Semiotik Roland Barthes Analisis Semiotik

d. Louis Hjelmslev : Hjelmslev mengembangkan sistem dwipihak dyadic system yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains” yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material penanda dan konsep mental petanda, namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya

1. Semiotik Roland Barthes

30 . Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir srtukturalis yang getol memparktekan model linguistik dan semilogi Saussurean. Ia lahir pada 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbroug dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Semasa hidupnya, Barthes telah banyak menulis buku, diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain : Le degree zero de I’ecriture atau “nol derajat di bidang Menulis” 1953, diterjemahkan kedalam bahasa inggris, Writing Degree Zero,1977. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan. Tataran ke-dua, yang di bangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran 30 Ibid. h. 63-70 ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Denotasi ialah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dengan petanda pada realitas, menghasilkan makan eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adakah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroprasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti Yusita Kusumarini : 2006. Di mata Barthes, suatu teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu dilakukan dari teks itu sendiri. Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, yang disebut juag sebagai analogan. Pola tingkat makna lapisan ke dua, yakni konotasi, maka tercipta dengan cara menghubungkan petanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas, keyakinan-keyakinan, sikap kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu. Konotasi merupakan sistem ganda dimana sisitem semiotika tingkat dua mengambil sistem semiotika tingkat pertama dengan signifier atau konsep. Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja : 1. Signifier Penanda 2. Signified petanda 3. Denotative sign tanda denotatif 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotasi 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti dalam penyempurnaan semiotik Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya mengungkapkan, bahwa denotasi merupakan sistem signifikan tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfianhan denotasi, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan makna lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah sistem komunitas dan sebuah pesan. 31 Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutkan sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkap dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelunya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi dibalik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebuah kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, kerena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya suatu dunia lain yang sifatnya lebih imajiner. Sebagai halnya mitos, ideologi tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontitu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam sebuah ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan selalu menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsi untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat. 31 “ Pengertian makna denotatif konotatif” diakses pada tanggal 28 desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http : organisasi.org Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalu konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap “apa” dan “siapa” yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif mambantu untuk meyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya. 32 32 “mitos bahasa media mengenal semiotika roland barthes” diakses pada tanggal 28 desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http : www.averroes.or.id 47

BAB III PROFIL KOMIK DAN PENULIS

A. Komik : Talk Abot Hape

Komik ini bercerita tentang bagaimana fenomena masyarakat pada saat dikeluarkannya alat komunikasi yang lebih mudah dibawa kemana-kemana, yaitu Handphone. Dengan seiring perkembangan zaman, alat komunikasi menjadi salah satu alat yang paling dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Pada awalnya handphone hanya bisa dibeli oleh kalangan menengah ke atas, karena harnya yang tidak murah. Pada saat itu mempunyai handphone menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang. Dalam komik ini Benny dan Mice mengemasnya secara menarik, lucu, namun juga pedas dan lugas. Komik ini juga sangat menggambarkan bagaimana tingkah laku dan pemikiran masyarakat akan handphone. Mereka juga mengkritik provider nomor telfon, penjual handphone, dan pulsa. Sebagi komikus Benny dan Mice tidak pernah menunjukan ketidak setujuannya dengan cara menggurui.

B. Profil Tokoh Komik

Seri komik ini bercerita mengenai dua lelaki berumur sekitar 30-an yang mencoba bertahan hidup di kota Jakarta . Benny dan Mice adalah dua sahabat yang termarjinalkan secara struktural di Jakarta. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan mereka untuk tetap menerima hidup ini apa adanya. Meskipun kelihatannya kampungan, keduanya tetap kompak dan berusaha sebaik mungkin untuk tetap eksis di lingkungan sosial kota Jakarta. Kekuatan utama dari komik ini adalah nilai kejujuran dan objektifitas yang diilustrasikan di setiap ceritanya.