Alat Pengumpulan Data Pembukaan Wilayah Hutan PWH Et-1 adalah kegiatan penyediaan Penebangan Et adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon Perapihan Et+1 adalah kegiatan pada areal bekas penebangan agar Inventarisasi Tegakan Tinggal ITT Et+2 adalah

Teknik pengumpulan data pada penelitan tesis ini menggunakan studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data skunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat- perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dipergunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah m pengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, journal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, dalam arti peneliti bertitik tolak pada proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola dengan memilih pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan sebagai predicate crime on money laundering pada tindak pidana pencucian uang. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data untuk memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM TINDAK

PIDANA KEHUTANAN DAN MONEY LAUNDERING DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan

Hakekat upaya pelestarian hutan akibat dari kerusakan hutan menjadi tanggungjawab setiap orang, namun kerusakan hutan yang disebabkan oleh praktek illegal logging khususnya dilakukan oleh pengusaha hutanpemegang HPH yang mengancam kelestarian hutan merupakan ketidakperdulian pelaku terhadap kelestarian hutan. Oleh karenanya atas perbuatan praktek illegal logging pelaku dapat dituntut, dipidana dan dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini jelas terlihat dari kriminalisasi tindak pidana pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan yakni ketentuan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1, ayat 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 48 Adapun mengenai ketentuan pidana terhadap perusahaan pemegang HPH yang lalai dan tidak konsisten terhadap kewajiban di bidang kehutanan, misalnya kewajiban yang timbul dari penerbitan IUPHHK menerapkan sanksi berupa pidana kurungan dan denda. Disadari bahwa pengenaan sanksi memang bukan satu-satunya jalan yang terbaik namun paling tidak akan dapat membuat sadar bagi perusahaan pemegang HPH yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. 48 Pasal 78 ayat 14 UUK delik korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Hukuman kepada pelaku delik korporasi bersifat diperberat, yakni ditambah 1 3 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Ketentuan hukum pidana kehutanan diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan Pasal 77 dan Ketentuan Pidana Pasal 78 dan 79. Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan individual crime juga mengatur perbuatan perusahaan atau Badan Hukum corporate crime. Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat 3 dari pasal tersebut menetapkan larangan sebanyak 13 butir butir a hingga m. Sistem sanksi pidana UU Kehutanan lebih spesifik dari sanksi yang terdapat dalam UUPLH. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan UUK adalah bersifat lex spesialis terhadap UUPLH yang mengatur objek-objek lingkungan secara umum lex generalis, termasuk ekosistem kehutanan. Ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 78, yaitu sebagai berikut: 1 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1 atau Pasal 50 ayat 2, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. 2 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 3 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. 4 Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 satu milyar lima ratus juta rupiah. 5 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. 6 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat 4 atau Pasal 50 ayat 3 huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. 7 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh milyar rupiah. 8 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 9 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. 10 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 11 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 tiga tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 12 Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. 13 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 6, ayat 7, ayat 9, ayat 10, dan ayat 11 adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dan ayat 12 adalah pelanggaran. 14 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. 15 Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. Pasal 78 ini merujuk kepada ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, yaitu sebagai berikut: 1 Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. 2 Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. 3 Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Berdasarkan Pasal 78 dan Pasal 50 UU Kehutanan di atas, maka kualifikasi tindak pidana kehutanan adalah sebagai berikut: Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 2. Tindakan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan vide Pasal 78 Ayat 1 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 1 UU Kehutanan ; 3. Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan oleh setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu vide Pasal 78 Ayat 1 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 2 UU Kehutanan ; 4. Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah vide Pasal 78 Ayat 2 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf a UU Kehutanan ; 5. Merambah kawasan hutan vide Pasal 78 Ayat 2 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf b UU Kehutanan; 6. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 7. Membakar hutan vide Pasal 78 Ayat 3 dan 4 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf d UU Kehutanan ; 8. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 5 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf e UU Kehutanan ; 9. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah vide Pasal 78 Ayat 5 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf f UU Kehutanan ; 10. Melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada kawasan Hutan Lindung vide Pasal 78 Ayat 6 atas pelanggaran Pasal 38 Ayat 4 UU Kehutanan ; 11. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri vide Pasal 78 Ayat 6 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf g UU Kehutanan ; 12. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan vide Pasal 78 Ayat 7 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf h UU Kehutanan ; Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 13. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 8 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf i UU Kehutanan ; 14. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 9 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf j UU Kehutanan ; 15. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 10 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf k UU Kehutanan ; 16. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan vide Pasal 78 Ayat 11 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf l UU Kehutanan ; 17. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang vide Pasal 78 Ayat 12 atas pelanggaran Pasal 50 Ayat 3 huruf m UU Kehutanan ; Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH telah mengklasifikasi tindak pidana lingkungan yaitu: 1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau b. perusakan lingkungan hidup. 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi danatau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atauatau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air pemukaan; b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum. 4. Melakukan perbuatan berupa: a. memberikan informasi palsu, atau b. menghilangkan informasi, atau c. menyembunyikan informasi, atau d. merusak informasi. yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas, yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran danatau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. 5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. Apabila di tinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41-44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya atau Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam UUPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum delic genus dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya delic species. Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 1 UUPLH dihubungkan dengan Pasal 41 ayat 2, Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan perbuatan yang dilarang adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum genus dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus species , baik dalam ketentuan dalam UUPLH maupun dalam ketentuan undang- undang lain ketentuan sektoral di luar UUPLH yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif kata benda dalam proses penimbulan akibat. 49 Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UUPLH memberikan pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup” adalah: “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 UUPLH, yaitu: 1. masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan; 2. dilakukan oleh kegiatan manusia; 3. menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan” sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pengertian istilah “perusaklan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UUPLH, sebagai berikut: 49 Perhatikan Mudzakkir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy ed, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML . Jakarta: Universitas Indonesia, 2001, hal. 527. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 “tindakan menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UUPLH memberikan pengertian secara otentik mengenai istilah “perusakan lingkungan hidup” adalah: 1. adanya tindakan; 2. menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya; 3. mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan abstrak, dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum hakim untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup. Untuk mencapai masuk ini, diperlukannya pengetahuan hakim yang mendalam di bidang lingkungan hidup dan adanya semangat, kepedulian hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Selanjutnya, diharapkan aparat penegak hukum termasuk hakim untuk memanfaatkan ahli dalam menangani kasus yang ditanganinya. Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan abstrak, juga akan menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum termasuk hakim tidak peka dalam merespon perkembangan yang Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain “kepentingan pribadi”. UUPLH sebagai undang-undang payung umbrella act dari undang-undang lain sektoral di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak tersebut diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang lainnya. Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa: 1. Melakukan perbuatan yang megakibatkan : a. pencemaran, dan atau b. perusakan lingkungan hidup 50 ; 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat 51 . 3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. Melepaskan atau membuang zat, energi danatau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atau atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam airpermukaan; 50 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 ayat 1 UUPLH 51 Pasal 41 ayat 2 dan Pasal 42 ayat 2 UUPLH Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum 52 . 4. Melakukan perbuatan berupa: a. Memberikan informasi palsu, atau b. Menghilangkan informasi, atau c. Menyembunyikan informasi, atau d. Merusak informasi, yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3di atas, yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain 53 . 5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 54 Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41 - 44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya 52 Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH 53 Pasal 43 ayat 2 dan Pasal 44 ayat 1 UUPLH 54 Pasal 43 ayat 3 dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. 55 Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. 56 Dalam tindak pidana formal, rumusan ketentuan pidana yang jika melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka telah dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dan karenanya dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya. Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat causality dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formal, yaitu: 55 Pasal 1 angka 12 UUPLH 56 Pasal 1 angka 14 UUPLH Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 1. Seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang- undangan, atau 2. Diketahui atau patut diduganya bahwa dengan pelanggaran tersebut dapat atau berpotensi menimbulkan akibat. Ketentuan Pasal 43 ayat 3 UUPLH dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal 43 ayat 3 dan Pasal 44 ayat 2 UUPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar peraturan atau melakukan sesuatu misalnya: menyembunyikan atau menghilangkan informasi, sehingga mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan juga menyebabkan kematian orang lain atau luka berat. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran tersebut dengan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan juga menyebabkan kematian atau luka berat. Akan tetapi jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan bahkan juga menyebabkan kematian atau luka berat tersebut bukan berasal dari sebab perbuatan yang dilakukannnya, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal. Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil tersebut, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan. Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa: 57 1. tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. 2. baik korporasi sebagai subyek hukum perorangan legal persons dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan as illegal actors, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. 3. motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional internal dan sub-kultur organisasional. Ketentuan Pasal 46 ayat 1 UUPLH mengatur bahwa jika tindak pidana dilakukan atas nama badan hukum atau perseroan, yayasan dan seterusnya, maka tuntutan, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib dijatuhkan kepada badan hukum atau yayasan tersebut maupun kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Dalam pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi 57 http:www.kompas.com , Perusakan Hutan Yang Dilakukan Oleh Korporasi, diakses tanggal 5 Juni 2009 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan. b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya alam, fungsi dan estetika lingkungan serta kualitas ruang.

B. Pengaturan Tindak Pidana Money Laundering di Indonesia

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful activity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang. Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan interprise crimes hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas. Dari kekhasan jenis kejahatan ini telah melahirkan berbagai definisi tentang pencucian uang, yang ternyata tidak ada satupun yang bersifat universal serta koprehensif. Hal ini nampak dalam pernyataan: 58 “There is no universal or comprehensive definition of money laundering. Prosecutors and criminal intelligence agencies, businesspersons and companies, developed and developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of persecution are narrower than definitions for intelligence purposes.” Dari berbagai definisi yang dibuat masing-masing negara bukan berarti berbeda sama sekali tetapi terdapat standar minimumnya berkaitan dengan kriteria kejahatan ini, dan terutama untuk kepentingan dilakukannya mutual legal assistance. Artinya bahwa masing-masing negara boleh saja tidak menyeragamkan definisi namun paling tidak terdapat standar yang harus diatur yaitu berkaitan dengan adanya unsur-unsur intent maksud atau sengaja, a financial transaction, proceed of crime, knowledge or reason to know dan proceed of crime or unlawful activity. Dari sifatnya yang merupakan kejahatan ekonomi maka dipikirkan bahwa praktik pencucian uang sebagian besar menggunakan sarana lembaga keuangan, maka harus dilakukan upaya agar lembaga ini tidak digunakan untuk pencucian uang. 58 David A.Chaikin, “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991, hal. 468-469. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Selain itu upaya pemberantasan melalui ketentuan lembaga keuangan dipandang sebagai suatu strategi dini sebagai penangkapan pelaku dan penyitaan hasil kejahatan dalam kaitannya dengan upaya preventif. Namun demikian karena sifatnya yang merupakan kejahatan tetap harus dilakukan upaya represif, maka ditawarkan suatu pemikiran pemberantasan dengan pendekatan dua jalur yang disebut sebagai twin track against money laundering: 59 “A twin track policy has gradually evolved in the fight against money laundering, consisting of preventive approach, founded in banking law, and repressive approach founded in criminal law. To portray the distinction between the preventive and the repressive approach to money laundering as a dichotomy between criminal and financial law is, however, an over simplification.”17 Berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang maka kedua pendekatan tersebut hanya dibedakan tetapi tidak dipisahkan, bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Diawali dengan pendekatan preventif yang diletakan pada lembaga keuangan nampaknya upaya pemberantasan melalui bidang ini dipandang sebagai strategi dini dan yang paling signifikan. Misalnya pada tahap placement lembaga keuangan bank dimanfaatkan dengan cara yang sederhana sampai yang rumit menggunakan wire transfer ataupun munculnya Payable Through Accounts PTAs. Dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 3 dan 6 dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang Pasal 8 dan 9. Pasal 3: 59 Guy Stessens, op.cit. hal. 108 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 1 Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; e. menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain; f. membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar. Unsur obyektif actus reus dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan unsure subyektifnya mens rea yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Pasal 6 1 Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah ; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran, harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar. Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan unsure subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana. Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu: Pasal 8: Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar. Pasal 13 ayat 1 yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut: Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb: a. transaksi keuangan mencurigakan; b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja. Pasal 9: Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta. Di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang UUTPPU. Mendasari UUTPPU ini money laundering telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun korporasi. Perkembangan kejahatan yang telah dilakukan korporasi dewasa ini baik dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan bribery, perbankan, pencucian uang yang dikategorikan sebagai kejahatan white collar crime dan dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang berada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini biasanya sulit untuk dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut. 60 Adapun sifat ataupun karakter yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang pada umumnya dilakukan oleh pelaku yang memiliki kekuasaan baik politik maupun ekonomi untuk membuat kabur dari asal usul harta kekayaan yang 60 Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 didapat dari kejahatan tersebut sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penjeratan dan penghukuman serta menerapkan norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan bagi pelaku kejahatan pencucian uang didalam sistem peradilan pidana criminal justice system yang terdiri dari polisi jaksa dan hakim. 61 Pengaturan tentang pencucian uang ini merupakan salah satu dari delapan kejahatan transnasional narkoba, terorisme, penyeludupan senjata api, perdagangan wanita dan anak, pembajakan di laut, kejahatan ekonomi, kejahatan cyber dan pencucian uang yang telah disepakati dunia di lingkungan asia tenggara dimasukkan dalam golongan kejahatan bisnis transnasional yang dapat melintasi batas wilayah dan yuridiksi suatu negara serta penanganannya pun mendapat perhatian. Pada akhir tahun 80 an dan 90 an, negara-negara maju telah mencemaskan terhadap berkembangnya tindak pidana pencucian uang terlebih lagi pada saat itu ketentuan tentang kerahasiaan bank sangat dilindungi dan sulit ditembus, berdasarkan pemikiran tersebut maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yang disebut FATF The Financial Action Task Force yaitu badan antar pemerintah yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang. 62 Lahirnya UUTPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. 61 Ibid 62 David P Steward, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances , Den. J Int : L and Pol’y, vol 18 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasa keuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalam lalu lintas keuangan. Praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan dan mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional yang telah ada. 63 Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, yang biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari 63 Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, Loc.cit, , hal. 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru dibanyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang money laundering tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal core crime dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalam menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU. Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam black list negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut. 64 Perubahan-perubahan di dalam UUTPPU melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 apabila dicermati, terlihat masih banyak mengandung kelemahan- kelemahan, antara lain terdapat di dalam Pasal 35 UUTPPU tentang pembalikan beban pembuktian shifting of the burden of proof, sebagai dasar di dalam penerapan asas diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, yang tidak secara tegas mengatur bagaimana kalau terdakwa tidak dapat membuktikannya. Dalam pasal tersebut hanya dikatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa hartanya bukan merupakan hasil kejahatan. Seharusnya 64 Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005, hal. 6 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 ada pasal lain yang menyebutkan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya tersebut, maka harta kekayaan tersebut dapat langsung disita atau dapat dianggap terbukti berasal dari kejahatan asal predicate crimes Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UUTPPU telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi penegak hukum, untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang money laundring, dengan melalui berbagai pendekatan seperti tersebut di atas. Diharapkan dengan adanya pendekatan-pendekatan tersebut, tidak saja secara fisik para pelaku dapat dideteksi, tetapi juga terhadap harta kekayaan yang didapat, diperoleh, dan berasal dari kejahatan asal core crime, yang digolongkan sebagai predicate crimes . Sehingga kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi high social status dapat dimintai pertanggung jawabannya. Dalam tindak pidana pencucian uang money laundering, yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian dan pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan beberapa alasan yakni: 1. Jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat beresiko; 2. Jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan mengejar uang atau harta kekayaan dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan; Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 3. Uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri blood of the crime. Bila para penegak hukum melakukan pengejaran terhadap uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, serta dilakukan upaya-upaya hukum berupa penyitaan untuk menyelamatkan asetkeuangan negara, maka dapat dipastikan dengan sendirinya akan berdampak secara signifikan pada turunnya tingkat kejahatan pencucian uang itu sendiri. Sejak pertama kali dikeluarkanya undang-undang tidak pidana pencucian uang maka pencucian uang sudah di kriminalisasi sebagai tindak pidana dengan konsekuwensi terhadap berlakunya penegakan hukum law enforcement terhadap para pelaku dan setiap orang yang terkait dengan kejahatan pencucian uang ini. Memang ada suatu kecenderungan bagi para pelaku kajahatan untuk tidak segera mempergunakan harta kekayaan hasil dari kekayaan yang mereka lakukan yang biasanya berbentuk uang, para pelaku kejahatan lebih memilih untuk menyembunyikan atau mengalihkanya berkali-kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda-beda agar aparat penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan mencurigai pelaku kejahatan tersebut. Hal ini adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan pencucian uang. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008

E. Karakteristik Pelaku Kejahatan Pembalakan Liar Yang Mengalihkan Harta

Kekayaan Hasil Kejahatan Dengan Praktek Pencucian uang Pelaku kejahatan pencucian uang atas harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pembalakan liar sering menggunakan financial system untuk mengaburkan harta hasil kekayaan yang semula harta tersebut diperoleh dari hasil kejahatan. Financial system pada umumnya sering dipahami dan dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kredit atau perdagangan valuta asing, namun perlu diketahui bahwa selain produk transnasional perbankan seperti tabungandeposito, trnasfer serta kreditpembiayaan pada kenyataanya produk dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga keuangan juga menarik bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai sarana pencucian uang, 65 oleh karenanya pelaku kejahatan ini memiliki kemampuan dan net work yang canggih dalam menjalankan aksi kejahatannya yakni penyeludupan uang, melalui institusi keuangan dan melalui institusi non keuangan. Berikut ini akan diterangkan beberapa modus operandi tentang pencucian uang. 1 Tipologi Menurut Egmont Group 66 Menurut Egmont Group, kasus-kasus pencucian uang dibagi ke dalam lima tipe sesuai dengan bagaimana cara-cara para pencuci uang melakukan kegiatan pencucian uang. Kelima tipe itu adalah sebagai berikut : 65 Bismar Nasution, Rezim Anti-Money Laundering Di Indonesia, op.cit, hal. 3 66 Ermon Group adalah gabungan dari Financial Intelligence Unit FIU yaitu lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang dari setiap negara di dunia yang bertujuan untuk mengumpulkan kasus-kasus terpilih berkenaan dengan pemberantasan pencucian uang. Kumpulan kasus tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat kepada FIU di masing-masing negara. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 a Penyembunyian ke dalam struktur bisnis Penyembunyian ini dilakukan ke dalam kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam perusahaan yang telah ada yang dikendalikan oleh organisasi kejahatan yang bersangkutan. Apabila tipe ini sudah ditempuh, maka pencuci uang akan mendapatkan setidaknya enam keuntungan. Hal tersebut diungkapkan oleh The Egmount Group yaitu: 67 1 bahwa dengan cara ini, pencuci uang dapat lebih memiliki kendali terhadap perusahaan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pencucian uang. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan kegiatan pencucian uang itu dibocorkan oleh orang dalam dan diketahui oleh penegak hukum 2 bahwa lembaga keuangan yang digunakan untuk mentransfer dana itu akan kurang curiga apabila kemudian mengetahui adanya fluktuasi yang demikian besar di dalam rekening perusahaan tersebut dibandingkan apabila kegiatan yang serupa dilakukan melalui rekening pribadi. 3 bahwa kegiatan bisnis memiliki alasan-alasan sah bagi pelaksanaan tranfer dana kepada atau penerimaan transfer dana dai yurisdiksi lain, dan dalam berbagai mata uang, sehingga hal yang demikian itu dapat mengurangi tingkat kecurigaan dari lembaga-lembaga keuangan yang bersangkutan 67 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme , Grafiti: Jakarta, 2004, hal. 124-125 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 4 bahwa beberapa bisnis bertransaksi terutama dengan uang tunai dan lembaga-lembaga keuangan akan kurang curiga apabila melihat ada pihak yang melakukan penyimpanan uang tunai yang besar 5 bahwa hubungan antara para penjahat dengan perusahaan yang bersangkutan dapat disembunyikan melalui struktur kepemilikan perusahaan, karena apabila rekening tersebut berbentuk “ personal bank account ”, maka dokumen-dokumen identifikasi khusus dari pribadi- pribadi pembuka rekening tersebut akan diminta oleh lembaga-lembaga keuangan di mana rekening itu dibuka. 6 Bahwa di beberapa negara biaya untuk mendirikan perusahaan tidak mahal, yaitu hanya beberapa ratus dolar saja. Di samping itu, di seluruh dunia selalu saja tersedia agen-agen yang dapat memfasilitasi pihak-pihak yang memerlukan untuk mendirikan perusahaan dan memfasilitasi penyediaan manajemennya, termasuk apabila diperlukan oleh para penjahat yang kurang memiliki pengalaman profesional dalam masalah tersebut. b Penyalahgunaan bisnis yang sah Dalam tipe kasus seperti ini, pencuci uang menggunakan bisnis atau perusahaan yang telah ada tanpa harus menciptakan yang baru. Perusahaan tersebut akan menggunakan dana hasil pencucian uang tanpa harus tahu asal- usul dari dana tersebut sehingga dana tersebut akan terlihat seakan-akan memang berasal dari perusahaan yang bersangkutan, dan bukan berasal dari Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 pemilik yang sesungguhnya. Untuk memperlancar proses ini, pencuci uang sering menggunakan tenaga profesional seperti lawyers dan accountants. c Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, dan penggunaan perantara Dalam tipe kasus seperti ini, pencuci uang menyerahkan aset miliknya kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kejahatan. Orang-orang seperti ini disebut dengan “straw men”. Mereka akan digunakan untuk menyimpan dana di bank atau menarik dana tersebut dengan harapan apabila transaksi-transaksi tersebut menjadi perhatian para penegak hukum, maka tidak terungkapnya hubungan transaksi itu dengan organisasi kejahatan yang bersangkutan akan dapat menghilangkan jejak sumber keuangan itu. Penggunaan dokumen-dokumen identitas palsu acap kali dilakukan untuk membuka rekening bank atau untuk melaksanakan transaksi yang digunakan untuk meniadakan dapat terlihatnya hubungan antara aset tersebut dengan penjahat yang bersangkutan. Dokumen palsu digunakan untuk menunjang upaya-upaya pencucian uang yang dilakukan oleh pencuci uang. Misalnya, pembuatan faktur palsu false invoicing, tanda terima receipts palsu, dan dokumen perjalanan palsu. Semua ini digunakan untuk membuktikan kebenaran mengenai dana yang disetorkan kepada lembaga-lembaga keuangan yang bersangkutan. 68 68 Ibid, hal. 126 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 d Pengeksploitasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi internasional Pengeksploitasian pembedaan-pembedaan peraturan dan persyaratan yang berlaku antara negara yang satu dengan negara yang lain merupakan hal yang dilakukan oleh pencuci uang. Misalnya, pembedaan ketentuan rahasia bank, persyaratan identifikasi untuk membuka rekening bank, persyaratan transportasi, ketentuan perpajakan, persyaratan pendirian perusahaan, dan pembatasan lalu lintas devisa. Globalisasi dari jasa-jasa keuangan yang makin meningkat dapat memudahkan para penjahat untuk berkali-kali memindahkan dana-dana mereka dan satu yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain dengan biaya yang rendah. e Penggunaan harta kekayaan tanpa nama Tipe kasus seperti ini adalah yang paling sederhana. Para penjahat menyadari bahwa makin sedikit para pencuci uang meninggalkan jejak pemeriksaan yang dapat dilacak oleh para investigator, yaitu jejak yang ditinggalkan oleh kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh para penjahat itu dengan asetnya. Beberapa aset memang tidak memiliki nama pemilik sehingga kepemilikannya praktis tidak mungkin dibuktikan, kecuali apabila penjahat yang bersangkutan tertangkap basah oleh penegak hukum ketika sedang berinteraksi dengan aset tersebut. 69 69 Ibid, hal. 128 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 2 Macam-macam mekanisme kerja dalam pencucian uang, yaitu melalui: a Cash tunai Hasil kejahatan pencucian uang berupa uang tunai terkait dengan tahap “plecement”, namun juga bisa dalam tahap transfer dan “integration”. Yang menjadi modus operandi para pelaku pencucian uang dalam menangani uang tunai atau “cash” sebagai berikut; 70 1 Mengkonvensi uang tunai dengan menempatkan uang hasil kejahatnnya ke dalam penyedia jasa keuangan atau dengan membelajakan uang tersebut untuk barang-barang tertentu. 2 Structuring cash deposits dilakukan dengan cara menghindari pelaporan keuangan dalam rezim anti pencucian uang, menghindari kecurigaan aparat intelijen keuangan dan membantu para pencuci uang dalam membersihkan hasil kejahatannya. 3 Smurfing yaitu suatu proses dimana para kriminal melibatkan beberapa orang smurfs untuk mendepositokan uang hasil kejahatan ke dalam sistem perbankan sehingga mengurangi kecurigaan petugas Penyedia Jasa Keuangan. 4 International smuggling of cash yaitu dengan secara fisik uang dalam jumlah besar melewati perbatasan suatu negara. 70 Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia , Malibu: Jakarta, 2004, hal. 13-15 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 b Wire tranfer Mekanisme kerja pencucian yang dilakukan ketika uang tunai sudah berada dalam sistem keuangan. Cara ini termasuk yang cepat dan terpercaya dalam mentranfer uang ke seluruh dunia. Keuntungan dengan menggunakan mekanisme ini adalah : uang dalam jumlah besar ditransfer seketika, dapat memindahkan uang hasil kejahatan melalui beberapa jurisdiksi dan dalam berbagai rekening bank secara cepat; dalam “Telegraphic Transfer” informasi atau identitas dari si pengirim dan si penerima terbatas; dan keuntungan yang terakhir adalah dapat menyembunyikan sumber dari uang hasil kejahatan dan menghindari persyaratan pelaporan internasional. 71 c Alternative remittance systems underground banking Dalam sitem ini, penyedia jasa keuangan beroperasi di luar sektor keuangan yang utama dimana uang atau dana ditransfer antar negara dengan cepat dan sulit dideteksi. Sitem ini digunakan oleh pencuci uang kerena : 1 sistem ini tidak mengenal prinsip “know your costumers system”, 2 tidak ada catatan transaksi; dan 3 pihak yang berwenang kesulitan dalam melacaknya. Dalam buku Yenti Garnasih yang berjudul “Kriminalisasi Pencucian Uang Money Laundering”, disebutkan bahwa pencucian uang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara tradisional dan cara modern. Cara tradisional biasanya dilakukan 71 Ibid Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat rahasia. 72 Dengan cara ini, para pelaku menjalankan praktek pencucian uang dengan dilandasi rasa saling percaya yang kuat dan tanpa menggunakan pembukuan, sehingga transaksi tersebut tidak meninggalkan jejak. 72 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang Money Laundering, Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, hal. 57 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI

DALAM KASUS ADELIN LIS DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA

A. Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung

Dalam Kasus Adelin Lis Direksi PT. KNDI Dalam Rangka Meminta Pertanggungjawaban Pelaku Pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam tindak pidana kehutanan sebagai kejahatan asal core crime melalui pendekatan rezim money laudering tentunya terlebih dahulu dilakukan pendekatan secara refresif sebagai bagian dari kebijakan kriminal criminal policy yang merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan kehutanan dan kejahatan pencucian uang Money Laundering oleh pihak kepolisian sebagai penyidik yang merupakan suatu proses dari penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana. 73 Proses penyidikan Polri sebagai bahagian dari kebijakan kriminal berupa upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum sebagai bahagian dari sistem pemidanaan berupa tanggungjawab pelaku dapat dilihat dari proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara terhadap pelaku yakni PT. KNDI Adelin Lis dalam rangka penjeratan pelaku dengan menggunakan kerangka Pasal 3 UUTPPU sebagai berikut: 74 73 Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. 74 BAP berkas perkara Adelin Lis oleh Satuan II Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 “PT. Keang Nam Development Indonesia Cq. Saudara ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan Umum PT. Keang Nam Development Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor : 805Kpts-IV1999, tanggal 30 September 1999, PT. Keang Nam Development Indonesia mendapatkan fasilitas dari Negara Republik Indonesia Cq. Departemen Kehutanan RI berupa Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu UPHHK seluas ± 58.590 lima puluh delapan ribu lima ratus sembilan puluh Ha yang terletak pada kelompok hutan Produksi sungai Singkuang – sungai Natal, Kec. Muara Batang Gadis, Kab. Mandailing Natal, dahulu sebelum tahun 2000 adalah Kec. Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara, diberikan jangka waktu 35 tiga puluh lima Tahun, yang berlaku surut sejak tahun 1994 sd tahun 2029 adalah ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan Umum di PT. Keang Nam Development Indonesia tidak pernah mengeluarkan dana operasional untuk kegiatan sistim Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI yang mengakibatkan penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode tahun 2000 sd tahun 2005 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain lokasi penebangan berada diluar Blok Tebangan Petak Tebangan Rencana Karya Tahunan RKT yang menimbulkan kerusakan hutan, dimana kegiatan Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI tersebut meliputi: 1. Penataan Areal Kerja PAK Et-3 Et = Exploitasi Tebangan adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengatur blok kerja tahunan dan petak kerja guna perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan unit pengelolaan hutan. 2. Inventarisasi Tegakan sebelum Penebangan ITSP Et-2 adalah kegiatan pencatatan, pengukuran dan penandaan pohon dalam areal Blok Kerja Tahunan untuk mengetahui : a. Data Pohon Inti : jumlah, jenis, diameter. b. Data Pohon yang dilindungi : jumlah, jenis, diameter. c. Data Pohon yang akan dipanen : jumlah, jenis, diameter, tinggi bebas cabang. d. Data Medan Kerja : jurang, sungai, kawasan dilindungi. ITSP khususnya ditujukan untuk penyusunan Rencana Karya Tahunan RKT yang berkaitan dengan TPTI.

3. Pembukaan Wilayah Hutan PWH Et-1 adalah kegiatan penyediaan

prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, insfeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi antar pusat kegiatan. Pembukaan hutan diwujudkan oleh Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 penyediaan jaringan angkutan, barak kerja, penimbunan kayu dan lain- lain.

4. Penebangan Et adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon

dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan 50 up, yang artinya ukuran diameter 50 Cm keatas dari blok tebangan yang telah disahkan. 5. Perapihan Et+1 adalah kegiatan pada areal bekas penebangan agar Tegakan Tinggal tersebut mudah diinventarisasi, diperbaiki dan di tingkatkan produktivitasnya. 6. Inventarisasi Tegakan Tinggal ITT Et+2 adalah kegiatan pencatatan dan pengukuran pohon serta permudaan alam pada areal Tegakan Tinggal untuk mengetahui antara lain komposisi jenis, penyebaran dan perapatan pohon dan permudaan serta jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti. 7. Pembebasan Tahap Pertama Et+2 adalah kegiatan pemeliharaan Tegakan Tinggal yang berupa pekerjaan membebaskan tajuk dari 200 batang pohon binaan jenis Niagawi pohon inti dan permudaan per hektar, dari desakan dan naungan pohon tumbuhan penyaing. 8. Pengadaan Bibit Et+2 adalah kegiatan yang meliputi penyiapan