Pengertian Kawin Paksa Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa

5 Anak laki-laki keponakan dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah. 6 Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 7 Paman yang bersaudara dengan ayah seayah. 8 Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 9 Saudara sepupu atau anak lak-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai kebawah. 5 Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Maliki adalah sebagai berikut: 1 Ayah. 2 Al-Washi orang yang menerima wasiat dari ayah untuk menjadi wali. 3 Anaknya yang laki-laki, meskipun anak yang bersangkutan hasil dari perzinahan. 4 Cucu laki-laki. 5 Saudara laki-laki yang sekandung. 6 Saudara laki-laki yang seayah. 7 Anak laki-laki dari saudara sekandung. 8 Anak laki-laki dari saudara yang seayah. 5 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, Cet.I, h.69-70. 34 9 Kakek yang seayah. 10 Paman yang sekandung dengan ayah. 11 Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan ayah. 12 Paman yang seayah dengan ayah. 13 Anak laki-lalki dari paman yang seayah dengan ayah. 14 Ayah dari kakek. 15 Pamannya ayah. 16 Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan. 6 Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Hanafi adalah sebagai berikut: 1 Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai kebawah. 2 Ayah, kakek ayah dari ayah, dan seterusnya sampai keatas. 3 Saudara laki laki yang sekandung. 4 Saudara laki laki yang seayah. 5 Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung. 6 Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai kebawah. 7 Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 8 Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah. 6 Ibid, h.70. 35 9 Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung,dan setrusnya kebawah. Seandainya wali- wali yang disebutkan diatas tidak ada semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis keterunan perempuan yang sesuai dengan susunannya. 7

2. Jenis-jenis wali

Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Imam Syai’i dan Imam Malik bahwa keberadaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah. Suatu pernikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. 8 Sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: ا ﻮ ﺎﻗ ﻰ ل ر ل ﻮ ﷲا ﺻ ا ﻰ ﷲ ﻟﻮ ﻻا حﺎﻜ ﻻ و ور ىرﺎﺨ ﻟا 9 Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa RAsulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. HR. Bukhari. Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu: 1. Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu: 7 Ibid, h.71. 8 Ibid, h. 60. 9 Al-Bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari,Beirut: Dar Al-Fikr, h. 95 36 a. Wali nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar. b. Wali mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. 2. Wali hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah Pemerintah sulthan, Pemimpin Khalifah, Penguasa Roish, atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. 10 3. Wali tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah. 10 Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h. 97 37 4. Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannyahamba sahaya. 11 Adapun yang dimaksud dalam penelitian disini ialah pada wali mujbir. Yang telah diuraikan sebelumnya yaitu wali nasab yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap seseorang yang ada dibawah perwaliannya dengan tanpa izin dan persetujuan anaknya. a. Wali mujbir menurut syafi’i adalah ayah, kakek dan terus keatas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. 12 Imam syafi’i mengacu pada hadits Nabi SAW: اﻟ أ ﻨ ﺴ ﻬ ﺎ و ﻟ و ﺎﻬ ﻟا ﻜ ﺮ ﺰ و ﺟ أ ﺎﻬ ﻮ ﺎه 13 Artinya: “perempuan janda lebih berhak pada dirinya sendiri dibandingkan walinya, sedangkan perempuan yang masih perawan dinikahkan oleh ayahnya”. HR. An-Nasa’i dan daruquthni. 11 Ibid, h. 99 12 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h.77. 13 Sunan Darutqutni , Kitab Nikah, juz 3, h.240 38 Hadits ini menunjukan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. b. Wali mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan imam syafi’i. 14 c. Wali mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain dapat diangkat menjadi wlai mujbir apabila teah mendapat wasiat dari bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi. Adapun Fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah menginjak dewasa. Terhadap perempuan- perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang menjadi pilihannnya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat tertentu. Apalagi terhadap perawan yng memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi dirinya senidri, atau terhadap janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh 14 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79. 39 menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa minta izin terlebih dahulu dari mereka. 15 d. Wali mujbir menurut Imam Hanafi adalah setiap orang yang tercantum dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir. Fungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, baik terhadap orang gila yang masih kecil maupun sudah dewasa. 16 Karena itu seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil dan belum baligh meskipun tanpa minta izin dari yang bersangkutan. Demikian juga para wali selain ayah dan kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil atau dibawah umur dengan syarat laki-laki yang menjadi calon suaminya harus setaraf dan sebanding setatusnya dengan dia dimata masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya, serta membayar mas kawin yang dinilai pantas. 17 Adapun perempuan yang sudah dewasa dan bisa menentukan baik buruk sesuatu, baik perempuan itu masih perawan atau sudah janda boleh menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang dicintai tanpa memerlukan wali lagi, dengan syarat calon suaminnya memilki status yang sama 15 Ibid, h.80. 16 Ib id , h.80-81. 17 Ibid, h.81. 40 dengannya. Tetapi kalau suaminya memiliki status tidak sama dan sering terjadi percekcokan dalam menjalani persoalan kehidupan rumah tangganya, maka walinya berhak menggugat cerai kepada suaminya. Rasulullah SAW bersabda: ﻨ ء ﺎﺴ ﻨ ﺬ ما ن ا ا ﺎه ﺎ ز و ﺟ ه و ﺎﻬ ﻜ ﺮ ه ﷲا ل ﻮ ر ءﺎ ﻚﻟ ذ ﺻ و ﷲا ﻰ ﺮ د ﺎﻜ ﺎﻬ اور ىر ﺎﺨ ﻟا ﻚﻟﺎ و دود ﻮ ا ءﺎﺴ ا 18 Artinya:“Dari khansa’ binti khadam sesungguhnya ayahnya khansa’ telah menikahkan dia sedangkan dia seoarang janda dan dia tidak menyukai hal semacam itu. Kemudian dia datang kepada rasulullah saw, maka beliau menolak pernikahan itu”. HR. bukhari, an-nasa’i, abu daud dan malik . Adapun yang dimaksud dengan ijbar adalah hak seorang ayah keatas unntuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan calon pengantin wanita. 2. Calon suami sekufu dengan calon istri. 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah. 19 18 Sunan Nasai, Kitab Nikah, juz 3, hal 282 19 Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.102 41 4. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang cacat baik cacat fisik maupun psiskis sehingga perjalanan rumah tangganya tidak harmonis dan sering terjadi percekcokan. 20 Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetepi lebih cocok diartikan pengarahan. Wali yang tidak mujbir adalah: 1. Wali selain ayah, kakek dan terus keatas. 2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah dewasa dan baligh dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau tulisan 4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam 21

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa

Kawin paksa hingga saat ini masih saja diperdebatkan, hal ini disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain : 1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tuanya yang mana sering kali rancu 20 Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79 21 Tihami dan Sohari , Fikih Munakahat, h. 102 42 dalam penerapannya sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban dan kewajiban dijadikan sebagai hak bahkan kadang pula menuntut akan kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain dan sebaliknya. 2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan pasangan anaknya. 3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai dan menyakiti hati anaknya. 22 4. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa. Baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih kokoh. Seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup sang anak, begitu juga dengan stigma terhadap perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang tua untuk mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya. 23 22 Perihal Kawin Paksa, diakses pada 10 Juni 2010 dari http kawin paksa atriki al-ta 97’s blog.html. 23 Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, h.78 43 5.Adannya kebiasaan atau tradisi menjodohkan anak, seperti halnya di lingkungan pesantren, antara kiyai satu dengan yang lainnya saling menjodohkan anaknya. yang menyebabkan anak enggan menolak demi menghormati orang tuanya. Hal semacam ini sering terjadi karena beberapa alasan. Pertama, orang tua merasa memiliki anaknya sehingga merasa berhak memaksa anak menikah dengan siapapun. Kedua, rendahnya pengertian orang tua terhadap kemungkinan dampak buruk yang bisa menimpa si anak, buah hatinya sendiri. Ketiga , alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. 24 Kawin paksa tak jarang dapat menimbulkan efek negatif bagi anak, hal ini yang menyebabkan anak enggan dikawinkan dengan pilihan orangtua, diantaranya: 1. Dari segi psikologis, kawin paksa dapat menganggu kesehatan fisik dan psikis, anak merasa tertekan dan takut. 2. Dari segi ekonomis, Apabila suami istri sudah bekerja keduanya sama- sama mampu dan tidak saling menggantungkan diri sehingga pengeluaran keuangan dalam keluarga seakan-akan masih bersifat 24 Rahima, Menilai Kawin Paksa:Prespektif fihq dan Perlindungan Anak, diakses pada 10 Juni 2010 dari http:www.rahima.or.idindex.php?option=com_contentview=articleid=502:suplement- 7catid=49:suplemenItemid=319, 44 individual. Hal ini memunculkan terciptanya suasana keluarga yang mengarah disharmonis. 3. Dari segi sosial, sulitnya untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena persoalan intern dalam keluarga yang diakibatkan oleh perkawinan paksa. 25 4. Dari segi seksual, hubungan seksual menjadi tidak sehat karena tidak ada rasa cinta dan hasrat, dilakukan hanya dengan keterpaksaan. 5. Hubungan keluarga menjadi tidak harmonis karena tidak sepaham dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh keegoisan masing-masing. 6. Orang tua ikut andil dalam urusan rumah tangga anak, misalnya ekonomi, orang tua masih membiyai kebutuhan anak yang menyebabkan suami tidak bertanggung jawab dalam kebutuhan keluarganya. 26 Kawin paksa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya tidak selalu berdampak negatif, hal ini dapat dilihat dari sisi positifnya mengapa orangtua melakukan hal tersebut, diantaranya: 1. Adanya keinginan orang tua untuk menyambung silaturrahmi dengan kerabatnya. 2. Untuk memperbaiki keturunan dan pendidikan. 25 Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, h.88-96. 26 Wawancara pribadi dengan pelaku kawin paksa, Ciputat, 12 Agustus 2010. 45 3. Agar hartanya tetap terjaga dan apabila jatuh ke tangan orang lain yang kurang dipercaya khawatir akan tidak terpelihara dengan baik. 4. Adanya hutang budi orang tua kepada orang lain atau kerabatnya, sehingga dengan adanya pernikahan dengan pilihan orangtuanya hutang budi tersebut dapat terbalaskan. 27

D. Kawin Paksa Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Di dalam ajaran agama Islam terdapat hukum atau aturan perundang- undangan yang harus dipatuhi oleh setiap umat, adapun hukum atau aturan- aturan yang dimaksud dalam pemabahasan ini yaitu yang bersumber dari Al- Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Indonesia yang dianggap sebagai salah satu negara Muslim telah mengaktualisasikan beberapa konsep perkawinan dalam literatur fiqh kedalam legislasi nasional yang disebut juga hukum positif yang berupa Undang- Undang dan peraturan lainnya. 28 Adapun peraturan yang dimaksud dalam pemabahasan ini yaitu Undang-Undang tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI. 1. Pandangan Islam Terhadap Kawin Paksa Telah banyak dalil-dalil baik dalam al-Qur’an maupun hadits dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya dalam islam yang mana telah 27 Hasil wawancara dengan Ibu Ai Jamilah Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Tangerang, 21 Juni 2010. 28 Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, h.38 46 dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. 29

a. Al-Qur’an

Secara umum dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang persoalan ijbar kawin paksa, akan tetapi hanya menyebutkan beberapa ayat yang menjelaskan tentang problem pemecahan dalam keluarga pada masa Nabi dan itupun merupakan respon pada masa itu. Di dalam Al-Qur’an, secara eksplisit digamabarkan bahwa seorang wali ayah, kakek dan seterusnya, tidak boleh melakukan paksaan nikah terhadap perempuannya, yang perempuan tersebut tidak menyutujui atau perempuan tersebut mau menikah dengan laki-laki yang dicintainya sementara seorang wali enggan atau tidak mau menikahkannya. 30 Dalam al-Qur’an dijelaskan: 29 Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http:luluvikar.wordpress.com . 30 Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, h.22. 47 ⌧ . ةﺮ ﻟا : Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf”.Q.S. Al-Baqorah: 232 Asbabun nuzul ayat ini adalah berkenaan sikap Ma’qal ibnu Yasr yang enggan atau tidak mau menikahkan saudara perempuannya dengan laki-laki yang tidak diinginkannya. Dengan alasan dulu laki-laki yang menikah saudara perempuan itu telah menceraikannya, sekarang ingin kembali menikahinya. Namun setelah mendengar adanya perintah Nabi untuk tidak menolaknya, Ma’qol ibn Yasar kemudian membuat akad baru. 31 Dalam riwayat Abu Muslim al-Khaji dari jalan Mubarak ibn at-Tudalah dari hasan, “kemudian Ma’qal mendengar perintah itu lalu menjawab, saya mendengar dan taat kepada perintah tuhan kemudian mengundang calon suami lalu menikahkannya”. Karena itu penafsiran ayat diatas, diantaranya: 1 Khitab dipruntukkan kepada para wali ayah, kakek, saudara laki- laki untuk tidak menolak untuk menikahkan perempuan yang dibawah perwaliannya. Dari hal ini, jelas bahwa keberadaan wali 31 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bahri, cet. IX, Mathba’ah as-Salafiyyah, t.t.,h. 93-94 48