vii Menurut Gross John 1998 aspek-aspek ini secara berbeda
memprediksikan kriteria pengukuran seperti emotion-expressive behavior yang diukur di laboratorium, dengan positive expressivity hanya memprediksikan
perilaku bahagia bukan perilaku sedih dan sebaliknya negative expressivity juga memprediksikan perilaku sedih bukan perilaku bahagia.
Halberstadt dan kawan-kawan 1995 juga telah mengembangkan alat ukur baru untuk mengukur emotional expressivity yang dinamakan dengan Self-
expressiveness Questionnaire SEFQ. SEFQ ini terdiri dari dua aspek, yaitu :
a. Positive emotional expressivity
Menurut Halberstadt dalam Halberstadt et al., 1995 positive expressivity
berkaitan dengan pengungkapan emosi positif seperti, memberi pujian, memperlihatkan kekaguman, mengucapkan terimakasih
ketika mendapatkan pertolongan. b.
Negative emotional expressivity Negative expressivity
berkaitan dengan pengungkapan emosi negatif seperti, marah, permusuhan, kesal, memperlihatkan kesedihan, dan
menangis. Peneliti menggunakan SEFQ untuk mengukur emotional expressivity
pasangan suami-istri, karena alat ukur ini hanya terdiri dari dua dimensi yang sesuai dengan tujuan penelitian dari emotional expressivity, yaitu positive
emotional expressivity dan negative emotional expressivity.
2.3 Kerangka Berfikir
vii Kepuasan pernikahan adalah bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi
kualitas pernikahan mereka. Pernikahan merupakan gambaran yang subyektif yang dirasakan oleh pasangan tersebut, apakah mereka merasa baik, bahagia,
ataupun puas dengan pernikahan yang dijalaninya. Ketika pasangan meresa bahwa pernikahannya tidak bahagia berarti pasangan tidak mendapatkan kepuasan dalam
pernikahan mereka. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pasangan
suami-istri. Salah satunya adalah komunikasi yang efektif dan positif antara pasangan yang mempunyai hubungan langsung dengan kepuasan pernikahan.
Konstruk dari komunikasi itu sendiri bertujuan agar adanya komunikasi dengan orang lain, dimana individu harus mampu mengekspresikan emosi-emosi dan
pikiran-pikirannya. Secara keseluruhan pola dan gaya pengungkapan emosi individu-individu cenderung berbeda yang dikenal sebagai emotional expressivity.
Halberstadt dkk 1995 mendefinisikan emotional expressivity sebagai pola atau gaya individiu yang menetap dalam memperlihatkan ekspresi verbal dan non
verbal yang sering, tetapi tidak selalu tampak sebagai penghubung emosi. Dalam pengungkapan emosi ini ada yang positif dan ada yang negatif yang
dikenal dengan positive emotional expressivity dan negative emotional expressivity
. Menurut Halberstadt positive expressivity berkaitan dengan pengungkapan emosi positif seperti, memberi pujian, memperlihatkan
kekaguman, mengucapkan terimakasih ketika mendapatkan pertolongan, mengungkapkan kasih sayang mendalam. Sedangkan negative expressivity
vii berkaitan dengan pengungkapan emosi negatif seperti, marah, permusuhan, kesal,
memperlihatkan kesedihan, dan menangis. Seorang istri yang sering menampilkan atau mengekspresikan emosi yang
positif, seperti memberikan pelukan kepada pasangannya, mengungkapkan kasih sayang merupakan gejala adanya kepuasan dalam pernikahannya. Tetapi hal ini
juga bisa diartikan bahwa istri merasa puas dengan pernikahannya sehingga ia sering mengekspresikan emosi-emosi yang positif. Sebaliknya, suami yang sering
mengungkapkan kemarahan, kesal, dan permusuhan, hal ini juga merupakan gejala rendahnya kepuasan pernikahan. Suami yang sering menampilkan ekspresi
emosi negatif ini juga bisa diartikan sebagai tanda atau sinyal bahwa suami tidak puas dengan pernikahannya.
Sebagaimana penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa level yang tinggi dari emotional expressivity positif pasangan berhubungan dengan besarnya
kepuasan pernikahan. Penelitian observasi yang dilakukan oleh Feeeney dan kawan-kawan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa pasangan yang puas dengan
pernikahannya berinteraksi lebih positif dengan pasangannya dan lebih mengekspresikan kecocokan, perhatian , dan empati.
Beberapa studi juga telah menunjukkan bahwa ada hubungan emotional expressivity
negatif dengan rendahnya level kepuasan pernikahan. Misalnya, hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Gill dkk pada tahun 1999 dalam
Rauer Volling, 2005 menunjukkan bahwa pola komunikasi yang aversif secara umum dapat memprediksikan berkurangnya kepuasan pernikahan sepanjang
waktu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang ditemukan oleh Roberts dan Krokoff
vii dalam Rauer Volling, 2005 bahwa pasangan yang tidak bahagia atau puas
secara siginifikan memperlihatkan lebih banyak afek yang negatif daripada pasangan yang bahagia.
Penelitian yang dilakukan oleh Halberstadt dkk 1995 menemukan bahwa pengungkapan emosi positif dan negatif pada suami-istri secara berbeda
memprediksikan kepuasan pernikahan. Pada istri, emotional expressivity positif berhubungan secara positif dengan kepuasan pernikahan, tetapi tidak berhubungan
secara positif pada suami. Sebaliknya, bagi suami, level emotional expressivity negatif berhubungan secara negatif dengan kepuasan pernikahan. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa ada perbedaan gender dalam mengekspresikan kepuasan pernikahan. Diduga istri yang merasa puas dengan pernikahannya, akan
meningkatkan emotional expressivity yang positif daripada mengurangi emotional expressivity
negatifnya. Sebaliknya, suami yang merasa puas dengan pernikahannya akan mengurangi emotional expressivity negatif mereka daripada
meningkatkan emotional expressivity positifnya. Kerangka berpikir ini selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut :
Bagan 2.3 Kerangka Berpikir
EE Positif Suami
EE Negatif
EE Positif Istri
EE Negatif
Kepuasan Pernikahan
Suami
Kepuasan Pernikahan
Istri
vii
Emotional Expressivity EE
2.4 Hipotesis Penelitian