Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu
Oleh :
Martin Susanto 080100383
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(2)
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu
Oleh :
Martin Susanto 080100383
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT KELURAHAN BADAK BEJUANG TERHADAP TUBERKULOSIS (TB) EKSTRAPARU
NAMA : MARTIN SUSANTO
NIM : 080100383
Pembimbing, Penguji,
(Dr. Jessy Chrestella, Sp.PA) (Dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed) NIP: 19820113 200801 2006 NIP: 132 296 965
(Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes) NIP: 132 231 986
Medan, Desember 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Dekan,
(Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD.KGEH) NIP: 19540220 198011 1001
(4)
Halaman Persetujuan
Laporan Hasil Penelitian dengan Judul:
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu
Yang dipersiapkan oleh: Martin Susanto
080100383
Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan ke Lahan Penelitian
Medan, Desember 2011 Disetujui, Dosen Pembimbing
(5)
ABSTRAK
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) ekstraparu merupakan suatu penyakit infeksi
yang dapat menyebabkan komplikasi dan kematian jika tidak diobati dengan tepat dan cepat, padahal risiko tertular penyakit ini dapat dikurangkan dengan langkah-langkah pencegahan tertentu. Komplikasi dan kematian juga dapat dielakkan dengan diagnosa dini. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China. TB ekstraparu mencakup 15-20% dari seluruh kasus aktif.
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menentukan tingkat pengetahuan
masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.
Metode Suatu penelitian deskriptif-analitik secara cross-sectional terhadap
masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dimulai dari bulan Juni 2011 hingga Juli 2011. Peneliti mengambil sampel secara accidental sampling. Tingkat pengetahuan masyarakat kemudian diuji dengan menggunakan kuesioner. Analisis data-data menggunakan SPSS.
Hasil Dari 100 orang masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini,
didapati 8% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 85% mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang, dan 7% yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.
Kesimpulan dan Saran Masih terdapat banyak responden yang belum
mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang TB ekstraparu. Upaya edukasi dan penyuluhan harus ditingkatkan supaya dapat lebih meningkatkan lagi pengetahuan masyarakat tentang TB ekstraparu.
(6)
ABSTRACT
Background Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is an infectious disease that may cause the complications and the death if it is not treated properly and rapidly, indeed the risk of infected this disease can be reduced by the steps of preventions. The complication and the death can also be avoided by early diagnosis. Indonesia is a country which has the third highest prevalence of TB in the world after India and China. EPTB includes 15-20% of all active cases. Purpose This research is held to determine the knowledge level of the society of Kelurahan Badak Bejuang to EPTB.
Methods A descriptive-analitical research, using cross sectional method, to the society of Kelurahan Badak Bejuang started from June 2011 until July 2011. The researcher took the samples by using accidental sampling method. The knowledge level of the society was then tested with questionnaire. The researcher analyzed the datas by using SPSS.
Results From 100 people being the respondents of this research, found 8% with the high knowledge level, 85% withe medium knowledge level, and 7% with the low knowledge level.
Conclusion and Advice There are still a lot of respondents that have not had high knowledge level to EPTB. Efforts of education and counselling have to be increased in order to improve the knowledge level of the society to EPTB.
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan, karena berkat dan karuniaNya, karya tulis ilmiah yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Penyakit Tuberkulosis (TB) Ekstraparu” akhirnya selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan sejuta terima kasih kepada keluarga tercinta, khususnya ayahanda Ng A Kau dan ibunda Thea Ju Ing, serta saudara-saudari penulis, Rudy, Fenny dan Agustina, yang telah memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi, dalam rangka penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Sejuta terima kasih, khususnya kepada Dr. Jessy Chrestella, Sp.PA, selaku dosen pembimbing penulis, Dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed dan Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku dosen penguji karya tulis ilmiah penulis, serta Dr. Franciscus Ginting, Sp.PD, selaku dokter ahli dalam penelitian ini, yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal sampai selesainya penelitian ini yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran. Penghargaan turut diberikan kepada sahabat-sahabat penulis, seperti Kadir Gani, Erwin Xu, Azmeilia Lubis, Fadillah Akbar, Perdana Sidauruk, Lina Ng, Irwanto Xiong dan semua yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam penghasilan laporan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif-analitik yang menggunakan metode cross-sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap penyakit TB ekstraparu, dengan mengingat angka prevalensi TB di Indonesia masih tinggi.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi dinas kesehatan maupun masyarakat. Sekian, terima kasih. Penulis, Martin Susanto NIM: 080100383
(8)
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... ABSRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... BAB 1 PENDAHULUAN...
1.1. Latar Belakang... 1.2. Rumusan Masalah... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.3.1. Tujuan Umum... 1.3.2. Tujuan Khusus... 1.4. Manfaat Penelitian...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... ...
2.1. Tuberkulosis... 2.1.1. Pendahuluan... 2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis secara Global... 2.2. Tuberkulosis Ekstraparu...
2.2.1. Definisi... 2.2.2. Epidemiologi... 2.2.3. Etiologi, Patogenesa dan Patofisiologi Mycobacterium
tuberculosis... 2.2.4. Klasifikasi... 2.2.5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis... 2.2.6. Diagnosis... 2.6.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test... 2.2.6.2. Pemeriksaan Patologi...
ii iii iv v vi ix x xi 1 1 2 2 2 2 3 4 4 4 5 5 5 5 6 9 9 13 13 14
(9)
2.2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologi... 2.2.6.4. Pemeriksaan Radiologi... 2.2.6.5. Diagnosis Terapi Percobaan... 2.2.7. Terapi... 2.2.7.1. Terapi obat... 2.2.7.2. Terapi Bedah... 2.2.8. Pencegahan dan Pengendalian... 2.3. Pengetahuan... 2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara
Umum...
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL..
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 3.2. Definisi Operasional...
BAB 4 METODE PENELITIAN...
4.1. Jenis Penelitian... 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 4.2.1. Waktu Penelitian... 4.2.2. Tempat Penelitian... 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian...
4.3.1. Populasi... 4.3.2. Sampel... 4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 4.4. Teknik Pengumpulan Data... 4.4.1. Data Primer... 4.4.2. Data Sekunder... ... 4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 4.5. Ethical Clearance...
4.5. Pengolahan dan Analisis Data...
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...
5.1. Hasil Penelitian... 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...
15 15 15 16 16 17 18 19 20 23 23 23 25 25 25 25 25 25 25 26 27 27 27 27 27 28 28 29 29 29
(10)
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 5.1.3. Hasil Analisis Data... 5.2. Analisis Statistik... 5.3. Pembahasan...
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...
6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran...
DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN
29 31 34 35 38 38 38 40
(11)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden yang Mengikuti Penelitian
Distribusi Frekuensi Umur Responden yang Mengikuti Penelitian
Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pertanyaan
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Penyakit TB Ekstraparu Secara Umum Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur Responden
Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Distribusi Proporsi Umur Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
29 30 31 32 32 33 34 34
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I Riwayat Hidup Peneliti LAMPIRAN II Kuesioner Penelitian LAMPIRAN III Lembar Penjelasan
LAMPIRAN IV Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) / Informed Consent
LAMPIRAN V Master Data
LAMPIRAN VI Surat Izin Penelitian LAMPIRAN VII Ethical Clearance
(13)
DAFTAR SINGKATAN
TB Tuberkulosis
WHO World Health Organization HIV Human Immunodeficiency Virus SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga CDC Centers for Disease Control
Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia
BTA Basil Tahan Asam
SSP Sistem Saraf Pusat
TST Tuberculin Skin Test
IVP Intravenous Pyelography
BCG Bacille Calmette-Guérin MCQ Multiple Choice Questions
SPSS Statistical Package for Social Sciences EPTB Extrapulmonary Tuberculosis
(14)
ABSTRAK
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) ekstraparu merupakan suatu penyakit infeksi
yang dapat menyebabkan komplikasi dan kematian jika tidak diobati dengan tepat dan cepat, padahal risiko tertular penyakit ini dapat dikurangkan dengan langkah-langkah pencegahan tertentu. Komplikasi dan kematian juga dapat dielakkan dengan diagnosa dini. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China. TB ekstraparu mencakup 15-20% dari seluruh kasus aktif.
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menentukan tingkat pengetahuan
masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.
Metode Suatu penelitian deskriptif-analitik secara cross-sectional terhadap
masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dimulai dari bulan Juni 2011 hingga Juli 2011. Peneliti mengambil sampel secara accidental sampling. Tingkat pengetahuan masyarakat kemudian diuji dengan menggunakan kuesioner. Analisis data-data menggunakan SPSS.
Hasil Dari 100 orang masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini,
didapati 8% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 85% mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang, dan 7% yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.
Kesimpulan dan Saran Masih terdapat banyak responden yang belum
mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang TB ekstraparu. Upaya edukasi dan penyuluhan harus ditingkatkan supaya dapat lebih meningkatkan lagi pengetahuan masyarakat tentang TB ekstraparu.
(15)
ABSTRACT
Background Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is an infectious disease that may cause the complications and the death if it is not treated properly and rapidly, indeed the risk of infected this disease can be reduced by the steps of preventions. The complication and the death can also be avoided by early diagnosis. Indonesia is a country which has the third highest prevalence of TB in the world after India and China. EPTB includes 15-20% of all active cases. Purpose This research is held to determine the knowledge level of the society of Kelurahan Badak Bejuang to EPTB.
Methods A descriptive-analitical research, using cross sectional method, to the society of Kelurahan Badak Bejuang started from June 2011 until July 2011. The researcher took the samples by using accidental sampling method. The knowledge level of the society was then tested with questionnaire. The researcher analyzed the datas by using SPSS.
Results From 100 people being the respondents of this research, found 8% with the high knowledge level, 85% withe medium knowledge level, and 7% with the low knowledge level.
Conclusion and Advice There are still a lot of respondents that have not had high knowledge level to EPTB. Efforts of education and counselling have to be increased in order to improve the knowledge level of the society to EPTB.
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ-organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Lebih dari 2 miliyar manusia (sekitar sepertiga dari populasi penduduk dunia) diperkirakan terinfeksi TB. Pada tahun 2006, organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), memberitakan bahwa prevalensi infeksi aktif TB diperkirakan 14,4 juta dengan angka prevalensi bernilai 219/100.000 dan insidensi kasus baru TB diperkirakan 9,2 juta dengan angka insidensi 139/100.000. Dua belas dari lima belas negara dengan insidensi TB yang diperkirakan tertinggi berada di benua Afrika, dimana angka insidensinya 363/100.000. Pada tahun 2006, ada 1,7 juta kematian disebabkan TB di seluruh dunia, dengan angka kematian 25/100.000 (Horsburgh, 2010).
Diperkirakan 95% kasus TB muncul di negara-negara berkembang. (Horsburgh, 2010). Di negara Indonesia sendiri, penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien TB di Indonesia setara dengan 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 dan survey kesehatan nasional 2001, menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga tertinggi di Indonesia (Amin & Bahar, 2006).
Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), tuberkulosis dapat bermanifestasi sebagai penyakit paru atau ekstraparu. TB ekstraparu mencakup 15-20% dari seluruh kasus aktif. TB paru dan ekstraparu yang bersamaan muncul ditemukan pada kira-kira 7% kasus, dan TB milier terhitung pada kira–kira 0,2% kasus. Ketika TB paru menjadi masalah paling umum terjadi, TB ekstraparu juga adalah sebuah masalah klinis yang penting.
(17)
Jenis kelamin, usia, dan infeksi HIV merupakan faktor risiko penyakit ini. TB ekstraparu lebih sering terdiagnosa pada wanita dan pasien-pasien muda. Orang-orang dengan penyakit imunosupresif lebih beresiko dan lebih cenderung mendapatkan TB ekstraparu (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008). Pada pasien yang positif terinfeksi HIV, TB ekstraparu berjumlah lebih dari 50% dari seluruh kasus TB (Sharma & Mohan, 2004).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dianggap penting bagi masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, berusia muda ataupun tua, untuk memiliki pengetahuan yang adekuat mengenai penyakit TB ekstraparu, agar dengan pengetahuan tersebut masyarakat dapat kemudian menerapkan cara pencegahan yang efektif dan efisien, serta dapat mengenali gejala klinis yang timbul pada penyakit ini agar dapat ditangani pertolongan medis dengan secepat mungkin.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap tuberkulosis (TB) ekstraparu?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang etiologi penyakit TB ekstraparu.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang cara penularan infeksi TB ekstraparu.
3. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang gejala klinis berdasarkan tempat predileksi penyakit TB ekstraparu.
(18)
4. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pemeriksaan pada penyakit TB ekstraparu.
5. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pengobatan terhadap penyakit TB ekstraparu.
6. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pencegahan terhadap penyakit TB ekstraparu.
7. Distribusi tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang berdasarkan jenis kelamin.
8. Distribusi tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang berdasarkan umur.
9. Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang.
