupakan induk penting pelaksanaan K3 pada kegiatan konstruksi di Indonesia karena memuat banyak hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan konstruksi yaitu tentang tempat kerja dan alat kerja, perancah, tangga dan tangga rumah, alat angkat, kabel baja, tambang, rantai, peralatan bantu, mesin, peralatan konstruksi bangunan, konstruksi di bawah tanah, penggalian, pekerjaan memancang, pekerjaan beton, pembongkaran, dan pekerjaan lainnya, serta penggunaan perlengkapan penyelamatan dan perlindungan diri.


(49)

29

Sudah 33 tahun berlalu namun peraturan ini masih dipakai sebagai bagian dari persyaratan legal yang harus dipenuhi perusahaan konstruksi dalam menjalankan kegiatannya dan belum direvisi hingga saat ini. Peraturan ini juga lebih bersifat aplikatif di lapangan dibandingkan peraturan pemerintah lainnya di bidang konstruksi.

Secara regulator pembuatan peraturan ini berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Peraturan ini wajib dilaksanakan oleh perusahaan konstruksi sebagai operator dalam menjalankan proyeknya termasuk juga sub kontraktor yang ikut bekerja pada proyek tersebut dengan tujuan agar seluruh pekerja dan pengunjung yang berada di lokasi proyek dapat terhindar dari resiko terkena kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.2 Implementasi Kebijakan

Menurut Grindle dalam Zaeni (2006) “Implementasi kebijakan pada dasarnya ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakan”. Isi kebijakan menunjukkan kedudukan pembuat kebijakan sehingga posisi kedudukan ini akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Konteks kebijakan ini meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor - aktor yang telibat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang (Nugroho, 2008). Untuk mengimplementasikan kebijakan publik maka ada dua pilihan langkah yang ada


(50)

30

yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program - program atau melalui formulasi kebijakan atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Kebijakan publik selalu mengandung setidak - tidaknya tiga komponen dasar yaitu tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga biasanya belum dijelaskan secara rinci dan birokrasi yang harus menerjemahkannya sebagai program aksi dan proyek. Komponen cara berkaitan siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Komponen inilah yang disebut dengan implementasi (Wibawa, 1994).

Menurut Irfan Islamy (1997) kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan olehseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Untuk melihat keberhasilan suatu kebijakan, amat sangat bergantung pada implementasi kebijakan itu sendiri. Dimana implementasi menyangkut tindakan seberapa jauh arah yang telah diprogramkan itu benar - benar memuaskan. Akhirnya pada tingakatan abstraksi tertinggi implementasi sebagai akibat ada beberapa perubahan yang dapat diukur dalam masalah - masalah besar yang menjadi sasaran program.

Suatu program kebijakan akan hanya menjadi catatan - catatan elit saja jika program tersebut tidak diimplementasikan. Artinya, implementasi kebijakan merupakan tindak lanjut dari sebuah program atau kebijakan, karena itu suatu


(51)

31

program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan - badan administrasi maupun agen - agen pemerintah di tingkat bawah (Winarno, 2005).

Namun sebaik apapun program tanpa ada implementasi mustahil sasaran dan tujuan yang dikehendaki dapat tercapai. Implementasi berarti penerapan pelaksanaan karena itu implementasi kebijakan berupa program merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Dalam pelaksanakan program, implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar berhubungan dengan mekanisme penjabaran keputusan - keputusan politik ke dalam prosedur - prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle dalam Hadi, 2012).

Dalam konteks kebijakan publik, selain pemerintah selaku decision maker, juga terdapat para stakeholder kebijakan. Pemangku kepentingan di sini adalah individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki kepentingan terhadap suatu kebijakan. Stakeholder kebijakan ini bisa berupa aktor yang terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan, para penerima manfaat maupun para korban yang dirugikan oleh suatu kebijakan publik (Suharto dalam Anshori, 2011).

Implementasi kebijakan merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif, dengan konsekuensi lebih melakukan retrospeksi dari pada prospeksi dengan tujuan ganda, yaitu memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program program mereka dilaksanakan dan menunjukkan faktor


(52)

-32

faktor yang dapat diubah supaya diperoleh pencapaian hasil secara lebih baik, utnuk kemudian memberikan alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi lain (Wibawa dalam Zaeny, 2006).

Implementasi sebagai sebuah output berorientasi pada penyelesaian masalah langsung dengan mewaspadai kemungkinan terjadinya dampak berantai dari pilihan pelaksanaan satu kebijakan (Henry dalam Wahyudi, 2011). Ini terjadi karena pilihan terhadap satu kebijakan tidak didasari oleh satu rasionalitas tunggal. Pilihan ini bersifat jamak yg meliputi :

1. Rasionalitas teknis

Berhubungan dengan efektivitas dalam memecahkan masalah. 2. Rasionalitas ekonomi

Berhubungan dengan efisiensi pencapaian tujuan yg ditetapkan. 3. Rasionalitas legal

Berhubungan dengan kesesuaian perundang – undangan dan pertimbangan hukum.

4. Rasionalitas sosial

Berhubungan dengan kapasitas meningkatkan institusi sosial yg penting seperti menumbuhkan masyarakat madani.

5. Rasionalitas substanstif

Berusaha untuk mensinergikan seluruh rasionalitas yg disebutkan sebelumnya.


(53)

33

Ada 3 (tiga) level sehubungan dengan proses perubahan kelembagaan yaitu level kebijakan, level organisasional, dan level operasional. Dalam suatu negara demokrasi adanya level kebijakan ini selalu ditandai dengan adanya badan legislatif dan badan hukum. Sementara adanya level organisasional ditandai dengan adanya badan eksekutif. Pada level ini, biasanya keputusan - keputusan mengenai tata kehidupan yang diharapkan senantiasa dimusyawarahkan dan dirumuskan. Pada tahap implementasinya, aspirasi semacam ini akan tercapai sejalan dengan perkembangan lembaga dan perkembangan peraturan dari perundang-undangan itu sendiri (Bromley dalam Susilawaty, 2007).

Proses implementasi kebijaksanaan pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar yang dapat dijabarkan dalam bentuk UU, perintah, keputusan, dsb agar tujuan dan sasaran dapat tercapai sehinggan nantinya dampaknya dapat dipakai untuk melakukan perbaikan kebijaksanaan itu sendiri ( Mazmanian dan Sabatier dalam Indriarti, 2003).

Van Meter dan Van Horn dalam Wibawa (1994) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan mencakup tindakan - tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, publik maupun privat yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Ini meliputi baik usaha sesaat untuk mentransformasikan keputusan kedalam istilah operasional, maupun usaha yang berkelanjutan untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan - keputusan kebijakan.

Pendekatan pengembangan kesehatan oleh pembuat kebijakan biasanya berdasarkan hal - hal yang masuk akal dan mempertimbangkan informasi -


(54)

34

informasi yang relevan. Apabila pada implementasi tidak mencapai apa yang diharapkan kesalahan seringkali bukan pada kebijakan itu melainkan pada faktor politik atau manajemen implementasi yang tidak mendukung atau sedikitnya sumber daya pendukung yang tersedia ( Juma dan Clarke, 1995 dalam Massie, 2009).

2. 2.1 Model Implementasi Van Horn dan Van Meter

Van Horn dan Van Meter dalam Hadi (2012) menyatakan bahwa proses implementasi kebijakan terdiri dari 6 faktor :

1. Standar dan sasaran kebijakan

Setiap kebijakan harus mempunyai standar dan suatu sasaran yang jelas dan terukur sehingga ketentuannya dapat terwujud. Ukuran standar dan tujuan kebijakan memberikan perhatian utama pada faktor - faktor yang menentukan hasil kerja maka identifikasi indikator - indikator hasil kerja merupakan hal yang penting dalam analisis karena indikator ini menilai sejauh mana standar dan tujuan keseluruhan kebijakan.

2. Sumber daya

Terdiri dari SDM, material, dan metode yang memudahkan administrasi. 3. Komunikasi antar organisasi

Sebagai perwujudan dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi terkait yauitu dukungan komunikasi dan koordinasi. Efektifitas komunikasi memerlukan mekanisme dan prosedur yang jelas


(55)

35

dimana otoritas yang lebih tinggi dapat memungkinkan pelaksana akan bertindak dengan cara yang konsisten.

4. Karakteristik agen pelaksana

Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasi dan diketahui karakteristik agen - agen pelaksananya. 5. Disposisi

Merupakan respon terhadap kebijakan dan kondisi. 6. Lingkungan kondisi sosial ekonomi politik

Sejauh mana kelompok kepentingan memberi dukungan dan bagaimana opini publik yang terbentuk di lingkungan.

2.2.2 Model Implementasi Merilee S. Grindle

Merilee S Grindle dalam Irwan (2009) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan berdasarkan 2 variabel besar yaitu isi (konten) dan lingkungan (konteks).

1. Isi

1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan ( Interest Affected ).

2. Jenis manfaat yang diterima kelompok sasaran ( Type of Benefit ). 3. Sejauh mana perubahan yag diinginkan dari kebijakan ( Content of Change Envision ).


(56)

36

5. Implementor kompeten dan kapabel ( Program Implementer ).

6. Sumber daya pendukung program telah memadai ( Resources Committed ).

2. Lingkungan

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. 2. Karakteristik lembaga / institusi.

3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

2.2.3 Model Implementasi Damien Mazmanian dan Paul Sabatier

Mazmanian dan Sabatier dalam Arief (2012) menjelaskan bahwa ada 3 variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan :

1. Karakteristik Masalah ( Tractibility of the Problems )

Mencakup kesulitan permasalahan yang dihadapi, kemajemukan kelompok sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, cakupan perubahan prilaku, kelompok sasaran yang dikehendaki dan diharapkan.

2. Karakteristik Kebijakan ( Ability of Statue to Structure Implementation ) Mencakup kejelasan isi kebijakan, dukungan teoritis, alokasi sumber daya finansial, keterikatan dan dukungan berbagai institusi, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada pelaksana kebijakan.


(57)

37

3. Variabel Lingkungan ( Non Statutory Variables Affecting Implementation ) Mencakup sosial ekonomi kelompok sasaran, kemajuan teknologi, dukungan public, sikap kelompok pemilih, komitmen, dan keterampilan implementor.

2.2.4 Model Implementasi G. Shabbir Chema dan Dennis Rondinelli

G. Sahbbir Chema dan Dennis Rondinelli dalam Purwitasari (2011) menjelaskan bahwa ada 4 variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan :

1. Kondisi Lingkungan - Sistem politik - Struktur pembiayaan

- Karakteristik struktur politik lokal - Kendala sumber daya

- Sosio kultural

- Derajat keterlibatan pada penerima program - Tersedianya infrastruktur fisik yang cukup

2. Hubungan antar organisasi

- Kejelasan dan konsistensi sasaran program - Pembagian fungsi antar instansi yang pantas

- Standarisasi prosedur, perencanaan, anggaran, implementasi, dan evaluasi - Ketepatan konsistensi dan kualitas komunikasi antar instansi


(58)

38

- Efektivitas jejaring untuk mendukung program

3. Sumber daya

- Kontrol terhadap sumber daya

- Keseimbangan antara pembagian anggaran dan program kegiatan - Ketepatan alokasi anggaran

- Pendapatan yang cukup untuk pengeluaran - Dukungan pemimpin pusat

- Dukungan pemimpin lokal - Komitmen birokrasi

4. Karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana - Keterampilan tekinis, manajerial, dan politis

- Kemampuan mengkoordinasi, mengontrol, dan mengintegrasikan keputusan

- Dukungan dan sumber daya politik instansi - Sifat komunikasi internal

- Hubungan yang baik antar instansi dengan kelompok sasaran - Kualitas pimpinan instansi yang bersangkutan

- Komitmen petugas terhadap program


(59)

39

2.2.5 Model Implementasi Kebijakan GC Edward

Seorang pakar kebijakan publik bernama GC Edward dalam teorinya menyatakan bahwa proses implementasi kebijakan berdasarkan 4 faktor yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan birokrasi.

Gambar 2.5 Model Implementasi GC Edward

2.2.5.1 Komunikasi

Setiap kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program dengan para kelompok sasaran. Tujuan dan sasaran dari kebijakan dapat disosialisasikan dengan baik sehingga dapat menghindari distorsi atas kebijakan dan program. Hal ini penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan kebijakan seluruhnya.

Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi


(60)

40

dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat berperan (Edward dalam Winarno, 2005).

Ada 3 indikator untuk mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.

2.2.5.1.1 Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan menghasilkan implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian atau miskomunikasi yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan (Edward dalam Agustino, 2006).

Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi probabilitas perintah tersebut diteruskan secara benar.


(61)

41

2.2.5.1.2 Kejelasan

Komunikasi yg diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan. Dalam kejelasan informasi biasanya terdapat kecenderungan untuk mengaburkan tujuan - tujuan informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan informasi berdasarkan pemahaman sendiri - sendiri.

Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai persyaratan, tujuan, menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi, melaksanakan prosedur dengan hati - hati dan mekanisme pelaporan secara terinci (Winarno, 2005).

2.2.5.1.3 Konsistensi

Perintah yg diberikan dalam pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah yang sering berubah - ubah akan menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.2 Disposisi

Menurut Edward dalam Winarno (2005) mengemukakan bahwa disposisi merupakan salah satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai sikap positif atau mendukung terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi


(62)

42

kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius.

Ada 2 faktor yang perlu diperhatikan mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan yaitu pengangkatan birokrasi dan insentif.

2.2.5.2.1 Pengangkatan Birokrasi

Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan -hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat - pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.2.2 Insentif

Merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi


(63)

43

faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.3 Sumber daya

Sumberdaya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator - indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari staf, informasi, wewenang, dan fasilitas.

2.2.5.3.1 Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf atau pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf yang memiliki keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.3.2 Informasi

Dalam implementasi kebijakan informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan


(64)

44

kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.3.3 Wewenang

Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut jika wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya kelompoknya (Edward dalam Agustino, 2006).

2.2.5.3.4 Fasilitas

Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil (Edward dalam Agustino, 2006).


(65)

45

2.2.5.4 Struktur Birokrasi

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni Standar Operasional Prosedur (SOP) dan fragmentasi.

2.2.5.4.1 Standar Operasional Prosedur

SOP merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan umum di berbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan – tindakan para pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan yang membutuhkan cara kerja baru atau tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat


(66)

46

implementasi. Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi yang tidak mempunyai ciri seperti ini (Edward dalam Winarno, 2005).

2.2.5.4.2 Fragmentasi

Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Tidak adanya otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi - fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda - beda. Di samping itu jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah maka kemungkinan besar badan itu akan menentang kebijakan - kebijakan baru yang membutuhkan perubahan (Edward dalam Winarno, 2005).


(67)

47

2.3 Kerangka Teori

Dari sekian banyak teori yang ada mengenai implementasi kebijakan, peneliti memilih model GC Edward sebagai kerangka teori dalam penelitian ini karena Komunikasi Sumber Daya Disposisi Struktur Birokrasi - Transmisi

- Kejelasan - Konsistensi

- Staf - Informasi - Wewenang - Fasilitas - Anggaran

- Komitmen - Insentif

- SOP

- Fragmentasi IMPLEMENTASI

MODEL IMPLEMENTASI GC EDWARD


(68)

48

keempat substansi dalam teori ini yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi secara garis besar sudah mencakup semua substansi yang dibahas dalam teori - teori lainnya namun dengan penjabaran yang lebih sederhana dan tidak mendetail spesifik seperti pada teori lainnya.


(69)

49

BAB III

KERANGKA PIKIR

3.1 Kerangka Pikir

Gambar 3.1 Kerangka Pikir

Implementasi Kebijakan Permenakertrans No.1

tahun 1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada

Konstruksi bangunan Komunikasi : 1. Kejelasan 2. Transmisi 3. Konsistensi

Struktur Birokrasi : 1. SOP

2. Fragmentasi

Sumber daya : 1. Staf

2. Informasi 3. Wewenang 4. Fasilitas 5. Anggaran Disposisi :

1. Komitmen 2. Insentif


(70)

50

Sejatinya keempat substansi antara komunikasi, diposisi, sumberdaya, dan struktur birokrasi saling mempengaruhi satu sama lain. Namun supaya hasil laporan penelitian tidak berbelit - belit dan keterbatasan waktu penelitian yang hanya satu bulan maka peneliti memutuskan untuk meneliti pengaruh keempat substansi secara langsung terdapat implementasi kebijakan yang terjadi di lapangan.

Modifikasi teori dilakukan pada perubahan sub substansinya saja yaitu penambahan anggaran pada substansi sumber daya dan komitmen pada substansi disposisi. Sub substansi pengangkatan birokrasi dihilangkan karena secara isi tidak jauh beda dengan staf pada substansi sumber daya.

3.2 Definisi Istilah

1. Implementasi Kebijakan Permenakertrans No.1 / 1980 tentang K3 pada konstruksi bangunan adalah dilaksanakannya peraturan pemerintah mengenain K3 pada konstruksi bangunan yaitu Permenakertrans No.1 / 1980 pada proyek apartemen dan hotel yang dikerjakan PT. PP di Kemang

Mengacu pada penjelasan komunikasi menurut Ekowati dalam wahyudi (2011) maka dapat dibuat definisi istilah dari faktor komunikasi sebagai berikut :


(1)

No Informan Jawaban

4 House Keeping

House keeping langsung dibawah PP jadi APD disediakan.

Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.

Pekerja yang tidak pake APD biasanya malas atau hilang Saya gak pake full body harnesstapi ribet kayaknya jadi pekerja lebih suka pake safety belt.

5 Besi

PP tidak menyediakan helm dan sepatu. Semua dari mandor tapi kalau ada yang kurang atau tali helm hilang boleh minta ke HSE. Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.

Helm biasanya dilepas karena gerah kalau kelamaan dipakai. Body harness ribet jadi pake safety belt saja.

6 Cor

PP tidak menyediakan helm dan sepatu. Semua dari mandor tapi kalau ada yang kurang atau tali helm hilang boleh minta ke HSE. Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.

Risih pake helm terus, panas.

Body harness ribet jadi pake safety belt sudah cukup.

7 Kayu

PP tidak menyediakan helm dan sepatu. Semua dari mandor tapi kalau ada yang kurang atau tali helm hilang boleh minta ke HSE. Mandor juga kasih uang 10 ribu buat beli sarung tangan.

Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.

Pekerjanya yang malas pake APD.

Body harness ribet jadi pake safety belt sudah cukup.

8 Operator Alimak

Operator alimak cuma 4 jadi APD dari PP semua.

Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.

Pekerjanya yang malas pake APD.

9 Operator Tower Crane

Operator TC cuma 4 jadi APD dari PP semua.

Fasilitas K3 menurut saya sudah lengkap yaitu APD, APAR, rambu peringatan, safety belt, safety net.


(2)

ANGGARAN

No Informan Jawaban

1 HSE Pusat

Anggaran untuk pelaksanaan K3 di proyek sudah ada. Besarannya tidak bisa kami beberkan.

Anggaran tersebut dipakai untuk pelatihan karyawan PP maupun pekerja, pembuatan rambu, APAR , APD, safety net

2 HSE Proyek

Anggaran untuk pelaksanaan K3 di proyek sudah ada. Jumlah pastinya saya lupa bisa mencapai puluhan juta. Itu sudah diatur pusat.

Anggaran tersebut dipakai untuk pelatihan pekerja, penyediaan APAR, APD, rambu peringatan, safety net

3 Quality Control

Anggaran untuk pelaksanaan K3 di proyek sudah ada. Jumlah pastinya saya tidak tahu. Ada mungkin puluhan juta.

Anggaran tersebut dipakai untuk pelatihan pekerja, penyediaan APAR, APD, rambu peringatan, safety net.

4 House Keeping Anggaran saya gak tahu. Tanya mandor saja. 5 Besi Saya gak tahu masalah anggaran.

6 Cor Saya gak tahu masalah anggaran.

7 Kayu Soal anggaran saya gak tahu. Tanya mandor saja. 8 Operator Alimak Saya gak tahu masalah anggaran.

9 Operator Tower


(3)

SOP

No Informan Jawaban

1 HSE Pusat

SOP untuk setiap pekerjaan sudah baku dibuat dari pusat. Pekerja yang sudah pengalaman biasanya lebih mengerti. SOP untuk keamanan mesin dan peralatan sudah ada. Checklist mesin dan peralatan sebulan sekali. Itu yang tahu bagian operasional quality control juga termasuk.

SOP untuk jam kerja sudah ada. Masuk jam 8 istirahat jam 12 pulang jam 5. Kalau mau lembur dilanjutkan selesai maghrib sampai jam 10 malam.

2 HSE Proyek

SOP untuk setiap pekerjaan sudah baku dibuat dari pusat. Proyek tinggal menjalankan.

SOP untuk keamanan mesin dan peralatan sudah ada. Bahan dan alat sudah ada kontrol kualitas. Penyimpanannya juga diatur. SOP untuk jam kerja sudah ada. Masuk jam 8 istirahat jam 12 pulang jam 5. Kalau mau lembur dilanjutkan selesai maghrib sampai jam 10 malam.

