Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)
PENEGAKAN HUKUM DALAM PENANGANAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS
(SUATU TINJAUAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN HUKUM PIDANA)
TESIS
Oleh
YUSRIZAL 097005047/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENEGAKAN HUKUM DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
(SUATU TINJAUAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN HUKUM PIDANA)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh YUSRIZAL 097005047/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)
Nama Mahasiswa : Yusrizal
Nomor Pokok : 097005047 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum.) Ketua
(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum.) (Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum.) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH.) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum.)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 30 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.
2. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. 3. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. 4. Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum.
(5)
ABSTRAK
Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa perbuatan gelandangan dan pengemis dihukum dengan pidana kurungan, sebaliknya dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara serta negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Berdasarkan ketentuan diatas yang menjadi permasalahan yaitu: bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, bagaimanakah upaya dekriminalisasi terhadap perbuatan gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menguraikan fungsionalisasi hukum pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis, bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dalam suatu tertib hukum. Serta mengkaji upaya dekriminalisasi terhadap gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa fungsionalisasi hukum pidana (penegakan hukum) terhadap gelandangan dan pengemis belum berfungsi secara maksimal karena operasionalisasi hukum pidana lebih diarahkan kepada penghukuman bukan perawatan. Penegakan hukum pidana dalam penanganan gelandangan dan pengemis harus diharmonisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat (the living law). Serta implementasi dari Pasal 34 UUD 1945 dan kebijakan Perundang-undangan dalam berhukum didalam masyarakat, seperti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Kesejahteraan Rakyat yang dapat memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan. Secara hierarki Peraturan Perundang-undangan Pasal 504 dan 505 tidak mengikat dan berdaya guna dalam pelaksanaanya karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hakikatnya gelandangan dan pengemis bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya sehingga sangat tepat apabila didekriminalisasikan karena tidak ada yang dirugikan dari perbuatan tersebut.
(6)
ABSTRACT
Article 504 and 505 of the KUHP that vagabonds and beggars on the street can be imprisoned. Conversely, but in article 34 of the 1945 constitutions states that the poor and the neglected children are taken care of by the government, and the government should develop social security system for all of people and empower the poor the weak and indigent according to dignity and human values.
Based on the statement above, the problem are formulated as follows: how to functionalize the criminal law on the vagabonds and beggars, how about the status of article 504 and article 505of the KUHP when they are connected with article 34 of the 1945 constitution, how to decriminalize the vagabonds and the beggars on the street in the perspective of the criminal law policy. This research was aimed to explain and analyze the functionalization of the criminal law against the violation done by vagabonds and beggars, how about the status of article 504 and article 505 of the KUHP on article 34 of the 1945 constitutions in a legal system, and how to study the decriminalization of the vagabonds and the beggars in the perspective of the criminal law policy.
The method of the research was the judicial normative which was referred to the legal norms or the legal doctrines in order to solve the problem. The data were analyze qualitatively.
The result of the research showed that the functionalization of the criminal law (law enforcement) against the vagabonds and the beggars was not maximal enough because the process of putting the criminal law in to operation was directed to punishment and not to development. The criminal law enforcement in handling the vagabonds and the beggars should be in harmony with the higher regulations and with the values of the living law. Moreover, the implementation of article 34 of the 1945 constitutions and the policy if the legal provisions in the law abiding in the society, such as the law of the national social security system and the law of people’s prosperity which can contribute to the abolishment of poverty. Hierarchialy, article 504 and article 505 KUHP are not restricted and efficient use of its implementations because they are not contrary with the high regulation. In principle, the vagabonds and the beggars do not violate the law; it can be said that and action cannot be categorized as illegal if there is no illegal intention so that it is true when the action is de-discrimination because no one complains because of their action.
Key words: Law Enforcement, Vagabonds and Beggars, The Constitution (UUD 1945), Criminal Law (KUHP)
(7)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya, akhirnya tersusunlah tesis ini dengan judul: Penegakan
Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana).
Penulisan tesis merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera. Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. untuk itu, dengan sepenuh hati penulis menghaturkan terima kasih kepada mereka.
Secara khusus terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp. A(K), selaku pimpinan tertinggi di Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH.
(8)
4. Pembimbing dalam penulisan tesis yaitu: Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum., Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. M.Hum., Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum., yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Penguji tesis: Dr. Madiasa Ablisar, SH.MS. dan Dr. Idha Aprilyana., SH. M.Hum., yang telah memberi masukan dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
6. Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Drs. A. Hadi Arifin, M.Si, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Sumiadi, SH.M.Hum.
8. Orang tua yang tersayang, Muhammad Hasbi Umar dan Ainsyah yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis, semoga keduanya mendapat pahala dan dimuliakan oleh Allah SWT.
9. Kepada adik-adikku tersayang, yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis.
10.Isteri yang tercinta, Herawati, S.E., dan anakku yang terkasih Ahmad Tsaqif Altamis yang telah memotivasi dan rela memberi waktu, tenaga dan kesempatan demi penyelesaian tesis ini.
(9)
11.Teristimewa kepada: Ir. Nasrun, MT., dan Ummi Kalsum, SH.MH., yang telah banyak membantu penulis semasa perkuliahan.
12.Civitas akademika Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
13.Teman-teman Angkatan 2009 yang selalu memotivasi penulis agar cepat menyelesaikan kuliah, semoga kebersamaan yang sudah terjalin menjadi lebih erat dimasa mendatang.
Akhirnya demi kesempurnaan tesis ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Atas bantuan berbagai pihak penulis mengucapkan terima kasih yang that meulambong, semoga kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal.. Amin ya Rabbal Alamin…..
Medan, Juni 2011 Penulis
(10)
Riwayat Hidup
Identitas Diri
1. Nama : Yusrizal
2. Tempat/Tanggal Lahir : Kampung Tempel/13 April 1983 3. Jenis Kelamin : laki-laki
4. Agama : Islam
5. Status Perkawinan : Kawin
6. Alamat : Gampong Batu XII, Kec. Cot Girek 7. Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Unimal 8. Pangkat/Gol : Penata Muda TK I/III b
9. NIP : 198304132006041001
10.Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
Pendidikan:
1. SD Negeri Kampung Tempel : Lulus Tahun 1995 2. SMP Negeri 1 Cot Girek : Lulus Tahun 1998 3. SMU Negeri 1 Lhoksukon : Lulus Tahun 2001 4. Fakultas Hukum Unsyiah : Lulus Tahun 2005 5. Magister Ilmu Hukum USU : Lulus Tahun 2011
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……… ii
KATA PENGANTAR ………. iv
DAFTAR ISI ……… vii
BAB I : PENDAHULUAN ..………. …… 1
A. Latar Belakang ………... 1
B. Perumusan Masalah ………. 12
C. Tujuan Penelitian ………... 12
D. Manfaat Penelitian ………... 13
E. Keaslian Penelitian ………... 13
F. Kerangka Teori dan Konsep ………. 14
G. Metode Penelitian ………. 26
BAB II: FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN KETERTIBAN UMUM YANG DILAKUKAN OLEH GELANDANGAN DAN PENGEMIS …. ... 31
A. Latar Belakang Munculnya Gelandangan dan Pengemis ..……… 31
B. Fungsionalisasi Hukum Pidana ……….. 35
C. Penghukuman Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis... 49
BAB III: KEDUDUKAN PASAL 504 DAN PASAL 505 KUHP DALAM KAITANNYA DENGAN PASAL 34 UNDANG- UNDANG DASAR 1945 ………... 57
(12)
B. Harmonisasi Hukum ……… 70
C. Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebagai Wujud Perlindungan Masyarakat (Sosial Defence) …………... 75
BAB IV: DEKRIMINALISASI TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA ………... 89
A.Proses Dekriminalisasi ………... 89
B.Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana ……….. 102
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ………... 119
A.Kesimpulan ………... 119
B.Saran ………... 121
DAFTAR PUSTAKA ………... 124
(13)
ABSTRAK
Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa perbuatan gelandangan dan pengemis dihukum dengan pidana kurungan, sebaliknya dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara serta negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Berdasarkan ketentuan diatas yang menjadi permasalahan yaitu: bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis, bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, bagaimanakah upaya dekriminalisasi terhadap perbuatan gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menguraikan fungsionalisasi hukum pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis, bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dalam suatu tertib hukum. Serta mengkaji upaya dekriminalisasi terhadap gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa fungsionalisasi hukum pidana (penegakan hukum) terhadap gelandangan dan pengemis belum berfungsi secara maksimal karena operasionalisasi hukum pidana lebih diarahkan kepada penghukuman bukan perawatan. Penegakan hukum pidana dalam penanganan gelandangan dan pengemis harus diharmonisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat (the living law). Serta implementasi dari Pasal 34 UUD 1945 dan kebijakan Perundang-undangan dalam berhukum didalam masyarakat, seperti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Kesejahteraan Rakyat yang dapat memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan. Secara hierarki Peraturan Perundang-undangan Pasal 504 dan 505 tidak mengikat dan berdaya guna dalam pelaksanaanya karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hakikatnya gelandangan dan pengemis bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya sehingga sangat tepat apabila didekriminalisasikan karena tidak ada yang dirugikan dari perbuatan tersebut.
(14)
ABSTRACT
Article 504 and 505 of the KUHP that vagabonds and beggars on the street can be imprisoned. Conversely, but in article 34 of the 1945 constitutions states that the poor and the neglected children are taken care of by the government, and the government should develop social security system for all of people and empower the poor the weak and indigent according to dignity and human values.
Based on the statement above, the problem are formulated as follows: how to functionalize the criminal law on the vagabonds and beggars, how about the status of article 504 and article 505of the KUHP when they are connected with article 34 of the 1945 constitution, how to decriminalize the vagabonds and the beggars on the street in the perspective of the criminal law policy. This research was aimed to explain and analyze the functionalization of the criminal law against the violation done by vagabonds and beggars, how about the status of article 504 and article 505 of the KUHP on article 34 of the 1945 constitutions in a legal system, and how to study the decriminalization of the vagabonds and the beggars in the perspective of the criminal law policy.
The method of the research was the judicial normative which was referred to the legal norms or the legal doctrines in order to solve the problem. The data were analyze qualitatively.
The result of the research showed that the functionalization of the criminal law (law enforcement) against the vagabonds and the beggars was not maximal enough because the process of putting the criminal law in to operation was directed to punishment and not to development. The criminal law enforcement in handling the vagabonds and the beggars should be in harmony with the higher regulations and with the values of the living law. Moreover, the implementation of article 34 of the 1945 constitutions and the policy if the legal provisions in the law abiding in the society, such as the law of the national social security system and the law of people’s prosperity which can contribute to the abolishment of poverty. Hierarchialy, article 504 and article 505 KUHP are not restricted and efficient use of its implementations because they are not contrary with the high regulation. In principle, the vagabonds and the beggars do not violate the law; it can be said that and action cannot be categorized as illegal if there is no illegal intention so that it is true when the action is de-discrimination because no one complains because of their action.
Key words: Law Enforcement, Vagabonds and Beggars, The Constitution (UUD 1945), Criminal Law (KUHP)
(15)
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini bukanlah asli dari ciptaan bangsa Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini lahir dan telah mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 pada zaman Hindia Belanda.1 Kodifikasi hukum pidana di Indonesia dahulu mendapat pengaruh dari kodifikasi hukum pidana di Nederland yang cukup berpengalaman dalam menyusun pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.2
Hukum pidana positif peninggalan kolonial dan orde lama dirasakan sudah ketinggalan zaman sehingga kurang memiliki relevansi sosial dengan situasi dan kondisi sosial yang diaturnya. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat belakangan ini adalah perubahan radikal yang meliputi hampir seluruh kehidupan masyarakat karena sebagian ketentuan hukum pidana positif tidak sejalan dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, hak asasi manusia dan demokrasi, pengemisan dan gelandangan yang dijadikan sebagai tindak pidana, dengan demikian dibutuhkan suatu kebijakan kriminal yang berkeadilan. 3
1
C. S. T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 261
2
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 51 3
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Reformasi Hukum Pidana, Jurnal Hukum No. 11. Vol. 6 Tahun 1999, hlm. 1-2
(16)
Menurut Hermann Manheim, dalam hal ketinggalan zaman ini, masalah utama yang dihadapi hukum pidana ialah:4
1. Penentuan pandangan tentang nilai-nilai terpenting manakah (the most important values) yang ada pada masa pembangunan ini.
2. Penentuan apakah nilai-nilai ini diserahkan untuk dipertahankan oleh hukum pidana ataukah diserahkan kepada usaha-usaha lain untuk mempertahankannya.
Mengingat Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state), itulah konsep negara yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana pernyataan Jimly Ashiddiqie bahwa, “Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, dan karena itulah konsep negara yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara kesejahteraan. Namun berbagai masalah pendidikan, kesehatan, pendidikan rasa aman dan kesejateraan umum belum terselesaikan dengan baik, artinya cita-cita nasional seperti yang dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,5 dan implementasi dari pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 belum berhasil dicapai dengan baik.
Negara kesejahteraan sejatinya adalah strategi pembangunan kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara dalam penyelenggaraan sistem
4
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 8-9
5
Emir Soendoro, Jaminam Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari, (Jakarta: Dinov Progress Indonesia, 2009), hlm. 35
(17)
jaminan sosial secara terencana, melembaga dan berkesinambungan. Bentuk perlindungan negara mencakup jaminan sosial dasar yang melindungi warga negara dari risiko kehilangan pendapatan karena sakit, kematian, menganggur, kecelakaan kerja dan kehamilan.6
Peran pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan sangat dibutuhkan dalam penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Hal ini menyebabkan, perlunya upaya ekstra keras untuk mengindentifikasi dan meneliti keberadaan para gelandangan dan pengemis untuk memastikan tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan menghukumnya. Hal ini terkait dengan politik hukum pidana dengan penerapan kebijakan sosial (social policy) termasuk hukum acaranya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam mencapai kesejateraannya (social welfare),7 hal ini bisa dilakukan dengan penegakan hukum yang progresif.
Penegakan hukum masa sekarang ini diberi makna yang lebih luas, tidak hanya menyangkut pelaksanaan hukum (law enforcement), tetapi juga meliputi langkah preventif, dalam arti pembuatan undang-undang. Menurut Andi Hamzah, istilah penegakan hukum sering disalah artikan seakan-akan hanya bergerak dibidang hukum pidana atau hanya dibidang represif. Istilah penegakan hukum disini meliputi, baik yang represif maupun yang preventif, berbeda dengan istilah Inggris yaitu law enforcement yang sekarang diberi makna yang represif. Sedangkan yang preventif
6
Ibid, hlm. 36 7
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.13
(18)
berupa pemberian informasi, dan petunjuk yang disebut law compliance, yang berarti pemenuhan atau penataan hukum. Oleh karena itu, barang kali lebih tepat jika dipakai istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum.8
Apabila penegakan hukum pidana dikaitkan dengan keberlakuan Pasal 504 KUHP yang menyatakan bahwa:
1. Barang siapa minta (mengemis) ditempat umum dihukum karena minta-minta, dengan kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Minta-minta yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing umurnya lebih dari 16 tahun, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan.
Larangan ini sedikit janggal dalam masyarakat Indonesia yang biasa berzakat memberi fakir miskin. Larangan ini seolah-olah anti sosial, akan tetapi bukan itu yang dimaksud, pasal ini bukan melarang kepada orang miskin yang “minta pertolongan”, akan tetapi melarang melakukan perbuatan itu ditempat umum, misalnya di pasar, stasiun, di tepi jalan, dan sebagainya. Perbuatan tersebut dalam penjelasan pasal ini dapat menggangu pada orang-orang yang sedang berpergian, dan dianggap kurang pantas dan amat memalukan. Akan tetapi jika datang meminta-minta di rumah, tidak dikenakan pasal ini, asal tidak kelihatan dari jalan umum.9
R. Soesilo mendefinisikan minta-minta atau mengemis dapat dilakukan dengan meminta secara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik, termasuk juga dalam
8
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 133-134
9
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bandung: Karya Nusantara, 1988) hlm. 327
(19)
kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan jalan menyanyi main biola, gitar, angklung, seruling, musik serta menyodorkan permainan sepanjang toko-toko dan rumah-rumah yang biasa dilakukan dikota-kota besar.10 Dalam pengertian lain pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.11
Dengan demikian maka definisi pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-meminta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang. Cara yang dimaksud adalah dengan mengamen atau melakukan minta sumbangan yang disertai dengan surat keterangan miskin yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Camat yang memuat keterangan bahwa yang bersangkutan fakir miskin atau anak yatim.
Selanjutnya Pasal 505 KUHP menyatakan bahwa:
1. Barang siapa dengan tidak mempunyai mata pencaharian mengembara kemana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan;
2. Pelancongan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih yang masing-masing umurnya lebih dari enam belas tahun, dihukum kurungan selama-lamanya enam bulan.
Dalam penjelasan pasal tersebut R. Soesilo mendefinisikan pelancongan sama dengan mengembara, gelandangan atau bertualang dapat diartikan sebagai berkelana kesana-kemari berpindah-pindah dari tempat ketempat yang lain. Ini dapat dihukum
10
Ibid, hlm. 327 11
Lihat dalam http://www.dinsoslampung.web.id/pengertian-a-karakteristik.html. Diakses Tanggal 19 Januari 2011
(20)
apabila ia bertualang tidak mempunyai mata pencaharian yang jelas, biasanya dilakukan dengan meminta kesana-kemari. Seseorang yang bermaksud berkeliling negeri atau dunia dengan berjalan kaki, meskipun seakan-akan bertualang, tidak masuk dalam pasal ini karena mereka mempunyai mata pencaharian yang jelas.12
Penulis kurang sependapat dengan digunakannya kata pelancongan dan bertualang dalam penjelasan definisi gelandangan yang diutarakan oleh R. Soesilo, karena pelancongan akan mempunyai makna sebagai suatu kegiatan jalan-jalan untuk menikmati suatu pemandangan atau berkunjung ke suatu tempat sebagai sarana hiburan, bukan bermakna negatif sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan bertualang dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu keinginan yang biasanya disebut dengan hobi, misalnya: mendaki gunung, bersepeda mengelilingi suatu daerah tertentu, dan lain-lainya
Entang Sastraatmadja mengartikan gelandangan ialah sekelompok masyarakat yang terasing, mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan yang tidak lazim, seperti dikolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api ataupun di setiap emperan toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya.13
12
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 327 13
Entang Sastraatmadja, Dampak Sosial Pembangunan, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 23 Bandingkan dengan Ali Marpuji juga mengatakan bahwa gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat. Lihat Ali Marpuji, Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3 (tiga) Lembaga Penelitian Universitas
(21)
Beranjak dari ketentuan diatas maka hukum pidana yang disusun sedemikian rupa, memerlukan tafsiran, baik mengenai istilah-istilah yang digunakannya, maupun arti dan makna dari peraturan hukum sebagaimana yang tersirat didalam kata-kata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, nyatalah bahwa undang-undang tidak dapat dihindarkan dari penilikan, yang digerakkan oleh kekuatan manusia untuk berfikir, dan dorongan jiwa manusia untuk mengupas segala soal yang ada dihadapannya didalam mencari pengertian dan kebenaran.14
Oleh sebab itu tidak seharusnya perbuatan mengemis dan gelandangan dikriminalisasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai suatu pelanggaran yang patut dihukum. Hukum selain berpijak pada 5 (lima) dasar negara, yaitu Pancasila, maka untuk mencapai tujuanya juga harus berfungsi dan berpijak pada empat prinsip cita-cita hukum (rechtsidee), yakni:15
1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi). 2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. 3. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi).
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadilan dalam hidup beragama.
Muhammadiyah (Surakarta: 1990) dengan demikian maka gelandangan dapat diartikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat pada umumnya serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
14
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), hlm.111-112
15
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 18
(22)
Pengaruh sebelum terjadinya peraturan, ialah diperhitungkan keadaan-keadaan yang justru menimbulkan peraturan itu, demikian juga pada waktu pembuatannya. Kalau peraturan itu sudah sah berlaku, pengaruh masyarakat itu dapat diketahui dari sikapnya terhadap peraturan tersebut. Orang bisa mentaati, menolak, juga bisa apatis. Oleh karena itu dalam hubungan ini penting sekali untuk diketahui bagaimana bekerjanya suatu peraturan dalam kenyataannya.16
Dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum dapat diwujudkan, sedangkan cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih, sebab hukum digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan (to use the law to legitimate their actions).17
Roeslan Saleh mengatakan bahwa bagaimanakah kita menegakkan ketertiban, jika materi yang harus ditertibkan itu tidak atau kurang mendapat perhatian bersama. Bagi hukum dalam kehidupan bersama, materinya terdiri atas manusia-manusia yang bekerjasama satu dengan yang lain. Masing-masing bagi dirinya sendiri dan bagi semua bersama-sama dan berjuang untuk kebahagiaan dan kesejahteraan.18
Suasana tertib akan muncul dari adanya kehidupan yang didasarkan adanya semacam kontrak sosial atau kesepakatan dalam masyarakat yang akan menjadi suatu
16
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 172
17 Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. ix
18
Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 28
(23)
kaidah yang hidup yang saling disepakati dan mengikat sebagai norma, untuk menjadi pedoman hidup bersama yang diiringi dengan terbentuknya perangkat hukum. Peranan hukum lambat laun akan semakin tanpak yang kemudian dirumuskan secara tertulis maupun adat kebiasaan (tidak tertulis) yang harus selalu dipatuhi untuk bersama-sama menuju tertib hukum.19
Tertib hukum akan tergannggu akibat adanya kejahatan dan pelanggaran hukum. Perkembangan hukum itu sendiri makin lama akan ketinggalan, karena kemampuannya dalam merumuskan hukum maupun pelaksanaannya akibat kondisi kehidupan masyarakat yang majemuk dan semakin kompleks. Pada gilirannya pertentangan kepentingan hidup dalam masyarakat dan akhirnya muncul perlawanan terhadap hukum itu yang dapat menimbulkan masalah sosial.20
Permasalahan pengemis dan gelandangan sebagai suatu pelanggaran dalam hukum pidana, akan tetapi didalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan hal yang berbeda, yaitu:
1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.21
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
19
Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 12 20
Ibid, hlm. 12 21
Kebijakan pelaksanaan Sistem Jaminan sosial ini diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(24)
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
Dengan melihat ketentuan diatas maka dalam penerapan hukum di Indonesia masih berpandangan bahwa hukum adalah undang-undang tanpa memperhatikan gejolak masyarakat, sehingga tidak ada komitmen dan moralitas untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan disamping berkepastian yang professional bukan transaksional, sehingga tujuan dari penerapan hukum tidak tercapai dengan baik.
Tujuan pembuatan peraturan Perundang-undangan adalah untuk mencapai ketertiban. Secara legitimasi yang berpengaruh terhadap ketahanan sosial sebagai tujuan negara.22 Penegakan hukum dengan produk hukum yang saling tumpah tindih menimbulkan masalahnya masing-masing, yang pada akhirnya kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana sangat mudah, akhirnya nilai keadilan dalam masyarakat hanya menjadi slogan didalam penegakan hukum.
Dalam penerapan hukum di masyarakat sesungguhnya tidak sesederhana ketika hukum itu selesai dibuat, kemudian langsung dapat diterapkan. Hukum sebagai sesuatu yang akan bersinggungan langsung dengan masyarakat, jelas akan banyak bergelut dengan sekian banyak dimensi dan faktor yang hidup di dalam masyarakat.
22
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 37
(25)
Tidak jarang terjadi produk hukum yang ada tidak sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik masrakat.23
Cara berhukum di Indonesia harus dilaksanakan dengan memfasilitasi hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena Indonesia adalah negara yang pluralistik, dengan mensinergikannya dengan kepentingan nasional yang dikenal istilah dengan harmonisasi hukum. Hukum adat yang dinyatakan sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum nasional, ternyata semakin lama semakin tidak jelas kedudukan dan fungsinya dalam pembentukan hukum nasional.24
Masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana bukan hanya problem sosial, tetapi juga merupakan masalah kebijaksanaan. Sehingga dilihat dari sudut ini, ada yang mempermasalahkan apakah kejahatan ini ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan hukum pidana.25
Hukum adat merupakan jiwa yang khas yang terdapat dan hidup dalam suatu masyarakat di Indonesia, yang dapat memberikan alternatif dalam penyelesaian sengketa, dapat dijadikan landasan dalam membentuk sistem hukum di Indonesia khususnya mengenai pengaturan gelandangan dan pengemis. bahkan ada pepatah mengatakan “tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.
23
Eddi Wibowo, dkk, Hukum dan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004), hlm. 8
24
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 173-174 25
Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 10
(26)
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan penjelasan Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Bila dilihat dari perundang-undangan yang ada maka akan terlihat suatu arah kebijakan pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
B.Permasalahan
Dari latar belakang diatas maka yang menjadi isu hukum dalam Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Suatu Tinjauan Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum pidana) ialah:
1. Bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis.
2. Bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Bagaimanakah upaya dekriminalisasi terhadap perbuatan gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
C.Tujuan Penelitian
(27)
1. Untuk menjelaskan dan menguraikan fungsionalisasi hukum pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis.
2. Untuk menjelaskan kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Pasal 34 Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 dalam suatu tertib hukum.
3. Untuk mengkaji upaya dekriminalisasi terhadap gelandangan dan pengemis dalam perspektif kebijakan hukum pidana
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat secara teoritis dan praktis yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan didalam penegakan dan pengembangan hukum positif Indonesia
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan bagi pemerintah dan penegak hukum agar dalam menjalankan tugasnya dapat berpedoman pada peraturan yang berlaku dengan tidak mengabaikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum serta nilai-nilai yang hidup dalam
(28)
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Suatu Tinjauan Undang-Undang Dasar 1945 dan Hukum Pidana)”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Walaupun pembahasan gelandangan dan pengemis sudah ada yang meneliti dan membahas tapi dalam perspektif kajian ilmu sosial dan ekonomi tanpa melihat aspek hukumnya. Sehingga penulis berpendapat bahwa penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya menurut hukum. Selain, teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum
(29)
yang diajukan dalam masalah penelitian.26 Berkaitan dengan penelitian ini maka teori dan asas27 yang mendukungnya ialah:
1. Teori Penegakan Hukum
Kenyataan saat ini, sering dipisahkan antara masalah penegakan hukum (law enforcement) dan masalah pembaharuan/pembangunan hukum (law reform and development). Padahal, penegakan hukum pidana merupakan bagian (subsistem) dari keseluruhan sistem/kebijakan penegakan hukum nasional yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari sistem/ kebijakan pembangunan nasional, dikatakan demikian karena pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam arti penegakan in abstracto maupun in concreto merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem penegakan hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang pembangunan nasional.28
26
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 146
27
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun yang berarti dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, jadi yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu , didalam kamus bahasa Indonesia, asas mempunyai arti: (1) Dasar, alas, pondamen; (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat; (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara. (lihat Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 60
Lihat juga Muhammad Daud Ali, (Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) hlm. 114 “Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, maka asas hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan hukum dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum”.
28
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 316-317
(30)
Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber dari Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP Belanda, dalam penegakan hukum seharusnya berbeda dengan penegakan hukum pidana seperti pada zaman Belanda, dengan kata lain, penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke-Indonesia-an dan bahkan dalam konteks pembangunan nasional dan pembangunan hukum nasional. Inilah baru dapat dikatakan penegakan hukum Indonesia. Salah satu kesimpulan Konvensi Hukum Nasional (Maret 2008) menyatakan: “Penegakan hukum dan sikap masyarakat terhadap hukum tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditetapkan/berlaku.29” Sudarto menegaskan, kalau hukum pidana suatu bangsa merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu.30 Maka penegakan hukum pidana seyogiyanya tidak semata-mata didasarkan pada legalitas formal tetapi harus melihat hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Mohammad Hatta menjelaskan bahwa hukum merupakan panglima dan urat nadi pada segala aspek kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Hukum sebagai suatu sistem mempunyai peran yang strategis dalam penegakan hukum dan dominan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.31
Sedangkan H.L.A. Hart dalam Ahmad Mujahidin juga melihat hukum merupakan suatu sistem yang memuat sekumpulan peraturan, dimana satu peraturan
29
Ibid, hlm. 318 30
Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan, Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 44
31
Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), hlm. 1
(31)
dengan peraturan lainnya berhubungan dalam satu hierarki dan memiliki struktur yang kompleks.32 Hierarki dan Struktur tersebut sangat berperan dalam penegakan hukum di negara yang menganut paham demokrasi.
Indonesia sebagai negara demokrasi, dan demokrasi mempunyai tujuan-tujuan yang dinilai paling baik dan logis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada kebanyakan negara yang mempraktikkannya. Di aturan umum demokrasi keterpenuhan hak-hak pribadi mendapat tempat jaminan dan perlindungan yang baik.33
David Beetham dalam Faisal Akbar Nasution menegaskan bahwa demokrasi terdiri dari beragam hak individu, hak bicara, hak berserikat, hak perlindungan dan lain-lainnya, tetapi titik sentralnya adalah proses pembuatan keputusan bersama, yang dapat memberikan prakondisi dan batasan-batasan bagi tingkah laku dan pilihan individu. Politik demokrasi seperti hal politik lainnya, menegaskan bahwa kita sebenarnya adalah mahluk sosial yang hidup secara bebas, dan oleh sebab itu memerlukan aturan umum serta kebijakan-kebijakan yang memenuhi rasa keadilan.
Adanya jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap masyarakat harus berlaku secara meluas,34 sebagai konkritisasi dari tanggung jawab pemerintah untuk
32
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 48
33
Faisal Akbar Nasution, Pemerintah Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hlm. 32
34
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 10
(32)
memberikan kesejahteraan sosial gelandangan dan pengemis, mengingat negara telah gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat serta penerapan kebijakan-kebijakan yang tidak menghargai hak asasi manusia.
Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Nilai keadilan yang didambakan ialah nilai yang sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia merupakan nilai yang dapat memelihara dan mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu di satu pihak, dan kepentingan masyarakat lain di lain pihak. Nilai keadilan inilah yang merupakan nilai yang terpenting dari setiap peraturan perundang-perundangan, dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang sah (yang mempunyai validity saja), akan tetapi juga merupakan kaidah yang adil (harus mempunyai value).35
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.36
35
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.67-68
(33)
Terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti peradilan terhadap para hakim dan peyalahgunaan kekuasaan dalam hukum oleh aparat penegak hukum serta friksi yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum, tampaknya tidak harus dikembalikan kepada masalah mentalitas para pelaksana penegakan hukum, sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat, melainkan juga ada kemungkinan disebabkan oleh karena memang nilai (keadilan) yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa keadilan masyarakat kita.37
Tumpang tindih dalam peraturan ini memang menjadi masalah dalam penerapan hukum dilapangan, seperti penghukuman kepada pengemis dan gelandangan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjelma menjadi sebuah aturan didalam pelanggaran ketertiban umum, ternyata dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa itu bukan pelanggaran pidana, tetapi negara menjamin kesehjahteraan bagi masyarakat miskin dan perlakuan yang sama di depan hukum, di sinilah letak ketidakharmonisan hukum dalam penegakkanya.
2. Teori Hukum Progresif
Hukum progresif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
37
(34)
manusia. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum dan menolak status quo hukum, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani.38
Hukum progresif didasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Oleh sebab itu hukum harus ditempatkan sebagai alat untuk membahagiakan masyarakat bukan sebaliknya.
Gagasan hukum progresif muncul kerena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat internasional, sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Tidak hanya pengamat, tetapi umumnya rakyat juga berpendapat demikian, kendatipun mereka tidak mengutarakan sebagai tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkrit mereka dengan hukum sehari-hari, seperti kelamahan mereka saat berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum.39
Secara spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan, pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimanakah hukum akan
38
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 1-2
39
(35)
bekerja dan dijalankan. Sebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus menerus membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi hukum progresif. Sebagai penggagas hukum progresif, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif terpanggil untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum karena hukum merupakan institusi yang progresif, hukum tidak pernah berhenti, stagnan, melainkan terus tumbuh berubah dan berkembang.40
Hukum progresif mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status quo (sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan). Kata kunci dari gagasan hukum progresif tersebut adalah kesedian untuk membebaskan diri dan faham status quo tersebut.41
Maka sangat diharapkan hukum progresif dapat diterapkan dalam berhukum, agar hukum dapat tegak bukan hanya melalui substansi hukum melainkan hukum yang menghargai hak asasi individu didalam sebuah bangsa yang beradab, maka pengaturan mengenai gelandangan dan pengemis harus dicerna oleh pembuat undang-undang untuk diatasi sebagai wujud tanggung jawab negara.
3. Teori Keadilan
Penegakan hukum di Indonesia harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap individu warga negara yang merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis.
40
Ibid, hlm. 2 41
(36)
Keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka dapat dikatakan penegakan hukum yang berkeadilan dan memberi manfaat serta melindungi hak-hak warga negara hukum yang demokratis.42
Jhon Rawls menyatakan tujuan hukum menjadi adil bila dalam penerapannya sesuai dengan jiwa dari hukum positif. Jadi tujuan hukum adalah keadilan. Keadilan terpenuhi bila institusi-institusi suatu masyarakat diatur/digunakan untuk mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dengan pertimbangan-pertimbangan moral dan keadilan.43
Secara garis besar, tuntutan keadilan yang diangkat oleh Rawls memberi peluang yang besar bagi setiap individu untuk mengekspresikan diri demi terwujudnya situasi penuh keadilan. Dengan memberikan penghargaan pada setiap pribadi maka hak-hak yang menjadi milik setiap pribadi mendapat legitimasi untuk dihargai. Rawls menentukan asas keadilan melalui semacam proses perjanjian diantara anggota-anggota masyarakat dengan mengindahkan antara lain kerjasama manusia, rasa keadilan, pilihan yang rasional, dan apa yang dinamakan primary goods ( hal-hal utama yang ingin diperoleh seseorang).44
Pelaksanaan hukum harus membuka jalan agar terciptanya keadilan sosial dan mengatur perbedaan sosial dan ekonomis warga masyarakat agar tujuan dari
42
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 25 43
R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 16
44
Rena Yulia, Viktimologi (Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 134
(37)
penerapan hukum memberi manfaat bagi mereka yang kurang beruntung, hal ini sebagai konsekuensi dari negara hukum.
Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan bersama manusia. Hal tersebut tercapai dengan memasukkannya prinsi-prinsip keadilan dalam peraturan bagi kehidupan bersama. Untuk mencapai keadilan, maka harus dipaksakan oleh negara untuk mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individu yang satu dengan yang lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang dituju oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak memihak antara kepentingan-kepentingan individu yang satu terhadap yang lain.45
Apapun teori keadilan yang digunakan dalam hal penegakan hukum, harus memperhatikan konsep-konsep kejujuran (fairness), persamaan (equality), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment). Keadilan harus dibedakan dari kebajikan (benevolence), kedermawanan (generosity), rasa terima kasih (gratitude) dan perasaan kasihan (compassion). Namun praktik yang terjadi kadang-kadang tidak konsisten dengan pencapaian keadilan dan bahkan melanggar asas-asas hukum.46
Dengan demikian tujuan hukum adalah untuk, ketertiban, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Notohamidjojo menegaskan bahwa “tanggung jawab jurist ialah merohaniahkan hukum”, dan penilaian scientia yuridis harus mendalam
45
R. Abdussalam, Op. Cit., hlm. 17 46
(38)
dan mendasar pada conscientia (nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kasih sayang antar sesama).47
2. Landasan konsepsi
Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional, Sehingga penggunaannya di dalam penelitian menjadi sangat penting.48 Adapun definisi operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum, tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata atau dengan kata lain penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada.49
b. Pengemis ialah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-meminta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan
47
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 25
48
Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 72
49 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. vii-viii
(39)
belas kasihan orang, perbuatan tersebut dilakukan tanpa menganggu ketertiban umum, tanpa kekerasan, paksaan dan orang yang melakukan pengemisan layak untuk dikasihani, seperti: orang cacat, orangtua jompo dan anak-anak yatim. Namun, apabila perbuatan dilakukan dengan cara-cara yang tidak menyenangkan maka perbuatan tersebut layak untuk dipidana.
c. Gelandangan ialah dapat diartikan sebagai orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat pada umumnya serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum
d. Undang-Undang Dasar merupakan aturan pokok (hukum dasar). Undang-undang Dasar menentukan jenis-jenis peraturan-peraturan manakah yang seharusnya ada, instansi mana yang berwenang membuatnya, mengubahnya, dan Undang-Undang Dasar inilah yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan untuk berlakunya peraturan-peraturan tersebut.50
e. Sistem jaminan sosial ialah upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, memberikan rasa aman sepanjang hidup manusia. Melalui sistem, Peran negara dalam masyarakat tergantung filosofi buat apa negara ini didirikan.51
50
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 32 51
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 5
(40)
f. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud secara kongkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.52
g. Kriminalisasi merupakan suatu proses, dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat yang dianggap sebagai perbuatan yang dapat dihukum/dipidana. Prose tersebut berakhir dengan terbentuknya peraturan hukum pidana.53
h. Dekriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana suatu perilaku yang semula dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana dan dikenakan sanksi negative di bidang pidana, kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksi negatifnya. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana yang dihapuskan, akan tetapi juga sifat melanggar hukumnya.54
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma hukum yang mengatur gelandangan dan pengemis yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang
52
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 157
53
Soerjono Soekanto, dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 43
54
Ibid, hlm. 47
(41)
Hukum Pidana, Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.
Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.55 Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.56
Penelitian normatif bertujuan untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu serta untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah hukum didalam suatu lingkungan masyarakat tertentu.57
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga mampu
55 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007) hlm. 57
56
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,Op. Cit. hlm. 36 57
C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 140-141
(42)
menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.58
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis terhadap peraturan perundang-undangan akan menghasilkan jawaban, yaitu semakin banyak kesamaan kategori yang tampak, semakin besar pula kemungkinan pemberlakuan ketentuan dari suatu peraturan perundang-undangan terhadap suatu masalah. Sebaliknya, semakin banyak perbedaan katagori yang tampak, semakin kecil relevansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan terhadap suatu permasalahan Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aspek hukum dan aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Analisa hukum yang dihasikan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan aspek–aspek hukum di Indonesia dan perundang-undangan.
Serta digunakan juga pendekatan konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. akan menemukan ide-ide yang melahirkan: pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
58
(43)
dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian dari segi aspek-aspek hukum di Indonesia dan peraturan perundang-undangan berdasarkan konsep-konsep hukum dan asas-asas yang berhubungan dengan penelitian yang akan di teliti.
3. Sumber Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan dalam penulisan Tesis ini terdiri dari: 1) Bahan hukum primer
Menurut Petter Mahmud Marzuki bahan hukum primer ini bersifat autoratif, artinya menpunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu dalam hal ini adalah Dinas Sosial Kota Lhokseumawe dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe dalam pandangannya tentang gelandangan dan pengemis. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-undang yang berkaitan dengan pengemis dan gelandangan sebagai landasan berpijak dalam melakukan penelitian ini.
2) Bahan hukum sekunder
Berupa semua publikasi tentang yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku
(44)
teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana hukum.59
3) Bahan hukum tersier
Bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian seperti buku politik, ekonomi, kebijakan publik, kamus bahasa dan ensiklopedia umum. Bahan ini menjadi penting karena mendukung dalam proses analisis hukumnya.60
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap, Peraturan Perundang-undangan, literatur-literatur, teori-teori, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Metode Analisis Data
Pengolahanan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara menganalisis terhadap kaidah hukum dan kemudian mengkonstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas
59
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hlm. 141 60
(45)
dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui sudi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan di analisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:61
1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalan bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;
2. Mengelompokkan konsep-konsep hukum Indonesia atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan dengan penegakan hukum serta pengaturan gelandangan dan pengemis berdasarkan konstitusi dan hukum pidana;
3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah; 4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan
perundang-undangan, kemudian akan dianalisis secara kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
Sifat penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat deskripsi analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap bahan-bahan hukum. Deskripsi tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah hukum yang menjadi objek kajian.
61
(46)
BAB II
FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP
PELANGGARAN KETERTIBAN UMUM YANG DILAKUKAN OLEH GELANDANGAN DAN PENGEMIS
A.Latar Belakang Munculnya Gelandangan dan Pengemis
Menurut Buku Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan, yaitu :62
1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan pasar kerja.
4. Faktor sosial budaya, hal ini di dukung oleh lingkungan sekitar dan para pemberi sedekah.
Ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu :63
a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.
b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma
62
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. (Jakarta: Departeman Sosial RI, 2005), hlm. 7-8
63 Ibid
(47)
yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.
Awalnya, kemiskinan merupakan pilihan hidup seseorang atau sekawanan komunitas untuk memilih realitas kepapaan berdasarkan pandangan nilai tertentu. Kemiskinan yang semula sebagai pilihan sukarela menjadi pilihan terpaksa akibat berbagai hal yang bersifat kelembagaan dan spesialisasi kerja atau karena ketertundukkan secara fisik. Maka kemiskinan pun semakin menjadi rumit. Di zaman feodal, dimana kerajaan-kerajaan tumbuh kembang, fenomena kemiskinan semakin kompleks.64
Realitas kemiskinan telah menemukan bentuk historisnya di negeri ini sejak zaman kolonial, terutama ketika pemerintah kolonial Belanda menyediakan lahan di atas tanah jajahan untuk pengembangan perkebunan-perkebunan besar. Bentuk historis itu bercirikan kekuatan kuasa kapitalis Belanda menjajah negeri ini dan sekaligus memantapkan monopoli atas tanah dan tenaga kerjanya melalui politik agraria yang didasarkan pada Agrarisch Wet (1870). Belanda mengambil kekayaan negeri ini melalui dan bersama kekuatan kapitalisme negara-negara Eropa lainnya atas perdagangan tanaman komoditi ekspor. Sejak saat itu sampai dengan kalahnya Belanda oleh kekuatan Jepang, perkebunan-perkebunan besar telah dikembangkan dengan konsentrasi di wilayah pulau Jawa dan Sumatera, dan sejak saat itu pula, realitas kemiskinan semakin meluas ketika ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terjadi, serta ribuan penduduk dipaksa dan terpaksa bekerja sebagai buruh tani,
64
www. gapri.org, Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): Gappri/Oxfam, Jakarta, 2003, Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2010.
(48)
kuli kontrak ataupun sebagai petani penggarap di atas lahan lahan perkebunan-perkebunan besar itu.65
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa Tahun 1840 sebagai awal amatan terhadap perkembangan hukum kolonial karena Tahun 1840-an adalah dasawarsa dimulainya realisasi kebijakan-kebijakan kolonial yang baru sehubungan dengan bermulanya secara nyata kemenangan ide-ide liberal dalam politik pemerintahan Belanda. Kebijakan-kebijakan sebelum Tahun 1850-an adalah kebijakan-kebijakan yang didominasi oleh motif-motif dan sikap yang “based-with some notable exception-on European self-interest and indifference to the indigenous legal order” atau motif-motif dan sikap yang cuma hendak mementingkan kepentingan-kepentingan orang-orang pendatang Eropa dan mengabaikan kebutuhan hukum masyarakat pribumi.66
Kemiskinan di masa Hindia Belanda mulai menunjukkan wajah ekstrimnya, di mana banyak terjadi enclave. Politik tanam paksa dan komoditas perkebunan telah menimbulkan penurunan kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Di wilayah-wilayah dengan sistem perkebunan dengan modal besar terdapat daerah-daerah kantong kemiskinan dan bahkan di beberapa daerah terjadi kelaparan. Berbagai laporan dan studi dilakukan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian membuahkan kebijakan politik etis. Programnya seperti diketahui, memang dalam beberapa hal menghilangkan kelaparan yang ekstrim. Kantong buruh makin banyak dan meluas, tidak hanya di Jawa. Di daerah Sumatera Timur juga berlangsung proletarisasi.67 Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat dipekerjakan secara paksa (kerja rodi)
65 Ibid 66
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 5
67
www. gapri.org, Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): Gappri/Oxfam, Op. Cit
(49)
bahkan penangkapan masyarakat yang melawan terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan pekerja.
Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diboncengi kolonialisme dan imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekadar manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas-ganasnya berkembang.68
Ketika proklamasi kemerdekaan terjadi, semestinya masalah-masalah di atas dapat diselesaikan. Namun karena kemerdekaan itu tidak hanya dicapai melalui perjuangan dengan senjata tetapi juga melalui perundingan-perundingan antara pemerintahan baru dengan Belanda dan sekutunya, maka segala upaya untuk lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi lambat. Belum lagi, pemerintah Belanda tetap berkeinginan mempertahankan dan memiliki kembali investasi modal besar dari kalangan pengusaha Eropa atas lahan-lahan perkebunan. Sementara itu, pemerintahan baru di bawah Soekarno dan Hatta sendiri juga berkepentingan besar atas lahan-lahan perkebunan besar itu hingga munculnya kebijakan nasionalisasi. Akibatnya masalah ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian tetaplah bertahan. Dan itu berarti, formasi kemiskinan tetap juga bertahan.69
68
www. gapri.org.,Op. Cit 69
(50)
Ikhtiar menghapus situasi ini melalui UU Pokok Agraria dan kebijakan landreform justru berujung pada kenyataan pahit hingga klimaksnya pada tahun 1965, ketika realitas kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya dijadikan perang politik ideologi untuk perebutan kekuasaan. Kemiskinan tersebut menyebabkan timbulnya gelandangan dan pengemis sebagai pilihan hidup,70 atau karena politik hukum yang belum dapat menyentuh kebutuhan-kebutuhan rakyat, sehingga menjadi pengemis adalah karena keterpaksaan akibat beban ekonomi tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat.
Oleh sebab itu dibutuhkan ide hukum nasional dengan pementingan regulasi kehidupan ekonomi (secara selektif lewat perundang-undangan nasional yang terkodifikasi dan terunifikasi secara terbatas) karena hukum adalah sarana penting guna mempertahankan ketertiban. Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya pembangunan ekonomi masyarakat, sebagai wujud dari negara kesejahteraan.71
B.Fungsionalisasi Hukum Pidana
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud secara kongkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah
70
www. gapri.org.,Op. Cit 71
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), Op. Cit., hlm. 234-235
(51)
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.72
Bertolak dari pengertian yang demikian, maka fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau proses pada penegakan hukum pada umunya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.73 Maka didalam fungsionalisasi hukum pidana ini yang akan dikaji adalah komponen substansi hukum agar pemahaman tentang penegakan hukum agar tidak melebar.
Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu
72
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 157 73
(52)
untuk mencapai dan memenuhi kepentingan itu. Fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana.74
A.Fuad Usfa menyatakan bahwa fungsi umum dari hukum pidana berkaitan dengan fungsi hukum pada umumnya. Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum pada umumnya, maka fungsi hukum pidana secara umum juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata kehidupan dalam masyarakat. disini hukum di fungsikan atau menjadi sarana bagi perlindungan hak-hak dan kebebasan dasar individu.75
Secara khusus sebagai bagian hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum Dari Perbuatan Yang Menyerang Atau Memerkosanya
Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminya ketertiban di segala bidang kehidupan.
74
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.15
75
(53)
2. Fungsi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum
Tindakan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan. Tindakan tersebut justru melanggar kepentingan pribadi yang mendasar bagi yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan dengan penangkapan, penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini tiada lain memberi dasar legitimasi bagi negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu hukum sebaiknya digunakan sebagai sarana pencapaian keadilan.
Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menpertahankan kepentingan hukum yang dilindungi. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu menjadi ada.76
Mengenai berlakunya ketentuan mengenai gelandangan dan pengemis didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat beberapa asas yang
76
(54)
tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas tersebut antara lain:77
1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya, Undang-Undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut didalam Undang-Undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Undang-Undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan Undang-Undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan Undang-Undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas dan umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.
4. Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-Undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur hal tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan Undang-Undang lama tersebut. 5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.78
6. Undang-Undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejateraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). Artinya, supaya pembuat Undang-Undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain:
77
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 12-14
78
Asas ini sepenuhnya tidak berlaku lagi setelah amandemen Undang-Uandang Dasar 1945 (Pasal 24 c), dan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-undang dapat digugat (judicial review) didepan Mahkamah Konstitusi. Mahfud MD menyatakan Judicial review akan mengawal setiap produk peraturan perundang-undangan agar konsisten dengan peraturan yang lebih tinggi dan pada tingkatannya paling tinggi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik sebagai cita hukum maupun sebagai staatsfundamentalnorm. Prinsip yang penting judicial review ini diperlukan untuk menjamin konsistensi peraturan perundang-undangan dengan peraturan dasarnya atau untuk membangun tertib hukum sesuai dengan tuntutan Pancasila sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan staatsfundamentalnorm.
(1)
---, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, Cet II
---, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2006
---, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Jakarta: Kompas, 2007
---, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Ronny Rahman Nitibaskara, Tb, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006
Saleh, Roeslan, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985
Sastraatmadja, Entang, Dampak Sosial Pembangunan, Bandung: Angkasa, 1987 Serikat Putra Jaya, Nyoman Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum
Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008
Soendoro, Emir, Jaminam Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari, Jakarta: Dinov Progress Indonesia, 2009
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bandung: Karya Nusantara, 1988
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008
---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
(2)
---, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983
---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
---, dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi, Jakarta: Rajawali Pers, 2008
Susanto, I.S., Statistik Kriminal Sebagai Konstruksi Sosial (Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatu Studi Kriminologi), Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
Syahrin, Alvi, Beberapa Masalah Hukum, Jakarta: Sofmedia, 2009
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004
Tresna, R, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977
Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009
Utsman, Sabian, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
---, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. II
Wisnubroto, Al dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
Wibowo, Eddi dkk, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004
Wignjosoebroto, Sutandyo, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan
(3)
Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002
---, Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional (Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
Wreksosuhardjo, Sunarjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Andi Offset, 2005
Yulia, Rena, Viktimologi (Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
B.Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial C.Jurnal
Al-Faqih, M.Z., Negara Ideal St. Ausgustine: Adakah Negara Indonesia Itu, Jurnal Governance, Pusat Penelitian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Vol. 2 No. 8, 2006
Bram, Deni, Tinjauan Teori Hukum Kehadiran Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Jurnal Themis Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Vol. 2 No. 1 Oktober 2007
Luthan, Salman, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Reformasi Hukum Pidana, Jurnal Hukum No. 11. Vol. 6 Tahun 1999
Nizarli, Riza, Bantuan Hukum Bagi Orang Yang Tidak Mampu Dalam Perkara Pidana, Jurnal Suloh Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. II. 1 April 2004
(4)
Suparman, Eman, Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No.1 Januari 2007
Syariah, Rabiatul, Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional, Dalam Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Zon, Fadli, Haluan Baru Pemimpin Baru, dalam Majalah Tani Merdeka (Media Komunikasi Petani), Edisi 9 Juli-Agustus 2008
Wahyudi, Agus, Moralitas, Keadilan dan Peran Negara: Masalah Pengalihan Subsidi, Majalah Flamma, Institute For Research And Empowerment (ire), Yogyakarta, Edisi 23, Volume 10 April 2005
C. Makalah/Tulisan
Kalo, Syafruddin, Teori dan Penemuan Hukum, Bahan Kuliah Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004
Majalah Penyuluhan Sosial, (Jakarta: Pusat Penyuluhan Sosial Departemen Sosial), Edisi 3/2009/Nomor 143
Muladi, Beberapa Catatan terhadap Buku II RUU KUHP, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHP diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 23-24 Maret 2005
M. Ramli, Ahmad, Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan Pada Semiloka Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2008 diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta Tanggal 11-13 Maret 2008
Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum Dindonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan Dalam Rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia
(5)
Ragawino, Bewa, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, Hasil Penelitian di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, Agustus Tahun 2005
Lubis, M. Solly, Suplemen Untuk Modul: Teori Hukum, Politik Hukum, Kebijakan Publik, Hukum dan Kebijakan Publik, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tanpa Tahun
D.Surat Kabar
Anshori, Bahron, Mengemis Itu Haram, dalam Harian Serambi Indonesia No. 7. 908 Tahun ke-23, Tgl. 3 Juni 2011
Harian Kompas, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Tgl. 19 Oktober 2010
Harian Kompas, Rasa Keadilan Masih Tersisih: Masyarakat Miskin Semakin Tidak Berdaya, Tgl. 15 Februari 2010
Gahral Adian, Donny, Hukum Tanpa Detak Keadilan, Harian Kompas Tgl. 23 Nopember 2009
Pattiwael, John Im, Hukum Untuk Si Miskin, Harian Kompas Tgl. 15 Februari 2010 Wignjosoebroto, Soetandiyo, Nenek Minah Tak Curi Cokelat, Harian Kompas Tgl. 15
Februari 2010 E.Internet
Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Merenungi Tafsir Al-ma’un, dalam www. islamhouse.com., diakses Tgl. 13 Juni 2011
http://www.dinsoslampung.web.id/pengertian-a-karakteristik.html, diakses Tgl. 19 Januari 2011
http://kgsc.wordpress.com/2010/02/07/gaya-moral-penegakan-hukum- yang- baik/, diakses Tgl. 14 Pebruari 2011
http://djjp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/64- politik- hukum -perundang-undangan. html. diakses Tgl. 14 Pebruari 2011
(6)
Jurnal.unhalu.ac.id./download Fenomena Penegakan Supremasi Hukum Pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif tahun 2009/m.satria, Diakses Tgl. 18 Oktober 2010
Komnasham.go.id/portal/files/mmb-perlindungan hak asas manusia melalui hukum pidana, Tanggal akses 18 Oktober 2010
www.gapri.org, Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan): GAPPRI/OXFAM, Jakarta, 2003, Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2010