Jenis-jenis wali Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan

4. Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannyahamba sahaya. 11 Adapun yang dimaksud dalam penelitian disini ialah pada wali mujbir. Yang telah diuraikan sebelumnya yaitu wali nasab yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap seseorang yang ada dibawah perwaliannya dengan tanpa izin dan persetujuan anaknya. a. Wali mujbir menurut syafi’i adalah ayah, kakek dan terus keatas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. 12 Imam syafi’i mengacu pada hadits Nabi SAW: اﻟ أ ﻨ ﺴ ﻬ ﺎ و ﻟ و ﺎﻬ ﻟا ﻜ ﺮ ﺰ و ﺟ أ ﺎﻬ ﻮ ﺎه 13 Artinya: “perempuan janda lebih berhak pada dirinya sendiri dibandingkan walinya, sedangkan perempuan yang masih perawan dinikahkan oleh ayahnya”. HR. An-Nasa’i dan daruquthni. 11 Ibid, h. 99 12 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h.77. 13 Sunan Darutqutni , Kitab Nikah, juz 3, h.240 38 Hadits ini menunjukan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. b. Wali mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan imam syafi’i. 14 c. Wali mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain dapat diangkat menjadi wlai mujbir apabila teah mendapat wasiat dari bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi. Adapun Fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah menginjak dewasa. Terhadap perempuan- perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang menjadi pilihannnya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat tertentu. Apalagi terhadap perawan yng memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi dirinya senidri, atau terhadap janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh 14 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79. 39 menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa minta izin terlebih dahulu dari mereka. 15 d. Wali mujbir menurut Imam Hanafi adalah setiap orang yang tercantum dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir. Fungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, baik terhadap orang gila yang masih kecil maupun sudah dewasa. 16 Karena itu seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil dan belum baligh meskipun tanpa minta izin dari yang bersangkutan. Demikian juga para wali selain ayah dan kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil atau dibawah umur dengan syarat laki-laki yang menjadi calon suaminya harus setaraf dan sebanding setatusnya dengan dia dimata masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya, serta membayar mas kawin yang dinilai pantas. 17 Adapun perempuan yang sudah dewasa dan bisa menentukan baik buruk sesuatu, baik perempuan itu masih perawan atau sudah janda boleh menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang dicintai tanpa memerlukan wali lagi, dengan syarat calon suaminnya memilki status yang sama 15 Ibid, h.80. 16 Ib id , h.80-81. 17 Ibid, h.81. 40 dengannya. Tetapi kalau suaminya memiliki status tidak sama dan sering terjadi percekcokan dalam menjalani persoalan kehidupan rumah tangganya, maka walinya berhak menggugat cerai kepada suaminya. Rasulullah SAW bersabda: ﻨ ء ﺎﺴ ﻨ ﺬ ما ن ا ا ﺎه ﺎ ز و ﺟ ه و ﺎﻬ ﻜ ﺮ ه ﷲا ل ﻮ ر ءﺎ ﻚﻟ ذ ﺻ و ﷲا ﻰ ﺮ د ﺎﻜ ﺎﻬ اور ىر ﺎﺨ ﻟا ﻚﻟﺎ و دود ﻮ ا ءﺎﺴ ا 18 Artinya:“Dari khansa’ binti khadam sesungguhnya ayahnya khansa’ telah menikahkan dia sedangkan dia seoarang janda dan dia tidak menyukai hal semacam itu. Kemudian dia datang kepada rasulullah saw, maka beliau menolak pernikahan itu”. HR. bukhari, an-nasa’i, abu daud dan malik . Adapun yang dimaksud dengan ijbar adalah hak seorang ayah keatas unntuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan calon pengantin wanita. 2. Calon suami sekufu dengan calon istri. 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah. 19 18 Sunan Nasai, Kitab Nikah, juz 3, hal 282 19 Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.102 41 4. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang cacat baik cacat fisik maupun psiskis sehingga perjalanan rumah tangganya tidak harmonis dan sering terjadi percekcokan. 20 Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetepi lebih cocok diartikan pengarahan. Wali yang tidak mujbir adalah: 1. Wali selain ayah, kakek dan terus keatas. 2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah dewasa dan baligh dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau tulisan 4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam 21

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa

Kawin paksa hingga saat ini masih saja diperdebatkan, hal ini disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain : 1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tuanya yang mana sering kali rancu 20 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79 21 Tihami dan Sohari , Fikih Munakahat, h. 102 42 dalam penerapannya sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban dan kewajiban dijadikan sebagai hak bahkan kadang pula menuntut akan kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain dan sebaliknya. 2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan pasangan anaknya. 3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai dan menyakiti hati anaknya. 22 4. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa. Baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih kokoh. Seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup sang anak, begitu juga dengan stigma terhadap perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang tua untuk mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya. 23 22 Perihal Kawin Paksa, diakses pada 10 Juni 2010 dari http kawin paksa atriki al-ta 97’s blog.html. 23 Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, h.78 43 5.Adannya kebiasaan atau tradisi menjodohkan anak, seperti halnya di lingkungan pesantren, antara kiyai satu dengan yang lainnya saling menjodohkan anaknya. yang menyebabkan anak enggan menolak demi menghormati orang tuanya. Hal semacam ini sering terjadi karena beberapa alasan. Pertama, orang tua merasa memiliki anaknya sehingga merasa berhak memaksa anak menikah dengan siapapun. Kedua, rendahnya pengertian orang tua terhadap kemungkinan dampak buruk yang bisa menimpa si anak, buah hatinya sendiri. Ketiga , alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. 24 Kawin paksa tak jarang dapat menimbulkan efek negatif bagi anak, hal ini yang menyebabkan anak enggan dikawinkan dengan pilihan orangtua, diantaranya: 1. Dari segi psikologis, kawin paksa dapat menganggu kesehatan fisik dan psikis, anak merasa tertekan dan takut. 2. Dari segi ekonomis, Apabila suami istri sudah bekerja keduanya sama- sama mampu dan tidak saling menggantungkan diri sehingga pengeluaran keuangan dalam keluarga seakan-akan masih bersifat 24 Rahima, Menilai Kawin Paksa:Prespektif fihq dan Perlindungan Anak, diakses pada 10 Juni 2010 dari http:www.rahima.or.idindex.php?option=com_contentview=articleid=502:suplement- 7catid=49:suplemenItemid=319, 44