Latar Belakang Masalah Praktek syura pada masa khalifah umar bin Khattab

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangan selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai wahyu yang terakhir kepada manusia, yang mengaplikasikannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioprasionalkan oleh sunnah Rasulullah. 1 Konsep syura dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata musyawarah. Pengertian musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang meminta pendapat kepada orang lain tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk menerima saran yang diajukan. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah mengenal musyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Bahkan musyawarah telah dijadikan alat dalam hal memilih kepala suku mereka. Lembaga ini disebut “Dewan Nadi” 2 Setelah Islam datang, Al-Qur’an menjustifikasikannya dengan istilah “Syura” dan menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial. Kemudian risalah Muhammad SAW mengembangkan institusi ini menjadi konsep baru, yang mana sebelumnya hanya sebuah institusi komunal kesukuan dan 1 Amiur Nuruddin, “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, Zulqa’dah 1428: h. 22 2 Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin Jakarta: Kalam Mulia, 1996, h. 16-17. berhubungan dengan darah kekeluargaan menjadi sifat sosial yang berhubungan dengan sifat keimanan. 3 Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya untuk memegang prinsip syura bermusyawarah dalam menjalani roda kehidupan. Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti prinsip tersebut, syura juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah keadilan. 4 Syura tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saja. Melainkan juga dilaksanakan pada tatanan kehidupan sehari-hari. Misalnya musyawarah yang diterapkan dalam urusan keluaga, pekerjaan, sosial, ekonomi dan juga dalam bermasyarakat. Secara umum syura dapat diartikan sebagai segala yang mencakup bentuk pemberian advice nasihat. Oleh karena itu, gagasan saling menasehati atau konsultasi melahirkan terbentuknya syura atau lembaga konsultatif di awal sejarah Islam, hak pemberian suara, pemilihan perwakilan-perwakilan, pendirian parlemen, dan pemilihan pemimpin-pemimpin republik Islam di zaman modern ini. 5 Dan juga pada prinsipnya musyawarah itu adalah merupakan sisi sosial dari doktrin tauhid. Ia juga merupakan sarana untuk menciptakan suatu harmonisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dan musyawarah juga merupakan suatu bukti nyata penghormatan terhadap akal manusia; yang bisa kita lihat suatu bukti pemuliaan Allah kepada manusia, karena itu musyawarah dapat memberikan suatu kemaslahatan; dan dengan musyawarah pula dapat menghasilkan suatu solusi. Dan dengan musyawarah juga 3 Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi” dalam “Pengantar” buku Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h.ix-x. 4 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h.272. 5 Masykur Hakim, Pemikiran Politik Islam Modern Jakarta: Pelita Insani, 2002, h. 108. semua orang akan mempunyai kesempatan yang sama tanpa membedakan, semua orang bebas mengemukakan pendapat. Apalagi dalam hal menentukan pemimpin umat, musyawarah mempunyai peran penting dalam hal itu. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah tidak terdapat petunjuk secara eksplisit tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat, yang ada hanya petunjuk yang sifatnya umum dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu kebijakan dengan cara musyawarah. Dengan demikian, musyawarah menjadi suatu hal yang perlu dalam menentukan seorang pemimpin umat dan kepala negara. Sehingga kepemimpinan empat al-Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah. Sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dasarnya adalah “Syura” musyawarah, yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Asy Syuura ayat 38:   + , - . 1 23 456 7 , 8 9: ; “Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Dan pada firman-NYA yang ditujukan kepada Nabi dalam surah Al-Imran ayat 159: 3= ? A 3BC , DE F G HI 45 HIJ-K L9 ? MNO=MP Q? : ,RM;STU BE C 4 B ?  T ; WCX , M Y= Z [\] =_ ? HI D` a K ? Y G c8=: 1 -d e= fK 43 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Quran yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syura, beberapa hadis telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syura, karena dengan syura maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta negara akan dengan mudah didapatkan. 6 Kalau kita melihat ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syura, maka itulah yang melatar belakangi para intelektual muslim untuk tidak pernah melepaskan tema tersebut ke dalam karya-karyanya. Khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinam dan pemerintahan. Beberapa pemikir tersebut diantaranya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Fazlur Rahman. Ketiga pemikir tersebut secara serentak mengatakan bahwa dalam pemerintahan Islam, konsep syura harus ditegakkan. Sebab, apabila ada suatu permasalahan apalagi dalam sebuah pemerintahan harus ada musyawarah untuk mencapai sebuah kemufakatan bersama. Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang memberikan pendapat kepada khalifah tidak pula berhak memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di tangan khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan kepada umat yang telah mengangkatnya. 7 6 Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam Jakarta: Robbani Press,2000, h. 54. 7 Haekal, Umar bin Khattab, h, 646. Dalam pengambilan keputusan para khalifah itu terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior atau Ahl al-syura, yang kemudian oleh para ulama disebut sebagai Ahl Hall Wa Al’-Aqd, kumpulan para ahli yang kompeten dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi. 8 Syura adalah hak seluruh kaum muslimin terhadap khalifah. Karena itu, mereka memiliki hak terhadap khalifah agar dalam banyak persoalan khalifah merujuk kepada mereka untuk meminta pendapatnya. 9 Bahkan rakyat biasapun dapat menyampaikan pendapat-pendapatnya dihadapan para khalifah dengan bebas, termasuk mengkoreksi pendapat khalifah yang salah. Dan kalaupun seorang khalifah sampai melampaui hak dan melanggar ketentuan Allah dan Rasulnya, maka rakyat atau umat lah yang akan meluruskannya. Seorang tokoh seperti Umar tidak hanya pemberani, melainkan dia juga suka bermusyawarah. Dan dia juga dekat dengan Rasulullah SAW. Kedekatannya tidak hanya dengan Rasulullah saja, melainkan dengan seluruh masyarakat. Dan Rasulullah pun mempercayai Umar untuk menjadi penasehat utamanya. Sebagai seorang yang suka bermusyawarah, Umar bin Khattab pada akhirnya terpilih menjadi khalifah melalui usulan dari Abu Bakar dan sahabat-sahabat senior. Seperti diketahui adanya kekhawatiran akan terjadinya perpecahan pasca Rasulullah SAW wafat terulang kembali. Khalifah Abu Bakar As-siddiq bermusyawarah dengan para sahabat. Musyawarah itu sendiri dilakukan melalui forum tertutup yang dihadiri 8 Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, h. x. 6 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al- Banna. Penerjemah Wahid Ahmadi Solo: Era Intermedia, 2001, h 262. oleh Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan dari kaum muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kaum anshar. 10 Mengenai anggota dewan syura yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan kaum Quraisy dan Anshar adalah orang yang mempunyai hak yang sama untuk dipilih menjadi khalifah. Pada masa Umar bin Khattab anggota dewan syura terdiri dari Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Ada satu lagi anggota yaitu Abdullah bin Umar memiliki hak memilih tetapi tidak memiliki hak dipilih, sebagaimana yang menjadi keputusan Umar bin Khattab ayah Abdullah. Dari tujuh orang tersebut Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura melakukan dan menunjuk Ustman bin Affan sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai’at. 11 Praktik syura yang diterapkan Umar bin Khattab pada masa pemerintahan saat itu menjadi sebuah panutan bagi umat di masa berikutnya. Majelis Syura yang dibentuk Umar menjadi sebuah konsep yang tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saat itu, melainkan juga dipraktekkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan sistem pemerintahan di negara Islam sampai saat ini. Praktik syura pada masa pemerintahan kekhilafahan Umar bin Khattab itu menjadi cikal bakal pengimplementasian secara institusional konsep syura dalam sejarah politik umat Islam di zaman modern ini. Untuk itu, melacak praktek syura pada masa pemerintahan Umar menjadi suatu kajian yang tak kalah menarik untuk dibahas di tengah dinamika politik yang ada. 10 Rais, Teori Politik Islam, h.133. 11 Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran Sejarah Dan Pemikiran Jakarta: UI Press,1990, h.26. Berdasarkan dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat skiripsi dengan judul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB.”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah