didiskusikan tidak dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat kembali pada kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada
kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam Islam.
46
Ciri-ciri atau karakter Syura sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan keputusan yang bersifat
tidak mengikat, tidak di dasari pada sebuah keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas dan tidak terbatas pada kuantitas saja serta Syura tidak mengenal
rumusan baku, sehingga keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak yang bermusyawarah. Akan tetapi keputusan yang diambil dalam Syura adalah sebuah
ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun tidak menutup kemungkinan ide atau gagasan yang tidak menjadi ketetapan pada Syura di lain waktu bisa
digunakan, tergantung pada situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam hal itu dibolehkan.
D. Prinsip-prinsip Syura Dalam Pemerintahan
Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal, valid dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta menjunjung tinggi,
menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar dalam bermusyawarah. Prinsip- prinsip dasar tersebut adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan
keadilan.
47
Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip persamaan dalam musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip bahwa
Islam tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang ataupun
46
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 107-108.
47
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 35
hukum, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para penguasa, ataupun rakyat jelata sekalipun, tetap mempunyai kedudukan yang sama
dimuka hukum. Al-Qur’an tidak mentolerir perbedaan antara mukmin yang satu dan yang
lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan tersebut, Al-Qur’an menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses pengambilan keputusan
masyarakat.
48
Ada satu contoh dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Setiap kabilah membanggakan ashabiyyat kepanatikan kepada keluarga, suku, dan golongan dan
nasab asal keturunan sehingga mereka terjerumus kedalam pertentangan, kekacauan
politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan ashabiyyat itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah
lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh kabilah yang lain yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari
kabilah lain. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lain.
49
Contoh tersebut diatas sungguh tidak manusiawi. Manusia dihadapan hukum ataupun keadilan adalah sama. Maupun itu bisa dilihat dari hak-hak pribadi ataupun
sipil. Islam juga tidak mengakui secara mutlak apapun bentuk pengistimewaan di antara manusia yang bisa dilihat dalam hak, ras, kesukuan, ataupun warna kulit.
Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani Hasbi pada dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan golongan menemukan harkat
dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya dengan wajar
48
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1993, h. 122
49
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an
, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 149
dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong menolong dan sifat kepedulian sosial dalam ruang lingkup yang luas.
50
Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikannya sebagai pilar kehidupan pribadi,
keluarga, dan masyarakat adalah “keadilan”. Yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan kepada semua yang berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai
individu atau kelompok, atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula
menyelewengkan atau menzhalimi hak orang lain.
51
Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan menjadi salah satu sistem perundang-undangan Negara Madinah. Semua warga Negara, baik
muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai
sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapat keadilan.
52
Jadi, keadilan itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta, dan itupun
harus adil dan tidak memihak kesalah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban, jujur, mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta tepat menurut
peraturan yang sudah ditetapkan. Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari umat
manusi, semenjak mereka mulai berfikir. Dari persoalan yang sederhana dalam
50
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 37
51
Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999, h. 128
52
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 223-224
masyarakat, sampai menginjak pada pola kehidupan politik bernegara dalam suatu pemerintahan.
53
Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi bila di pahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang menyatakan bahwa
bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus ada dasar persamaan dan adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian
itu harus disepakati dan diterima bersama.
54
Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena didalam Musyawarah semua peserta memiliki persamaan hak untuk
mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan.
55
Prinsip yang ketiga yaitu prinsip kebebasan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan” yang dengannya dapat
menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan penjajahan. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir,
kebebasan berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.
56
Kata bebas di sini sering sekali disalah gunakan. Sebab, bebas sesungguhnya bukan berarti lepas dari segala keterikatan. Justru sebaliknya, bebas di sini selalu
mengandalkan keterikatan oleh norma-norma. Begitu juga kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat oleh
ikatan-ikatan syar’i.
53
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 38.
54
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 208.
55
Ibid., h. 208-209.
56
Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, h. 113.
Dan kebebasan dalam sosial politik biasanya disebut dengan “kemerdekaan”. Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi substansi Syura adalah kebebasan dan
kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam kelompok.
57
Jika diperhatikan, ketetapan Piagam Madinah yang tidak eksplisit tentang pentingnya musyawarah dan postulasi historis tentang praktek Nabi melaksanakan
musyawarah. Beliau tidak memberi petunjuk mengenai pola dan bentuknya yang tertentu, dan jumlah peserta musyawarah tidak tetap, terkadang beliau hanya
bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabatnya, dan terkadang hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Bahkan dalam
pengambilan keputusanpun terkadang beliau mengikuti pendapat sahabat, baik pandapat kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat
serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan prosedur pengambilan keputusannya, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-
prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam berbicara dalam mengemukakan pendapat.
58
Prinsip-prinsip Syura dalam pemerintahan meliputi aspek persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan, karena dalam Islam seperti yang tertuang
dalam Al-Qur’an diatur bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia, baik muslim maupun non muslim, antara laki-laki dan perempuan dan antara orang miskin atau
rakyat jelata sekalipun, dan tidak dibedakan pula berdasarkan warna kulit atau dibedakan berdasarkan suku. Karena itu semuanya dianggap sama di mata hukum.
57
Ibid., h.46-47
58
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 215-217.
Dalam arti kata di dalam Syura atau hukum Islam sangat menjunjung tinggi supremasi hukum.
Sehingga segala yang diputuskan atau ditetapkan dalam Syura dapat bersifat adil. Karena tujuan bermusyawarah atau Syura adalah menetapkan
keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak dan demi kemaslahatan bersama.
E. Ijmak Sebagai Substansi Bagi Syura