1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pengaruh informasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa
kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini
ijtihad menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengah- tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitasnya ajaran Islam.
Dengan demikian hukum Islam harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fikih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat
berubah sesuai dengan situasi yang berubah pula. Dengan demikian sifat fikih sangat fleksibel. Dalam kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan:
ﺔّﻠﻌﻟا ﻊﻣ روﺪﯾ ﻢﻜﺤﻟا ﺎﻣﺪﻋ و ادﻮﺟو
.
1
Artinya: Keberadaan hukum itu sesuai dengan ‘illatnya, baik ada dan tidak adanya. Pada dasarnya, hukum Islam dihadirkan dalam rangka untuk merealisasikan
kemashlahatan individu maupun kemashlahatan sosial yang selalu sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Oleh kerenanya, hukum Islam selalu bersifat elastis dan
1
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, Tt, h. 47
2
fleksibel. Dalam rangka inilah, selalu diperlukan ijtihad agar terealisasikannya hukum Islam.
Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk dan mayoritas warga negara memeluk agama Islam, banyak upaya yang dilakukan oleh ulama agar
hukum Islam menjadi hukum positif dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karenanya, diantara upaya untuk merealisasikan hukum Islam adalah Fatwa Majelis
Ulama Indonesia MUI, Bahtsul Masail dan juga Kompilasi Hukum Islam KHI. Selain itu juga, untuk menjawab seputar masalah hukum Islam yang terjadi seiring
dengan berkembangnya zaman. Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa UU NRI Tahun 1945
menentukan dalam pasal 2 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan
peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku
Kekuasaan Kehakiman KK untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.
2
Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya
2
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 240-241
3
masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam
penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA UU PA No.789 yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris”, dinyatakan dihapus. Kompilasi Hukum Islam KHI disusun dan dirumuskan untuk mengisi
kekosongan hukum substansional mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
3
Kompilasi Hukum Islam KHI yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154
Tahun 1991.
4
Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang
digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam kitab fikih dari berbagai aliran mazhab, yang berakibat munculnya keragaman
putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam KHI kekosongan hukum itu telah terisi. Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam KHI, secara substansional
dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al- Sunnah dan secara hierarkial mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang
3
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 2
4
Cik Hasan Basri, h. 11
4
berlaku.
5
Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global dan memperhatikan
tatanan hukum barat yang tertulis terutama hukum eropa kontinental dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam KHI.
Di Bidang Kewarisan, Wasiat dan Perwakafan Buku II dan Buku III dalam Kompilasi Hukum Islam KHI, pada dasarnya merupakan suatu bentuk peralihan
dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan fuqaha ke dalam bentuk qanun. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat
majemuk, khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat lokal, diantaranya ketentuan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam KHI tentang
kebolehan memberikan wasiat kepada ahli waris dengan syarat adanya persetujuan dari ahli waris lainnya.
Dalam hal wasiat, Islam mensyari’atkan ketentuan adanya wasiat dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama dan juga bentuk amal jariyah
si mayit sebagai tambahan amal kebajikannya. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dapat dilaksanakan bila si mayit mempunyai harta peninggalan dan sudah dibereskan
masalah yang sudah berkaitan dengan si mayit seperti biaya penguburan dan hutang piutang. Dengan demikian masalah perwasiatan erat hubungannya dengan harta
peninggalan si mayit yang bahasa arab disebut tirkah.
5
Cik Hasan Basri, h. 9
5
Secara khusus tirkah diartikan dengan segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai bagi ahli waris, seperti kebendaan
sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, serta bukan kebendaan yang bersangkutan dengan orang lain.
6
Demikian juga diungkapkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sedangkan Hanafi dan Ibnu Hazm hanya berupa harta
benda saja. Adapun hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan terdiri atas beberapa
urutan, seperti hak yang berkaitan dengan zat harta tirkah, pengurusan biaya jenazah, pelunasan hutang piutang. Hutang piutang kepada Allah SWT, seperti pelaksanaan
ibadah haji bila mampu atau hutang kepada manusia, seperti melaksanakan wasiat dan pembagian waris.
7
Dalam syari’at Islam pelaksanaan wasiat telah diatur oleh Al-Qur’an juga Al-Sunnah. Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan tentang wasiat adalah
yang terdapat dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 dan juga Surat al-Maidah Ayat 106. Adapun dalam pelaksanaannnya dilakukan setelah orang yang berwasiat telah
meninggal dunia. Wasiat hanya berlaku sepertiga dari harta peninggalan bila masih ada ahli
waris dari si mayit, baik wasiat itu dikeluarkan masih sakit atau sehat. Apabila melebihi sepertiga harta peninggalan, maka kesepakatan ulama mazhab adalah
membutuhkan izin dari ahli waris yang ada. Bila ada sebagian mengizinkan
6
Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif,1984, h. 36-37
7
Suparman usman, Fikih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
, h. 46
6
sedangkan yang lain tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, sedangkan izin ahli waris adalah sah dan berlaku jika ia berakal
sehat, baligh dan dapat dipercaya.
8
Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat yang tersebut di atas, para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini. Mayoritas mereka
berpendapat bahwa status hukum wasiat adalah tidak fardhu ‘ain, baik kerabat dan orang tua atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.
9
Implikasi wasiat yang dipahami oleh para ahli hukum Islam itu adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat secara nyata, jika
mereka tidak berwasiat maka tidak perlu mengada-ngada agar wasiat dilaksanakan karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah Ayat 180
telah dinasakh oleh Surat an-Nisa Ayat 11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat dekatnya, baik orang-orang yang menerima warisan ataupun tidak menerima
warisan setelah turunnya Surat an-Nisa Ayat 11-12 itu sudah tertutup haknya atau dengan kata lain tidak menrima wasiat.
Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa yang dikehendakinya, namun harus terikat dengan beberapa ketentuan. Adanya
ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar pelaksanaan hak seseorang untuk berwasiat jangan sampai merugikan pihak yang lain. Adapun tentang hukum
8
Jawad Mighniyah, Terjemah Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996, h.513
9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h.
153
7
berwasiat, para ulama hukum Islam tidak ada perbedaan di kalangan mereka dalam kebolehannya berwasiat sebagian harta kepada siapa yang dikehendakinya selain ahli
waris yang akan mendapatkan harta warisan, dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta peninggalan.
Berbeda dengan hal itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapat pembagian warisan:
10
1. Pendapat yang dipegang oleh para Imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pihak yang menerima
wasiat harus bukan yang terdiri dari ahli waris yang mendapat pembagian harta warisan bilamana dalam kasus tersebut terdapat ahli waris yang lain. Sehingga
wasiat kepada ahli waris tidak sah. Alasan mereka beberapa ketegasan Rasulullah, antara lain hadis riwayat Nasa’iy:
ثراﻮﻟ ﺔّﯿﺻو ﻻ و ﮫّﻘﺣ ّﻖﺣ ىذ ّﻞﻛ ﻰﻄﻋا ﺪﻗ ﷲا ّنا ىءﺎﺴّﻨﻟا هاور
11
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang- orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli
waris”. HR. Al-Nasa’iy Hadis tersebut menunjukan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak sah kecuali atas
izin ahli waris yang lain. Menurut aliran ini Surat al-Baqarah Ayat 180 :
10
Setria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, h.
380
11
Jalaluddin al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, Beyrut: Dar al-Fikr, Tt, h. 262
8
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.QS. al-Baqarah2: 180
Ayat ini telah dinasakh oleh ayat pembagian harta warisan, yakni Surat an-Nisa Ayat 11-14:
9
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan
sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. QS. An-
Nisa04: 11 Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudahh dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
10
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja, Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
kepada ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun. QS. An-Nisa04: 12 Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. QS. An-Nisa04: 13
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. QS. An-Nisa04: 14
Dengan turunnya ayat mawaris tersebut, maka berakhirlah masa diwajibkannya berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang
mewajibkan berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama
muslim, tetapi secara bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan harta warisan disebabkan berlainan agama.
2. Pendapat yang dianut oleh kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari
ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli
waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga, begitu aliran ini menjelaskan, maka
11
statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah pemberian dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana
lazimnya praktek hibah.
12
3. Syi’ah Imamiyah dan sebagian dari Syi’ah Zaidiyah berpendapat boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan dari ahli waris yang lain dalam
batas jumlah sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Ayat 180 Surat al-Baqarah telah
dinasakh oleh ayat-ayat mawaris dalam Surat an-Nisa.
13
Kompilasi Hukum Islam KHI sendiri dalam membahas tentang wasiat menjabarkan dalam pasal 195 tentang kebolehannya berwasiat kepada ahli waris
setalah adanya persetujuan dari pihak ahli waris yang lain. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang
fenomena perbedaan pendapat tentang wasiat kepada ahli waris, secara khusus tentang kebolehan wasiat kepada ahli waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam
KHI karena disadari secara umum Kompilasi Hukum Islam KHI adalah merupakan sumber hukum Islam yang sangat bercorak keindonesiaan, maka dari itu
penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul
Peran
“Wasiat Kepada Ahli Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum
Islam” .
12
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996, h. 240
13
Mahammad Abu Zahra, Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah, Beyrut: Dar al-Fikr, 1995, h. 56
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah