D. Pengaruh Gangguan Jiwa terhadap Kewajiban sebagai Isteri
Seseorang yang mengalami kesehatan mental yang buruk berbeda dalam hal tingkat kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
kesehatan mental yang baik. Pada orang yang mengalami kesehatan mental yang buruk, perasaan-perasaaan bersalah kadang-kadang menguasainya,
kecemasan-kecemasan tidak produktif sangat mengancamnya. Ia biasanya tidak mampu menangani krisis-krisis dengan baik dan ketidakmampuan ini
mengurangi kepercayaan dan harga dirinya. Terkadang ancaman-ancaman dari dalam dan dari luar begitu kuat sehingga ia mengembangkan gangguan
tingkah laku.
22
Para ahli psikologi Eropa mengatakan bahwa segala sesuatu harus dilihat dari pangkal atau yang melandasi tingkah laku, yaitu jiwanya psyche.
Kalau jiwanya rusak, maka perilakunya pun terganggu, sebaliknya kalau perilakunya rusak maka pasti kerusakan itu hanya akibat dari jiwanya yang
kacau.
23
Gangguan kesehatan jiwa dapat mempengaruhi perasaan, fikiran, tingkah laku dan kesehatan tubuh. Pengaruh terhadap perasaan misalnya
berupa cemas, takut, iri, dengki dan lain sebagainya. Juga sedih tak beralasan, bimbang, marah oleh hal-hal remeh, merasa diri rendah dan sebagainya.
Demikian pula sombong, tertekan, pesimis, putus asa dan apatis. Pengaruh terhadap fikiran misalnya berupa kemampuan berfikir berkurang, sukar
22
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006, h. 10.
23
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, h. 58.
memusatkan fikiran, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana dan sebagainya.
24
Sedangkan pengaruh terhadap perbuatan misalnya menganiaya diri atau menyakiti orang atau hatinya dan berbagai kelakuan yang menyimpang,
perbuatan ini disebabkan oleh ketidakharmonisan fungsi-fungsi jiwa yaitu tidak ada keserasian dan kerjasama antara pikiran, perasaaan dan sikap jiwa
manusia. Terakhir, pengaruh terhadap kesehatan tubuh, penyakit ini dinamakan psychosomatic yaitu kesehatan mental dapat menentukan
kesehatan tubuh. Jika jiwa berada dalam kondisi kurang normal seperti cemas, gelisah, takut, putus asa dan lain-lain maka dapat menimbulkan terjadinya
gangguan pada organ-organ tubuh seperti gangguan pada jantung, lambung, kadar gula, tekanan darah dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, jika jiwa
dalam kondisi normal maka badan juga sehat.
25
Apabila gangguan jiwa dialami oleh salah satu anggota keluarga, dalam kasus ini yaitu isteri, maka akan berpengaruh terhadap keharmonisan
antar anggota keluarga, terutama dalam hubungan suami isteri. Karena isteri yang mengalami gangguan jiwa, dalam hal ini Schizophrenia, secara umum
tidak mampu menjalankan kewajibannya secara total seperti ketika dia dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental. Hal seperti ini jika tidak dihadapi
dengan bijaksana maka akan menimbulkan konflik yang berakibat fatal terhadap kehidupan keluarga selanjutnya.
24
Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, h. 100
.
25
Henry Narendrany Hidayati dan Andi Yudiantoro, Psikologi Agama, h. 155-156.
Dalam hubungan suami isteri, seorang suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa
kewajiban dan begitu pula si isteri mempunyai beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga itu
dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, umpamanya pada surat al- Baqarah ayat 228:
.... £åκçJs9θãèçuρ
‘,ymr £ÏδÏjŠtÎ
’Îû y7Ï9≡sŒ
÷βÎ ÿρߊu‘r
[s≈n=ô¹Î 4
£çλm;uρ ã≅÷WÏΒ
“Ï ©
£Íκön=tã Å∃ρá÷èp ù Î
4 ÉΑy_Ìh=Ï9uρ
£Íκön=tã ×πy_u‘yŠ
3 ªuρ
͕tã îΛÅ3ym
ﺓﺭﻘﺒﻝﺍ :
٢٢٨
Artinya : “…. dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” QS. al- Baqarah:228
Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan juga mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak
isteri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan isteri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan
kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan
setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.