10. Distribusi proporsi umur berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dinas Kesehatan:
Sebagai masukan/saran kepada Dinas Kesehatan untuk lebih mengetahui gambaran tingkat pengetahuan terhadap penyakit TB ekstraparu di kalangan masyarakat, serta dapat lebih meningkatkan upaya edukatif dan pencegahan terhadap penyakit TB ekstraparu.
2. Masyarakat / responden:
Responden dapat menguji tingkat pengetahuan mereka, serta dapat lebih meningkatkan tingkat pengetahuan mereka sekiranya mendapati pengetahuan mereka tentang infeksi TB ekstraparu tidak memadai.
3. Peneliti-peneliti lain:
Sebagai masukan bagi peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian berhubungan dengan penyakit TB ekstraparu.
(19)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi dalam teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan penyakit ini dengan sebutan phthisis, yang berarti “to waste.” Dalam dunia berbahasa Inggris, consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit ini. Selama Era Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa, dimana penyakit ini menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi lain terdeskripsikan, meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan manifestasi kulit dari lupus vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB pada tulang belakang menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB ini. Dengan manifestasinya yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili banyak penyakit yang berbeda. Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana Rene Laennec mengusulkan teorinya tentang pandangan untuk menyatukan dari manifestasi beragam akibat penyakit ini. Pada 1839, Schönlein mengusulkan entitas patologisnya dikenal sebagai tubercle yang menjadi dasar fundamental penyakit dan menganjurkan kata tuberculosis digunakan sebagai nama generik untuk semua manifestasi beragamnya. Pada 1882, Robert Koch menemukan bahwa agen penyebab TB merupakan organisme kompleks Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
(20)
2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis secara Global
Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India, China, dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediat tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per 100.000 penduduk) muncul di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang, dan Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada individu yang terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika (Horsburgh, 2010).
Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 80-85% dari seluruh kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).
2.2. Tuberkulosis Ekstraparu
2.2.1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).
2.2.2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita, warga berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih beresiko tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika Serikat yang lain
(21)
menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun, warga Amerika berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah faktor-faktor resiko terhadap TB ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki menunjukkan bahwa wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk perkembangan TB ekstraparu dan resiko TB ekstraparu meningkat 5 tahun setelah kontak awal. Suatu studi yang lain menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan penjamu bervariasi menurut asal geografis dan faktor resiko terhadap TB ekstraparu adalah berjenis kelamin perempuan untuk individu-individu yang berasal dari Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk individu-individu yang asalnya dari Afrika sub-Sahara dan positif HIV untuk yang asalnya dari Eropa (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB ekstraparu dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB (Beek, Werf, Richter, dan Borgdorff, 2006).
2.2.3. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi Mycobacterium tuberculosis
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004).
M. tuberculosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-aerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius per batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal ketika terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan adalah prosector's wart (kutil pada orang yang mendiseksi mayat) disebabkan inokulasi pada kulit dari instrumen tajam yang terkontaminasi dan penularan orang-ke-orang melalui
(22)
bronkoskop yang terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke pejamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara. Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet (Fitzpatrick & Braden, 2000; Raviglione & O’Brien, 2005).
Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya.
Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%) (Karnadihardja, 2004).
Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya “tidur” (Karnadihardja, 2004).
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama
(23)
bertahun-tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004).
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004).
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004).
(24)
Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja, 2004).
2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas:
a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).
2.2.5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis
Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah sbb:
- Kelenjar Limfe (44%).
Limfadenitis TB (skrofula) merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu. Beberapa nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan supraklavikular paling sering terkena. Pasien datang untuk perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri, yang sering berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika penyakit ini tidak ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau biopsi insisional pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M. tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Rongga Pleura (19%).
Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada pleuritik ringan hingga berat, yang dapat diiringi dispnoe. Gejala lainnya meliputi demam,
(25)
keringat malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi umumnya unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien. TB pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua kasus TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang, jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai riwayat 2 minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Pott’s disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan 50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif. Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi (Fitzpatrick & Braden, 2000).
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah artritis monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul, pergelangan). Nyeri merupakan gejala paling umum, dan pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk M. Tuberculosis 60-70% dari waktu itu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam bentuk demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan, yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera. Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), meningitis TB disebabkan
(26)
penyebaran secara hematogen dari organisme mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu hingga bertahun-tahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa akut ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis bakterial. Gejal-gejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status mental. Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan, anoreksia, keringat malam, malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB SSP, tetapi nervus II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan bisa menunjukkan meningismus dan papilledema.
TB SSP dapat berkembang dalam tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejala-gejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda klinis meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai koma dan gangguan neurologis seperti paralisis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan keberadaan faktor resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan radiograf dada. Pasien dengan TB SSP sering mempunyai respon memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi diawali dengan cepat (sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan klinis tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung diagnosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).
Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak umum dan sering memunculkan dilema dalam diagnosis. Patogenesisnya tidak dipahami dengan jelas, tetapi penyakit dipikirkan berkembang setelah penyebaran secara hematogen, seperti halnya penyakit ekstraparu yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari pasien ke pasien tetapi paling umumnya meliputi nyeri abdominal, distensi, demam, penurunan berat
(27)
badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat berkembang menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik. Sebanyak 30% dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi pleura.
- Saluran Genitourinarius (4%).
TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan tanda dan gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau penyakit mungkin saja asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius mengakibatkan disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri pinggang. Penyakit di antara wanita dapat menyebabkan nyeri pelvik, ketidakteraturan menstruasi, dan infertilitas. Laki-laki dapat mempunyai massa skrotum yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan pyuria dapat mengalami tanpa gejala. Penyakit dicurigai ketika urinalisis menunjukkan sel darah putih dan hematuria tanpa bakteri (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine adalah negatif untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif untuk M. Tuberculosis. Hasil diagnostik yang terbaik dari spesimen pagi hari awal. Tiga spesimen diambil untuk dikultur. Temuan pada IVP (Intravenous Pyelography) biasanya nonspesifik dan sering tidak membantu. Dua pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai radiograf dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru aktif atau lama (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Milier (1.8%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan infeksi diseminata (penyakit milier) dapat muncul tanpa adanya bukti infeksi paru aktif. TB milier, penyakit yang tersembunyi dan secara klinis dalam bentuk yang sukar dipahami, berkembang setelah diseminasi secara hematogen dari basil TB. Diseminasi menghasilkan pola milier (demikan dinamakan karena menyerupai millet seeds (padi-padian) 2 mm dalam diameter) pada
(28)
radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang belakang, hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko tinggi, meliputi orang-orang dengan infeksi HIV atau penyakit imunosupresif yang lain, penyakit jaringan ikat, atau neoplasma hematologik, orang-orang yang menyalahgunakan alkohol dan mereka yang menjalani pengobatan imunosupresif, termasuk steroid dosis tinggi (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu atau bulan sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan gejala paling umum pada penyakit milier, tetapi banyak pasien dilaporkan mendapat gejala-gejala nonspesifik seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan fisik adalah non-fokal (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis, keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST adalah indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis sebelumnya di antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit untuk ditegakkan, pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat membantu. Demam mereda di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Dan Lain-lain (11%)
Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar ludah, jaringan lunak (Kreider & Rossman, 2008; Sreeramareddy et al., 2008). 2.2.6. Diagnosis
2.2.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi laten M. tuberculosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam mendiagnosis
(29)
TB aktif karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah dan ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif (Raviglione & O’Brien, 2005).
Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut positif, kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu (false-negative) umum pada pasien yang mengalami imunosupresi dan mereka dengan TB yang membludak. Reaksi positif palsu (false-positive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium nontuberkulosis dan oleh vaksinasi bacille Calmette-Guérin (BCG) (Karnadihardja, 2004; Raviglione & O’Brien, 2005).
2.2.6.2. Pemeriksaan Patologi
Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir sama (Karnadihardja, 2004).
Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB mililer, penyakit TB berkembang lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”. (Karnadihardja, 2004)
Kadang radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa. Jika
(30)
banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosisnya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa (Karnadihardja, 2004).
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal (Karnadihardja, 2004).
2.2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan medium L’weinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada letak penyakit (Karnadihardja, 2004).
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam (Karnadihardja, 2004).
2.2.6.4. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis (Karnadihardja, 2004). 2.2.6.5. Diagnosis Terapi Percobaan
Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus dengan terapi percobaan dengan menggunakan anti-TB. Pada sebagian penderita tersangka TB
(31)
tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis ini dapat dilakukan. Efek anti-TB ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah tiga minggu (Karnadihardja, 2004).
2.2.7. Terapi
2.2.7.1. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbeda-beda. Umumnya anti-TB aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi (Karnadihardja, 2004).
Untuk menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena basil TB tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman yang tidur tetap tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004).
Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan. Pengobatan TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif selama dua bulan yang dilanjutkan dengan 4-6 bulan fase lanjutan. Pada fase intensif biasanya digunakan 3-4 macam obat, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase lanjutan diberikan lebih sedikit macam obat. Pilihan macam obat dan lamanya pengobatan bergantung pada beratnya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Selain itu
(32)
adanya kontraindikasi dan efek samping obat harus jadi pertimbangan (Karnadihardja, 2004).
Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N. VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi vitamin B6, gangguan penglihatan akibat etambutol, dan hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama (Karnadihardja, 2004).
Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani dengan empat obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total lama pengobatan dapat diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan. Bagaimanapun, pada bentuk yang parah
diberikan 2H3R3Z3E3/4H3R3. Pada TB meningeal, pengobatan akan diperpanjang
selama 9 bulan dengan tambahan steroid. Walaupun pengobatan memberikan hasil yang bagus pada kebanyakan bentuk TB ekstraparu, ada beberapa pengecualian, seperti meningitis dan TB spiral yang mana hasil pengobatan tergantung diagnosis awal. Jika, bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan dengan infeksi HIV, idealnya pengobatan anti-retroviral aktif tinggi (HAART / Highly Active Anti-retroviral Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara rifampasin dan komponen HAART perlu untuk diketahui dan diingat juga (Kant, 2004). 2.2.7.2. Terapi Bedah
Pusat radang TB terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu, sarang infeksi di berbagai organ, misalnya kaverne di paru dan debris di tulang, harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu, tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada TB paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada TB usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat (Karnadihardja, 2004).
(33)
2.2.8. Pencegahan dan Pengendalian
Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2007), pencegahan dan pengendalian TB secara umum adalah sbb:
1. Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut terhadap kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan pengobatan yang sesuai dengan saksama adalah tujuan utama pengendalian TB kesehatan masyarakat. Timbulnya kembali penyakit TB menunjukkan bahwa metode pengendalian ini belum dilakukan secara adekuat.
2. Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya, anak-anak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus menerima obat-obatan imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.
3. Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi resistansi pejamu sehingga membantu konversi infeksi asimtomatik menjadi sebuah penyakit. Faktor-faktor tersebut meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular dengan obat (misalnya, kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV adalah faktor resiko utama untuk TB.
4. Imunitas: berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG (bacille Calmette-Guérin, organisme attenuated bovin), telah digunakan untuk menginduksi sejumlah tertentu resistansi pada orang yang sangat terpajan dengan infeksi. Vaksinasi dengan organisme ini, sama dengan infeksi primer dengan basil tuberkel virulen tanpa disertai bahaya di kemudian hari. Vaksin yang tersedia tidak adekuat menurut banyak sudut pandang teknis dan biologis. Walaupun demikian, BCG diberikan kepada anak-anak pada banyak negara. Di Amerika Serikat, BCG hanya diberikan pada orang dengan hasil uji tuberkulin negatif yang sangat terpajan (anggota keluaraga pasien TB , petugas kesehatan). Bukti statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resistansi untuk periode tertentu yang muncul setelah vaksinasi BCG.
5. Eradikasi TB pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat mengurangi infeksi M.bovis.
(34)
2.3. Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu hasil ‘tahu’, dan hasil ‘tahu’ ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
(35)
2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara Umum
Tujuan dari edukasi pasien adalah untuk mempengaruhi atau mengubah perilaku kesehatan pasien dengan menyediakan mereka informasi yang memotivasi untuk mengikuti rencana pengobatan. Inti elemen-elemen pengetahuan dari keterkaitannya kepada penghentian penularan penyakit dan ikatannya dengan terapi berhubungan dengan: apakah TB, apakah yang menyebabkannya, bagaimanakah penularannya, tindakan apakah yang dapat diambil untuk membatasi penularannya, bagaimanakah pengobatannya, apa pentingnya mengambil pengobatan secara teratur, selama berapa lama, apa konsekuensi dari menghentikan pengobatan, apa efek samping dan komplikasi yang mungkin dan apakah TB penyakit dapat disembuhkan. Semua ini adalah pesan-pesan edukasi yang penting yang pasien seharusnya ketahui (Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).
Pengetahuan tentang penyakit ini dipercaya menjadi penentu penting dari perilaku menjaga kesehatan dan mencari pertolongan medik sebagaimana halnya keterikatan untuk tindakan pencegahan dan pengobatan. Ketidakterikatan kepada pengobatan sering kali dihasilkan dari ketidakadekuatan pengetahuan atau pemahaman tentang penyakit dan pengobatanya. Sebaliknya, pengetahuan yang lebih besar tentang TB akan meningkatkan penerimaan tindakan pengendalian dengan menghasilkan penurunan penyebaran penyakit (Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).
