Tajen Implikasi sabung ayam Tabuh Rah dan Tajen terhadap masyarakat

43 guna mensukseskan pembangunan dimasyarakat, seperti; desa, banjar, subak, seka dan sebagainya yang diwarisi sejak dahulu, dan masih terpelihara serta dibina hingga sekarang. Kebiasaan yang berlaku turun-temurun dimasyarakat dan kalau dilanggar akan dapat menimbulkan akibat hukum, merupakan salah satu faktor yang menguatkan tradisi-tradisi adat yang ada dimasyarakat. Begitu pula halnya dengan sabung ayam di Bali, yang merupakan tradisi turun- temurun dari sejak dahulu sehingga, masih banyak pendapat yang merasa enggan untuk meninggalkannya, karena mungkin telah mendarah daging dimasyarakat. Dalam upacara Tabuh Rah penggunaan ayam sebagai persembahan hanya menggunakan 6 ekor ayam. Namun, jika dalam pelaksanaan upacara tersebut ayam yang diadu pada salah satunya sudah ada yang menang maka pelaksanaan aduan ayam Tabuh Rah tersebut dihentikan karena sudah dianggap telah menaburkan darah sebagai wujud persembahan korban bagi sang bhuta kala.

2. Tajen

a. Dari segi sosiologis Sedangkan sabung ayam pada Tajen tersebut dimasukkan ke dalam peraturan awig-awig 21 pada sebuah banjar sehingga tradisi tersebut 21 Suatu peraturan desa atau banjar yang mengatur hak dan kewajiban warga masyarkat disertai suatu upaya pemaksa yang tegas dan nyata. Di dalam keyakinan masyarakat adat apabila awig- awig dilanggar maka kehidupan masyarakat akan terganggu dan terusik kedamaiannya. 44 enggan untuk ditinggalkan. Misal: ada banjar yang mengadakan sabungan ayam yang biasanya memakai alasan Tabuh Rah maka anggota banjar dikenakan satu ekor ayam aduan yang disebut “uran”. Dan bilamana jika tidak mengeluarkan uran maka akan dikenakan denda. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung berarti mengharuskan anggotanya mengadu ayam atau main sabungan ayam. Dan juga terdapat lontar yang digunakan dalam sabungan ayam dari bagaimana memilih lawan, kapan hari baik untuk mengadu ayam, pantangan yang tidak boleh dilakukan sebelum mengadu ayam semuanya terdapat pada lontar “pengayam- ayaman”, sehingga tidak menutup kemungkinan acara Tajen ikut atau mengikuti cara yang telah dipaparkan dalam lontar tersebut. b. Dari segi ekonomis Dari segi ini sabungan ayam lebih banyak mengandung atau menunjukkan ekses negatif. Menghambur-hamburkan harta benda semata- mata untuk memuaskan hawa nafsu untuk berjudi. Jarang ada orang terlihat akan jadi kaya karena menang main sabungan ayam apalagi dengan Tajen, malahan sebaliknya. Dan juga dapat menyebabkan seseorang yang baik dapat menjadi jahat, seseorang yang taat dan giat dapat menjadi jahil, malas bekerja, seakan-akan dia hanya berangan-angan bagaimana caranya dia menang, menjadi kaya hanya dengan berjudi. Dan jika dia menang dalam permainan tidak mungkin dia akan berhenti, karena merasa menang dia akan main terus hingga dia puas. Namun, jika kalah 45 maka akan berimbas kepada orang lain, teman sepermainan akan jadi musuh dan juga keluarga akan kena imbas jika dia kalah. Dalam sejarah perjudian, tidak ada orang yang kaya karena berjudi, malah sebaliknya yang terjadi, banyak orang yang jatuh miskin karena berjudi. 22 Bahkan masalah perjudian agama Hindu juga melarang masalah tersebut. Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221: “Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranniwarayet, rajanta karana wetau dwau, dosau prithiwiksitam” “Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota ”. Pada tempat sabung ayam yang pernah saya kunjungi, ada tulisan yang terpampang yang bunyinya sebagai berikut: Tiang matur piuning ring ide dane sane seneng ngibur sane nenten saye mangde melinggih ring kursi mangde hiburan duene memargi antar suksme. Artinya “Saya beritahukan kepada semuanya, bagi yang senang silahkan melihat bagi yang tidak suka saya persilahkan untuk duduk dikursi, karena hiburan akan segera dimulai terima kasih”. 22 Zaini Dahlan, dkk, UII, Al-Quran dan Tafsinya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, jilid I, Cet. I, h. 228. 46 Awig-awig yang telah dibuat oleh banjar disalah artikan, atau juga bisa dibengkokkan. 23 Seperti Tajen, yang pada mulanya sebagai prosesi yang sakaral serta suci mengalami pergeseran. Sabungan ayam sebagai manisfestasi judi, ternyata jalan terus. Anehnya lagi bukan hanya jalan. Artinya ada masyarakat justru malah mengawig-awig sabungan ayam tersebut. Jika ada upacara satu orang membawa satu ekor ayam pada hari yang telah ditentukan untuk disabung, jika melanggar tentu akan kena denda, padahal acara tersebut telah jelas memenuhi unsur judi. Karena ayam yang diadu bukan hanya satu ekor. Namun, dengan dalih untuk upacara Tabuh Rah padahal sebenarnya, tidak. Itulah mengapa masyarakat Bali terutama orang laki-laki gemar berjudi karena menurut mereka sabung ayam adalah hiburan. 23 Wayan Windia, Meluruskan Awig-awig Yang Bengkok, Denpasar: BP, t.th, h. 65 47

BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

Tradisi kebiasaan adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya transformasi hu kum syar’i. Di atas kebiasaan ini, banyak terbangun hukum-hukum fiqh dan qaidah-qaidah furu. Seperti dalam Qaidah fiqhiyah yang kelima yakni: ةمكهم ةداعلا “kebiasaan tradisi itu bisa menjadi h ukum”. Berdasarkan ketentuan Rasulullah yang mengintrodusir adat kebiasaan di masyarakat pada saat itu, apabila ada hewan piaraan di siang hari merusakkan harta milik seseorang, maka bagi pemilik hewan tidak wajib mengganti dlaman pada harta yang dirusak, karena rusaknya kebun pagar di siang hari adalah akibat kelalaian dan keteledoran pemilik kebun, yang semestinya pada saat siang hari ia menjaga kebunnya. Berbeda jika hewan piaraan tersebut merusaknya di malam hari, maka bagi pemilik hewan tersebut wajib mengganti apa saja yang dirusak oleh hewan piaraannya, yang semestinya ia jaga pada saat malam hari. Lepasnya hewan di malam hari merupakan akibat kelalaian dan keteledoran pemiliknya. 1 Kata urf berasal dari kata ‘arafa, yaitu فرعي فرع sering diartikan dengan “al-ma’ruf” فرعملا dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa 11 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1986, h. 256 yang dikutip dari Dr. H. Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004, cet. Ke 1, h. 162