Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia)

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN

MONEY

LAUNDERING

: STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS

(DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)

TESIS

Oleh

ROBERTS KENNEDY 077005056/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN

MONEY

LAUNDERING

: STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS

(DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROBERTS KENNEDY 077005056/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING : STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA) Nama Mahasiswa : Roberts Kennedy

Nomor Pokok : 077005056 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes

dalam pranata hukum sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) tentunya memberikan dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. Dalam praktek penegakan hukum pada Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) terdapat fakta hukum bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung tidak menganut konsepsi pemahaman bahwa dalam melakukan penjeratan terhadap pelaku dengan menggunakan pendekatan asas diduga atau patut diduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan money laundering . Berdasarkan hal dimaksud maka permasalahan yang dibahas meliputi pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia, pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia) dan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering .

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif analisis artinya penelitian hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Sumber data dalam penelitian ini adalah data skunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder dan tertier. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana kehutanan sebagai predicate crime on money laundering pada tindak pidana pencucian uang.

UUTPPU sebenarnya telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim yang menyidangkan kasus menyangkut penjeratan pelaku kejahatan kehutanan sebagai kejahatan asal melalui tindak pidana pencucian uang (money Laundering) sebagai upaya penanggulangan melalui pendekatan represif (penal). Melalui pendekatan penal ini diharapkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga terhadap harta kekayaan yang didapat dari kejahatan asal (core crime) khususnya praktek illegal logging sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi (white collar crime ) untuk dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, karena di dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian atau pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan Landasan dari prioritas tindak pidana pencucian uang yakni mengejaran dan pengembalian harta kekayaan hasil kejahatan dengan berbagai alasan sebagai


(6)

berikut: Pertama, jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat beresiko. Kedua, jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan uang atau harta benda dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga bahwa uang atau harta dari hasil kejahatan adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri (live blood of the crime). Melalui penerapan UU rezim anti money laundering memberi peluang penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Untuk itu sangat diharapkan dalam meminta pertanggungjawaban pelaku illegal logging melalui penegakan hukum dalam upaya penanggulangan money laundering

maka kerangka hukum yang diterapkan adalah UUTPU yakni tersangka bermaksud menyembunyikan, mengaburkan harta kekayaan hasil kejahatan. Apabila kerangka ini yang digunakan dalam penanggulangan tidak pidana pencucian uang tentunya aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan penyitaan terhadap aset pelaku berdasarkan 3 (tiga) modus opzet pelaku yakni placement, layering dan integration. Kata Kunci: Tindak Pidana Kehutanan, Penanggulangan Money Laundering


(7)

ABSTRACT

The inclusion of criminal act in the field of forestry as predicate crimes in legal institution as meant in Law No.25/2003 on Money Laundering gives a legal base for the law upholders to inquiry and investigate various transactions that arouse suspicion done by the finance institutions such as bank, stock market and insurance to look for the fund flow that eventually will lead to the intelectual actor who finances the illegal logging activity. In the practice of law enforcement in the case of Adelin Lis (Director of PT. KNDI), there was a legal fact that the decision made by Medan Court of First Instance and the Supreme Court did not follow the conception of understanding that in entrapping the doer through the approach based on the principle that the doer is assumed or can be assumed to have concealed the property obtained through the criminal activity of money laundring. Based on the condition above, the purpose of this analytical, descritive, normative legal study is to discuss the legal regulation used in enforcing the laws related to the crimial acts of forestry and money laundring in Indonesia, the responsibility of the doer of criminal act of forestry in the case of Adelin Lis (Director of PT. Keang Nam Development Indonesia), and the enforcement of criminal law on the doer of criminal act of forestry in an attempt to prevent the incident of money laundering.

Since this study only describes the existing situation and condition related to the problems brought out, the data for this study were focused on the secondary data in the forms of primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research. The qualitative data were analyzed through picking up the articles containing legal norms regulating the crimial acts of forestry as predicate crime on money laundering in the criminal act of money laundering.

Law No.25/2003 actually has given an adequately strong base for the law upholders especially the judges who bring the cases dealing with entrapping the doer of criminal act of forestry as predicate crime on money laundering to trial as an attempt of prevention through repressive (penal) approach. It is expected that through this penal approach, enforcing the law on criminal act of forestry can not only physically detect the doer but also the property obtained through the core crime especially the illegal logging that the criminal responsibility of the doer of money laundering who usally a person with high social status (white collar crime) can be asked because the main priority in the criminal act of money laundering is to return and to hunt the money or property obtained from the criminal act which is based on the following reasons: first, if hunting the doer will be more difficult and very risky; second, if hunting the money and property obtained from the criminal act is easier compared to hunting the doer; and third, that the money or property obtained from the criminal act is the live blood of the crime. Through the application of the law, the anti money laundering regime gives an opportunity to enforce the law to the intellectual actors especially those holding timber consessions (including IUPPHK


(8)

and HPH) who practice the illegal logging by emphasizing the investigation on the flow of the money obtained and to provide a legal base for the law upholders in entrapping the intellectual actors who finance the activity of illegal logging. Therefore, the investigation on the flow of the income obtained from illegal logging will be easily done because all of the income will finally go to the intellectual actors who finance the illegal logging. Hence, the responsibility of the doer of illegal logging through law enforcement is needed in the attempt to prevent the incident of money laundering so the legal framework applied in Law No.25/2003 on Money Laundering is that the suspect intends to hide or obscure the property obtained from the criminal act. If this framework is used in preventing the incident of criminal act of money laundering, the law upholders can surely confiscate the assets belong to the doer of money laundering based on 3 (three) modus opzet of the doer such as placement, layering, and integration.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum, Wr.Wb

Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Adapun topik penelitian menyangkut tentang” PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING: STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa., B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya.

7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Bapak Kapolda Sumatera Utara dan seluruh pejabat Kepolisian Daerah Sumatera Utara serta seluruh keluarga besar Polresta Binjai yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi di Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk orang tua dan mertua tercinta, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang, yang mampu menghadapi cobaan hidup


(11)

dan menjadi berkah yang membangkitkan semangat dari segala rintangan. Khusus untuk isteri dan anak-anak tercinta yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan penanggulangan money laundering.

Semoga Allah SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.

Hormat penulis.

Roberts Kennedy


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Roberts Kennedy

Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 10 Juni 1968 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Kapolres Binjai

Pendidikan : SD Negeri Palembang Tamat Tahun 1981 SMP Negeri 2 Palembang Tamat Tahun 1984 SMA Negeri Palembang Tamat Tahun 1987

Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Akpol Tahun 1990

Strata Satu (S1) Universitas Medan Area Fakultas Hukum Tamat Tahun

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 21

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Manfaat Penelitian ... 22

E. Keaslian Penelitian ... 23

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 24

1. Kerangka Teori ... 24

2. Landasan Konsepsional ... 38

G. Metode Penelitian ... 41

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 41

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 43

3. Alat Pengumpulan Data ... 45


(14)

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEHUTANAN DAN MONEY LAUNDERING

DI INDONESIA ... 46

A. Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan ... 46

B. Pengaturan Tindak Pidana Money Laundering di Indonesia ... 63

C. Karakteristik Pelaku Kejahatan Pembalakan Liar Yang Mengalihkan Harta Kekayaan Hasil Kejahatan Dengan Praktek Pencucian uang ... 74

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI DALAM KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA) ... 82

A. Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Dalam Rangka Meminta Pertanggungjawaban Pelaku ... 82

B. Kelemahan Dalam Penerapan Rezim Money Laudering Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Karena Harus Didasarkan Pada Pembuktian Predicate Crime Terlebih Dahulu ... 94

BAB IV PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI MONEY LAUNDERING ...106

A. Pendekatan Melalui Pengejaran Harta Kekayaan Yang Diperoleh Dari Praktek Tindak Pidana Kehutanan ... 106

B. Peran Lembaga Keuangan Dalam Mencegah Kerusakan Hutan Sebagai Upaya Penanggulangan Secara Preventif ... 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124


(15)

BAB I PENDAHULUAN C. Latar Belakang

Masalah tindak pidana lingkungan hidup khususnya perusakan di bidang kehutanan yang dilakukan oleh korporasi merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi terutama menyangkut pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH dalam memanfaatkan pengelolaan hutan dan berakibat pada kerugian negara melalui pelanggaran-pelanggaran kewajiban perusahaan pemegang HPH/IUPHHK, misalnya kerusakan hutan dapat terjadi disebabkan penyalahgunaan tata batas pengelolaan kawasan oleh perusahaan pemegang izin, perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan reboisasi atas pemanfaatan hutan.

Peningkatan kejahatan di bidang kehutanan berakibat pada kerusakan dan hilangnya ekosistem hutan serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.1 Untuk itu, diperlukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan memperhatikan fungsi dan

1

Lihat, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, dalam pelestarian hutan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pelestarian fungsi lingkungan hidup, yaitu rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung yang dimaksud adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lain, sedangkan yang dimaksud daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

2. Baku mutu lingkungan hidup, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

3. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang.


(16)

kelestarian hutan karena hutan yang merupakan amanah, hubungan manusia dengan hutan tidak bisa dilepaskan terutama untuk generasi mendatang. Pengelola, pemelihara, pemanfaatan harus dilakukan dengan memperhatikan kelestarian hutan itu sendiri. Dalam pengelolaan hutan pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada pengusaha/pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) melalui IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) untuk pengelolaan berdasarkan izin tentang pengelolaan hutan dengan tetap memelihara, mengelola dan memanfaatkan sektor kehutanan sebagai salah satu bidang usaha yang berpotensi sangat besar untuk menghasilkan devisa negara dengan tetap memperhatikan pelestarian hutan.2

Pengusaha hutan/pemegang HPH merupakan korporasi yang berbadan hukum baik dikelola swasta maupun pemerintah.3 Izin untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan hutan inilah secara yuridis merupakan landasan yang melahirkan tanggungjawab pengusaha hutan/pemegang HPH disertai dengan kewajiban untuk meningkatkan devisa negara melalui kewajiban-kewajiban atas biaya pemanfaatan

2

Nurdajana IGM, et.al, Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 105-106 bahwa Praktik-praktik illegal logging merupakan permasalahan yang berdampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan ekologi (lingkungan). Data terbaru dari Departemen Kehutanan bahwa laju kerusakan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp. 83 miliar per tahun akibat illegal logging. Kerugian yang dialami negara tersebut merupakan angka kerugian minimum, oleh karena kerugian yang disebutkan di atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habiat satwa, bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian secara ekologis berupa hilangnya jenis/spesies keanekaragaman hayati tidak dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics kerugian ekologis akibat illegal logging, khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun. Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut dilakukan untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun karena kerusakan hutan yang semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dan pemerintah pusat hanya berupa stimulasi.

3

Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


(17)

sumber daya hutan berupa dana reboisasi hutan maupun pengelolaan sumber daya alam. Berbagai kasus yang terjadi bahwa pengrusakan hutan tidak saja merambah areal HPH, areal hutan yang tidak dibebani HPH, areal HPH yang telah habis masa berlakunya, perambahan areal HPH yang tidak sesuai dengan Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan penebangan dilakukan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT),4ataupun areal HPH yang pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, namun juga merambah kawasan hutan konversi serta hutan lindung.5

Penyalahgunaan kewajiban-kewajiban perusahaan pemegang HPH di dalam memanfaatkan sumber daya hutan apabila tidak ditanggulangi dapat menimbulkan kerusakan hutan lebih parah dan kerugian negara di sektor kehutanan. Hal ini didasarkan pada perilaku perusahaan pemegang HPH yang melanggar kewajiban pemanfaatan hutan akan mendapatkan harta kekayaan dari pelanggaran kewajiban tersebut yang selanjutnya memanfaatkan lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya sebagai tempat pencucian uang sehingga harta kekayaan hasil penyimpangan kewajiban pemanfaatan hutan disembunyikan dan disamarkan sehingga sebagai harta kekayaan yang legal.

Harta kekayaan yang disembunyikan dan disamarkan melalui lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya selanjutnya digunakan oleh pelaku untuk mendanai kegiatan pengrusakan hutan lainya dan mendanai bidang usaha yang

4

Lihat, Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

5

Lihat, Pasal 78 Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Menyangkut penerapan sanksi bagi sedangkan perambahan areal hutan yang tidak dibebani HPH dan areal HPH yang telah habis masa berlakunya merupakan perbuatan pembalakan liar (illegal logging).


(18)

bersifat legal misalnya perusahaan industri, perhotelan dan lain-lain. Bank dan penyedia jasa keuangan lainnya adalah kekuatan utama dalam memfasilitasi penggunaan sumberdaya hutan. Lembaga- lembaga ini adalah pemain penting dalam sektor kehutanan maupun dalam perekonomian secara lebih luas. Bank dan lembaga jasa keuangan membantu mendanai perdagangan dan investasi pada sektor yang bergantung kepada sumberdaya hutan. Bank juga memainkan peranan penting dalam perdagangan produk yang diproduksi oleh industri berbasis hutan. Peranan bank antara lain menyediakan kredit untuk perdagangan, letter of credit untuk menjamin pembayaran perdagangan, fasilitas diskon untuk piutang dagang dan instrumen keuangan jangka pendek lainnya. Tanpa pendanaan bank, industri berbasis hutan tidak dapat memasuki pasar saham dan pasar obligasi yang memungkinkan mereka mendapat akses untuk memperoleh pembiayaan jangka panjang.

Kebijakan bank yang berhati-hati dalam membiayai proyek dan industri berbasis hutan seharusnya akan menghasilkan bank yang kuat dan baik, industri berbasis kehutanan yang efisien dan hutan yang berkelanjutan. Sebuah bank yang prudent tidak akan mendanai proyek berbasis hutan yang terlibat dalam kejahatan seperti pembalakan liar. Harta kekayaan yang cukup besar yang didapat dari kejahatan-kejahatan kehutanan, biasanya para pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan oleh pelaku karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.6 Untuk itu biasanya para pelaku selalu

6

Lihat, Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, (Bandung: BooksTerrance&Library, 2005), hal. 1.


(19)

berupaya untuk menyembuyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukannya kedalam sistem keuangan (banking system) cara-cara yang ditempuh berupa menyembuyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilakan dengan pencucian uang atau yang popular dengan sebutan money laundering.

Transaksi money laundering yang memanfaatkan bank dan jasa keuangan lainnya untuk mendanai eksploitasi sumber daya hutan dilakukan dengan fase-fase:

Pertama, fase “placement” atau “penempatan”, yakni memasukkan sejumlah uang

tunai dalam jumlah besar dibagi dalam sejumlah pecahan yang lebih kecil dan ditempatkan dalam beberapa rekening; Kedua, fase “layering” atau “pelapisan”, yakni penghilangan jejak transaksi dan nama pemilik uang hasil kejahatan dengan cara memindahkan dana dari satu institusi atau orang ke institusi atau orang lain;

Ketiga, fase “integration” atau “integrasi”, yakni memasukkan kembali dana tersebut

ke dalam bisnis yang legitime dimana uang hasil yang telah dicuci muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal. 7

Proyek dan industri berbasis kehutanan merupakan industri yang tinggi resikonya dalam penggunaan dan pendanaan terhadap harta kekayaan, salah satu resiko yang dihadapi adalah resiko keuangan berupa resiko kredit, resiko hukum dan resiko reputasi. Resiko-resiko ini dapat mengakibatkan bank mengalami kerugian

7

Sunu W. Purwoko, Money Laundering, Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001


(20)

keuangan yang disebabkan kekurang hati-hatian terhadap pendanaan kehutanan tanpa pengedepankan prinsip mengenal nasabah (know your customer). Industri berbasis hutan yang terlibat dalam pelanggaran peraturan kehutanan dan lingkungan lebih mungkin untuk melanggar atau menghindari hukum perbankan daripada mereka yang mentaati peraturan. Industri-industri berbasis kehutanan yang memanfaatkan bank untuk mendanai kegiatan eksploitasi hutan bukanlah nasabah bank yang dapat diandalkan, hal ini disebabkan pada saat tiba waktunya untuk membayar kewajiban keuangan kepada bank tidak dapat terpenuhi.

Bank yang terlibat dalam pembiayaan proyek-proyek industri berbasis hutan yang beresiko tinggi berhadapan dengan resiko hukum akibat peraturan perbankan dan anti pencucian uang (money laundering). Peraturan perbankan mengharuskan bank untuk mengenal nasabahnya,8 mengelola resiko dan menghindari diri untuk

8

Bambang Setiono dan Yunus Husein, Pendekatan Anti Pencucian Uang, http://www.yahoo.com, diakses tanggal 13 Juni 2008 bahwa berdasarkan rezim ini, bank dan penyedia jasa keuangan lainnya diwajibkan untuk mengenal nasabah mereka (termasuk nasabah dibidang kehutanan) dan tidak memberikan fasilitas apapun kepada mereka yang tidak dapat menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya dan sumber yang sah dari pendapatan usaha mereka. Membasmi kejahatan yang berkaitan dengan kehutanan telah menjadi isu yang berkembang di tingkat internasional sejak sekitar tahun 2000 Beberapa Negara penghasil kayu di Asia, Afrika and Amerika Latin terlibat dalam program multilateral atau bilateral dengan Negara-negara pengkonsumsi kayu untuk melawan kejahatan kehutanan. Pada 13 September 2001, pemerintah Kamboja, Cina, Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Laos (Lao PDR), Papua Nugini, Filipina dan Thailand menandatangani Deklarasi Tingkat Menteri di Bali untuk Penegakan dan Pengaturan hukum Kehutanan (FLEG). Deklarasi ini menyerukan agar segera diambil tindakan untuk memperkuat usaha-usaha nasional serta mempererat kerjasama bilateral, regional dan multilateral dalam rangka mengatasi pelanggaran hukum kehutanan dan kejahatan kehutanan (terutama pembalakan liar), perdagangan ilegal terkait dan korupsi, serta dampak negatif pelanggaran-pelanggaran tersebut bagi penegakan hukum. Inisiatif Bali ini kemudian diikuti oleh inisiatif-inisiatif internasional lainnya sebagai berikut:

a. Inisiatif Presiden AS mengenai Pembalakan Liar (Februari 2002) b. Letter of Intent Norwegia-Indonesia (Agustus 2002)

c. Nota Kesepahaman (MOU) Cina–Indonesia (Desember 2002)

d. Rencana Aksi Uni Eropa (EU) untuk Pengaturan Penegakan hukum Kehutanan dan Perdagangan (Mei 2003)


(21)

membiayai proyek-proyek keuangan yang berbahaya bagi lingkungan yang berkelanjutan (sustainable dovelopment). Ketidakmampuan untuk mentaati peraturan ini dapat menyebabkan ijin bank dicabut dan memperoleh sanksi administratif lainnya, bahkan mungkin menghadapi tuntutan hukum pidana.

Hukum anti pencucian uang (money laundering) Indonesia adalah sebuah

landmark yang memberikan dasar untuk meminta pertanggung jawaban bank dan penyedia jasa keuangan lainnya terhadap transaksi yang melibatkan kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup. Pada bulan Oktober 2003, Pemerintah Indonesia telah membuat perangkat hukum pencucian uang yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Di antara perubahan yang terdapat pada undang-undang baru ini adalah pengkategorian kejahatan kehutanan dan lingkungan sebagai bentuk kejahatan asal (predicate offense) yang baru. Konsekuensinya, bank yang terlibat dalam pendanaan proyek berbasis hutan yang terlibat dalam kegiatan ilegal tidak saja dapat kehilangan reputasinya sebagai bank yang bertanggung jawab tetapi juga dapat kehilangan bisnisnya. Hal ini seharusnya membuat bank mengurangi pendanaan untuk proyek

e. MOU Jepang–Indonesia (Juni 2003)

f. Deklarasi Menteri Afrika mengenai Penegakan dan Pengaturan hukum Kehutanan- Africa FLEG (Oktober 2003)

g. Letter of Intent Cina-Inggris (Mei 2004)

h. Lokakarya Tipologi Kelompok Asia Pasifi k (APG) untuk pencucian uang 2004 di Brunei: Indonesia akan mengembangkan tipologi pembalakan liar.

Setiap Negara yang terlibat dalam program-program internasional di atas dapat menggunakan rezim anti pencucian uang anggota lainnya untuk membantu membasmi kejahatan kehutanan. Penggunaan rezim anti pencucian uang untuk membasmi kejahatan kehutanan dan mendorong terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan harus didukung oleh Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (FATF).


(22)

berbasis hutan yang beresiko tinggi merupakan hal yang penting bagi kebijakan anti pencucian uang. Meskipun demikian, hal yang mendasar dari rezim pencucian uang adalah menghukum para penyokong dana (cukong) dibalik pembalakan liar atau aktor intelektual di belakangnya. Aktor-aktor intelektual tersebut dapat memperlemah seluruh program pemerintah untuk menciptakan bank-bank yang sehat dan industri yang berkelanjutan dengan membayar pinjaman menggunakan keuntungan dari pembalakan liar. Pemulihan ekonomi Indonesia seharusnya tidak saja dilakukan dengan merevitalisasi bank-bank yang sakit dan bangkrut, tetapi juga menuntut bank-bank tersebut bertanggung jawab dalam mendorong terwujudnya industri berbasis hutan yang berkelanjutan. Bank-bank yang sehat serta industri yang efisien tidak dapat dicapai tanpa hutan yang berkelanjutan.

Hutan dan industri berbasis sumberdaya alam tetap merupakan komponen utama dalam perekonomian Indonesia. Pengaturan yang buruk dalam pengelolaan sumberdaya alam ini dapat memberikan kesempatan kepada aktor-aktor intelektual untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dengan cara yang tidak berkelanjutan dan

ilegal. Aksi-aksi kriminal berupa eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan kelestarian hutan secara berkelanjutan pada akhirnya akan menyebabkan bank dan industri berbasis hutan terlibat dalam pencucian uang dengan melaporkan dan mendanai transaksi ilegal kegiatan berbasis hutan sebagai transaksi yang sah.

Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan lanjutan dari kejahatan kehutanan dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white


(23)

collar crime).9 Dalam tatanan perekonomian yang berkelanjutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kehutanan kehutanan dapat mempengaruhi sektor perekonomian nasional.10 Pengaruh yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang salah satunya dapat membahayakan efektifitas system

operasi dan kebijakan ekonomi, bahaya ini dapat ditemukan pada naik turunya / fluktuasi yang cukup tajam pada nilai tukar rupiah dan juga terlihat pada suku bunga yang pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak percayanya publik pada sector financial di Indonesia, hal ini dikarenakan uang yang dihasilkan dari kejahatan pencucian uang dapat saja berpindah dari negara yang perekonomiannya lebih baik kenengara lain yang mengalami keterpurukan ekonomi.11 Bangsa Indonesia sudah berusaha melakukan pemberantasan tindak pidana.pencucian uang dengan melalui perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan.12 Pembidanaan perangkat perundang-undangan tersebut memberikan syarat mutlak bahwa tindak pidana pencucian uang sebagai kriminalitas.

9

Lihat Sutherland dalam Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia,

op.cit, hal 26 bahwa secara konseptual white collor crime adalah suatu “crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation”

10

Lihat, Bismar Nasution, Ibid, hal 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Begitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara negara didunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan terinspirasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Dalam hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering ) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi system perekonomian dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Didalam praktek money laundering di ketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang property pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.

11

Ibid, hal 2 12

Lihat Yenti Garnasih, Kriminalisasi terhadap Pencucian Uang di Indonesia, Makalah pada Seminar Pemahaman Pencucian Uang yang diselenggarakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan 10 Januari 2005, hal, 1


(24)

Organisasi kejahatan dapat masuk pada sektor perekonomian suatu negara melalui kegiatan Investasi dan perdagangan dan yang lebih membahayakan lagi dimana para pelaku organisasi kejahatan pecucian uang sebagai bagian dari white collar crime dapat memperlemah standart etika aparatur penegak hukum dan lembaga demokrasi.13 Ada beberapa alasan mengapa pencucian uang / money laundering

harus di berantas dan sekaligus dinyatakan sebagai tindak pidana sebagai berikut:

1. Karena pengaruh tindak pidana pencucian uang terhadap sistim keuangan dan ekonomi dapat dipastikan mempunyai dampak negatif bagi perekonomian dunia secara global misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana, banyak digunakan terhadap kegiatan yang tidak sah dan hal tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Di samping itu, dana-dana banyak tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya yang melakukan “ Sterile Investment” dalam bentuk usaha property atau perhiasan yang sangat mahal. Hal ini dapat terjadi karena uang yang dihasilkan dari tindak pidana terutama diinvestasikan kedalam negara-negara yang dirasakan relatif aman untuk melakukan tindak pidana pencucian uang walaupun hasilnya tidak menjanjikan atau rendah. Uang hasil dari tindak pidana tersebut dapat juga beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik. Karena pengaruh negatif pada pasar Finansial dan dampaknya tersebut pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistim keuangan Internasional.

Pencucian uang dapat mengakibatkan ketidak stabilan pada perekonomian internasional dan tindak pidana yang terorganisir yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat ketidak stabilan pada perekonomian nasional. Fluktuatif

yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga juga merupakan akibat negatif dari tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian berbagai dampak negatif itu diyakini bahwa pencucian uang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.

13

Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kera Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal 179, bahwa keberhasilan terhadap penanggulangan suatu white collor crime, disamping sangat tergantung pada ketersediaan instrumen-instrumen hukum berupa ketersediaan aturan main yang jelas, perlu juga suatu komitmen yang jelas dan tegas terhadap law enforcement dan tentu saja ternasuk ketersediaan personil penegak hukum yang handal dan tidak korup. Jika hal yang tersebut terakhir tidak tersedia dengan cukup dalam anti tidak cukup tersedia tenaga para penegak hukum atau bahkan para penegak hukumnya melakukan tindakan korup, hal tersebut justru menambah jumlah jumlah kasus white collar crime, mengingat korupsinya para penegak hukum itu sendiri sudah merupakan induk bentuk white collar crime.


(25)

2. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil dari tindak pidana yang kadang-kadang sulit untuk dilakukan upaya paksa penyitaan, misalnya alat yang susah untuk dilacak atau bahkan sudah dilakukan pemindahtanganan kepihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dilakukan pencegahan sehingga dalam perkembangannya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sudah beralih orientasinya dari hanya sekedar menindak pelakunya kearah melakukan penyitaan hasil dari tindak pidana. Di banyak negara dengan menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana adalah merupakan dasar bagi penegak hukum untuk dapat mempenjarakan pihak ketiga yang dianggap dapat menghambat upaya penegakan hukum.

3. Dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistim pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus tindak pidana sampai kepada tokoh-tokoh intelektual yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini biasanya sulit untuk dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut.14 Pelengkap dari undang-undang anti pencucian uang di Indonesia sebagai salah satu dari upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sangat dipengaruhi oleh tuntutan dari masyarakat Internasional, serta adanya kepentingan Internasional itu sendiri yang memaksa Indonesia untuk melakukan kriminalisasi dengan bertitik tolak dari bahaya yang ditimbulkan tersebut bagi dunia Internasional, hal ini sangat terlihat dengan jelas bahwa masuknya negara Indonesia sebagai salah satu dari negara black list dan pencucian uang itu sendiri merupakan salah satu dari Katagori Serious Crime. Bahwa pada tahun 1997 indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap united Convention norcotic and Psichotropic subsancess 1988, yang mengatakan bahwa negara-negara yang telah melakukan ratifikasi mau tidak mau suka tidak suka harus segera melakukan upaya pemberantasan pencucian uang maka sebagai konsekwensinya negara Indonesia seharusnya pada waktu itu melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang..

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003

14

Guy Sterren dalam Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4


(26)

diamandemen dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF).15 Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.16 Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi” karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya.17 Bila dipahami bahwa

15

FATF adalah suatu badan internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari Negara donor dan fungsinya sebagai Satuan Tugas dalam Pemberantasan Pencucian Uang. FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya, juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD (Organization for Economic Cooperation Development), menjalin hubungan yang sangat baik terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana.

16

Setelah revisi pada 2003 Indonesia kembali masuk daftar hitam, kali ini karena belum ada bukti bahwa ketentuan tersebut efektif pada tahap implementasi. Selanjutnya pada sidang FATF 23 Juni dan Oktober 2004 Indonesia masih tetap bertahan dalam black list tersebut, alasannya FATF belum mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam karena masih menunggu paling tidak ada satu kasus yang diungkap, pada waktu itu kasus bobolnya dana BNI sebesar 1, 7 triliun yang ditengarai terdapat praktik pencucian uang. Atas dasar pengungkapan tersebut akan dinilai keseriusan Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sekaligus akan menunjukan apakah ketentuan anti pencucian uang efektif dalam pemberantasan pencucian uang. Namun ternyata pada sidang berikutnya Februari 2005 Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam (NCCT), walaupun belum satu kasus pun diungkap dengan penuntutan pencucian uang. Ada dugaan keluarnya Indonesia karena sebelumnya dilakukan lobi internasional tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah Indonesia

17

Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005), hal. 6, bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal (core crime) dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalam


(27)

semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain. Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang.

Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Lemahnya penegakan hukum melalui penepan anti pencucian uang terhadap pelaku pengrusakan hutan dapat dideskripsikan pada Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Terhadap terdakwa adelin lis selaku Direksi PT. KNDI (KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA) yang diduga melakukan tindak

menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam (black list) negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut


(28)

pidana korupsi, tindak pidana pengrusakan hutan dan pencucian uang sebagai berikut:18

”Adelin Lis dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider enam bulan penjara. Adelin Lis didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Adelin Lis dibebaskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan dari dakwaan tindak pidana korupsi dan illegal logging di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Majelis hakim PN Medan yang diketuai Arwan Byrin memvonis bebas Adelin Lis karena dinilai tidak terbukti melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Padahal, jaksa menuntut pemilik dan Manager Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia itu hukuman 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dengan subsider 6 bulan penjara. Dalam putusan disebutkan terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara, karena tidak menggunakan uang negara dalam penebangan kayu di Kabupaten Mandailing Natal. Selanjutnya dalam pertimbangan majelis hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi dan saksi ahli yang diajukan termasuk hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan hasil penelitian dari Lembaga Peneliti Independen (LPI) yang ditunjuk oleh Departeman Kehutanan. Adelin didakwa melanggar UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut jaksa, perbuatan Adelin Lis selaku Direktur Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia dengan sengaja tidak membayar Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi sejak tahun 2000-2005. Akibat perbuatannya itu negara dirugikan Rp119.8 miliar dan U$2,9 juta. Adelin Lis dituduh melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal sehingga merugikan negara Rp 227 triliun. Tidak tanggung-tanggung, jaksa membidiknya dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 50 ayat 2 jo

Pasal 78 UU Kehutanan. Namun, hakim Pengadilan Negeri Medan berkesimpulan, dakwaan jaksa tidak terbukti. Hakim hanya menganggap terdakwa tidak menaati aturan Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI). Perbuatan itu disebut bukan perbuatan pidana (delik), hanya melanggar izin atau hukum administrasi. Karena itu, majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan pidana, baik korupsi maupun illegal logging. Dalam perkara Adelin, jaksa membidik perbuatan illegal logging-nya dengan dua macam tuntutan primer, yaitu korupsi dan illegal logging. Dalam tuntutan korupsi, jaksa menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, yang unsurnya terdiri atas (1) setiap

18

http://www.google.com, Vonis Adelin Lis di Pengadilan Negeri Medan, diakses tanggal 20 Maret 2009


(29)

orang, (2) secara melawan hukum, (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan (4) perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur nomor 1 (setiap orang), nomor 3 (perbuatan memperkaya diri sendiri), dan nomor 4 (merugikan keuangan negara) tidak perlu kita perbincangkan karena sudah cukup jelas dan tidak diperdebatkan oleh majelis hakim. Unsur nomor 2 (melawan hukum) adalah unsur yang dipersoalkan oleh hakim, yang menganggap perbuatan Adelin Lis memang melanggar Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, tapi hakim mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi bukan perbuatan pidana. Karena bukan perbuatan pidana, majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur melawan hukum Pasal 2 UU Tipikor tidak terpenuhi. Sehingga Adelin Lis bebas dari tuntutan”.

Putusan Pengadilan Negeri Medan dimaksud dimulai dari serangkaian temuan yang selanjutnya dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Direktorat Kriminal Polda Sumatera Utara berdasarkan hasil OPS Hutan Lestari Toba 2006,19 hal ini digambarkan sebagai berikut:

”Penyidikan berdasarkan temuan penyidik Polda Sumut yakni hasil OPS Hutan Lestari Toba 2006 yang mengacu kepada pemeriksaan Tim II atas`Dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) / Daftar hasil Hutan (DHH) ditemukan terjadinya pemufakatan jahat melalui negosiasi antara tersangka Soesilo Setiawan dengan aparat Petugas Pembuat Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH) Kab. Madina An. Nirwan Rangkuti, SH., hasilnya:

a. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) kosong diterbitkan & ditandatangani oleh Nirwan Rangkuti,SH., di rumahnya di Penyabungan tanpa

19

Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Nuruddin Usman, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 20 Juni 2008 bahwa Kepolisian daerah sumatera utara saat ini sedang melacak keberadaan uang milik Adelin Lis, yang diduga disimpan di sejumlah bank, baik di dalam maupun luar negeri. Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM kemarin juga telah mengeluarkan status cegah dan tangkal (cekal) untuk Adelin agar ia tak bisa kabur dari Indonesia. polisi menyidik dua kasus yang diduga melibatkan Adelin sebagai tersangka, yakni pencucian uang dan perambahan hutan oleh PT Rimba Mujur Mahkota (RMM). Adelin adalah direktur utama RMM. Menurut dia, kasus pencucian uang dilimpahkan penanganannya ke Mabes Polri. Berkas kasus pencucian uang pernah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumut, tetapi dinilai belum lengkap. Polda Sumut berkonsentrasi menyidik kasus perambahan hutan. Selasa lalu polisi sempat menggeledah rumah Adelin di Jalan Hang Jebat, Medan. Namun Nurudin membantah polisi melakukan penggeledahan. Polisi hanya mencari Adelin. Eksaminasi dakwaan Polisi, lanjut Nurudin, mengajukan pencekalan terhadap Adelin dua minggu lalu. "Kami sudah sampaikan permintaan pencekalan ini ke Kejati Sumut.


(30)

Cek Fisik Kayu Bulat, hanya konfirmasi dengan atasannya Sdr. Drs. Tohir (Kasubdin Bina Produksi) Kab. Madina.

b. Soesilo Setiawan telah memberikan uang sebesar Rp. 2.500.000,00 kepada Nirwan Rangkuti, SH melalui transfer rekening Bank No. Rek: 107-00-0405147

c. Soesilo Setiawan berangkat ke rumah Drs. Tohir untuk meminta tandatangan & stempel pada blangko kosong yang telah ditandatangani oleh Nirwan Rangkuti, SH ketika itu Soesilo Setiawan menyerahkan uang tunai Rp. 2.000.000,00 kepada Drs Tohir.

d. Soesilo Setiawan tiba di rumah Zainal Abidin (Pejabat Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPP HH) Wil-IV Padang Sidempuan).

Pada saat pengembangan kasus tindak pidana ini penyidik Polri menemukan bahwa Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising PT. KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA (PT. KNDI) tidak melaksanakan sebagaimana seharusnya ketentuan yang berlaku, namun Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina menuangkan pemeriksaan Blok Tebang dan Hasil

Checking Cruising kedalam Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan

Checking Cruising berdasarkan Laporan Hasil Cruising (LHC) Fiktif yang dibuat oleh IUPHHK PT. KNDI, contoh RLHC yang dibuat oleh PT. Keang Nam Development Indonesia tahun 2004 untuk URKT tahun 2006, pembuatan RLHC tersebut dan penulisan datanya di Kantor PT. Keang Nam Development Indonesia di Medan, dan pengisian LHC dibuatkan di Camp Pinang. Kemudian setelah diisi tanpa melalui data dari lapangan, LHC tersebut dikirimkan ke PT. Keang Nam Developmnent Indonesia di Medan. Kemudian Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Madina mengeluarkan Pertimbangan Tehnis berdasarkan LHC Fiktif serta Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising Fiktif, selanjutnya dikirimkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara bersama dengan Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC) Fiktif yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Madina dan yang disyahkan oleh Bupati Mandailing Natal. Setelah Pertimbangan Tehnis RLHC tersebut diterima oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, selanjutnya diproses untuk Pengesahan RKT IUPHHK PT. KNDI berdasarkan jumlah Kuota Tebangan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan Republlik Indonesia.

Lemahnya penerapan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pencucian uang (money laundering) terhadap pelaku pengrusakan hutan yang dilakukan oleh criminal justice system khususnya hakim dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Adelin Lis dengan


(31)

pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) serta membebankan membayar uang uang pengganti sebesar Rp. 119.802.393.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dengan dakwaan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut. Hal ini sebagaimana termaktub pada amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008 sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Adelin Lis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlajut.

2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

3. Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 119.802.293.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar) dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.”

Selanjutnya, penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya. Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi faktor penyebabnya. Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek


(32)

kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya. Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan kehutanan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang.

Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakhir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global. Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu. Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifat

sophisticated crimes.20 Kesulitan pemberantasan akan semakin meningkat manakala

20

Dalam usaha-usaha ke arah pencapaian penegakan hukum yang efektif, saat ini masih dirasakan adanya tingkat kesulitan yang cukup tinggi, yang disebabkan karena adanya beberapa faktor.


(33)

kejahatan pencucian uang berubah sifatnya sebagai cyber crimes (cyber laundering) dengan menggunakan offshore banking (crimes).

Masalah pembuktian berdasarkan sifat pencucian sebagai cyber laundering

bagi aparat penegak hukum tentunya mengalami kesulitan dalam penegakan hukumnya, khususnya bagi penyidik Polri dalam menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang yang selalu berpijak pada asas pembuktian yang ada di dalam Hukum Acara Pidana dibandingkan dengan beberapa negara yang telah mengakomodir

Sebagai contoh dalam sistem penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, yang bersumber dari adanya laporan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) atas adanya indikasi perbuatan pencucian uang, yang masih mengacu kepada beberapa perangkat azas-azas yang terdapat di dalam sistem hukum pidana materiil dan formil. Misalnya dalam rangka menjerat pelaku tidak pidana pencucian uang penyidik harus terlebih dahulu membuktikan adanya unsur kesalahan, namun penyidik juga harus berpegang pada prinsip-prinsip presumption of innocence, sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde. Dengan demikian penyidik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan upaya-upaya hukum yang dilakukannya, baru kemudian penyidik dapat menjerat pelaku berdasarkan laporan yang didapat dari PPATK yang menjadi dasar dugaan adanya perbuatan pencucian uang. Azas yang termuat dalam hukum pidana materiil menyebutkan bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” yaitu tidak ada pidana tanpa kesalahan). Di samping itu pada tingkat tataran operasional, dari mulai tingkat penyidikan, penuntutan, atau bahkan sampai pada proses peradilan juga dirasakan masih sangat sulit untuk membuktikan adanya tindak pidana pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena kecanggihan dan kerapian modus operandi pelaku, yang selalu mengaburkan asal-usul uang dengan menggunakan sarana penyedia jasa keuangan seperti bank, penjualan valuta asing, dan lain-lain, dan bahkan memanfaatkan teknologi yang selalu bekembang dalam melakukan pencucian uang yang melahirkan modus baru tindak pidana pencucian uang. Lihat, Erman Rajaguguk,

Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16 Nopember 2001), hal 24-25. bahwa Indonesia sendiri telah lama mencantumkan ketentuan mengenai money loundering ini dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana sebagai berikut : pertama pasal 610 rancangan KUHP mengatakan barang siapa menyimpan uang di bank dan ditempatkan, menstranfernya, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi diancam dengan tindak pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak kategori V, kedua pasal 611 rancangan KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah, menerima sebagai modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau patut diketahuinya diperolehnya dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategoti V. menurut Erman Rajaguguk ketentuan-ketentuan dalam rancangan untuk mengatasi kejahatan money laundering.


(34)

perkembangan sistem pembuktian di dalam proses penegakan hukum pencucian uang, misalnya Amerika Serikat (AS)21 sangat jauh berbeda, dimana Amerika Serikat telah berani menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumtantial evidence) sudah cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sedangkan di Indonesia pembuktian selalu di dasarkan pada unsur subjektif atau mens rea, serta unsur obejektif atau actus reus. Di dalam mens rea, yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga yang berkaitan erat dengan maksud (intends), dimana kedua unsur tersebut selalu berkaitan erat untuk dapat membuktikan bahwa seorang tersangka, tertuntut atau terdakwa mengetahui bahwa uang / dana tersebut berasal dari hasil kejahatan, dan juga mengetahui tentang atau maksud melakukan transaksi keuangan tersebut.22 Sehingga dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa sistem pembuktian sangat memegang peranan penting, yaitu akan sulit membuktikan terjadinya TPPU tanpa terjadinya kejahatan utamanya (predicate offence) dalam proses penegakan hukum, karena memang tindak pidana pencucian uang adalah merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime)

21

Lihat, Barry A. K. Rider dalam Erman Rajagukguk, Ibid, hal. 20, bahwa Amerika Serikat memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dalam menghadapi masalah money laundering daripada negara manapun juga. Oleh karena itu banyak negara meminta nasehat kepada AS. Beberapa negara bahkan mengambil alih begitu saja ketentuan-ketentuan money laundering AS, tanpa memperhatikan factor sosial, politik dan keadaan konstitusi Amerika. Hukum Amerika dan kebijaksanaan penegakannya tidak begitu saja dapat diterapkan pada masyarakat yang lain. Banyak negara mengeyampingkan hal tersebut.

22

Lihat, Yenti Garnasih, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang (Money Laundering),(Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003), hal. 1


(35)

D. Rumusan Masalah

Untuk menemukan indentifikasi masalah dalam tesis maka dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian tesis ini23 yang selanjutnya di lakukan pengkajian lebih lanjut guna menemukan pemecahan masalah yang teridentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

2. Bagaimana pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)?

4. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah tersebut di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia.

23

Lihat, Ronny Kountur, Metode penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal 35


(36)

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia). 3. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana

kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering.

D.Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu dari sisi teoritis dan praktis. Adapun kegunaan dari keduanya adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Manfaat penelitian ini sangat diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan Ilmu Hukum Ekonomi khususnya mengenai ikhwal penegakan hukum tindak pidana kehutana dalam upaya menanggulangi pencucian uang (money loundering) dan penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan hutan khususnya korporasi oleh sistem peradilan pidana terutama hakim di dalam memutus suatu perkara pidana kehutanan, selain itu penelitian ini juga diharapkan sedapat mungkin bisa turut memberikan masukan bagi penyempurnaan peraturan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan penegakan hukum kehutanan di Indonesia.


(37)

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam usahanya mengambil atau menerapkan beberapa upaya hukum dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang melalui penegakan hukum tindak pidana kehutanan, sehingga dengan demikian diharapkan aparat penegak hukum dapat melakukan usaha antisipasi terhadap implikasi dari tindakan pencucian uang (money laundering), selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat merupakan masukan bagi beberapa pihak yang turut secara langsung terkait dengan penanggulangan dari tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misal terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) baik perbankan maupun non perbankan.

E.Keaslian Penelitian

Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat di ketahui bahwa penelitian tentang “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)”, belum pernah di lakukan dalam pendekatan terhadap permasalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan tindak pidana


(38)

kehutanan namun berbeda pendekatan permasalahan yang diangkat, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung beberapa aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun sehubungan dengan pendekatan terhadap permasalahan yang telah mendapat persetujuan dari para pembimbing pada tahap awal proses bimbingan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 3. Kerangka Teori

Pendekatan kebijakan terhadap kejahatan membawa implikasi yang sangat luas, pada satu sisi hal itu memerlukan reorientasi terhadap tujuan penanggulangan kejahatan yang menyebabkan perlunya perombakan di segala lini potensi yang mengemban fungsi pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Kondisi demikian sebenarnya terutama ditujukan terhadap peradilan pidana diharapkan mampu menanggulangi kejahatan menggunakan hukum pidana adalah merupakan upaya terakhir setelah upaya hukum lainnya tidak dapat menyelesaikannya. Sebaliknya apabila upaya hukum pidana ternyata gagal dalam mengendalikan kejahatan barangkali tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap masyarakat. Sebagai diakuinya pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, bahkan sebagai


(39)

konsekuensinya mutlak pendekatan tersebut terhadap hukum pidana adalah pengadopsian pendekatan sistematik dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan demikian pada sisi penegakan hukum pidana tetap dengan memberdayakan sistem peradilan pidana. Penerapan suatu sistem penegakan hukum pidana melalui hukum rasional didalam sistem peradilan pidana, khususnya penegakan hukum terhadap pengrusakan hukum akan dapat memberikan dampak pada proses terutama dalam kebijakan pemberlakuan hukum, seperti spesifikasi Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering).

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara internasional. Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.24 Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan

24

US v. S4,255,625.39,Fed.Supp.vol.551, South District of Florida (1982),314,cited by Secretary General of United Nations, dalam Guy Stessens, op.cit., hal.83


(40)

yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).25 Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.26 Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional

(transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan.27 Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to

25

Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, (1992), hal. 175.

26

Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985

27

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, (Palermo, 2000) khususnya pada Article 3.1.(a) disebutkan bahwa pencucian uang termasuk kejahatan yang lintas batas negara (selain pencucian uang kejahatan lain yang termasuk kriteria ini adalah participation in an organized criminal group, corruption and obstruction of justice) dengan ciri-cirinya yang disebut dalam Article 3.2


(41)

combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears).28

Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation

global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan.29 Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbol pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum. Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya

28

Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations,

J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454 29

Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, (Cambridge University Press: 2000), hal.135.


(42)

oleh para pelaku pencucian uang inilah yang memunculkan fenomena

cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak.

Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu bagaimana formulasi undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya profesionalitas para penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain.

UUTPPU di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap law making, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allatt yang juga mengatakan bahwa pembuatan hukum (law making) yang kilat atau tergesa-gesa (pragmatis) akan dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara) membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai.30 Tujuan umum dari sistem peradilan pidana adalah :

30

Allot, Antony, the efectiveness of law, Valparaiso Law Review, (vol. 15 Wiater, 1981) hal 233 dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 4


(43)

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan telah ditegakkan dengan adanya penghukuman terhadap yang bersalah.

3. Mengusahakan adanya efek jera dimana yang bersalah atau yang pernah melakukan kejahatan tidak berhasrat mengulangi kejahatannya lagi.31

Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana pencucian uang adalah:32

The Financial Intelligence Unit or FIU is an information gathering and processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves, review and evaluates information on very large number of transactions. Out of those only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police.

PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang

31

Lihat, Mardjono Reksadi Putro, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (lembaga kriminologi) Universitas Indonesia, 1997), hal 84-85

32

Speaker’s notes International workshop Indonesia Rancangan Money Laundering Law, Jakarta, 29-30 May 2000.hal.3.


(44)

mencurigakan.33 Namun demikian badan ini dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) dalam membantu kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya. Artinya bahwa hasil analisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu berarti.

Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian (the shifting of the burden of proof). UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara

33

Yunus Husein, PPATK Terima 901 Laporan Transaksi Mencurigakan Triwulan Pertama 2006, Harian Sinar Indonesia Baru, tanggal 22 April 2006, bahwa sejak berdirinya PPATK hingga Maret 2006 ada sekitar 4. 074 laporan transaksi keuangan mencurigakan “Suspicious Tran-saction Report (STR)”, sedangkan untuk laporan pembawaan uang tunai “Cross Border Report (CBR)” jumlahnya mencapai 669 laporan yang berasal dari laporan tiga bandara dan laporan transaksi keuangan tunai “Cast Transaction Report (CTR)” ada sekitar 1.664.293 laporan yang mencurigakan yang berasal dari laporan 156 Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Dari perkembangan historis jelas bahwa langkah kita mengantisipasi imbauan global anti-Pencucian Uang ini sangat lambat dengan berbagai kendala dan alasan. Pemerintah harus belajar dari Filipina dalam penyusunan Undang-Undang


(1)

intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Dengan dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes dalam pranata hukum yang relatif baru ini, aparat penegak hukum dengan bekerjasama dengan PPATK, sebuah lembaga yang diberi wewenang khusus untuk menangani pelaporan kasus money laundering, kini mempunyai dasar hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. Di samping itu sangat diharapkan adanya peran aktif lembaga keuangan untuk melaporkan dalam hal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Amirin, Tatang M, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali, Cet. I, 1986

Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Bandung: Binacipta,1996

Bryan, Garner, A, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group: St. Paul, Minn, 1999

Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003

IGM, Nurdajana, et.al, Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Khairandy, Ridwan (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001 Kountur, Ronny, Metode penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM,

2003

Manthovani, Reda dan Soewarsono, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jakarta: Malibu, 2004

Nasution, Bismar, Rezim Anti Money Laundering, Bandung: BooksTerrance & Library, 2005

ReksadiPutro, Mardjono, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (lembaga kriminologi) Universitas Indonesia, 1997

Sjahdeini, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Grafiti, 2004

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004


(3)

---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGarfindo Persada, 1995

Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004

Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003

B. Jurnal, Makalah, Internet

Chaikin, David A, “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991

Garnasih, Yenti, Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan Kelemahan Dalam Implentasinya(Suatu Tinjauan Awal), www.legalitas.org, diakses tanggal 14 Juni 2008

Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985

Haynes, Andrew, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993

Husein, Yunus, PPATK Terima 901 Laporan Transaksi Mencurigakan Triwulan Pertama 2006, Harian Sinar Indonesia Baru, tanggal 22 April 2006

---, Mencegah dan Memberantas Kejahatan Kehutanan Melalui Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, pidato Keynote Speaker yang disampaikan pada seminar Pemberantasan Kejahatan di bidang kehutanan melalui penerapan undang-undang tindak pidana pencucian uang, yang dilakukan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan PPATK dan Indonesia Working Group on Forestry Finance (IWGFF), tanggal 6 Mei 2004, di Medan


(4)

Independent Legal Auditors-Forensik Legal Auditors Sophia Hadyanto & Partners, Legal Opinion Kasus Adelin Lis

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dioalog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003

---, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004,

---, Kerusakan Hutan dan Money Laundering, Makalah Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum USU

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, Palermo, 2000 Purwoko, Sunu W, Money Laundering, Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan

PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001

Rajaguguk, Erman, Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16 Nopember 2001

Samuel, Margaret, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992

Setiono, Bambang dan Yunus Husein, Pendekatan Anti Pencucian Uang, http://www.yahoo.com, diakses tanggal 13 Juni 2008

Sitompul, Zulkarnain, Peran PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, disampaikan pada acara Pelatihan Anti Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan

Speaker’s notes International workshop Indonesia Rancangan Money Laundering Law, Jakarta, 29-30 May 2000


(5)

Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005

Sunaryadi, Amin, Tindak Pidana Pencucian Uang Implikasinya Bagi Profesi Akuntan, Media Akuntansi, Ed. 29/Th. IX Oktober-November 2002

Zeldin, Michael, Money Laundering : Every you wanted to know about Money Laundering but were Afraid to Asked, in Focus on Money Laundering & Asset Forfeiture, An Int’l Persp., vol 2, 1995

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Undang-undang 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara KUH Pidana

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional dan pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


(6)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer)

Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/23/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer) bagi Bank Perkreditan rakyat. BAP berkas perkara Adelin Lis oleh Satuan II Direktorat Reserse Kriminal Polda

Sumatera Utara

BAP PT. Keang Nam Development Indonesia di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008

Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: 2/1/Kep.PPATK/2003