Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen

19 Tiap-tiap masyarakat terbentuk oleh banyak kelompok, setiap kelompok terdiri atas individu-individu yang datang bersama-sama untuk kegiatan kerja sama dengan minat khusus. Kelompok ini disebut seka. Nama seka sesuai dengan kegiatan khususnya. Ada kelompok kerja, seperti: seka manyi untuk menanam padi, seka semal untuk menghalau tupai yang merusak buah kelapa, seka membeg untuk mengolah tanah, di samping ada kelompok yang berminat pada seni, misalnya seka gong gamelan, seka drama, seka barong yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan tarian barong, seka kecak kelompok penari kecak, malah ada kelompok peminum tuak atau seka tuak. Para pemuda, misalnya remaja yang belum menikah, juga merupakan anggota masyarakat khusus yang disebut seka taruna-taruni. Persamaan dan kerja sama anggota merupakan peraturan pertama kelompok itu.

B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen

Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara 3 , masyarakat masih memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa. Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi, prasasti dan yang lainnya. 3 Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu, http:www.parisada.orgindex.php?option=com_contenttask=viewid=506Itemid=29limit=1li mitstart=2 Artikel di akses pada 13 Juni 2010. 20 Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M, terdapat di kutai Kalimantan Timur dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki nama yang berasal dari India. Seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Budha. Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3 periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur : 1. Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga 1929-1092 M. Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Budha menjadi satu, kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang dipadukan antara agama Siwa dengan agama Budha, serta menyebutnya Siwa- Buddha, bukan lagi Siwa dan Budha, melainkan Siwa-Budha menjadi satu Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari India. 21 2. Zaman kerajaan Kediri dan Singosari 1042-1292 M Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin. 3. Zaman kerajaan Majapahit 1293-1528 M Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Segala macam upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang menjadikan agama Hindu dan Budha yang dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada zaman Majapahit. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di Bali. Menurut orang-orang Bali zaman –zaman terdahulu dianggap atau dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta makhluk-makhluk yang ghaib. Berbagai upacara keagamaan hampir setiap hari dapat disaksikan di pulau Bali. Umat Hindu selalu melakukan upacara pancayajna, yakni lima macam upacara yang masing-masing disebut 1 devayajna ditujukan kepada Tuhan Yang 22 Maha Esa, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha esa, dan roh suci para leluhur yang dipuja melalui pura atau tempat yang dipandang suci lainnya; 2 pitrayajna ditujukan kepada para leluhur sejak yang bersangkutan meninggal sampai rohnya disucikan dan di-shata-kan pada pura keluarga; 3 rsiyajna ditujukan kepada para rsi atau pandita sejak upacara inisiasi sampai yang bersangkutan meninggal dunia; 4 manusayajna ditujukan kepada manusia sejak bayi dalam kandungan sampai upacara penyucian diri pawintenan; dan 5 bhutayajna ditujukan kepada makhluk rendahan dan kekuatan-kekuatan negatif. Bhutayajna juga disebut sebagai upacara penyucian alam semesta dari gangguan kekuatan bhutakala, yakni roh-roh jahat yang menimbulkan masalah bagi umat manusia, baik dalam skala besar maupun kecil. 4 Kata “Tabuh Rah” adalah suatu kata majemuk yang terdiri dari kata tabuh dan rah. Kata tabuh sama dengan kata tabur, tawur atau kata taur yang berarti bayar. Sedangkan kata rah, berasal dari kata darah. Jadi dari uraian di atas, maka kata tabuh rah berarti tawur darah, yaitu pembayaran dengan darah. Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang 4 I Made Titib, Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam Svargarohanaparva Persepektif Kajian Budaya, Surabaya : Paramitha, 2006, h.2. 23 mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu. Namun, dari beberapa istilah mengenai Tabuh Rah yang biasa dilakukan di Bali. Sampai saat kini belum ada kesamaan pendapat atau pengertian mengenai Tabuh Rah itu. Ketidaksamaan itu juga didapati pada beberapa prasasti dan lontar-lontar, yang ditemukan di Bali. 5 1. Di dalam prasasti Bali kuno dan terutama pada prasasti Sukawan A.I. yangberangka tahun 804 Saka 882 A.D, ada terdapat kata : “Blindarah”, Dr. R.Goris mengartikan kata blindarah itu sebagai “blodoffer voor velerlei godsd verrichtingen yaitu: korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan. 2. Di dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun 933 Saka 1011 A. D disebutkan sebagai berikut: “... mwang yan pakaryyakarya, msanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, i thaniya, yan pamwita, tan pawwata ring nayaka saksi...” Artinya “... lagi pula bila mengadakan upacara-upacara tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga ronde leban di desanya, tidaklah minta izin, tidaklah membawa memberitahukan kepada pemerintah...”. 5 Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, Diterbitkan Oleh Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Kabupaten Buleleng: 1979. h. 12-14. 24 3. Di dalam prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka 1022 A.D., ada kalimat sebagi berikut: “... kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlun parahatan, tan pamwita ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...” Artinya “... adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga ronde leban tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak...”. 4. Di dalam lontar Ciwatatwapurana, disebutkan sebagai berikut: “mwah ri tileming ke sanga, hulun megawe yoga, teka wnang wang ing madyapada megae taur kasowangan, denhana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang kala daca bhumi, yanora samangkana rug ikang wanging madyapada...” Artinya “lagi pada tilem kesanga aku dewa Siwa mengadakan yoga, berkewajibanlah orang bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari, ketika itu beri hidangan sang kala dacabhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi...”. 5. Di dalam lontar Sandharigama, disebutkan bahwa di dalam rangkaian melakukan tawur atau bhutayajna disertai dengan “tetabuhan”. Dari beberapa kutipan tersebut di atas, jelaslah adanya perbedaan istilah yang dipergunakan di dalam korban darah yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Diantara istilah-istilah itu maka istilah blindarah ada persesuaiannya dengan makna pembayaran dengan darah atau penebusan dengan darah. 25 Sedangkan istilah perang Satha dan Manawung sudah mengandung kekaburan mengenai makna Tabuh Rah. Kekaburannya disebabkan karena bukan dititik beratkan kepada korban darah, melainkan ditekankan kepada pertarungan ayam, sehingga dengan demikian sering timbul anggapan bahwa Tabuh Rah itu adalah sabungan ayam. Jika kita perhatikan dengan seksama seluruh kegiatan keupacaraan yang dilakukan umat Hindu di Bali, ada sesuatu yang dipahami, yang sangat dihormati, yang diperlakukan sebagai tamu agung, yang dipandang maha suci, yakni Sang Hyang Widhi wasa Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa alam semesta beserta seluruh isinya, yang dimohon hadir untuk menganugerahkan kasih sayang, perlindungan, keselamatan, kesejahteraan hidup lahir serta bathin. Begitu juga pada pelaksanaan Tabuh Rah sendiri. Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup di masyarakat dan lebih-lebih didalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya. Pelaksanaan agama dipandang kurang mantap dan dirasakan seolah-olah tidak akan mendatangkan suatu pahala yang baik, jika dilakukan tidak mengikuti cara yang tradisional di masyarakat. Tetapi hal yang demikian itu tidak lah berarti umat Hindu di Bali mempertahankan tradisinya secara konservatif melainkan 26 menempuh kehidupan yang fleksibel, elastis yang demikian itulah dijumpai pada umat Hindu di Bali yang mempunyai pandangan, bahwa apa yang diwarisi dari leluhurnya merupakan suatu pusaka suci, baik warisan itu berupa benda atau berupa pandangan hidup. Disebabkan oleh adanya rasa bhakti dan hormat terhadap leluhur inilah mengapa tradisi dapat dipelihara dengan baik oleh generasi-generasi berikutnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun di masyarakat dari sejak dahulu hingga kini, disamping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi upacara- upacara di dalam agama Hindu. Tentang munculnya Tabuh Rah dalam hubungannya dengan upacara bhutayajna di Bali, rupa-rupanya berpangkal pada bentuk upacara berkorban sejak zaman purba. Kadang-kadang berkurban itu ada hubungannya dengan kaul dan berhubungan dengan keharmonisan antar bhuanagung dan bhuanaalit dimana hal ini terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia gaib. 6 Dalam agama Hindu mitos memiliki peranan yang penting. Karena dalam mitos tersebut diyakini, diikuti, dan bahkan menjadi pedoman serta berguna meskipun tidak rasional bagi kita. Begitu juga dengan masalah Tabuh Rah sendiri. Banyaknya cerita yang menggambarkan ritual tersebut yang harus dilaksanakan 6 Utarayana, Pengayam-ayaman, Denpasar-Bali, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA, 1993, h. 12. 27 oleh umat agama Hindu berdasarkan lontar-lontar. Meskipun banyak yang belum atau tidak dapat dijelaskan dengan akal rasio. Dan hingga sekarang sebagian masyarakat Bali umat Hindunya masih memahami serta menghayatai mythology, yang ternyata masih besar faedahnya itu. Tabuh Rah biasanya dilaksanakan dalam beberapa cara dan selalu berhubungan dengan bhutayajna atau lazim di Bali disebut dengan mecaru membuat upacara korban. Bhutayajna itu sering dilakukan dengan mecaru karena makna dari bhutayajna itu adalah mengharmoniskan hubungan unsur- unsur Panca Mahabhuta di bhuanaagung dan bhuanaalit. Berkorban atau bersaji adalah suatu usaha untuk berhubungan dengan dunia gaib dalam artian memberi barang sesuatu kepada dunia gaib dengan pengaharapan untuk mendapatkan penggantiannya. Hal ini sering terlihat dengan jelas pada beberapa agama di Indonesia sekarang dan dapat dibandingkan dengan adanya janji atau kaul pada kepercayaan sekarang, bahwa akan mengadakan keselamatan sesudah maksud tercapai. Selain itu juga ada juga korban yang berupa makanan-makanan yang juga oleh manusia dipandang lezat, sehingga di dalam pikiran manusia ada anggapan bahwa apa yang dipandang oleh enak dirinya, juga akan digemari oleh dunia gaib atau roh-roh. Makan bersama-sama dengan para roh-roh leluhur atau dunia gaib adalah untuk mengeratkan hubungan manusia dengan dunia gaib atau roh-roh. Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia, darah manusia yang dijadikan korban kepada dunia gaib atau kekuatan alam yang maha besar 28 yang dianggap sebagai roh, selain bermaksud penebusan dosa manusia, namun juga dianggap sebagai sarana demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib atau roh-roh itu. Di samping dijadikan korban seperti itu darah manusia juga dimakan bersama-sama sebagai pernyataan tanda bergembira, demi eratnya persahabatan antara sesamanya dan pula merupakan tanda turut berduka cita sebagai pernyataan solider terhadap sesamanya yang ditimpa mala petaka. Lalu penggunaan korban manusia diganti dengan darah binatang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Binatang korban itu yang dipakai pengganti korban manusia adalah binatang peliharaan yang dianggap sebagai anggota dari masyarakat, sehingga dengan demikian yang dipakai korban adalah darah salah satu dari anggota masyarakat juga. Sehingga di dalam setiap jenis korban di Bali dipakailah ayam sebagai binatang korban pokok, sedangkan binatang-binatang korban lainnya adalah merupakan perubahan menurut besar kecilnya tingkatan korban itu. Darah pada banyak bangsa-bangsa dianggap suatu zat yang mengandung kekuatan magis. Pada beberapa suku Dayak, tiang-tiang rumah yang baru didirikan, dipoles dengan darah untuk memberikan kekuatan secara spiritual kepada rumah itu. Hal itu dapat dibandingkan dengan di Bali, bilamana orang mendirikan rumah baru, maka pada saat upacara peresmiannya melaspas, tiang- tiang pilar dari bangunan itu dipoles dengan darah ayam hitam, yang disebut pengurip-urip, guna memberikan kekuatan spiritual dalam artian suasana baik kepada bangunan itu. Dengan anggapan bahwa darah itu mengandung kekuatan 29 magis, sakti, paralel dengan kepercayaan bangsa purba mengenai adanya kekuatan sakti di dalam segala hal yang luar biasa yang disebut dinamisme, maka dari itulah manusia purba menggunakan darah sebagai sarana yang paling urgen di dalam berkorban. Selanjutnya di dalam filsafat Hindu yang berkembang lebih demikian, maka anggapan seperti itu lalu menjadi suatu faham yang mengandung perlu adanya sarana-sarana untuk memelihara keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit. Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher hewan tersebut, namun ada juga dengan cara Perang Satha yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang sata merupakan simbol perjuangan hidup. 7 Kemudian setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia yang selanjutnya berkembang dan akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia, bentuk dari pada korban darah itu berbeda-beda dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia khususnya di Bali korban darah itu telah banyak mengalami bentuk- 7 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http: matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html. 30 bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan lontar-lontar. 8 Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.

C. Cara Pelaksanaan