Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa ikut memiliki dan kesetiaan.
Bushido jalan prajurit sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilai-
nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan nilai- nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido
yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya
menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati,
kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri. Pada perwujudan etika bushido oleh para bushi pada zaman Tokugawa adalah
adanya pengabdian diri secara mutlak kepada tuannya, gejalanya yang lebih jelas yaitu adanya perilaku junshi bunuh diri untuk mengikuti kematian tuannya dan
perilaku adauchi mewujudkan dendam tuanStumorang, 1995:21.
2.2. Sejarah Bushido
Sejak zaman feudal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo yang berlaku hingga zaman heian abad ke-7 sampai abad ke-12. Dalam system
ritsuryo , tenno atau kaisar sebagai penguasa administrasi pemerintahan tertinggi dan
para kizoku atau bangsawan bertugas sebagai pelaksana administrasi pemerintahan di pusat dan daerah Situmorang, 1995:9-10. Pada masa itu belum dikenal kepemilikan
dan kepemilikan hak tanah atas nama perseorangan, tetapi dikenal dengan istilah kochi komin
wilayah umum dan masyarakat umum. Dalam perkembangannya kemudian, di daerah-daerah lahir sonraku kyodo tai kelompok kerjasama didaerah,
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
yaitu kelompok petani dibawah kekuasaan kizoku, keluarga bangsawan yang bertugas didaerah.
Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kochi komin dan masuk
kedalam kelompok pertanian kizoku, karena mereka mendapat perlindungan dari kizoku. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengolah bagian lahan
mereka, dengan begitu para petani tersebut diakui menjadi anggota ie keluarga kizoku tersebut. Ada juga petani yang meninggalkan system kochi komin dan tidak
memiliki tuan yang disebut ronin, tetapi mereka dapat dikumpulkan oleh kizoku sehingga kedudukan mereka semakin kuat. Tanah pertanian yang terpisah dari
administrasi ritsuryo disebut shoen. Penggarapan shoen ini melahirkan ie atau rumaj tangga yang tidak hanya
sebatas pada hubungan darah saja. Kemudian didalam ie tersebut lahir hubungan antara atasan dan bawahan yang disebut mibunsei atau system jenjang kedudukan
antara tuan dan pengikut dalam ie. Kelompok-kelompok ini diikat dengan pemujaan dewa yang sama, mengkonsumsi jenis makanan yang sama dan minum sake bersama,
kemudian kelompok ini disebut dozoku. Persaingan antara dozoku ini memicu perang. Untuk itu mereka membentuk
prajurit professional yang disebut bushi, yang sebelumnya adalah petani yang dipersenjatai. Sebelumnya dalam system ritsuryo, prajurit diambil dari masyarakat
umum yang dipersenjatai oleh pemerintah. Dengan demikian, muncullah kekuatan- kekuatan yang berusaha memisahkan diri dari pemerintah pusat, shoen kizoku
memperluas wilayah dengan melakukan ekspansi terhadap shoen kizoku lainnya. Pada zaman heian abad ke-8, keluarga bangsawan Fujiwara yang berstatus
sebagai kizoku, melakukan pendekatan secara diplomatis dengan kaisar dengan cara
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
mengawinkan putra-putri mereka dengan keturunan kaisar. Dari hasil hubungan kekluargaan ini, pada tahun 1017, Fujiwara No Michinaga diangkat menjadi kanpaku
wakil kaisar karena kaisar pada saat itu sedang melaksanakan insei yaitu tinggal di kuil dengan mengisolasi diri dari masyarakat. Pada saat itu terjadi kekacauan di
daerah, dimana antar kizoku terjadi perang yang menyisakan kizoku-kizoku yang kuat. Kedudukan keluarga Fujiwara semakin kuat, karena sebagian besar anggota
keluarga Fujiwara mendapat kesempatan besar untuk menjadi penguasa atas tanah dengan tidak memiliki kewajiban membayar pajak, yang selanjutnya menjadi hak
milik secara turun temurun. Pajak tanah yang diberikan pemerintah pusat cukup tinggi, karena kebutuhan akan dana untuk memenuhi kebutuhan negara. Para petani
akhirnya menyerahkan tanahnya kepada kizoku untuk dikelola dan menjadi buruh penggarap. Akibatnya para kizoku menjadi tuan tanah yang lama kelamaan tumbuh
menjadi sebuah kekuatan politik yang berdiri sendiri dan menguasai perekonomian negara. Rakyat yang tadinya milik negara akhirnya berlindung di bawah shoen dan
mengalihkan kesetiaan terhadap tuannya. Para penguasa pada saat itu hanya ingin mempertahankan kemakmuran
sendiri, dan aparat pemerintah banyak yang korup, sehingga di daerah mereka seting terjadi peperangan untuk mempertahankan kedudukan. Pertempuran yang sering
terjadi melahirkan suatu golongan masyarakat baru, yaitu golongan militer. Pada awal abad ke-10 golongan ini mulai menunjukkan kekuatan dengan
saling nenyerang keluarga lain. Keluarga Minamoto dan keluarga Taira adalah keluarga yang terkuat. Pada tahun 1159, keluarga Minamoto No Yoritomo
menghancurkan dan memusnahkan keluarga Taira, sehingga Minamoto memegang kekuasaan militer. Dalam memimpin pemerintahan yang diatur secara militer,
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Minamoto tetap berada di Kamakura , tetapi untuk urusan sipil dan keagamaan tetap berpusat di istana kaisar.
Pada tahun 1185, Minamoto meletakkan dasar-dasar pemerintahan militer dengan menciptakan jabatan shugo polisi dan jito yang bertugas untuk mengawasi
pembayaran pajak. Minamoto memiliki kekuasaaan mutlak diseluruh negara, dengan demikian hak untuk mengawasi negara jatuh ketangan militer yang melahirkan
pemerintahan militer bakufu. Permulaan kepemimpinan oleh shogun dianggap sebagai awal dari berlakunya
system feudal yang menyebabkan ikatan yang kuat antara tuan dan hambanya. Yakni antara Minamoto dengan shugo dan jito serta para shoen di daerah. Para shugo
akhirnya menguasai daerah dengan menghapus shoen dengan sebutan daimyo, kemudian membentuk aristrokasi feudal yang mempunyai pengikut yang bersenjata
yang disebut samurai. Menilik dari sejarah perkembangannya, nilai-nilai bushido mulai muncul dan
berkembang pada zaman feodal memegang pemerintahan Jepang kuno. Pada zaman feodal ini, stratifikasi sosial atau pengelompokan dalam masyarakat amat ketat
dijalankan, dimana bushi atau samurai menempati posisi tertinggi dalam struktur masyarakat. Golongan samurai amat disegani dan ditakuti oleh masyarakat golongan
lain di bawahnya, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku penutupan diri dari dunia luar. Hampir selama 250 tahun samurai berada di posisi
tertinggi, sehingga nilai-nilai kesamuraian menjadi sangat tersosialisasikan dalam masyarakat Jepang. Pun walau akhirnya sakoku berakhir, dan Jepang melakukan
pembukaan diri secara paksa oleh Comodor Perry dari Amerika Serikat saat restorasi Meiji terjadi, nilai-nilai ini tidak tergoyahkan karena sudah terfragmentasi dalam
masyarakat secara kuat proses selama ratusan tahun.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Etika bushido berasal dari tiga sumber utama yang terdapat pada masyrakat Jepang, yaitu: Budhisme, Shinto, dan Konfusionisme.
Budhisme
Ajaran Budhisme dimana terdapat perasaan percaya, tenang pada nasib, pasrah damai dalam hal-hal yang tidak terelakkan. Contoh : ketenangan hati menghadapi
bahaya atau bencana, rasa bosan hidup, akrab dengan maut. Selain itu, dalam Budha tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa. Maka dalam kasus ini, mati bunuh
diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinal agama. Yang ada hanyalah konsep karma dimana perbuatan yang baik akan berakibat baik pula, dan
begitu pula sebaliknya. Secara historis, pengaruh agama budha di Jepang berasal dari Cina, yang
sekaligus menjadi wadah masuknya peradaban Cina Reischauer, 1982:284. Pengaruh budaya Cina muncul dalam berbagai bidang, antara lain seni, arsitektur,
filsafat, aksara, ilmu pengetahuan sampai administrasi ketatanegaraan. Pengaruh ini dapat dilihat dengan diadopsinya aksara tulisan Kanji.
Arti penting kehadiran agama Budha di Jepang pada awalnya terletak pada aspek magis nya. Mantra kerap kali di baca bukan untuk memahami hakikat isinya,
melainkan untuk menggunakan khasiat magisnya, untuk meminta atau meredakan hujan, menjauhkan bencana, maupun untuk menyembuhkan penyakit.
Pada tingkat psikologis, daya tariknya terletak pada Budha sebagai lembang kesempurnaan jiwa yang diperlukan dalam mencapai kehidupan akhirat yang
sempurna pula. Menusia diharapkan menjalani kehidupan duniawinya sebaik mungkin sebagai suatu pencerahan. Masuknya agama Budha bukan berarti agama pribumi
menjadi ditinggalkan, para pendeta menegaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan letak atau posisi dewa diantara agama Budha dan agama pribumi yaitu
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Shinto. Dewa matahari bisa disejajarkan dengan sang Budha, dewa Shinto yang lebih rendah kedudukannya identik dengan dewa Budha yang lebih rendah juga.
Dalam perkembangan agama Budha sendiri yaitu pada abad ke-12 dan abad ke-13, menandai suatu titik balik dimana timbul kecenderungan kuat untuk
melepaskan agama ini dari unsur-unsur magisnya. Sekte terpenting dan yang paling besar pengaruhnya adalah sekte Zen. Ajaran ini menekankan bahwa pengetahuan
manusia mengenai pemikiran-pemikiran sang Budha dapat diperoleh melalui meditasi, ajaran ini memiliki peranan yang besar pada periode pemerintahan shogun
Tokugawa.
Shinto
Shinto adalah agama asli banga Jepang, yang menjadi kultur bagi mereka jauh sebelum agama atau kepercayaan lain memasuki kehidupan mereka. Shinto secara
harfiah berart jalan para dewa, tidak memiliki naskah atau kitab resmi serta ajaran yang terorganisir seperti lazimnya sebuah agama atau kepercayaan, bahkan penemu
agama ini tidak diketahui. Tetapi agama ini mampu menjadi landasan religius bagi hampir seluruh masyarakat Jepang.
Satu-satunya pengaruh Shinto terletak pada mitos yang dikandungnya, mengenai asal usul kaisar dan sifat kaisar yang diaggap sebagai keturunan langsung
dari dewa. Bangsa Jepang digambarkan berasal dari satu uji, suatu bentuk unit kekeluargaan semacam marga Smith, 1974:7. Setiap pemimpin uji bertanggung
jawab dalam menjaga wilayah sendiri, melindungi anggota uji, serta memimpin upacara pemujaan terhadap dewa pelindung uji atau ujikami. Tidak ada kepastian
yang dipuja tersebut adalah leluhur uji yang didewakan atau dewa yang dianggap sebagai leluhur suatu uji.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Untuk meningkatkan kekuasaan dan memperluas wilayah, beberapa uji melakukan ekspansi ke wilayah tetangga mereka. Akibatnya lambat laun keanggotaan
uji bukan hanya sebatas anggota keluarga saja, tetapi mereka yang ingin bergabung dengan uji yang lebih kuat karena mereka telah kalah dan menguasai uji yang lebih
kecil atau lemah. Selanjutnya muncul dinasti kekaisaran Yamato yang menjadi penguasa atas seluruh uji.
Sebelum muncul catatan sejarah yang pertama kali yaitu kojiki pada tahun 712 dan nihonshoki pada tahun 720, telah berkembang suatu konsepsi mengenai leluhur
kekaisaran. Diyakini bahwa leluhur kaisar adalah dewi matahari amaterasu o mikami yang menurut legenda memberikan tiga buah lambing kekuasaan, yaitu pedang,
permata dan cermin, kepada cucu laki-lakinya yang diturunkan ke bumi bersama dewa lainnya. Cicit laki-laki adalah Jimmu Tenno tang menjadi kaisar pertama
Jepang. Dalam tradisi masyarakat Jepang dewi Matahari dipuja dengan mendirikan sebuah kuil pemujaan yaitu tse. Sementara para kaisar selanjutnya adalah keturunan
langsung dari kaisar Jimmu Tenno, disembah secara khusus di pusara-pusara mereka, meskipun tidak semua pusara mereka belum bisa dipastikan sebagai pusara yang
sebenarnya Smith, 1974:8. Mitos Shinto telah menanamkan dalam pemikiran masyarakat Jepang bahwa
kaisar adalah keturunan langsung dari dewi Matahari, oleh sebab itu harus diberlakukan dan dihormati sebagai makhluk suci. Sampai sekarang, walaupun kaisar
Hirohito pada tahun 1946 mengeluarkan pernyataan bahwa kaisar bukan keturunan dewa, tetapi kaisar Jepang tetap menjadi pemuka agama bagi agama Shinto dan
merupakan lambang persatuan rakyat Jepang. Kedudukan kaisar di puncak hirarki sosial bagi dalam struktur masyarakat melahirkan loyalitas dan pengabdian setiap
orang Jepang terhadap kaisar itu sendiri.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Dewa Shinto dipercaya mendiami kuil-kuil, benda-benda alam seperti batu, gunung, sungai, tanah serta gejala-gejala alam seperti angin, badai dan gempa. Maka
agama Shinto menjadi suatu kombinasi animisme dan pemujaan terhadap alam. Kami atau dewa disembah malalui sarana upacara-upacara dan pesta-pesta. Syarat penting
untuk berpartisipasi dalam peribadahan kesucian diri dari semua yang dianggap kotor, seperti paenyakit dan kematian.
Bentuk-bentuk tirual yang kurang lebih sama primitifnya terus ada sampai awal abad ke-13, diamana bekembang gejala-gejala rasionalisme filosofis dan etis.
Dokumen yng disusun oleh para pendeta menyatakan bahwa sesungguhnya kami lebih menginginkan kajujuran dan ketulusan hati, serta menyukai kebaikan dari pada
penyembahan yang bersifat meterialistis Bellah, 1965:64. Dengan demikian pengertian awal tentang dewa-dewa telah digantikan oleh konsep ketuhanan yang
kedua. Gaya ritual baru Shinto mensyaratkan setiap pemuja dewa di kuil-kuil Shinto
untuk terlebih dahulu melakukan dua macam penyucian diri, yaitu pengendalian diri dari pikiran-pikiran yang ambisius akan keinginan duniawi dan yang kedua adalah
memlihara fisik dari kekotoran, yang merupakan sarana untuk mencapai penyatuan dengan kami.
Konfusius
Kode moral dari ajaran konfusius bersifat universal, mencakup hampir semua nilai-nilai dalam masyarakat yang agraris pada umumnya. Dan perilaku sosial politik
masyrakat Jepang yang bersumber pada kultur rakyatnya, sesungguhnya hanya dasar pemikiran rasional oleh pembendarahan konfusius Bellah, 1965:171.
Masyarakat pada jaman Tokugawa berpijak pada ajaran konfusius. Dalam ajaran tersebut dikemukakan lima macam hubungan manusia, yaitu hubungan antara
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
atasan dan bawahan, hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara anak dengan orang tua, hubungan antara kakak dengan adiknya dan hubungan antar
sesama. Hubungan ini disebut dengan prinsip gorin. Kelima macam hubuingan ini didasari pada hubungan antara atasan dengan bawahan, dimana yang diatas menjadi
panutan dan pedoman serta menjadi pelindung, dan bawahan tunduk dan taat kepada atasan.
Pada zaman keshogunan Tokugawa juga dikenal adanya struktur masyarakat, yaitu: Shi Bushi yaitu golongan militer, No Nomin yaitu golongan petani, Ko
Shokunin yaitu golongan pekerja, Sho Shonin yaitu golongan pedagang. Tetapi
walaupun demikian mereka tidak nerhasil membuat suatu konsep shido baru yang didasarkan pada konsep gorin diatas. Atas desakan tersebut, maka tampil seorang
pemikir Minkan Gakusha pemikir yang berasal dari kalangan swasta yang bernama Yamaga Soko. Namanya sangat dikenal dikalangan shogun, karena dia sempat
diizinkan untuk belajar di istana keshogunan. Konsep ajaran shido baru dari Soko ini menitikberatkan pada penjelasan akan
gorin terhadap tuan dan bawahan secara mendetail. Menurut Soko ada 10 sikap yang
harus dimiliki oleh bushi dalam mewujudkan moral shido: 1. menjaga perasaan
2. mempunyai kebebasan hati 3. mempunyai harapan
4. kemurahan 5. kecerahan
6. membicarakan giri 7. menerima takdir jiwa dengan pasrah
8. hidup jernih
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
9. kejujuran 10. teguh hati gusho
Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko Watsuji dalam Situmorang, 1995:54 harus ditetapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai
berikut: 1. mengupayakan chuko kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah
2. mengutamakan jinggi kamusiaan 3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam
4. mempelajari tulisan Kemudian Soko mengatakan bushi harus mempertahankan igi
kesanpenampilan dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara berpakaian, cara makan dan tempat tinggal, karena menurutnya luar adalah gambaran
dari isi, jikalau dalam benar maka luarnya akan benar pula. Penegertian Igi adalah:
1. cara pandang tentang yang dilihat dan didengar 2. etiket dalam berbicara
3. memperhatikan yobo tampang
2.3. Etika Moral Bushido