Kerangka Teori Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia)

kehutanan namun berbeda pendekatan permasalahan yang diangkat, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung beberapa aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun sehubungan dengan pendekatan terhadap permasalahan yang telah mendapat persetujuan dari para pembimbing pada tahap awal proses bimbingan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

3. Kerangka Teori

Pendekatan kebijakan terhadap kejahatan membawa implikasi yang sangat luas, pada satu sisi hal itu memerlukan reorientasi terhadap tujuan penanggulangan kejahatan yang menyebabkan perlunya perombakan di segala lini potensi yang mengemban fungsi pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Kondisi demikian sebenarnya terutama ditujukan terhadap peradilan pidana diharapkan mampu menanggulangi kejahatan menggunakan hukum pidana adalah merupakan upaya terakhir setelah upaya hukum lainnya tidak dapat menyelesaikannya. Sebaliknya apabila upaya hukum pidana ternyata gagal dalam mengendalikan kejahatan barangkali tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap masyarakat. Sebagai diakuinya pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, bahkan sebagai Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 konsekuensinya mutlak pendekatan tersebut terhadap hukum pidana adalah pengadopsian pendekatan sistematik dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan demikian pada sisi penegakan hukum pidana tetap dengan memberdayakan sistem peradilan pidana. Penerapan suatu sistem penegakan hukum pidana melalui hukum rasional didalam sistem peradilan pidana, khususnya penegakan hukum terhadap pengrusakan hukum akan dapat memberikan dampak pada proses terutama dalam kebijakan pemberlakuan hukum, seperti spesifikasi Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang money laundering sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang money laundering. Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 USA dan kemudian dipakai secara internasional. Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia. 24 Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan 24 US v. S4,255,625.39,Fed.Supp.vol.551, South District of Florida 1982,314,cited by Secretary General of United Nations, dalam Guy Stessens, op.cit., hal.83 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi organized crimes. 25 Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi economic crimes, yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. 26 Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional transnasional , sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. 27 Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to 25 Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992, hal. 175. 26 Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985 27 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, Palermo, 2000 khususnya pada Article 3.1.a disebutkan bahwa pencucian uang termasuk kejahatan yang lintas batas negara selain pencucian uang kejahatan lain yang termasuk kriteria ini adalah participation in an organized criminal group, corruption and obstruction of justice dengan ciri-cirinya yang disebut dalam Article 3.2 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears. 28 Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan. 29 Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbol pada layar komputer computer screen, yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum. Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya cyber, uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya 28 Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law , 1993, hal 454 29 Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000, hal.135. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 oleh para pelaku pencucian uang inilah yang memunculkan fenomena cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak. Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu bagaimana formulasi undang- undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya profesionalitas para penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain. UUTPPU di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap law making, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allatt yang juga mengatakan bahwa pembuatan hukum law making yang kilat atau tergesa-gesa pragmatis akan dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai. 30 Tujuan umum dari sistem peradilan pidana adalah : 30 Allot, Antony, the efectiveness of law, Valparaiso Law Review, vol. 15 Wiater, 1981 hal 233 dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan telah ditegakkan dengan adanya penghukuman terhadap yang bersalah. 3. Mengusahakan adanya efek jera dimana yang bersalah atau yang pernah melakukan kejahatan tidak berhasrat mengulangi kejahatannya lagi. 31 Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan investigasi sebagai FIU Financial Intelligence Unit, yang tugas dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana pencucian uang adalah: 32 “The Financial Intelligence Unit or FIU is an information gathering and processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves, review and evaluates information on very large number of transactions. Out of those only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police. PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang 31 Lihat, Mardjono Reksadi Putro, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum lembaga kriminologi Universitas Indonesia, 1997, hal 84-85 32 Speaker’s notes International workshop Indonesia Rancangan Money Laundering Law, Jakarta, 29-30 May 2000.hal.3. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 mencurigakan. 33 Namun demikian badan ini dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat awal dan sangat terbatas lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2 dalam membantu kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya. Artinya bahwa hasil analisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu berarti. Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian the shifting of the burden of proof . UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara 33 Yunus Husein, PPATK Terima 901 Laporan Transaksi Mencurigakan Triwulan Pertama 2006 , Harian Sinar Indonesia Baru, tanggal 22 April 2006, bahwa sejak berdirinya PPATK hingga Maret 2006 ada sekitar 4. 074 laporan transaksi keuangan mencurigakan “Suspicious Tran-saction Report STR”, sedangkan untuk laporan pembawaan uang tunai “Cross Border Report CBR” jumlahnya mencapai 669 laporan yang berasal dari laporan tiga bandara dan laporan transaksi keuangan tunai “Cast Transaction Report CTR” ada sekitar 1.664.293 laporan yang mencurigakan yang berasal dari laporan 156 Penyedia Jasa Keuangan PJK. Dari perkembangan historis jelas bahwa langkah kita mengantisipasi imbauan global anti-Pencucian Uang ini sangat lambat dengan berbagai kendala dan alasan. Pemerintah harus belajar dari Filipina dalam penyusunan Undang-Undang Anti- Money Laundering . Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 persidangan khusus untuk pembalikan beban pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan. Selain tatacara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsure saja. Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsur ini tidak bisa dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsur lainnya baik itu unsur obyektif maupun subyektif, sepanjang itu merupakan inti delik bestandelen. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung circumstancial evidence akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur intended yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsur intended pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melakukan transfer dan kemudian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak baik yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan. Terhadap ide ini hakim harus benar-benar mempunyai keberanian yang dilandasi keyakinannya atas logika hukum yang ditawarkan tersebut. Untuk mencapai Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 profesionalitas yang memadai serta inovatif tersebut, sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dalam mempelajari teori pembuktian yang telah dilakukan di berbagai Negara yang telah banyak pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan. Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relative sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum biasa bekerja secara simultan. 34 Dalam praktek di lapangan sering terjadi 34 Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan Kelemahan Dalam ImplentasinyaSuatu Tinjauan Awal, www.legalitas.org , diakses tanggal 14 Juni 2008 bahwa pendanaan praktek illegal logging dapat dilihat dari m asalah wire transfer system yang menyertai money laundering juga semakin mempersulit pembuktian, transfer semacam ini bisa terjadi antarbank transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer adalah suatu cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum dan sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail. Selain itu polisi juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge mengetahui atau patut menduga dan intended bermaksud. Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsure terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk memenuhi unsure yang harus dibuktikan jaksa tersebut sangat sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan , benar-benar harus didukung berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan pelaku. Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK. Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi. Sudah seharusnya mulai dipikirkan bahwa ketika suatu perkara pencucian uang terungkap maka para pelaku kejahatan itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang mereka lakukan dan pada akhirnya akan menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu mengikuti pemberitaan kasus mereka di media massa, menyimak jalannya persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan serta mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk mengetahui di mana kelemahan mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi. Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri. Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti. Dengan demikian kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa. Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK Komisi Pemberantasan Korupsi yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan kumulatif. Selanjutny, setiap kali dilakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana hal itu selalu dikaitkan dengan sistem peradilan pidana untuk memfungsikan hukum pidana. Fungsi hukum pidana pada hakekatnya sebagai alat pelindung bagi individu, masyarakat dan negara. Paul H. Robinson bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank. Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation operasi penjebakan. Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran undercover inquiring. Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika. Namun untuk operasi penjebakan pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak sekedar penyamaran saja tetapi negara harus menyiapkan sejumlah uang yang akan digunakan dalam penyamaran tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya undang-undang stink operation ini akan sulit terwujud. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 mengatakan:……The criminal law has three primary function, First, it must define and anuance the conduct that is prohibited by the criminal law rule of conduct. This second function, setting the minimum condition prohibity, mark the shift from prohibition to adjudication, Finally, where liability is to be imposed, criminal law doctrine must assess the relative seriousness of the offence . 35 Oleh karena itu perlu dipahami mengenai pengertian dan kosep pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana. “Sistem peradilan pidana” merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari “Criminal justice system” . Dalam Black’s Law Dictionary, criminal justice system didefenisikan sebagai the network of courts and tribunals which deal with criminal law and its enforcement . Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan. 36 Pengertian tersebut lebih banyak menekankan pada suatu pemahaman mengenai “jaringan” di dalam lembaga peradilan. Selain itu juga menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk “menegakkan hukum pidana” jadi tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam 35 Lihat, Paul H Robinson, A Functioneel Analysis of Criminal Law, dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi , Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004, hal. 16 36 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal. 14 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan. menggunakan kata “jaringan” adalah untuk memberikan makna terhadap kata sistem system dalam sistem peradilan pidana criminal justice system . Oleh karen aitu pemahaman terhadap kata “system” dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system maupun abstract system. Physical system berarti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan physical system menandung suatu pengertian gagasan-gagsan yang merupakan susunan yang teratur antara lain satu sama lain berada dalam ketergantungan. Dengan demikian pengertian “sistem” dalam sistem pendukung peradilan pidana meliputi sistematik yang menyeliputi elemen-elemen yang tersistematik dalam peradilan pidana sarananya. Pengertian sistem peradilan pidana yang juga menekankan adanya jaringan dikemukakan Soerjono Soekanto yang melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral etika dalam arti sempit. 37 Meskipun dengan penekanan lanjutan yang berbeda dinyatakan bahwa sistem peradikan pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum 37 Lihat, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004, hal. 7 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 piana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Pengertian sistem peradilan pidana yang menekankan pada adanya suatu jaringan peradilan juga memberikan tekanan bahwa dalam bekerja jaringan tadi terutama menggunakan hukum pidana secara keseluruhan, artinya bahwa jaringan peradilan pidana tersebut menggunakan hukum pidana substansif, hukum acara pidana dan hukum penitensier secara bersama-sama dalam tujuan jaringan tersebut. Hal ini berarti pengertian sistem peradilan pidana didasarkan pada Istilah “criminal justice system ” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 38 Remington dan Ohlin mengemukakan: “Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”. 39 Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several 38 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme , Bandung: Binacipta, 1996, hal. 14 39 Ibid, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 parts . 40 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. 41 Dalam memahami istilah “sistem” ini ada beberapa penekanan dalam mendefenisikannya sebagai berikut: 1. Penekanan pada adanya “sistem dari suatu proses”, sistem di sini merupakan proses pelaksanaan perencanaan kerja yang terdapat dalam suatu lembaga, dalam hal ini peradilan pidana. 2. Penekanan pada fungsi komponen-komponen lembaga yang berperan dalam menjalankan proses tersebut ada empat komponen yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Keempat komponen tersebut berturut-turut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat akan penekanan pertama dari defenisi ini, yaitu sistem dari suatu proses tahap-tahap, di sini tampak penyebutan komponen-komponen yang menunjukkan adanya suatu urutan. Hal ini semakin jelas apabila dilihat fungsi dari masing-masing komponen tersebut. Kepolisian berfungsi untuk melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas untuk melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang diwakili oleh para hakim berfungsi dan bertugas menjatuhkan putusan hukuman dan lembaga pemasyarakatan bertugas untuk menjalankan putusan penghukuman. Urutan-urutan tersebut menunjukkan adanya rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan yang sama agar dapat menghasilkan keluaran output yang diharapkan. 3. Penekanan pada cara bagaimana komponen-komponen dari masing-masing lembaga tersebut menjalankan fungsinya. Meskipun masing-masing komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankan proses ini merupakan institusi-institusi yang berdiri sendiri, dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dalam memainkan peranannya masing-masing, kesemua komponen tersebut harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan disini merupakan kerjasama diantara komponen-komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankankan fungsinya masing-masing, sampai terlaksananya seluruh tahap dari proses tersebut. 40 Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968, hal. 3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. I. Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 5 41 Ibid Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Kerjasama tadi diharapkan menjadi sesuatu kekuatan yang sinergis untuk mencapai tujuan. 4. Pengertian mengenai sistem peradilan pidana dikaitkan dengan tujuan dari proses, komponen dan cara kerja sistem tersebut. Tujuan disini merupakan tujuan keseluruhan baik tujuan dari proses, tujuan dari pelaksana fungsi-fungsi komponen maupun tujuan dari cara kerja komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu tujuan tersebut harus dipahami dengan baik oleh setiap komponen. Peranan yang sangat besar dari semua komponen dalam menjalankan seluruh tahapan proses menyebabkan pemahaman mengenai tujuan ini begitu penting. Tanpa pemahaman yang seragam mengenai tujuan dari mulai proses hingga pelaksanaan dalam menanggulangi kejahatan dari lembaga ini akan sulit dapat dilakukan dengan baik.

4. Landasan Konsepsional