Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
9. kejujuran 10. teguh hati gusho
Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko Watsuji dalam Situmorang, 1995:54 harus ditetapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai
berikut: 1. mengupayakan chuko kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah
2. mengutamakan jinggi kamusiaan 3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam
4. mempelajari tulisan Kemudian Soko mengatakan bushi harus mempertahankan igi
kesanpenampilan dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara berpakaian, cara makan dan tempat tinggal, karena menurutnya luar adalah gambaran
dari isi, jikalau dalam benar maka luarnya akan benar pula. Penegertian Igi adalah:
1. cara pandang tentang yang dilihat dan didengar 2. etiket dalam berbicara
3. memperhatikan yobo tampang
2.3. Etika Moral Bushido
Memasuki jaman Meiji, dimana pemerintahan pusat dikembalikan kepada kaisar, maka pemerintahan pun dapat mengendalikan rasa kebangsaan penduduknya.
Pada zaman ini hingga berakhirnya perang dunia kedua, segenap masyarakat Jepang mempunyai hak yang sama dalam urusan bela negara. Namun, karena kebanyakan
pemegang kendali pemerintahan Meiji, Taisho, dan Showa berasal dari keturunan golongan prajurit bushi pada Zaman Feodal, akibatnya nilai-nilai bushido pun turut
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
diterapkan dalam semua lini kehidupan masyarakat Jepang, terutama di bidang pendidikan dan militer. Diantara nilai-nilai bushido yang diterapkan tersebut adalah
sikap rela mati untuk keagungan Kaisar yang berlaku sebagai kepala pemerintahan yang sekaligus keturunan dewa tersebut. Pengendalian sikap politik penduduk Jepang
oleh golongan militer pada masa perang Cina-Jepang dan Perang Asia Raya menimbulkan dampak negative bagi sebagian besar penduduk Jepang sendiri, yakni
terampasnya hak-hak individual untuk menenentukan nasibnya sendiri. Karena bushido merupakan system moral maka sesungguhnya etika yang
terkandung adalah etika moral. Kandungan etika moral bersifat altruistik, yaitu etika moral yang berpusat pada rasa kemanusiaan. Potensi moral yang diwarisi oleh bangsa
Jepang telah menemukan bentuknya sebagai tatanan moral setelah konfusionisme datang. Etika konfusionisme yang bersifat kemanusiaan sangat cepat diterima bangsa
Jepang, hal ini terjadi karena bangsa Jepang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bangsa Cina yang membawa ajaran konfusionis.
Etika moral bushido menurut Nitobe 1969: 23-93 adalah: keberanian, kejujuran, keteguhan hati, kehormatan, kesopanan, ketulusan hati, kebajikan serta
kesetiaan.
Keberanian
Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya pengaruh sistem ie. Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela
mati demi membela kelompoknya tersebut. Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang
dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku atau
harakiri demi menjaga nama baik dirinya dan lembaga tempatnya mengabdi. Ia lebih
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada hidup menanggung malu.
Kejujuran
Kejujuran merupakan keyakinan dalam ajaran code of the samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan
perbuatan yang tidak jujur. Ajaran bushido mendefenisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa
keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai suatu kebenaran.
Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri. Giri adalah alasan oleh seseorang untuk
memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap terhadap orang tua, senior atau superioritas dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.
Jika seseorang bersikap jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa dia adalah orang yang berani. Pengertian berani bukan hanya mengacu pada
keberanian, tetapi juga pada berani menghadapi cobaan hidup. Kejujuran dikalangan samurai merupakan suatu etika yang tidak dapat
diragukan lagi. Samurai harus tegas kapan harus membunuh dan kapan harus mati, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus sesuai
dan didasari oleh kejujuran dan akal sehat, tanpa kecerobohan dan kecurangan.
Keteguhan hati
Keteguhan hati merupakan sikap yang pantang menyerah, yaitu seseorang yang dapat bangkit dari keterpurukan atau kekalahan karena berlandaskan
pengalaman yang berulang-ulang.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Etika keteguhan hati ini sejalan dengan tiga prinsip dasar samurai, yaitu chi, jin dan yuu
. Chi menekankan pada ajaran kebijaksanaan, jin menekankan pada kasih sayang dan keserasian dengan alam dan yuu menekankan pada keberanian dan keteguhan
hati.
Kebajikan
Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain. Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan
semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang. Menurut Nitobe bahwa rasa kasih sayang yang dimiliki kaum
samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa. Tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi.
Kesopanan
Menurut Nitobe bahwa etika kesopanan masyarakat Jepang sudah terkenal ke seluruh dunia. Dan sifat itu merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik
dari hubungan masyarakat. Kesopanan dalam masyrakat Jepang bermula dari tata cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain,
bagaiman sikap dalam berjalan, duduk, diajar dan mengajar dalam bentuk kepedulian.
Kehormatan
Kehormatan merupakan implikasi dari suatu kesadaran hidupakan martabat individu yang berharga. Menurut Nitobe seroang samurai dibesarkan dengan nilai-
nilai kewajiban dan keistimewaan profesi atau kedudukan mereka, bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka.
Di dalam bahasa Jepang ada istilah na nama, memoku wajah, guaibun pendengaran, yang merupakan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama
baik adalah bagian yang tidak kelihatan dalam diri manusia, tetapi dapat dirasakan.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
Kalau tidak dijaga reputasi itu bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik pada orang lain, dan kehormatan itu telah ada sejak manusia itu ada dalam kandungan
ibunya. Hilangnya kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah hal yang sangat buruk dan merupakan hukuman yang sangat dihindari. Kesadaran akan mempertahankan
kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah menolak segala bentuk penghinaan. Seppuku atau bunuh diri dengan cara memotong perut sendiri adalah merupakan suatu
upacara ritual untuk mempertahankan kehoramtan dan keberanian. Landasan filosofi yang diperlihatkan dalam etikan kehormatan ini adalah
adanya kebutuhan bagi suatu undividu untuk menerima suatu penghargaan berupa hasil kerja. Dalam etika bushido adalah kehormatan bisa dicapai sejalan dengan
bertambahnya usia dan pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun selama hidup seorang samurai dapat
hilang dengan seketika bila berbuat suatu kesalahan.
Kesetiaan
Kesetiaan adalah Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushid adalah
kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-
aturan yang ditetapkan oleh tuannya. Ajaran konfusius menempatkan kesetiaan kepada orang tua adalah hal yang paling utama. Di Jepang kesetiaan terhadap atasan
adalah hal yang menempati urutan teratas. Makna kesetiaan pertamakali terlihat dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial
kolektif untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman dari luar. Pemerintahan yang berkuasa pertamakali adalah kaisar Jimmu abad 6 SM.
Makna kesetiaan yang muncul pada pemerintahan kaisar ini adalah disamping makna solidaritas kolektif dan juga sikap patuh dan taat terhadap kasisar sebagai orang yang
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
memiliki derajat kesucian yang tinggi sebagi anak cucu dewa matahari.Kesetiaan terhadap kaisar ini tidak hanya dalam hal keduniawian tetapi juga dalam hal
keabadian. Pemenuhan kewajiban yang dapat diartikan dari sifat religius dilakukan dengan bertindak setaat mungkin terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara
mengabdi sepenuhnya terhadap atasan. Hal ini dianggap sebagai cara terbaik sebagai cara terbaik untuk mendapatkan berkah lindungan dari para leluhur dan para dewa
untuk mencapai kondisi yang harmonis. Setelah masuknya ajaran konfusionisme dan budhisme dari china abad 6,
telah memunculkan makna-makna baru dari kesetiaan. Dengan berlandaskan pada kita-kitab konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral. Nilai moral yang
terkandung didalamnya adalah nilai moral sosial, karena berdasarkan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesame, terhadap
pejabat pemerintahan dan terhadap kaisar. Pengaruh konfusionisme terhadap perkembangan makna kesetiaan semakin tampak nyata dengan perintah kaisar
terhadap rakyat Jepang, yang menghendaki rakyat memiliki kesetiaan yang besar terhadap kaisar.
Pada masa pemerintahan bakufu, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh shogun dan kaisar hanya sebagai symbol memunculkan suatu makna baru dari
kesetiaan. Makna kesetiaan yang lebih bersifat politik, yaitu kesetiaan terhadap pejabat pemerintah, terutama daimyo dan shogun, dimana system pemerintahan
bersifat feodalisme.Kebudayaan feodal Jepang berbeda dengan feodalisme Cina, walaupun mendapat pengaruh dari Cina. Hal ini tampak pada pengaruh samurai
meletakkan tekanan-tekanan utama pada kebikan militer tentang keberanian, kehormatan, disiplin diri dan siap menerima maut dengan tabah. Kewajiban utama
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku, 2009.
USU Repository © 2009
pada pemerintahan bakufu adalah kesetiaan, karena seluruh sistemnya tergantung pada ikatan kesetiaan pribadi Reischauer, 1982:76.
Kesetiaan pada pengusasa amat penting dalam ajaran konfusionisme, tetapi lebih di batasi oleh kesetiaan terhadap keluarga. Sesungguhnya tiga dari lima etika
dasar konfusionisme ada kaitannya dengan kapatuhan anak dan kesetiaan keluarga lain. Di Jepang pada masa pemerintahan bakufu, kesetiaan kepada tuan lebih berpusat
terhadap seluruh system, sehingga kepada keluarga yang bersifat kelompok lebih besar menjadi lebih penting dari pada keluarga sendiri. Makna kesetiaan menjadi
lebih penting pada pangabdian terhadap kepentingan kelompok dari pada perorangan dalam dimensi politik. Perkembangan yang demikian terjadi hingga abad-19 atau
sampai pada jaman restorasi meiji, yaitu dengan berakhirnya kekuasaan shogun Tokugawa, kesetiaan dikembalikan pada makna semula yang selalu melekat pada
kehormatan dan eksistensi para samurai. Sehingga nilai kesetiaan memiliki makna yang naturalistik, humanistik, religius dan politik serta kesetiaan terhadap kaisar dan
bangsa.
2.4. Novel Shiosai 2.4.1. Tema