2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri,
sekalipun isteri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai isteri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; 3.
Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statis menunjukkan bahwa di
beberapa Negara Barat yang melarang poligami mengalami akibat merajalelanya prostitusi dan freesex kumpul kebo, yang
mengakibatkan pula anak-anak zina mencapai jumlah yang cukup tinggi;
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal
di Negara atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum pria, misalnya akibat peperangan yang cukup
lama.
B. Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan
Peraturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam rangka melindungi warga Negara khususnya kaum perempuan dari tindak
ketidakadilan, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan .
23
Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3
23
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 201.
ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan
monogami, mono dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
Klausul kebolehan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-
alasan yang membolehkan poligami.
24
Dalam pasal 4 dinyatakan
25
: Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami
dalam UUP dapat dipahami alasannya dengan mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika tiga alasan yang disebutkan UUP tersebut menimpa suami isteri maka dapat dianggap rumah
24
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan: CV. Zahir Trading, 1975, cet-1, h. 26.
25
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bandung, Fokus Media, 2005, h. 2.
tangga tersebut tidak mampu menciptakan keluarga bahagia mawaddah dan rahmah.
26
Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata merupakan kewenangan penuh suami, tetapi dilakukan atas dasar izin dari hakim
Pengadilan. Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan adanya ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan
poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden historisnya di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan
27
: Pengadilan Agama dalam memberikan putusan selain memeriksa
apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari
calon suami mengizinkan adanya poligami.
Prosedur permohonan izin seperti yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2 di atas harus diajukan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya si
pemohon. Permohonan dilakukan secara tulisan dengan syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 5 ayat 1 dan 2
28
:
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 47.
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI, h. 162.
28
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, h. 26.
Ayat 1 : 1.
Adanya persetujuan dari isteriisteri-isteri; 2.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-
anak mereka. Ayat 2 :
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan.
Perbedaan pada pasal 4 dan 5 adalah bahwa pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat
mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan
melakukan poligami.
29
Seperti yang disebut dalam pasal 5 dan diulang kembali dalam pasal 41 huruf b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
29
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, h. 46-47.
Perkawinan selanjutnya disebut PP No. 91975 dengan tambahan penjelasan bahwa
30
: b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri, baik persetujuan lisan maupun tetulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan;
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii.
Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d.
Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan itu. Selain tentang alasan dan syarat seperti tersebut di atas, PP No. 91975
hanya memberikan tiga macam ketentuan tentang tata cara pemeriksaan dan pemberian izin itu, seperti dapat disimpulkan dari pasal 42 dan 43 sebagai
berikut:
31
Pasal 42 ayat 1 : 1
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI, h. 162.
31
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, h.23
2 Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43 : Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Adapun seorang suami yang melanggar ketentuan poligami yaitu melakukan poligami dengan tidak melalui izin Pengadilan Agama, maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang melanggar ketentuan yang berlaku yang termasuk tindakan pidana dan dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan pasal 45 yaitu hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- tujuh ribu lima
ratus rupiah dan bagi pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang dimaksud, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- tujuh ribu lima ratus rupiah. Tindak pidana yang dimaksud merupakan pelanggaran.
32
Pelaksanaan poligami
tanpa dibatasi
oleh peraturan
yang membatasinya secara ketat, akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif
dalam menegakkan rumah tangganya, seperti hubungan antar isteri menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada
32
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab IX Ketentuan Pidana, Pasal 45 ayat 1
dan 2.
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi setelah ayah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu
tidak terjadi dalam rumah tangga pelaku poligami, maka Undang-Undang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang
demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-
Undang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu benar-benar membawa manfaat kepada mereka yang
melaksanakannya.
33
33
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet-2, h. 10.
57
BAB IV PUTUSAN PERKARA IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI