Latar Belakang Masalah Lembaga swadaya masyarakat kontras dan hak asasi manusia : studi kasus penegakan HAM di indonesia kasus kerusuhan me1 1998

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hasil pemilu presiden 2009 memberikan gambaran bahwa dunia politik di negeri ini sudah mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan tersebut, peran partai politik sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi rakyat semakin mengalami pergeseran. Jika pada pemilu presiden sebelumnya peran partai politik sangat kentara dalam pemenangan calon yang mereka usung, maka dalam pemilu 2009 peran tersebut mulai diambil-alih oleh lembaga konsultan politik. Hampir segala sesuatu yang berkenaan dengan pribadi dan citra pasangan yang mencalonkan diri di pemilu presiden, terutama pasangan SBY-Boediono, mendapatkan perhatian dari lembaga konsultan politik, yang dalam hal ini adalah Fox Indonesia. Peran partai politik yang sebelumnya dianggap sebagai mesin politik sudah mulai terpinggirkan. Padahal jika merujuk kepada proses demokratisasi, keberadaan partai politik merupakan suatu keharusan. Karena di negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum. 1 1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, Cet. Ke-27, hal. 159 Terdapat tiga teori mengenai asal-usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi. 2 Di awal reformasi, setelah runtuhnya Orde Baru, banyak partai-partai baru berdiri, dalam jumlah yang sangat menakjubkan. Hal itu merupakan sesuatu hal yang wajar-wajar saja, sebagai akibat tersumbatnya demokrasi selama 32 tahun. Suka cita dalam menyambut datangnya era reformasi membuat semua orang ingin mengeluarkan hasrat dan keinginan mereka dalam berpolitik dengan membentuk partai politik atau bergabung dengan partai politik yang mereka anggap dapat menjadi kendaraan aspirasi mereka yang selama ini mereka tidak dapatkan dari tiga partai yang diperbolehkan oleh pemerintah. 3 Pada Pemilu 1999, boleh dikatakan masih merupakan masa kejayaan bagi keberadaan partai politik. Terdapat banyak partai-partai baru yang mendapat kesempatan untuk menempatkan kadernya di lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal ini bisa dimaknai dengan besarnya peran partai politik. Terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, kemudian disusul oleh naiknya Megawati sebagai presiden, karena Abdurrahman Wahid 2 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999, Cet. Ke-4, hal. 113 3 Defrimardiansyah, Perubahan Pemilu Indonesia, Menuju Komersialisasi Jabatan Publik, artikel diakses dari http:defrimardinsyah.wordpress.com20090802perubahan- pemilu-indonesia-menuju-komersialisasi-jabatan-publik pada tanggal 16 Agustus 2010 digusur masih merupakan kejayaan bagi partai politik. Hal ini terjadi karena kekuasaan masih dimainkan oleh kekuatan partai politik, di mana pada waktu itu presiden masih dipilih oleh MPR, yang sebagian besar anggotanya berasal dari partai politik. Kemudian pada era Pemilu 2004, merupakan masa peralihan, yaitu peralihan dari pemilu konvensional, yang mengandalkan kekuatan partai politik, menjadi pemilu yang menonjolkan berjalannya marketing politik. Perbedaan yang terdapat pada pemilu konvensional, mesin partai selalu dibangga- banggakan. Sebuah partai yang memiliki kepengurusan lengkap sampai tingkat RT Rukun Tetangga diyakini akan memenangkan pemilu. Berbondong- bondonglah seluruh partai politik untuk memantapkan kepengurusannya. Banyak dana digelontorkan untuk membentuk kepengurusan partai politik hingga pada tingkat yang paling rendah. Bagi Setiap calon anggota legislatif caleg diberi tanggung jawab untuk menghidupkan mesin partai ini, mulai membentuk, mendanai dan me-manage-nya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada pemilu presiden 2009, dimana peran partai politik sudah mengalami pergeseran. Partai politik tidak lagi mendominasi strategi yang dipakai oleh calon pasangan presiden dan wakil presiden dalam proses pemenangannya. Untuk yang berhubungan dengan strategi dan pemasaran yang dianggap bisa mememangkan pasangan yang diusung, pada pemilu 2009 sudah menggunakan jasa konsultan politik. Peran lembaga konsultan ini adalah merumuskan strategi-strategi yang akan diambil dalam rangka untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kemashuran pasangan yang ditangani, dan memenangkannya dalam pemilu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini penggabungan disiplin ilmu untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tidaklah mustahil. Salah satunya adalah strategi marketing dalam dunia politik. Strategi-strategi marketing semakin diperlukan di dalam dunia politik. Dunia masa kini memang tidak sepenuhnya berubah dibandingkan dengan dunia masa lampau. Masa kini adalah kelanjutan dari masa lampau. Tetapi evolusi menuntut manusia untuk menerapkan cara-cara yang lebih tepat dan relevan, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Para politikus harus mempergunakan cara-cara baru. Cara-cara lama boleh jadi masih banyak dipakai, tetapi masyarakat yang semakin kritis menuntut mereka untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih persuasif. 4 Jika melihat hasil pemilu legislatif 2004, maka pemilu tersebut masih menunjukan hasil yang memperlihatkan bahwa mesin partai masih berfungsi. Namun demikian, pada pemilu presiden 2004 menunjukan peran marketing politik lebih berperan. Salah satu contohnya adalah Wiranto yang diusung oleh partai Golkar, partai yang memenangkan pemilu legislatif, partai yang mesin partainya sudah matang dan kuat akhirnya harus menelan pil pahit kekalahan dari pasangan SBY-JK yang notabene berasal dari partai kecil dan bukan pemenang pemilu legislatif. Hal ini merupakan salah satu pertanda bahwa peran partai politik sudah berkurang, dikalahkan oleh marketing politik, yang dikemas dalam iklan politik di semua media. 4 Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, Cet. Ke-2, hal. xxii Hal ini menafikan asas ciri partai dipandang sebagai sumber polarisasi yang akhirnya dapat menimbulkan keresahan karena adanya fanatisme golongan, seperti terlihat dalam masa kampanye pemilihan umum. Solidaritas kelompok sangat kuat dan karena itu fanatisme golongan menimbulkan sikap-sikap ekstrim terhadap golongan lain yang tidak seaspirasi. Maka tidak heran jika dalam kampanye pemilu terjadi gesekan antar pendukung partai politik, yang merugikan kedua belah pihak. Jika tidak disikapi dengan arif dan bijaksana, maka bisa menimbulkan perselisihan di tingkat akar rumput. 5 Walaupun Jusuf Kalla JK yang menjadi pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono SBY, merupakan kader Golkar, tetapi pada pencalonannya di dalam pemilu presiden 2004, JK tidak membawa-bawa Partai Beringin tersebut, yang dibawa hanyalah elit-elit Golkar yang memiliki dana kuat, untuk memberikan sokongan dana bagi program marketing politik yang membutuhkan dana yang sangat luar biasa. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pemilu 2009, baik legislatif maupun pemilu presidennya, memberikan bukti bahwa marketing politik memegang peranan penting bagi keberhasilan seorang kandidat, baik kandidat anggota legislatif maupun kandidat presiden. Kemenangan Partai Demokrat merupakan buah dari political branding yang dilakukan SBY, sebagai ketua dewan pembina. Kemenangan SBY-Boediono, tidak terlepas dari peran Fox Indonesia sebagai konseptor bagi personal branding SBY. 5 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali, 1983, Cet. Ke-1, hal. 219 Kemenangan SBY pada Pilpres 2009 ini, selain karena dukungan marketing politik yang dilakukan oleh Fox Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung, seperti membiayai lembaga survey untuk membentuk opini, mulai dari kemenangan SBY, sampai pemilu satu putaran, ternyata berhasil mempengaruhi masyarakat pemilih. Politik pencitraan ini terbukti berhasil untuk menggiring masyarakat awam dalam memilih satu calon tertentu yang sebelumnya mungkin bukan pilihan mereka. Namun karena penayangan iklan di media elektronik maupun cetak yang begitu masif, sehingga memberikan efek bagi para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya. Fox Indonesia adalah lembaga “Strategic and Political Consulting” pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 14 Februari 2008 oleh Choel Mallarangeng, MBA dan Rizal Mallarangeng, Ph.D serta didukung oleh sejumlah intelektual muda dan praktisi handal dari disiplin ilmu yang beragam. Sebagai lembaga profesional, Fox Indonesia menangani klien-klien untuk pemilihan kepala daerah Pilkada, pemilihan presiden Pilpres, dan pemilu legislatif serta korporasi. 6 Bagi yang pernah mempelajari secara mendalam tentang marketing, brand management dan marketing communication, tentu mengerti mengapa Choel Malarangeng dari Fox Indonesia, langsung memberikan instruksi kepada seluruh tim sukses untuk menggunakan SBY-Boediono sebagai penamaan bagi pasangan kandidat ini, di mana sebelumnya beredar nama SBY-Berbudi. Karena 6 Artikel ini penulis akses dari http:www.foxindonesia.co.idindex.php?option=com_viewid=710itemid=14, pada tanggal 14 Juni 2010 penyeragaman nama tag line dan atribut-atribut brand itu sangat mempengaruhi keberhasilan branding sebuah produk untuk kemudian dilekatkan di benak masyarakat dengan menayangkannya secara terus menerus. Pembuatan tag line, “Lanjutkan....” dan jingle “Indomie..” merupakan sebuah strategi standar baku program branding dalam dunia marketing. Pemutaran iklan yang masif dengan jingle yang mudah diingat oleh masyarakat, tentu merupakan sebuah strategi penanaman ingatan yang kuat bagi masyarakat, terutama masyarakat awam yang senang dengan politik pencitraan. Plasser, sebagaimana yang dikutip oleh Akhmad Danial, 7 menjelaskan bahwa setidaknya ada lima tren global yang menandai perubahan praktik dan gaya kampanye di dunia saat ini, yaitu: 1. Meningkatnya komunikasi kampanye yang berpusat pada televisi. Kampanye di era sekarang ini merupakan pertarungan menang-kalah antar-kandidat di udara di mana para kandidat dan partai berupaya membingkai beragam isu lewat cara-cara yang mereka nilai jitu; meraih dukungan pemilih dengan pesan-pesan politik yang disusun dengan penuh pertimbangan dan merekayasa acara-acara yang sesuai dengan format televisi. 2. Makin pentingnya iklan politik di televisi dengan konsekuensi makin meningkatnya anggaran dana kampanye. Terhadap hal ini, Plasser mencatat, pada era 1970-an, hanya empat negara, yaitu Amerika, Kanada, Australia, dan Jepang yang membolehkan partai dan kandidat membeli waktu tayang di televisi untuk iklan politik mereka. Jumlah itu meningkat menjadi 49 negara pada akhir 1990-an, mayoritas adalah negara-negara di Amerika Latin. Negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet juga membuka kesempatan dibelinya jam tayang televisi untuk iklan-iklan politik. Iklan-iklan politik televisi ini, pada gilirannya menggantikan bentuk iklan kampanye di media tradisional seperti billboard. 3. Debat antar para pimpinan politik di televisi makin dianggap penting. Pada tahun 1970-an, debat semacam itu hanya terjadi di 10 negara, namun pada akhir 1990-an, diskusi kampanye antara kandidat itu menjadi bentuk kulminasi kampanye televisi paling tidak di 35 negara. 7 Akhmad Danial, Iklan Politik TV; Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Yogyakarta: LkiS, 2009, Cet. Ke-1, hal. 35-37 4. Kampanye saat ini makin berpusat pada kandidat, bahkan di negara-negara yang menganut sistem pemilihan “daftar partai”, bukan “daftar orang”. Inilah yang disebut Mughan sebagai fenomena “Presidensialisasi” kampanye di negara-negara yang menganut sistem pemerintah parlementer seperti Inggris, yaitu “berpindahnya kampanye yang berbasis partai party- based campaigne ke perlombaan kepribadian di media media-based personality contest. 5. Makin meningkatnya peran manajer kampanye profesional dan konsultan politik dari luar partai. Kampanye telah bertransformasi dari yang bersifat amatiran ke satu jenis operasi dengan tingkat profesionalitas yang tinggi. Para konsultan ini mempraktikkan political marketing, pengembangan isu lewat survey, dan penyebaran pesan politik yang terencana. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “PERAN FOX INDONESIA DALAM PEMENANGAN SBY-BOEDIONO PADA PILPRES 2009 .” Hal ini tidak terlepas dari mulai trennya pemakaian lembaga konsultan politik bagi pihak-pihak yang ingin mencalonkan diri sebagai calon pemimpin di berbagai tingkat pemerintahan, bahkan hingga presiden. Keberadaan konsultan politik di Indonesia, memberikan perubahan dalam dunia politik di Nusantara.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah