Rukun dan Syarat Wasiat

26 menduga bahwa orang akan diberi wasiat itu menjadi baik, maka hal ini menjadi sunnah. 20 5. Mubah Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada kerabat, tetangga atau yang lain yang penghidupannya tidak kekurangan. 21 Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan tentang hukum wasiat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keadaan si pewasiat dan orang yang akan diberikan wasiat sangat mempengaruhi terhadap status hukum dari wasiat itu sendiri. Seperti contoh, apabila orang yang akan berwasiat sebelum meninggal, ia masih memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah SWT yang hanya diketahui olehnya, maka hukum wasiat adalah wajib. Wasiat pun akan menjadi haram apabila hendak berwasiat yang bertujuan untuk kemaksiatan. Seperti berwasiat untuk membangun rumah prostitusi. Wasiat juga dianggap makruh apabila meninggalkan harta yang sedikit sedangkan banyak ahli yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan tersebut.

D. Rukun dan Syarat Wasiat

Wasiat yang telah diatur oleh syariat Islam merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan, hal ini karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapatkan pahala dari allah swt dan juga mengandung nilai-nilai sosial yang mengandung kemashlahatan bagi yang ada di dunia. 20 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 223 21 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1981, h. 57-58 27 Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak syariat maka diperlukan sebuah perangkat aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat syariat. Rukun syarat itu merupakan kumpulan komponen yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat. Adapun rukun wasiat terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan rukunnya wasiat diantaranya ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwasanya rukun wasiat hanya satu yaitu ijab pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat. Karena menurut mereka wasiat adalah suatu akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, tidak mengikat pihak yang menerima wasiat. Oleh sebab itu qabul tidak diperlukan. 22 Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, bahwa rukun wasiat itu ada empat, yaitu: 23 1. Al-Mushi orang yang berwasiat 2. Al-Musha lahu yang menerima wasiat 3. Al-Musha bihi harta yang diwasiatkan 4. Sighat lafaz atau ucapan Dari keenpat rukun di atas, masing-masing memiliki syarat yang harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun wasiat tersebut adalah sebagai berikut: 22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h. 1927 23 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 136-237 28 a. Al-Mushi orang yang berwasiat Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada orang lain ahli tabarru’ yaitu orang yang mempunyai kompetensi kecakapan yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena adanya kedunguan dan kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu adalah seseorang yang kurang kompetensinya, yaitu karena ia masih anak-anak, gila, hanba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Untuk itu imam syafi’i menghukumi tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum baligh. b. Al-Musha lahu yang menerima wasiat Bagi orang atau badan hukum yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut: 1 Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat tersebut, nama orang tersebut, atau badan organisasi tersebut. 2 Telah wujud ada pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada secara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan. 3 Bukan tujuan kemaksiatan. c. Al-Musha bihi harat yang diwasiatkan Sesuatu yang diwasiatkan al-musha bihi dengan syarat sebagai berikut: 1 Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak bergera, atau dapat menjadi objek perjanjian. 29 2 Benda itu sudah ada wujud pada waktu diwasiatkan. 3 Hak milik itu betul kepunyaan si pewasiat d. Shighat lafaz atau ucapan Shighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh si pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima wasiat sebagai tanda terima atas ijab wasiat. Ajab dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan. Penjelasan tentang rukun dan syarat wasiat juga disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam KHI yakni: Pasal 194 1 Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. 2 Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. 3 Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Pasal 195 1 Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. 2 Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. 3 Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4 Pernyataan persetujuan pada ayat 2 dan 3 pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris. Dalam pasal 194 dan 195 Kompilasi Hukum Islam KHI dapat disimpulkan bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta harta yang akan diwasiatkan merupakan hak seutuhnya si pewasiat. 30 Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah bila telah disetujui oleh ahli semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun dalil tentang notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:                                          Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. QS. An-Nisa 04: 135 Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan.                                Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat 31 tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. QS. An-Nisa 04: 59

E. Kadar Dan Hikmah Wasiat