Sosialisasi K3 ke pekerja juga sudah diatur.

3 Quality Control

SOP untuk setiap pekerjaan sudah baku dibuat dari pusat. Proyek tinggal menjalankan.

SOP untuk keamanan mesin dan peralatan sudah ada. Checklist mesin dan peralatan sebulan sekali. Mesin dan peralatan sebelum dipakai harus aman.

4 House Keeping

Prosedur kerja gak ada. Pokoknya tinggal bersih - bersih saja. Jam kerja tahu. Masuk jam 8 istirahat jam 12 pulang jam 5. Kalau Kalau mau lembur dilanjutkan selesai maghrib sampai jam 10 malam.


(4)

No Informan Jawaban

5 Besi

Prosedur kerja gak ada. Nunggu disuruh mandor baru mulai kerja. Jam kerja saya sudah tahu. Masuk jam 8 istirahat jam 12 pulang Jam 5. Habis maghrib ada lembur buat yang mau.

6 Cor

Standar pekerjaan gak ada. Kami kerja mengikuti perintah mandor. Jam kerja saya tahu. Masuk jam 8 istirahat jam 12 sampai jam 1 pulang jam 5. Kalau mau lembur dilanjutkan selesai maghrib sampai jam 10 malam.

7 Kayu

Prosedur kerja gak ada. Tinggal ngikutin pekerja lainnya. Jam kerja saya tahu. Masuk jam 8 istirahat jam 12 sampai jam 1 pulang jam 5. Kalau mau lembur dilanjutkan selesai maghrib sampai jam 10 malam.

8 Operator Alimak

Ada safety instruction dipasang di dalam. Dari subkon dikasih tahu. Operator alimak beda - beda jam kerjanya. Hari ini giliran saya selesai istirahat. Nanti malam gantian tempat sama operator yang lain. Besok saya masuk pagi.

9 Operator Tower Crane

Mengoperasikan mesin saya mengerti. Prosedur kerja ada. Sebulan sekali ada checklist. Jam kerjanya juga sudah dijadwal. Kalau operator TC ada shift pagi sama shift malam.


(5)

FRAGMENTASI

No Informan Jawaban

1 HSE Pusat

HSE pusat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan K3 di semua proyek. Di proyek sudah ada tim HSE sendiri.

HSE proyek perpanjangan tangan dari HSE pusat. Secara struktur organisasi di proyek berada di bawah pimpinan proyek. Namun dia wajib memberikan laporan pelaksanaan K3 ke saya.

Pekerja di proyek bertanggung jawab kepada HSE di proyek. Sebenarnya mereka di bawah mandor tapi terkait K3 urusannya langsung ke HSE.

2 HSE Proyek

Saya bertanggung jawab ke pimpinan proyek sama HSE pusat. K3 di proyek tanggung jawab saya.

Semua pekerja di proyek bertanggung jawab ke saya. Kalau ada sesuatu saya langsung turun tangan gak perlu lewat mandor tapi saya tetap bilang ke mandor karena dia yang bawa pekerja kesini. Terkait keamanan mesin dan peralatan tinggal koordinasi saja sama quality control tapi tetap itu tanggung jawab saya.

3 Quality Control

Tanggung jawab saya disini memastikan semua bahan, mesin, dan peralatan sudah aman sebelum digunakan.

Secara struktur organisasi di bawah pimpinan proyek. Saya juga koordinasi sama HSE.

Pelaksanaan K3 di proyek tanggung jawab HSE proyek. 4 House Keeping Pekerja bertanggung jawab kepada HSE proyek terkait K3. 5 Besi Terkait K3 HSE yang memimpin. Mandor bilang selama kerja

di proyek ikutin saja apa maunya orang HSE.

6 Cor

Terkait K3 HSE yang memimpin. Mandor bilang selama kerja di proyek ikutin saja apa maunya orang HSE.

Pekerja lain kalau terkait K3 saya rasa dipimpin HSE juga. 7 Kayu Kalau urusan K3 semua pekerja harus nurut orang HSE.

Saya bertanggung jawab ke mandor. Tapi urusan K3 kita ikut HSE. 8 Operator Alimak Urusan K3 dipegang HSE. Pekerja lain juga sama.

9 Operator Tower Crane

Urusan K3 dipegang HSE. Pekerja lain juga sama.


(6)