TB ekstraparu sedang berada dalam peningkatan di seluruh dunia. Keragaman ekstraparu sekarang sedang memulai untuk muncul dari bayangan TB paru. Di negara-negara dengan surveilans data yang baik seperti Amerika Serikat, dimana angka TB paru telah menurun ke tingkat terendahnya pada 2001, statistik mengindikasikan peningkatan relatif kasus ekstraparu dari 16% pada 1992 menjadi 20% pada 2001. Lebih dari 70% pasien positif HIV dengan TB telah mempunyai presentasi ekstraparu, ketika prevalensinya 15-30% orang-orang imunokompeten (Kant, 2004).
Jittimanee et al. (2009) meneliti tentang stigma sosial dan pengetahuan TB dan HIV di antara pasien dengan kedua penyakit di Thailand. Dari 769 pasien,
(36)
500 (65%) dilaporkan mempunyai stigma TB yang tinggi, 177 (23%) berpengetahuan TB yang rendah, and 379 (49%) berpengetahuan HIV yang rendah. Pasien pasien yang dilaporkan berstigma TB yang tinggi lebih berkemungkinan untuk telah mengambil antibiotik sebelum pengobatan TB, telah melakukan kunjungan pertama ke penyembuhan tradisional, mengetahui bahwa monogami dapat mengurangi resiko mendapatkan infeksi HIV, dan telah dihospitalisasi. Pasien dengan pengetahuan TB rendah lebih berkemungkinan unutk mempunyai penyakit TB yang parah, untuk dihospitalisasi, dirawat di rumah sakit rujukan penyakit infeksi nasional dan mempunyai pengetahuan HIV yang rendah. Pasien dengan pengetahuan HIV rendah lebih berkemungkinan mengetahui seorang pasien TB dan mempunyai pengetahuan TB yang rendah. Adapun kesimpulannya stigma dan pengetahuan spesifik penyakit yang rendah adalah umum di antara pasien TB terinfeksi HIV dan berhubungan dengan faktor yang sama.
Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti tentang pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas peternakan di wilayah Afar, Ethiopia. Dari 818 orang terwawancara [357 (43,6%) perempuan and 461 (56,4%) laki-laki], 742 (90,7%) yang dilaporkan bahwa mereka mempunyai pengetahuan tentang TB limfadenitis, menyatakan bahwa pembengkakan di leher yang menghasilkan lesi dan parut adalah gejala umum. Bagaimanapun, hanya 11 (1,5%) individu menyatakan bahwa bakteri atau kuman merupakan agen penyebab TB limfadenitis. Tiga orang yang terwawancara dan seorang diskusiwan laki-laki menyatakan meminum susu mentah sebagai penyebab TB limfadenitis. Proporsi yang sangat banyak (34,2%) dari orang-orang terwawancara dan hampir semua diskusiwan mengesankan pengobatan herbal sebagai pengobatan yang efektif. Partisipan studi laki-laki adalah 1,82 kali lebih berkemungkinan untuk mempunyai pengetahuan menyeluruh tentang TB limfadenitis daripada partisipan studi perempuan.
Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007) meneliti tentang pengetahuan TB di antara pasien di Omdurman, Sudan. Subjek penelitian adalah pasien TB paru dan ekstraparu, yang berusia di atas 15 tahun, terdiagnosa, dan
(37)
dirawat di di fasilitas kesehatan yang berbeda di Provinsi Greater Omdurman. Dari jumlah total responden hanya 547 (54,9%) mengetahui bahwa TB adalah sebuah penyakit infeksius, 402 (40,4%) mengetahui bahwa TB sebuah penyakit yang ditularkan melalui udara dan 584 (58,7%) menyatakan bahwa mereka mempraktikkan tindakan pencegahan yang berbeda di tingkat perlengkapan rumah dan/atau tempat kerja. Durasi pengobatan TB diketahui 480 (48,2%) dan mengenai fakta bahwa penyakit ini dapat tersembuhkan, 800 (80,3%) dari responden mengetahui bahwa penyakit dapat disembuhkan. Dari segi usia, responden yang lebih muda (kurang dari 30 tahun) mengetahui lebih banyak dibanding yang lainnya bahwa mereka terinfeksi TB (62,3%). Orang - orang yang berusia di atas 50 tahun menunjukkan angka pengetahuan yang terendah (42,0%). Lebih lanjut, tingkat kesadaran secara signifikan menurun seiring dengan pertambahan usia. Pasien yang lebih tua menunjukkan angka pengetahuan yang terendah tentang penyebab penyakit TB (0,6%). Sekitar 67,3% dari responden yang lebih muda (20-29 tahun) mengetahui bahwa TB menular dibanding dengan 42.9% dari responden yang lebih tua (di atas 50 tahun). Pada keterkaitan pengetahuan tentang durasi pengobatan TB dengan usia responden, responden yang lebih muda menunjukkan angka kesadaran yang tertinggi (52,2%). Dari segi jenis kelamin, pengetahuan tentang infeksi terkini berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi dari laki-laki (58,0%) yang mengetahui dibanding perempuan (48.4%). Secara signifikan laki-laki juga mengetahui bahwa penyakit TB infeksius (60.2%) dibanding perempuan (52,8%). Laki-laki (43,6%) meyakini bahwa TB adalah penyakit yang ditularkan melaui udara dibanding dengan perempuan (33,5%). Proporsi laki-laki yang terbiasa mempraktikkan ukuran pencegahan adalah 60,2% dibanding perempuan (55,3%) dan laki-laki yang mengetahui jangka waktu pengobatan aktual (49,3%) lebih banyak dibanding perempuan (46,0%). Dari segi tingkat pendidikan, pada umumnya, pengetahuan tentang TB dan pengobatannya meningkat secara signifikan seiring dengan tingkat pendidikan.
(38)
Masyarakat Kelurahan
Badak
Pengetahuan Penyakit
TB
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN
DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
3.2. Definisi Operasional
1. Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang: semua warga, baik laki-laki maupun perempuan, yang berumur di atas 17 tahun bertempat tinggal di Kelurahan Badak Bejuang dan dapat berbahasa Indonesia.
2. Pengetahuan: kemampuan responden mengenal, memahami dan mengetahui TB ekstraparu, dari segi etiologi, cara penularan, gejala klinis (berdasarkan tempat predileksi), pemeriksaan, pengobatan dan pencegahan. 3. TB ekstraparu: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya, kelenjar limfe, selaput otak, tulang, usus, ginjal, dan lain-lain.
4. Cara Ukur : Angket
5. Alat Ukur: Kuesioner, diajukan pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban (MCQ).
6. Hasil Ukur: Pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu berdasarkan pertanyaan yang
(39)
diberikan kepada responden menggunakan skala pengukuran Pratomo (1986) dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
• Pengetahuan baik apabila jawaban responden yang benar lebih dari 75% dari nilai tertinggi.
• Pengetahuan sedang apabila jawaban responden yang benar antara 40% sampai 75% dari nilai tertinggi.
• Pengetahuan kurang apabila jawaban responden yang benar kurang dari 40% dari nilai tertinggi.
(40)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu, distribusi tingkat pengetahuan masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan umur, serta distribusi proporsi jenis kelamin dan umur berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional, yaitu pengamatan terhadap sekumpulan obyek dalam jangka waktu tertentu.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011. 4.2.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kelurahan Badak Bejuang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kotamadya Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena masyarakatnya yang sangat heterogen bila ditinjau dari segi tingkat pendidikan, sosial budaya, dan tingkat ekonomi. Kelurahan ini merupakan salah satu kelurahan dengan populasi penduduk terbanyak di kota tersebut.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini merupakan semua masyarakat Kelurahan Badak Bejuang, yaitu sebanyak 3381 orang.
(41)
4.3.2. Sampel
Cara pemilihan sampel untuk penelitian ini adalah dengan melakukan accidental sampling dimana pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia. Sampel dihitung dengan menggunakan rumus di bawah (Notoatmodjo,2005):
.
N n = 1+ N(d2)
keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan yang diinginkan
Dengan menggunakan rumus tersebut, perhitungan sampel untuk masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi adalah seperti berikut:
3381 n =
1+ 3381(0.102)
3381 n =
1+ 3381(0.01) 3381 n =
34.81
n = 97.12
n ≈ 100 orang
Dari perhitungan, jumlah sampel yang paling kecil yang diperlukan adalah 97 orang. Jumlah sampel digenapkan menjadi 100 orang.
(42)
4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini merupakan semua masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di atas 17 tahun bertempat tinggal di Kelurahan Badak Bejuang dan dapat berbahasa Indonesia. Kriteria eksklusi merupakan masyarakat yang buta huruf dan yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
4.4.1. Data Primer
Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian yang disebarkan pada responden yang memenuhi kriteria inklusi.
4.4.2. Data Sekunder
Pada penelitian ini, data sekunder merupakan jumlah masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dan dikumpul terlebih dahulu untuk menentukan jumlah populasi dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Badak Bejuang.
4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji coba kuesioner telah dilakukan sebelum digunakan pada subjek penelitian, untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen yang dibuat dapat mengukur apa yang seharusnya di ukur. Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji validitas isi dan uji validitas konstrak. Validitas isi adalah suatu keputusan tentang bagaimana instrumen dengan baik mewakili karakteristik yang dikaji. Penelitian tentang validitas isi ini bersifat subjektif dan keputusan apakah instrumen ini sudah mewakili atau tidak, didasarkan pada pendapat ahli. Uji validitas konstrak dilakukan dengan memberi kuesioner kepada suatu populasi yang mirip dengan populasi yang akan diuji
(43)
dalam penelitian yang sebenar. Hasilnya dinilai dengan menggunakan Pearson’s Correlation. Jika r hitung melebihi r tabel, maka pertanyaan tersebut valid. Jika pertanyaan tersebut tidak valid, maka pertanyaan harus dikeluarkan dari kuesioner. Pada penelitian ini, uji validitas telah dilakukan pada masyarakat Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru. Kuesioner yang diberikan terdiri dari 15 soalan. Setelah dilakukan uji validitas, didapati 15 soalan yang valid.
Uji reliabilitas dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama. Uji reliabilitas telah dilakukan sebelum pengumpulan data terhadap 15 orang responden. Uji reliabilitas dihitung dengan menggunakan Cronbach’s Alpha. Jika nilai alpha lebih besar dari nilai r tabel, maka kuesioner bisa dikatakan sebagai reliabel. Pada penelitian ini, didapati semua pertanyaan yang valid mempunyai hubungan yang cukup erat dengan nilai alpha melebihi 0,6.
4.5. Ethical Clearance
Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan etika dari Komiti Etik Kesehatan dan Kedokteran FK USU.
4.6. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan scoring method, dimana responden akan mendapat skor 1 untuk setiap jawaban yang benar dan skor 0 untuk setiap jawaban yang salah. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
(44)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Proses pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan dengan pembagian kuesioner yang telah diisi oleh responden di tempat tanpa dibawa pulang. Hasil kuesioner yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis, sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap penyakit tuberkulosis (TB) ekstraparu dilaksanakan di sepanjang Jalan Sudirman, Kelurahan Badak Bejuang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kotamadya Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini, karakteristik yang diamati pada responden meliputi umur dan jenis kelamin pada responden. Jumlah responden adalah sebanyak 100 orang.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden yang Mengikuti Penelitian
Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki Perem puan
52 48
52 48
Total 100 100
Dari seluruh responden yang diteliti, 52 orang (52%) merupakan laki-laki dan 48 orang (48%) merupakan perempuan.
(45)
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Umur Responden yang Mengikuti Penelitian
Umur Jumlah %
<21 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70
24 55 5 3 10 2 1
24 55 5 3 10 2 1
Total 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden terbanyak adalah responden yang berumur antara 21-30 tahun yaitu sebanyak 55 orang (55%), diikuti yang berumur kurang dari 21 tahun yaitu sebanyak 24 orang (24%) dan yang berumur antara 51-60 tahun sebanyak 10 orang (10%).
(46)
5.1.3. Hasil Analisis Data
Data lengkap distribusi jawaban responden pada semua 15 soal kuesioner dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pertanyaan
Pertanyaan
Jaw aban
Benar Salah
Jumlah % Jumlah %
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Definisi penyakit TB secara um um Et iologi penyakit TB ekst raparu Cara penularan infeksi TB ekst raparu
Tem pat predileksi penyakit TB
ekst raparu
Fakt or risiko TB ekst raparu
Gejala klinis TB kelenjar get ah bening
Gejala klinis TB m eningeal Gejala klinis TB t ulang Cara penularan TB usus Tem pat predileksi TB m ilier
Pem eriksaan pada penyakit TB
ekst raparu
Lam a pengobat an penyakit TB
ekst raparu
Efek sam ping pengobat an penyakit TB ekst raparu
Pencegahan penyakit TB ekst raparu secara um um
Pencegahan penyakit TB ekst raparu (vaksinasi) 91 37 75 39 33 53 55 50 48 64 58 75 46 86 88 91 37 75 39 33 53 55 50 48 64 58 75 46 86 88 9 63 25 61 67 47 45 50 52 36 42 25 54 14 12 9 63 25 61 67 47 45 50 52 36 42 25 54 14 12
(47)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar oleh responden adalah pertanyaan nomor 1 yaitu dengan persentase sebesar 91% (91 orang). Pertanyaan yang paling sedikit dijawab dengan benar oleh responden adalah pertanyaan nomor 5 yaitu dengan persentase sebesar 33% (33 orang). Kesimpulan dapat dibuat bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap definisi penyakit TB secara umum adalah baik. Tingkat pengetahuan responden terhadap faktor risiko penyakit TB ekstraparu adalah kurang.
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Penyakit TB Ekstraparu Secara Umum
Tingkat Pengetahuan Jumlah %
Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6) 8 85 7 8 85 7
Total 100 100
Dari tabel 5.4, dapat dilihat bahwa 8 responden (8%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan yang baik terhadap penyakit TB ekstraparu, 85 responden (85%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan sedang dan sebanyak 7 responden (7%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan kurang terhadap penyakit TB ekstraparu.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Tingkat Pengetahuan
Total Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6)
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Laki-laki Perem puan 2 6 2 6 46 39 46 39 4 3 4 3 52 48 52 48
(48)
Dari tabel 5.5 di atas dapat dilihat bahwa paling banyak responden dalam golongan tingkat pengetahuan baik adalah perempuan sebanyak 6 orang (6%). Responden terbanyak dalam kategori tingkat pengetahuan sedang adalah laki-laki sebanyak 46 orang (46%). Jumlah responden dalam tingkat pengetahuan kurang terbanyak adalah laki-laki sebanyak 4 orang (4%).
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur Responden
Umur
Tingkat Pengetahuan
Total Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6)
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
<21 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70 1 6 0 1 0 0 0 1 6 0 1 0 0 0 23 47 4 2 7 2 0 23 47 4 2 7 2 0 0 2 1 0 3 0 1 0 2 1 0 3 0 1 24 55 5 3 10 2 1 24 55 5 3 10 2 1
Total 8 8 85 85 7 7 100 100
Dari tabel 5.6 diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah responden berdasarkan kelompok umur dengan pengetahuan baik terbanyak dijumpai pada responden umur antara 21-30 tahun sebanyak 6 orang (6%). Kelompok umur dengan tingkat pengetahuan sedang yang terbanyak dijumpai pada responden umur antara 21-30 tahun sebanyak 47 orang (47%). Tingkat pengetahuan kurang yang terbanyak dijumpai pada responden umur antara 51-60 tahun sebanyak 3 orang (3%).
(49)
5.2.Analisis Statistik
Distribusi proporsi jenis kelamin dan umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Kurang-Sedang Baik 50 2 50 2 42 6 42 6 92 8 92 8 df=1 p=0,110
Berdasarkan tabel 5.7, dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengetahuan kurang-sedang responden tertinggi pada laki-laki 50%. Proporsi tingkat pengetahuan baik responden tertinggi pada perempuan 6%.
Berdasarkan hasil analisis statistik Fisher’s exact test, diperoleh nilai (p>0.05), berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin responden berdasarkan tingkat pengetahuan.
Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Umur Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Tingkat Pengetahuan
Umur
Total <21-40 >40
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Kurang-Sedang Baik 77 7 77 7 15 1 15 1 92 8 92 8 df=1 p=0,624
Berdasarkan tabel 5.8, dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengetahuan kurang-sedang responden tertinggi pada umur <21-40 tahun 77%. Proporsi tingkat pengetahuan baik responden tertinggi pada umur <21-40 tahun 7%.
(50)
Berdasarkan hasil analisis statistik Fisher’s exact test, diperoleh nilai (p>0.05), berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan.
5.3. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan diatas dapat dilakukan pembahasan seperti berikut. Ternyata bahwa mayoritas responden yang mengikuti penelitian memiliki tingkat pengetahuan yang sedang yaitu sebanyak 85 orang (85%), diikuti dengan reponden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 8 orang (8%) dan yang dengan tingkat pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 7 orang (7%). Hal ini mungkin disebabkan karena informasi tentang penyakit TB ekstraparu yang diterima di dalam maupun di luar lingkungan Kelurahan Badak Bejuang adalah sangat sederhana, yaitu mungkin disebabkan minimnya kesempatan masyarakat mendapatkan informasi mengenai penyakit ini karena kesibukan pekerjaan dan rutinitas sehari-hari masyarakat. Ini menyebabkan paling banyak responden tergolong dalam tingkat pengetahuan yang sedang terhadap penyakit ini.
Dari hasil penelitian juga telah didapati bahwa 91% dari jumlah responden mengetahui bahwa penyakit TB merupakan suatu penyakit infeksi, 88% mengetahui bahwa vaksin untuk mencegah TB paru dan ekstraparu adalah vaksin BCG, dan 86% mengetahui bahwa dengan melakukan imunisasi anti-TB dan selalu menjaga pola hidup sehat dapat mencegah penyakit TB paru dan ekstraparu. Ini mungkin disebabkan oleh usaha yang baik pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB dan pencegahannya melalui vaksinasi dan promosi pola hidup sehat.
Masih terdapat sebanyak 67% dari jumlah responden yang menganggap bahwa penderita HIV tidak merupakan faktor risiko untuk terkena penyakit TB ekstraparu. Kurangnya pengetahuan tentang faktor risiko TB ekstraparu mungkin disebabkan oleh kurangnya upaya promosi penyakit HIV/AIDS di lingkungan kelurahan ini, sehingga masyarakat masih jarang mencari tahu informasi mengenai penyakit ini. Terdapat 63% dari jumlah responden yang juga tidak
(51)
menganggap penyakit TB (paru dan ekstraparu) disebabkan oleh bakteri. Ini mungkin adalah karena masyarakat kelurahan ini belum terlalu akrab dengan kosa kata ‘bakteri’ sehingga kosa kata ini belum umum dipakai dalam pergaulan sehari-hari masyarakat. Sebanyak 61% dari jumlah responden menganggap selaput pleura, kulit, ginjal, jantung, tulang, dan otak bukanlah tempat predileksi yang lain (selain paru) untuk penyakit TB. Ini mungkin disebabkan oleh minimnya pengalaman masyarakat melihat dan mendengar kejadian penyakit TB ekstraparu di lingkungan sekitar mereka.
