BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA KEHUTANAN DAN MONEY LAUNDERING DI INDONESIA
A. Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan
Hakekat upaya pelestarian hutan akibat dari kerusakan hutan menjadi tanggungjawab setiap orang, namun kerusakan hutan yang disebabkan oleh praktek
illegal logging khususnya dilakukan oleh pengusaha hutanpemegang HPH yang
mengancam kelestarian hutan merupakan ketidakperdulian pelaku terhadap kelestarian hutan. Oleh karenanya atas perbuatan praktek illegal logging pelaku dapat
dituntut, dipidana dan dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini jelas terlihat dari kriminalisasi tindak pidana pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan yakni
ketentuan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1, ayat 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
48
Adapun mengenai ketentuan pidana terhadap perusahaan pemegang HPH yang lalai dan tidak konsisten terhadap kewajiban di bidang kehutanan, misalnya
kewajiban yang timbul dari penerbitan IUPHHK menerapkan sanksi berupa pidana kurungan dan denda. Disadari bahwa pengenaan sanksi memang bukan satu-satunya
jalan yang terbaik namun paling tidak akan dapat membuat sadar bagi perusahaan pemegang HPH yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan.
48
Pasal 78 ayat 14 UUK delik korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Hukuman kepada pelaku delik korporasi bersifat
diperberat, yakni ditambah 1 3 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
Ketentuan hukum pidana kehutanan diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan Pasal 77 dan Ketentuan Pidana
Pasal 78 dan 79. Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan
pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan individual crime
juga mengatur perbuatan perusahaan atau Badan Hukum corporate crime.
Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat 3 dari pasal tersebut
menetapkan larangan sebanyak 13 butir butir a hingga m. Sistem sanksi pidana UU Kehutanan lebih spesifik dari sanksi yang terdapat
dalam UUPLH. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan UUK adalah bersifat lex spesialis terhadap UUPLH yang mengatur objek-objek lingkungan secara
umum lex generalis, termasuk ekosistem kehutanan. Ketentuan tindak pidana
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 78, yaitu
sebagai berikut:
1 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1 atau Pasal 50 ayat 2, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
2 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
3 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama
15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
4 Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf d, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 satu milyar lima ratus juta rupiah.
5 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
6 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat 4 atau Pasal 50 ayat 3 huruf g, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
7 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
lima tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh milyar rupiah.
8 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga bulan
dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 sepuluh juta rupiah.
9 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
lima tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah.
10 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
tiga tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.
11 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
tiga tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.
12 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama
1 satu tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah.
13 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 9, ayat 10, dan ayat 11 adalah
kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dan ayat 12 adalah pelanggaran.
14 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
15 Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan
atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Pasal 78 ini merujuk kepada ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, yaitu sebagai berikut:
1 Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. 2 Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
3 Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk
atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi
sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 seratus tiga
puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang
berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 78 dan Pasal 50 UU Kehutanan di atas, maka kualifikasi tindak pidana kehutanan adalah sebagai berikut:
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
2. Tindakan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan vide Pasal 78 Ayat 1 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 1 UU
Kehutanan ;
3. Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan oleh setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu vide
Pasal 78 Ayat 1 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 2 UU Kehutanan
; 4. Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah vide Pasal 78 Ayat 2 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf a UU Kehutanan
; 5. Merambah kawasan hutan vide Pasal 78 Ayat 2 atas pelanggaran
Pasal 50 Ayat 3 huruf b UU Kehutanan; 6. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2
dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
7. Membakar hutan vide Pasal 78 Ayat 3 dan 4 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf d UU Kehutanan
; 8. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 5 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf e UU
Kehutanan ;
9. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah vide Pasal 78 Ayat 5 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3
huruf f UU Kehutanan ;
10. Melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada kawasan Hutan Lindung vide Pasal 78 Ayat 6 atas pelanggaran
Pasal 38 Ayat 4 UU Kehutanan ;
11. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri vide Pasal 78 Ayat 6 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf g UU Kehutanan
; 12. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan vide Pasal 78 Ayat 7 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf h
UU Kehutanan ;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
13. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang
vide Pasal 78 Ayat 8 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf i UU Kehutanan
; 14. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang vide Pasal 78
Ayat 9 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf j UU Kehutanan ;
15. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 10 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf k UU Kehutanan
; 16. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan vide Pasal 78 Ayat 11 atas
pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf l UU Kehutanan ;
17. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 12 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf m UU
Kehutanan ;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH telah mengklasifikasi tindak pidana lingkungan yaitu:
1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau
b. perusakan lingkungan hidup. 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran danatau
perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi danatau komponen lain yang
berbahaya atau beracun masuk di atauatau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air pemukaan;
b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran danatau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum. 4. Melakukan perbuatan berupa:
a. memberikan informasi palsu, atau b. menghilangkan informasi, atau
c. menyembunyikan informasi, atau d. merusak informasi.
yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas, yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran danatau
perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
Apabila di tinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41-44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan dan
tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil
dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal terjadinya pencemaran danatau
kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya atau
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan. Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam UUPLH dimaksudkan untuk
melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak
pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum delic genus dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya delic species.
Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 1 UUPLH dihubungkan dengan Pasal 41 ayat 2, Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH
melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan perbuatan yang dilarang adalah “mencemarkan atau merusak
lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum genus dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus
species , baik dalam ketentuan dalam UUPLH maupun dalam ketentuan undang-
undang lain ketentuan sektoral di luar UUPLH yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan
“merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif
kata benda dalam proses penimbulan akibat.
49
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UUPLH memberikan pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup” adalah:
“masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.
Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 UUPLH, yaitu:
1. masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan;
2. dilakukan oleh kegiatan manusia; 3. menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan” sampai pada tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Pengertian istilah “perusaklan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UUPLH, sebagai berikut:
49
Perhatikan Mudzakkir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy ed, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML . Jakarta: Universitas Indonesia, 2001, hal. 527.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
“tindakan menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UUPLH memberikan pengertian secara otentik
mengenai istilah “perusakan lingkungan hidup” adalah: 1. adanya tindakan;
2. menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya;
3. mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan abstrak, dapat memberi ruang gerak bagi penegak
hukum hakim untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di
bidang lingkungan hidup. Untuk mencapai masuk ini, diperlukannya pengetahuan hakim yang mendalam di bidang lingkungan hidup dan adanya semangat, kepedulian
hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Selanjutnya, diharapkan aparat penegak hukum termasuk hakim untuk
memanfaatkan ahli dalam menangani kasus yang ditanganinya. Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan
abstrak, juga akan menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum termasuk hakim tidak peka dalam merespon perkembangan yang
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain
“kepentingan pribadi”. UUPLH sebagai undang-undang payung umbrella act dari undang-undang
lain sektoral di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak tersebut diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang lainnya.
Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa:
1. Melakukan perbuatan yang megakibatkan : a. pencemaran, dan atau
b. perusakan lingkungan hidup
50
; 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan:
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat
51
. 3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa:
a. Melepaskan atau membuang zat, energi danatau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atau atau ke dalam tanah, ke dalam
udara, atau ke dalam airpermukaan;
50
Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 ayat 1 UUPLH
51
Pasal 41 ayat 2 dan Pasal 42 ayat 2 UUPLH
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
52
. 4. Melakukan perbuatan berupa:
a. Memberikan informasi palsu, atau b. Menghilangkan informasi, atau
c. Menyembunyikan informasi, atau d. Merusak informasi,
yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3di atas, yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain
53
. 5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang
mati atau luka berat.
54
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41 - 44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak
pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat
dilihat dari rumusan Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya
52
Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH
53
Pasal 43 ayat 2 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH
54
Pasal 43 ayat 3 dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
55
Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik danatau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
56
Dalam tindak pidana formal, rumusan ketentuan pidana yang jika melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka telah dapat dinyatakan sebagai
pelaku tindak pidana dan karenanya dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana
materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku
tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya. Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat terjadinya pencemaran dan
atau perusakan lingkungan yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat causality dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang
perlu diketahui dalam tindak pidana formal, yaitu:
55
Pasal 1 angka 12 UUPLH
56
Pasal 1 angka 14 UUPLH
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
1. Seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang- undangan, atau
2. Diketahui atau patut diduganya bahwa dengan pelanggaran tersebut dapat atau berpotensi menimbulkan akibat.
Ketentuan Pasal 43 ayat 3 UUPLH dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik
materiil. Pasal 43 ayat 3 dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar peraturan atau
melakukan sesuatu misalnya: menyembunyikan atau menghilangkan informasi, sehingga mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan
juga menyebabkan kematian orang lain atau luka berat. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran tersebut dengan
terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan juga menyebabkan kematian atau luka berat. Akan tetapi jika ternyata tidak terbukti
bahwa terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan juga menyebabkan kematian atau luka berat tersebut bukan berasal dari sebab perbuatan
yang dilakukannnya, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana
formal. Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan
materiil tersebut, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.
Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa:
57
1. tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata
dan administrasi.
2. baik korporasi sebagai subyek hukum perorangan legal persons dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan as illegal actors,
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional internal dan sub-kultur
organisasional.
Ketentuan Pasal 46 ayat 1 UUPLH mengatur bahwa jika tindak pidana dilakukan atas nama badan hukum atau perseroan, yayasan dan seterusnya, maka
tuntutan, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib dijatuhkan kepada badan hukum atau yayasan tersebut maupun kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak
pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Dalam pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang
lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi
57
http:www.kompas.com , Perusakan Hutan Yang Dilakukan Oleh Korporasi, diakses tanggal 5
Juni 2009
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering
: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi
pertahanan keamanan. b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya alam, fungsi
dan estetika lingkungan serta kualitas ruang.
B. Pengaturan Tindak Pidana Money Laundering di Indonesia