Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat-istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian dan cara berfikir yang berbeda-beda. Berkat kekuasaan Majapahit dan penjajahan Belanda, Indonesia mulai bersatu untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintahan. Begitu juga terdapat agama yang berkembang dan diakui oleh Negara Indonesia, salah satunya agama Hindu, yang berpusat di Bali. Agama Hindu Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli. Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah Agama Hindu-Bali mendapat tempat di Kementrian Agama dibentuklah suatu Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada Dharma Hindu Bali; kemudian pada tahun 1964 namanya diganti dengan Parisada 2 Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma memiliki 11 cabang, yaitu 8 di Bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S perkembangannya sangat pesat, terlebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang. 1 Sedangkan agama sendiri berkaitan dengan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kehadiran alam semesta. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apa pun konsepsi tentang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral suci. 2 Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi membawa suatu akibat dalam jiwanya, yaitu tabiat ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang dianggapnya Maha Kuasa. Dan pembawaan ini memang telah terwujud fitrah 3 kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri mereka. Di dalam masyarakat Bali, sabung ayam memiliki makna religius. Makna religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditujukan pada bhuta dan kala, yaitu makhluk-makhluk halus yang jahat dan makhluk-makhluk 1 Parisada Hindu Dharma, Sejarah Agama Hindu Dharna Hindu Bali, http:faridfann.wordpress.com20080507sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali. 2 Elizabeth K. Nothinghem, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Cet- 8. Jakarta: Raja Grafindo, 2002, h. 3-4. 3 Agus Salim, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi- Shabiah-Yahudi-Kristen-Hindu BudhaSikh, Jakarta: Diponegoro 1985, h. 11. 3 halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan melalui korban suci ini disebut “caru” atau “mecaru”. Upacara mecaru ini biasanya berupa tumpahnya darah yang tercecer di tanah akibat dari sebuah pertarungan atau penyembelihan hewan korban, yang disebut dengan Tabuh Rah atau Labuh Getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah dengan cara melakukan sabung ayam Perang Satha. Untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadat atau upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus ibadat adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup semua jenis tingkah laku seperti; memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta benda, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu. Dan ritus akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama-sama, karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi, salah satu fungsi penting ritus adalah keyakinan masyarakat terhadap adanya dunia yang gaib dan memberikan cara-cara pengungkapan emosi keyakinan secara simbolik. Dalam agama Hindu terdapat banyak upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat di sana sebagai penggambaran serta penghambaan kepada Tuhan mereka, yakni Sang Hyang Widhi sehingga akan terjalin sebuah hubungan yang baik antara hamba dan Tuhannya. Segala ritual atau upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Hindu digunakan sebagai perwujudan tingkah laku 4 umat yang dilandasi oleh 3 tiga unsur kerangka dasar yaitu; 4 Tatwa filsafat, Susila etika, dan Upacara ritual. Sehingga jika ketiga kerangka dasar yang di atas telah terpenuhi maka akan tercapainya suatu tujuan dharma bagi umatnya, yang disebutkan dalam Wedha, “Mokshartam Jagadhita Ya ca Iti dharma”. 5 Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher hewan tersebut, namun ada juga dengan cara Perang Satha yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang Satha merupakan simbol perjuangan hidup. 6 Tradisi Tabuh Rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian upacara buthayajna, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara buthayajna adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini 4 Parisada Hindu Dharma, http:www.akademik.unsri.ac.iddownloadjournalfilesudejournaldarma070102008.pdf. 5 Suatu cita-cita manusia dalam kehidupan manusia, baik kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan di akhirat, yang berlandaskan dharma. Di mana kebahagiaan lahir akan terwujud dengan terpenuhinya kebutuhan artha dan kama, dan kebahagiaan bathin adalah kedamaian. 6 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http: matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html. 5 biasanya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa sabung ayam untuk upacara Tabuh Rah diperbolehkan, namun bukan untuk berjudi. Dalam perkembangannya, ritual suci Tabuh Rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak banjar desa yang menggelar Tajen yang biasa disebut Tajen terang untuk kepentingan menggalang dana dan dilakukan hanya dua atau tiga hari setelah diadakannya Tabuh Rah. Setiap desa di Bali memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur Tajen terang ini, para pecalang pun dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikian, sebelum diadakan acara Tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung. Dan yang lebih ditanyakan lagi dalam masalah sosial dimana perjudian ini adalah tingkah laku penyimpangan devian behaviour yang gampang meluas dan menjamurnya dalam masyarakat kita. Maka berlangsunglah apa yang dinamakan devisiasi situasional komulatif yaitu suatu bentuk penyimpangan dari norma- norma sosial atau hukum sebagai produk transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. 7 7 Kartini Kartono, Patologi sosial, Jakarta; Rajwali, 1993 h. 90. 6 Untuk meregulasi perjudian dan tidak menjadikannya sebagai perbuatan kriminal dekriminalisasi di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan terbesar adalah munculnya resistensi masyarakat karena kondisi social budaya, kepercayaanagama, dan kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya memahami tentang pluralisme hukum. 8 Masalah perjudian umum nya dalam aspek hukum pidana KUHP telah memberikan batasan tentang pengertian perjudian dalam pasal 303 ayat 3 KUHP yang berbunyi; “Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”. Meskipun masalah perjudian di Indonesia telah banyak diberantas, namun masalah perjudian ini merupakan masalah sosial. Apalagi dalam masyarakat Bali Tajen merupakan sebuah pertaruhan nama baik serta kebanggaan bagi sang pemilik ayam aduan tersebut. Apalagi jika ayam aduan miliknya dapat dan mampu mengalahkan ayam aduan milik orang lain atau musuhnya. Dan juga 8 Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan Makmur, Cet- 1. Jakarta: 2007, h. 126. 7 ayam menjadi bagian yang terpisahkan dari kaum pria dan juga sebagai simbol kemaskulinan mereka. Namun, jika kita lihat dan kita tinjau asal-muasal terbentuknya tradisi budaya Bali, yakni bertujuan menyuburkan berkembangnya kehidupan beragama. Tanpa disadari amat disayangkan kesadaran masyarakat sekarang jurusannya melenceng dari sasaran semula mengingat dahulu seni budaya semata-mata wujud daya hidup sembah bhakti mereka kehadapan Hyang maha kuasa. 9 Untuk itu, berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk menggali masalah yang berkaitan dengan perjudian sabung ayam yang berkedok budaya. Oleh karena itu skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ”

B. Pembatasan dan Perumusan masalah