Ada pun hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat yang sedang terhadap cara penularan infeksi TB ekstraparu, lama pengobatan penyakit TB ekstraparu, tempat predileksi TB milier, pemeriksaan pada penyakit TB ekstraparu, gejala klinis TB meningeal, gejala klinis TB kelenjar getah bening, gejala klinis TB tulang, cara penularan TB usus, dan efek samping pengobatan penyakit TB ekstraparu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai poin-poin ini dijawab betul oleh para responden dengan persentase sebesar antara 46-75%. Hal ini menunjukkan informasi yang diterima masyarakat mengenai poin-poin ini mencukupi, penyuluhan dan edukasi perlu diupayakan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat menjadi lebih baik lagi.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel tingkat pengetahuan responden berdasarkan umur, responden terbanyak pada tingkat pengetahuan baik adalah pada umur antara 21-30 tahun. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007) di Omdurman, Sudan tentang pengetahuan pasien TB paru dan ekstraparu tentang TB dan talaksananya menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan menurun seiring dengan pertambahan usia. Hal ini mungkin dikarenakan responden dalam kelompok umur yang lebih muda ini lebih aktif mencari informasi tentang kesehatan, baik dari pergaulan sehari-hari, media massa, atau pun media elektronik.
Hasil penelitian pada tabel tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan lebih banyak perempuan tergolong dalam tingkat pengetahuan baik dibandingkan dengan laki-laki. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007)
(52)
di Omdurman, Sudan tentang pengetahuan pasien TB paru dan ekstraparu tentang TB dan pengobatannya. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti tentang pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas peternakan di wilayah Afar, Ethiopia. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa laki-laki lebih berpengetahuan dibanding perempuan.
Ada pun menurut hasil analisis statistik Fisher’s exact test, ditemukan tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin dan umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan. Hal ini mungkin karena jumlah sampel yang tidak cukup besar sehingga menimbulkan bias.
(1)
3.
Hasil Analisis Data
Deskripsi Pertanyaan yang Dijawab Responden
pertanyaan 1Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 9 9.0 9.0 9.0
1 91 91.0 91.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 63 63.0 63.0 63.0
1 37 37.0 37.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 25 25.0 25.0 25.0
1 75 75.0 75.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 61 61.0 61.0 61.0
1 39 39.0 39.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 47 47.0 47.0 47.0
1 53 53.0 53.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 67 67.0 67.0 67.0
1 33 33.0 33.0 100.0
(2)
pertanyaan 7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 45 45.0 45.0 45.0
1 55 55.0 55.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 50 50.0 50.0 50.0
1 50 50.0 50.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 52 52.0 52.0 52.0
1 48 48.0 48.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 36 36.0 36.0 36.0
1 64 64.0 64.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 11
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 42 42.0 42.0 42.0
1 58 58.0 58.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 12
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 25 25.0 25.0 25.0
1 75 75.0 75.0 100.0
(3)
pertanyaan 14
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 14 14.0 14.0 14.0
1 86 86.0 86.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
pertanyaan 15
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 12 12.0 12.0 12.0
1 88 88.0 88.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Deskripsi Tingkat Pengetahuan Responden Secara Umum
kelompok ptFrequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid buruk 7 7.0 7.0 7.0
sedang 85 85.0 85.0 92.0
baik 8 8.0 8.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Deskripsi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
jenis kelamin * kelompok pt CrosstabulationCount
kelompok pt
Total
buruk sedang baik
jenis kelamin laki-laki 4 46 2 52
perempuan 3 39 6 48
Total 7 85 8 100
pertanyaan 13
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 54 54.0 54.0 54.0
1 46 46.0 46.0 100.0
(4)
Deskripsi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Kelompok umur
kelompok usia2 * kelompok pt CrosstabulationCount
kelompok pt
Total
buruk sedang baik
kelompok usia2 <21 0 23 1 24
21-30 2 47 6 55
31-40 1 4 0 5
41-50 0 2 1 3
51-60 3 7 0 10
61-70 0 2 0 2
>70 1 0 0 1
Total 7 85 8 100
4.
Analisis Statistik
Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Responden
kelompok pt * kelompok umur3 CrosstabulationCount
kelompok umur3
Total
<21-40 >40
kelompok pt buruk 3 4 7
sedang 74 11 85
baik 7 1 8
Total 84 16 100
kelompok pt2 * jenis kelamin Crosstabulation
jenis kelamin
Total
laki-laki perempuan
kelompok pt2 sedang buruk Count 50 42 92
Expected Count 47.8 44.2 92.0
% within kelompok pt2 54.3% 45.7% 100.0%
% within jenis kelamin 96.2% 87.5% 92.0%
% of Total 50.0% 42.0% 92.0%
baik Count 2 6 8
Expected Count 4.2 3.8 8.0
% within kelompok pt2 25.0% 75.0% 100.0%
(5)
% of Total 2.0% 6.0% 8.0%
Total Count 52 48 100
Expected Count 52.0 48.0 100.0
% within kelompok pt2 52.0% 48.0% 100.0%
% within jenis kelamin 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 52.0% 48.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.540a 1 .111
Continuity Correctionb 1.500 1 .221
Likelihood Ratio 2.629 1 .105
Fisher's Exact Test .149 .110
Linear-by-Linear Association
2.514 1 .113
N of Valid Cases 100
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84. b. Computed only for a 2x2 table
Proporsi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Umur
kelompok pt * kelompok umur3 CrosstabulationCount
kelompok umur3
Total
<21-40 >40
kelompok pt buruk 3 4 7
sedang 74 11 85
baik 7 1 8
Total 84 16 100
kelompok pt * kelompok umur3 Crosstabulation
kelompok umur3
Total
<21-40 >40
kelompok pt buruk Count 3 4 7
Expected Count 5.9 1.1 7.0
% within kelompok pt 42.9% 57.1% 100.0%
% within kelompok umur3 3.6% 25.0% 7.0%
(6)
sedang Count 74 11 85
Expected Count 71.4 13.6 85.0
% within kelompok pt 87.1% 12.9% 100.0%
% within kelompok umur3 88.1% 68.8% 85.0%
% of Total 74.0% 11.0% 85.0%
baik Count 7 1 8
Expected Count 6.7 1.3 8.0
% within kelompok pt 87.5% 12.5% 100.0%
% within kelompok umur3 8.3% 6.3% 8.0%
% of Total 7.0% 1.0% 8.0%
Total Count 84 16 100
Expected Count 84.0 16.0 100.0
% within kelompok pt 84.0% 16.0% 100.0%
% within kelompok umur3 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 84.0% 16.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 9.481a 2 .009
Likelihood Ratio 6.850 2 .033
Linear-by-Linear Association 4.907 1 .027
N of Valid Cases 100
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,12.