26
Ketika perempuan menyatakan bersedia untuk menikah, dia yakin bahwa dia akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari laki-laki yang
akan menjadi suaminya nanti, tetapi bukan hanya perempuan saja yang membutuhkan perlindungan, laki-laki juga membutuhkannya. Dalam
kehidupan rumah tangga nanti, bukan saja pada waktu suami sakit, tetapi suami juga membutuhkan bantuan dan perlindungan isterinya pada saat ia
menghadapi aneka kesulitan dalam pekerjaannya. Di sini, suami membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari isteri yang dapat menjadi
perisai kesulitan yang ia hadapi. Sekaligus pendorong untuk mencapai sukses dalam segala perjuangannya, ia juga memerlukan ketenangan lahir dan batin
yang seharusnya ia peroleh dalam rumah tangganya.
27
Kewajiban isteri sebenarnya sebagai konsekuensi logis dari hak yang diterimanya dari suami. Kewajiban isteri kepada suami mempunyai kaitan
yang tak terpisahkan dengan kewajiban suami terhadap isteri. Di antara kewajiban isteri terhadap suami adalah
28
:
26
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 159.
27
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2005, cet.ke-4,
h. 129.
28
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, h. 143-158.
1. Taat kepada Allah SWT dan suami
Kewajiban seorang isteri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami, antara lain tertuang dalam firman Allah SWT:
ãΑy`Ìh9 šχθãΒ≡§θs
’n?tã Ï|¡ÏiΨ9
yϑÎ Ÿ≅āÒsù
ª óΟßγŸÒ÷èt
4’n?tã Ù÷èt
yϑÎuρ
θàx Ρr ôÏΒ
öΝÎγÏ9≡uθøΒr 4
àM≈ysÎ=≈¢Á9sù ìM≈tGÏΖ≈s
×M≈sàÏ ≈ym É=ø‹tóù=Ïj9
yϑÎ xáÏ ym
ª 4
ÉL≈©9uρ tβθèùsƒrB
∅èδy—θà±èΣ ∅èδθÝàÏèsù
£èδρãàf÷δuρ ’Îû
ÆìÅ_ŸÒyϑø9
£èδθçÎôÑuρ ÷βÎsù
öΝà6uΖ÷èsÛr Ÿξsù
θäóö7s? £Íκön=tã
¸ξ‹Î6y™ 3
¨βÎ ©
šχx. wŠÎ=tã
ZÎ6Ÿ2 ﺎﺴﻨﻝﺍ
ﺀ :
٣٤
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas
sebahagian yang lain wanita, dan Karena mereka laki-laki Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara mereka. wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar. An-Nisa:34
Wanita yang baik yaitu wanita yang taat kepada Allah dan suaminya, yang senantiasa menunaikan hak-hak suaminya, memelihara diri mereka dari
kekejian, dan menjaga harta suaminya dari pemborosan. 2.
Menjaga kehormatan suami. Seorang isteri harus menjaga kehormatan dirinya, baik di saat suaminya
berada di rumah, lebih-lebih apabila suaminya tidak ada di rumah. 3.
Melayani kebutuhan biologi suami dengan baik. Salah satu dorongan kuat laki-laki untuk mengadakan perkawinan ialah
agar dapat menyalurkan nafsu birahinya nafsu seksnya secara sah dan terhormat. Dalam kondisi objektif, baik biologis maupun psikologis,
syariat Islam telah mewajibkan kepada setiap isteri untuk melayani suaminya dengan baik, apabila diajak bersenggama. Isteri dilarang
menolak ajakan itu, kecuali ketika haid, nifas, dan shaum puasa bulan Ramadhan.
4. Mengurus rumah tangga dengan baik.
Perbedaan fisiologi dan fungsi antara suami dan isteri, menyebabkan perbedaan kewajiban dan tanggung jawab. Apabila suami bertanggung
jawab terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan, baik ke luar maupun ke dalam, maka isteri bertanggung jawab terhadap kehidupan
rumah tangga secara intern. Ketentuan ini terdapat dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
ﹸﺓَﺃﺭﻤﹾﻝﹶﺍ ﹲﺔﻴﻋﺍﺭ
ﻰﹶﻠﻋ ﺕﻴﺒ
ﺎﻬﹺﺠﻭﺯ ،ﻩﺩﹶﻝﻭﻭ
ﻡﹸﻜﱡﻠﹸﻜﹶﻓ ﹴﻉﺍﺭ
ﻡﹸﻜﱡﻠﹸﻜﻭ ٌلﻭََﺌﺴﻤ
ﻥﻋ ﻪﺘﻴﻋﺭ
ِ ﻩﺍﻭﺭ
ﻯﺭﺎﺨﺒﻝﺍ
29
Artinya : “Tiap-tiap wanita isteri adalah pengurus bagi rumah tangga suaminya dan akan ditanyakan diminta pertanggungjawaban tentang
kepemimpinaanya itu” H.R. al-Bukhari Selain yang disebutkan sebelumnya, perlu diketahui juga bahwa
gangguan jiwa yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan pengaruh pada aktivitas hidup sehari-hari. Penderita dengan
gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya pada aktivitas kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi.
Penderita seperti ini banyak yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Pengucilan penderita dari lingkungan, kurangnya dukungan keluarga, dan
gangguan fungsi dari penderita dapat menyebabkan kurangnya kesempatan menyelesaikan masalah dengan tepat dalam menghadapi stres pada
kehidupannya. Hal ini dapat menyebabkan penderita mudah kambuh dan masuk ke rumah sakit lagi. Selanjutnya penderita mempunyai kebutuhan
pengobatan yang lama. Sebagian penderita gangguan jiwa tidak lepas dari obat untuk membantu menjaga keseimbangan dalam tubuhnya. Banyak di
antara mereka yang bosan sehingga putus obat yang akhirnya menurun kondisinya setelah ada di rumah. Selain itu penderita gangguan jiwa
mempunyai harga diri rendah, khususnya dalam hal identitas dan perilaku.
29
Al-bukhari, Shohih Bukhori, Libanon: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2008, h.607, hadits no: 5200.
Penderita menganggap
dirinya tidak
mampu untuk
mengatasi kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari
kegagalan takut gagal, dan tidak berani mencapai sukses.
30
Diketahui dari beberapa pengaruh gangguan jiwa terhadap fikiran, perasaan, tingkah laku penderita, maka dapat disimpulkan bahwa orang
yang menderita gangguan jiwa tidak dapat melakukan aktivitas apapun secara normal. Begitu juga dengan isteri yang mengalami gangguan
kejiwaan, ia tidak mampu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hal ini disebabkan karena seseorang yang terkena penyakit jiwa,
kepribadiannya akan terganggu sehingga penderita kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya.
Penyakit ini juga mengganggu akalnya, sehingga akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai oleh kebingungan dan
kekacauan fikiran, orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang baik dan
yang buruk.
31
Pada orang yang keadaan akalnya terganggu, maka dirinya tidak mampu untuk menerima beban hukum. Artinya , ia tidak mampu dikenai
hukum dan berbuat hukum karena adanya halangan yaitu keadaan akalnya yang terganggu. Halangan tersebut dalam istilah ushul fiqh disebut dengan
‘awaridh al-ahliyah atau halangan taklif. Halangan taklif itu dapat
30
Juliansyah, Peran Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa, artikel diakses 19 Maret 2010, dari http:www.pontianakpost.comindex.php?mib=berita.detailid=30254.
31
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999, jilid I, cet.ke-3, h. 406.
dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ‘awaridh samawiyah yaitu halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai
daya dan kehendak menghadapinya. Kedua, ‘awaridh muktasabah atau ‘awaridh ikhtiyari, yaitu halangan yang timbul dari dirinya atau tersebab
kehendaknya sendiri. Di sini pengertian kelainan yang terdapat pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang
semestinya disebut dengan gila. Gila termasuk salah satu macam dari ‘awaridh samawiyah. Keadaan gila dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu
gila yang lama dan berketerusan atau muabbad dan gila sementara atau ghair muabbad yang terjadi dalam waktu tertentu dan tidak berketerusan.
32
Melihat dari pembagian gila tersebut, keadaan isteri pada kasus dalam pembahasan skripsi ini, maka termasuk pada gila sementara atau ghair
muabbad. Pada satu saat ia dapat berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari, tapi pada saat lain ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan
berperilaku aneh serta jauh dari realita. Keadaan akal yang terganggu menyebabkan ia terhalang sebagai
subjek hukum, di mana syarat subjek hukum yang pertama adalah “baligh dan berakal”. Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak berlaku
padanya tuntutan hukum atau taklif hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
32
Amir Syarifudddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, jilid 1, cet-3, h. 400.
ﻥﻋ ﻲﻠﻋ
ﻲﻀﺭ ﻪﱠﻠﻝﺍ
ﻪﹾﻨﻋ ﻥَﺃ
ﻲﹺﺒﱠﻨﻝﺍ ﻰﱠﻠﺼ
ﻪﱠﻠﻝﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ
ﻡﱠﻠﺴﻭ َلﺎﹶﻗ
ﻊﻓﺭ ﻡﹶﻠﹶﻘﹾﻝﺍ
ﻥﻋ
ﺔﹶﺜﺎﹶﻠﹶﺜ ﻥﻋ
ﹺﻡِﺌﺎﱠﻨﻝﺍ ﻰﱠﺘﺤ
ﹶﻅﻘﻴﹶﺘﺴﻴ ﻥﻋﻭ
ﻩﻭﹸﺘﻌﻤﹾﻝﺍ ﻭَﺃ
َلﺎﹶﻗ ﹺﻥﻭﹸﻨﺠﻤﹾﻝﺍ
ﻰﱠﺘﺤ َلﻘﻌﻴ
ﻥﻋﻭ ﺭﻴﻐﺼﻝﺍ
ِ ﺤ
ﻰﱠﺘ ﺏﺸﻴ
“Dari Ali ra., sesunguhnya Nabi SAW bersabda: Diangkat tuntutan dari tiga hal, yaitu dari orang tidur sampai ia terjaga, dari orang yang
kurang akal atau gila sampai ia berakal waras, dari anak kecil sampai ia dewasa”
33
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih, Beirut: Dar- eL-Marefah, 2004, hadits no: 1423, h. 597.
40
BAB III POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
A. Poligami dalam Fikih
Poligami sejak dulu telah dilakukan dan tidak ada pembatasan jumlah perempuan yang boleh dijadikan isteri oleh seorang laki-laki. Seorang laki-
laki diperbolehkan menikah dengan setiap wanita yang dikehendakinya berapapun jumlahnya. Praktek poligami ini dilakukan baik oleh kalangan
kaum Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab jahiliah, bangsa Romawi, maupun bangsa di berbagai daerah Eropa dan Asia Barat. Sebagai salah satu sistem
perkawinan tertentu, poligami membawa nasib yang menyedihkan bagi kaum wanita. Derajat wanita dianggap jauh lebih rendah dari derajat pria.
1
Pada abad ke-7, agama Islam datang dengan Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa berita gembira antara lain dengan membawa
perbaikan terhadap masalah poligami. Kedatangan Islam mengubah konsep poligami dan didefinisikan ulang sampai keakar-akarnya. Beberapa bentuk
poligami yang lazim berlaku di Arabia dilarang oleh Islam, seperti menikahi dua orang perempuan yang bersaudara secara bersamaan atau menikahi
seorang perempuan dengan bibinya secara bersamaan dan sebagainya.
2
1
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, cet.ke-5, h.107.
2
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, cet-1, h.149.